Dibalik Subsidi Dan Apbn

Dari semenjak kurun Soeharto hingga dengan tahun 2000 kita menerapkan sistem neraca berimbang (Debit dan kredit ). Dalam sistem ini sumber penerimaan yaitu yang real diterima oleh pemerintah. Apabila penerimaan lebih kecil dari pengeluaran maka pemerintah akan berhutang dan itu akan berada disisi penerimaan. Sehingga tidak ada istilah defisit. Itu sebabnya harga BBM di APBN memakai pola biaya pokok+fee. Kaprikornus actual price, bukan market price. Benar benar negara sebagai logistik nasional dibidang migas untuk mendistribusikan BBM kepada rakyat. Tentu ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Dasar 45 pasal 33. Pemahaman menyerupai ini masih menempel dikepala banyak orang hingga sekarang.Bahkan banyak pengamat yang terjebak dengan pahaman menyerupai itu dan ikut memprovokasi orang awam.Padahal semenjak tahun 2000 sistem neraca berimbang digantikan dengan neraca “vertikal”. Ini standard Government Finance Statistic. Sistem ini sama dengan neraca perusahaan. Sebagai kelanjutan dari ketaatan SGFS,  tahun 2003 keluar UU migas. Harga BBM di APBN memakai pola MOPS + Alpha+pajak. Artinya harga pasar. Berapa MOPS tergantung harga rata rata minyak di pasar singapore atau biasanya Indonesia Crude Price yang selalu lebih mahal USD 5 hingga dengan USD 10. Alpha yaitu biaya refinery, penyimpanan, distribusi, lost product yang ditetapkan 10% dari harga MOPS. Pajak ditetapkan 15% dari MOPS + ALPHA.

Ya selalu harga pengadaan crude diatas USD 5-10 harga MOPS. BIla diilustrasikan harga BBM kini yaitu harga oktober (penyerahan s/d desember) USD 87 + 10 = USD 97. Tapi lantaran perhitungan APBN memakai everage tahun berjalan maka harga crude yang dihitung menjadi 104,7 atau hanya USD 4 selisih dari ketentuan harga pada APBN 2014 yang USD 108. Mengapa everage ? Karena penetapan besaran subsidi itu diawal tahun anggaran, sementara harga crude setiap bulan naik turun. Perhitungannya jadi 104,7 + 10% x 104,7 = USD 115,17 + 15% pajak x 115,17 = USD 132,45 per Barrel. BIla kurs rupiah Rp12300 maka harta per barre USD 132,45 x Rp. 12.300 = Rp.1.629.079 per barrel. Bila 1Barel yaitu 158,9 liter maka harga per liter Rp. 1.629.079/158,9 liter yaitu  Rp. 10.252 perliter atau berkisar Rp.10.000 per liter untuk harga perolehan premium per liter. Untuk RON 88 harga perolehannya yaitu Rp. 9200 per liter dan bila dijual Rp. 8500 perliter maka masih ada subsidi sebesar Rp.700 perliter. Dari pola MOPS + Alpha maka kita tidak tahu berapa pastinya “alpha” itu. Yang penting harga minyak dunia naik, maka alpha juga naik sebaliknya bila harga minyak dunia turun maka Alpha juga turun. Walau nyatanya honor direksi dan karyawan Pertamina tidak terpengaruh harga minyak. Nah lantaran dibeli dengan harga pasar crude international maka seharusnya juga dijual dengan harga BBM international. Tapi harga minyak dalam negeri tetap berpatokan dengan pola MOPS+ Alpha. Selisih harga yang ditetapkan dengan pola pengadaan BBM ( MOPS+alpha ) ini disebut dengan subsidi. Kaprikornus bahwasanya masuk akal jikalau dipertanyakan betulkah harga subsidi itu? bila Alpha ditentukan harga pasar. Mengapa harga BBM impor bisa saja lebih murah dibandingkan harga perolehan BBM menurut pola MOPS+alpha. Ya lantaran "alpha"nya sebagai sumber masalah.

Dalam sistem akuntasi kini , Pemerintah bukan lagi provider minyak tapi service provider yang mendapat sharing and fee ( Pajak). Penerimaan pajak penjualan juga akan mengikuti trend pengadaan minyak menurut pola MOPS +Alpha. Bagaimana dengan pendapatan negara berupa bagi hasil MIGAS?. Itu akan masuk dipos penerimaan negara atau PNBP yang nilainya pada APBN ditentukan menurut perkiraan kurs rupiah rata rata dengan harga pasar per kwartal. Subsidi masuk dalam pos belanja negara. Kaprikornus dalam sistem neraca ini tidak ada korelasi pribadi antara penerimaan MIGAS dengan SUBSIDI. Sisi penerimaan negara berafiliasi dengan semua belanja negara termasuk subsidi BBM. Contoh bila penerimaan sektor migas 100 dan pengeluaran subsidi 110 maka tetap subsidi 110 bukan 10 ( 100-110). Dengan sistem ini maka semua transference sehingga pasar bisa menilai dengan cepat financial ratio APBN kita. Hal ini sangat penting. Mengapa? Karena apabila terjadi difisit anggaran dan pemerintah perlu menarik pinjaman/hutang maka pemerintah bisa menerbitkan surat Hutang/Obligasi atau melakukan instant loan dengan forum multilateral menyerupai ADB, World bank, dan lain lain. Bunga Obligasi atau yield obligasi ditentukan oleh financial ratio dari APBN. Kondisi rupiah ditentukan dari financial ratio APBN atau istilahnya Fundamental ekonomi. Kaprikornus denah penetapan harga BBM itu lantaran keharusan mengikuti SGFS sebagai compliance untuk menarik hutang.

Karena denah penetapan harga inilah makanya pemerintah sebelumnya terbuai mempertahankan subsidi BBM di APBN. Kalaupun subsidi BBM dikurangi namun dilakukan bertahap. Mengapa? ini bukan takut kepada rakyat yang murka lantaran BBM naik tapi takut kepada pihak absurd yang berada dibalik denah ini,dan juga kepada pengusaha yang selama ini ada dibalik terpilihnya beliau sebagai Presiden. Suka tidak suka pihak absurd juga yaitu undertaker atas hutang pemerintah.  Dengan denah ini maka ada konspirasi dimana minyak Indonsia ( ICP) yang dikenal dengan minyak kualitas 1 dengan harga paling tinggi didunia, dijual ke luar negeri sementara untuk memenuhi kilang minyak dalam negeri , Pertamina melalui Petral mengimpor crude dari negara yang kualitasnya rendah  dan harga murah menyerupai Iran, Irak,Rusia. Kekurangan produksi kilang, kita mengimpor BBM. Bayangkanlah,  harga BBM kita di APBN menurut harga minyak Indonesia ( ICP) sementara yang kita terima yaitu kualitas rendah dan murah.  Kaprikornus siapa yang menikmati selisih harga pada APBN ini?siapa yang mendapat untung dari denah ini?  Selisih harga dinikmati oleh Trader yang sanggup jatah beli dan jual Crude. Yang sanggup keuntungan dari denah ini yaitu para pengusaha yang mendapat hak mengimpor BBM. Mereka beli murah dan jual dengan harga tinggi ( harga APBN) ke Pemerintah. Disamping itu para pihak lain juga bermain dengan jatah BBM subsidi, mereka selundupkan keluar bila harga minyak intentional tinggi. Semua denah ini di back up dengan UU dan Peraturan pemerintah. Legitimate.!

Karena  skema inilah maka semenjak zaman Soehato jatuh hingga dengan kini tidak pernah ada kilang minyak gres dibangun. Lobi pengusaha kepada elite politik di senayan sangat mahir untuk memastikan Pemerintah gagal membangun kilang minyak baru. Karena jikalau hingga kita swasembada BBM maka baik trader maupun pengusaha tidak mendapat untung.  Karena denah ini pula lifting minyak Indonesia turun terus hingga hasilnya jatuh dibawah 1 juta barel. Mengapa? lantaran para importir ingin mendulang keuntungan dari ketergantungan pemerintah akan impor BBM . Padahal lifting minyak kita bisa diatas 1 juta barrel lantaran resource nya tersedia. Nah, semua permainan ini didukung oleh pendanaan yang tidak kecil. Ingat bahwa trading minyak yaitu trading uang. Hanya yang punya uang yang bisa kanal ke bisnis ini. minimal harus didukung oleh dana USD 100 juta. Siapa yang bisa ? tentu mereka yang didukung oleh forum keuangan kelas dunia dan mereka inilah dibalik financial resource RI menarik hutang luar negeri. Kaprikornus yang menginginkan skema  subsidi BBM ini dipertahankan yaitu pengusaha monyet dan politisi monyet, serta lembaga keuangan monyet.  Yang hanya goyang goyang kaki menikmati keuntungan tak terbilang, sementara rakyat konsumen dibodohi dengan retorika pengurangan subsidi menyengsarakan rakyat. Padahal pengurangan subsidi atau pembatalan subsidi menciptakan keuntungan mereka berkurang atau hilang.

Bagaimana seharusnya ?Tentu kita mustahil kembali kepada sistem Orba lantaran itu sistem  yang tidak transfarance dan cenderung korup.Kita tetap memakai sistem yang telah ada kini namun khusus subsidi BBM dikeluarkan dari APBN. Apakah ini akan memberatkan rakyat ? dalam jangka pendek ya konsumen ( rakyat ) akan terasa mahal namun dalam jangka panjang akan murah. Karena dana subsidi itu akan dipakai untuk sektor produksi termasuk membangun kilang minyak berkapasitas 2x 500.000 barel.Apabila kilang selesai dibangun maka harga pokok BBM akan turun. Selisih kualitas minyak kita dengan minyak luar sudah bisa menutupi ongkos produksi. Pada waktu bersamaaan alangkah baiknya bila team Reformasi Tata Niaga Migas sanggup merekomendasikan kepada pemerintah untuk  merevisi ketentuan mengenai pola harga MOPS+ Alpha biar lebih tranfarance dan adil.  Merevisi Contract revenue sharing dari 85/15 gross atau belum termasuk cost recovery ,dirubah menjadi 40/60 Net.Pemerintah mendapat 40% dari lifting secara netto. Kalau ini dirubah maka keadilan sumber daya akan kita rasakan sebagaimana rakyat Bolivia dan Venezuela telah rasakan. Saya tahu bahwa reformasi MIGAS ini tidaklah mudah. Karena yang dihadapi oleh pemerintah Jokowi bukan hanya rakyat kolot yang terprovokasi menolak pengurangan subsidi tapi juga pengusaha monyet, potisi monyet, forum keuangan monyet yang terancam bisnisnya. Selama ini mereka menikmati rente ekonomi akhir kebodohan rakyat dan ketamakan penguasa. 

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait