Hak Pengampunan Sanksi Presiden


"Ya Umar! Takutlah kepada Allah dalam memerintah manusia. Jangan takut kepada insan dalam menjalankan agama Allah! Jangan berkata berbeda dengan perbuatan. Karena sebaik-baik perkataan ialah yang dibuktikan dengan perbuatan". Itulah yang dikatakan oleh Said bin Amr kepada Umar saat terpilih sebagai khalifah. Umar Bin Khatap mendapatkan nasehat itu dan membuktikannya saat berkuasa sebagai khalifah. Dengan tangannya sendiri Umar Bin Khatap menghukum rajam putranya hingga mati alasannya terbukti memperkosa seorang wanita. Tapi kepada seorang budak dari Hathib bin Balta'ah yang terbukti mencuri onta kabilah Mazinah, Umar membatalkan sanksi potong tangan. Hanya alasannya Umar mengetahui bahwa budak itu mencuri alasannya kemiskinan dan kelaparan akhir tuannya yang zolim. Umar bahkan menghukum  Hathib bin Balta'ah dengan cara ia harus mencicipi lapar dan mengganti onta itu dengan harga dua kalilipat kepada pemiliknya. Belakangan Said Bin Amr dipilih oleh Umar bin Khatap sebagai Gubernur Hismsh ( Horm/Syiria) alasannya yakin Said akan menegakan kebenaran dan keadilan disana. Semasa menjadi Gubernur , Said dikenal sebagai pemimpin yang patut dizakati alasannya miskin tapi berhasil menciptakan penduduk Horn tertip dan berkahlak mulia.

Hukum harus ditegakkan namun para pemimpin atau hakim harus punya hati nurani untuk keadilan itu sendiri dan keteladanan watak mulia. Suatu hari Usamah bin Zaid, ra., tiba kepada Rasulullah SAW untuk membantu membebaskan atau meringankan sanksi bagi seorang perempuan Bani Makhzum dari golongan bangsawan. Rasulullah SAW melihat perilaku Usamah seketika marah, seraya bersabada : " Kau (wahai Usamah) akan membebaskan seseorang dari aturan yang telah Allah tentukan?! Melihat insiden itu Rasulullah segera bangun di depan khalayak, dan bersabda : "Sungguh orang-orang terdahulu sebelum kelain dihancurkan ( oleh Allah ) alasannya kalau pemuka mereka mencuri dibebaskan dari hukum, dan kalau orang-orang lemah yang mencuri ditimpakanlah kepada mereka hukuman. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad melaksanakan pencurian, pasti akan saya potong tangannya. Untuk bersikap ibarat ini maka memanglah langsung pemimpin dan hakim harus berlandaskan kepada Al Alquran yang selalu dalam tutunan Allah. Tak mungkin ada bagi pemimpin yang hidupnya begitu menyayangi kekuasaan hingga ragu bersikap kebenaran dan mengabaikan kebaikan untuk tegaknya keadilan.

SBY pernah bertutur dalam pidatonya pada peringatan Hari Anti Narkoba (2006) bahwa "Saudara ketua Mahkamah Agung, saya sendiri, tentu menentukan untuk keselamatan bangsa dan negara kita, menentukan keselamatan generasi kita, generasi muda kita dibandingkan menunjukkan pengampunan sanksi kepada mereka yang menghancurkan masa depan bangsa."  Tapi anehnya apa yang dikatakan SBY tidak sesuai dengan perbuatannya. Presiden menunjukkan pengampunan sanksi kepada pengedar Narkoba semoga terbebas dari sanksi mati dengan alasan hak azazi kemanusian. Tapi kita tidak pernah mendengar Presiden menunjukkan pengampunan sanksi kepada orang miskin yang mencuri alasannya lapar. Seperti dulu pernah ada seorang nenek yang tertangkap tangan mencuri 3 biji kakao harus mendekam dipenjara. Apakah kemiskinan hingga menciptakan orang menjadi pencuri bukan pelanggaran hak azazi kemanusiaan? Apakah aturan dan hak pengampunan sanksi yang dimiliki presiden tidak punya tenggang rasa untuk keadilan bagi simiskin? Entahlah. Yang pasti kita sekarang tidak hidup dinegeri dimana para pemimpin hidup menurut Akhlak Al Quran. Kita hidup didunia yang semua ada nilai transaksional. Hukum dibuat atas dasar transaksional dan keadilan menjadi komoditi.

Lantas apakah begitu istimewanya  seorang pengedar narkoba bagi seorang presiden dan hakim?  Semua tahu bahwa kejahatan bisnis narkoba itu yakni kejahatan yang luar biasa. Dalam islam ini katagorikan sebagai kejahatan syirrir yang pantas dieksekusi mati. Hukum republic ini juga sudah menegaskan bahwa sanksi mati bagi pengedar. Tapi alasannya hak pengampunan sanksi yang dimiliki oleh Presiden yang sanggup mengabaikan aturan tertulis maka ini dipakai oleh jaringan bandit narkoba untuk melobi seluruh akses birokrasi semoga mendapatkan dispensasi sanksi menjadi seumur hidup dan jadinya bebas alasannya waktu. Bagaimanapun public tidak sanggup dibohongi bahwa ini ada transaksional dibalik keputusan pengampunan sanksi itu. Yang pasti ada pihak yang diuntungkan secara bahan akhir keputusan pengampunan sanksi ini. Kita tidak sanggup tunjuk hidung siapa itu. Yang pasti kata dan perbuatan tidak lagi seiring dinegeri ini, hingga aturan benar benar menjadi komoditi yang diperdagangkan diruang remang remang. Kita bertanya dalam kebingungan “ Apakah alasannya system aturan menciptakan presiden lulusan west point dan Phd ini menjadi lemah bersikap untuk berkata tidak saat bawahannya meminta semoga beliau memakai hak grasinya bagi gembong narkoba? Yakinlah  karena itu, citra pemerintah lambat namun pasti akan hancur dihadapan rakyat.

Karena telah luas diketahui, dimana pada sebuah zaman saat semua sanggup diperjual-belikan, termasuk kebenaran, kebaikan dan keadilan. Wahana lahirnya kepemimpinan, orang cenderung percaya bahwa bahkan partai harus juga dianggap sebagai komoditas. Pemimpin yang lahir alasannya partaipun kadang tak menyadari bahwa beliau yakni bab dari komoditas. Dan di tengah berisiknya jual beli  itu rasanya tidak adalagi prinsip wacana kebaikan , kebenaran dan keadilan? Semuanya untuk kepentingan subyektif, dan tak ada suatu nilai universal yang menggugah hati dan membentuk watak mulia? Ini tidak akan terjawab dengan benar. Hanya Al Alquran dan hadith yang sanggup menjawabnya dengan benar. Bagaimanapun ini bukanlah salah seorang presiden saja. Ini yakni buah yang kita petik dari kesalahan proses tumbuhnya pohon besar republic ini. Akarnya bukan agama. Rantingnya bukan budaya . Ini hanya pohon plastic yang indah tapi tak bernyawa alias fake one.


Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait