Jokowi-Foke ?


Seorang pejabat yang saya temui di China. Ukuran jabatannya ialah kepala Badan yang otoritasnya sama dengan Gubernur. Dikamar kerjanya tak nampak sama sekali map bertumpuk diatas meja atau kertas bertebaran. Meja kerjanya bersih. Dia membaca keterkejutan dari wajah saya melihat suasana kamar kerjanya. Dia menyampaikan bahwa semakin higienis meja kerja kita semakin efektif kita memimpin. Atau semakin jarang staf minta pendapat atau restu kepada kita semakin jago system yang kita berdiri dalam organisasi. Harus dicatat, menurutnya,bahwa Pemimpin itu dituntut pemikirannya untuk melahirkan kebijakan strategis dan implemented. Dalam organisasi memang banyak sekali rencana kerja, banyak sekali beban kerja lantaran alur yang ditetapkan oleh system namun itu bukan alasan bagi pemimpin untuk larut dalam rutinitas organisasi. Bila pemimpin terseret dalam rutinitas itu maka sanggup dipastikan tidak akan ada pembaharuan. Padahal keberadaan seorang pemimpin ialah menjawab setiap fenomena yang berkembang dan melaksanakan langkah strategis untuk terjadinya terobosan yang bersifat pembaharuan. Dari inilah organisasi semakin tajam mencapai tujuannya ditengah situasi yang berkembang.

Pejabat Negara terdiri dari dua, yaitu jabatan politik ibarat President, Mentri, Gubernur, Walikota, Bupati. Dan satu lagi ialah jabatan birokrat ibarat Sekjen, Dirjen dan dll. Dua jabatan ini punya karakteristik yang sangat berbeda secara prinsip. Walau keduanya mendapat honor dari uang rakyat. BIla jabatan politik tanggung jawabnya kepada hasil yang eksklusif dirasakan oleh rakyat. Sementara jabatan birokrasi tanggung jawabnya secara administrative semata. Dia tidak bertanggung jawab kepada rakyat. Yang jadi masalah di Indonesia ialah pejabat politik ketika berkuasa beliau akan bergaya ibarat birokrat. Semua berdasarkan procedural. Hobinya dibelakang meja ialah memperlihatkan catatan dan nota kepada setiap lembaran kerja bawahannya yang butuh petunjuk dan keputusannya. System ini menjebak pemimpin politik dalam dunia tekhnis birokrasi. Entah bagimana system sanggup mengakibatkan potensi moral dan kualitas kepemimpinan balasannya tak ubahnya ibarat birokat. Padahal jikalau system di create baik maka banyak hal yang sanggup dilakukan oleh pemimpin, khususnya melihat eksklusif dilapangan apa yang terjadi dan berdialogh dengan rakyat apa yang mereka inginkan.  Dari situlah muncul ide dan kreatifitas untuk menciptakan recana strategis untuk mengakibatkan mesin birokrasi bekerja efektif. Andaikan kebijakan pemimpin salahpun, tidak melanggar aturan kecuali kebijakannya itu menciptakan beliau kaya raya.

Dalam debat Cagub DKI antara Jokowi dan Foke, ada pertanyaan yang diajukan kepada kedua pasangan. Pertanyaan itu berkaitan dengan seni memimpin. Jokowi menjawab dengan rilek bahwa pemimpin tidak perlu ada dikantor lebih dari satu jam. Selebihnya beliau akan lebih banyak berada diluar untuk mencari tahu permasalahan yang ada dilapangan. Dia tidak ingin mengetahui permasalahan itu dari lingkungan organisasi PEMDA, Karena beliau dipilih bukan sebagai administrator/birokrat yang melihat duduk kasus secara administrasi. Dia ialah pemimpin politik yang bertanggung jawab dengan karya aktual , yang eksklusif sanggup dirasakan oleh rakyat, Ini janjinya yang harus dibayar tunai. Makanya keharusannya ia berada diluar untuk melihat sekian banyak duduk kasus DKI untuk sanggup ditentukan factor strategis yang harus focus dihadapinya. Dengan itu beliau akan memakai segala resource, kepiawiannya dalan bernegoasiasi untuk meyakin mereka yang ada diatas, dibawah, disamping kiri kanan. Dengan cara itu hampir mustahil beliau sanggup terjebak dengan rutinitas manajemen belakang meja. Dia harus mobile. Dengan itu beliau sanggup meng claim, saya bekerja sesuai dengan kiprah saya sebagai pemimpin bukan administrator/birokrat.

Apakah mungkin organisasi dijalankan tanpa pemimpin lebih banyak ada dikantor. Satu kesempatan saya bertemu dengan salah satu CEO venture capital. Dia punya banyak cabang diberbagai Negara. Organisasinya punya afiliasi dengan banyak sekali forum keuangan kelas dunia. Karyawan yang terlibat dalam organisasi perusahaannya lebih  6000 orang. Setelah asyik barang sebentar dengan Ipad nya beliau tersenyum kearah saya. Menurutnya , beliau gres saja mengambil keputusan yang melibatkan resiko dan dana tidak kecil.  Ketika keputusan diambil beliau sedang di café bersama saya. Sementara kantornya diseberang benua. Bagaimana beliau dengan begitu mudahnya mengambil keputusan tanpa harus bertemu muka dengan direksinya. Menurutnya ini berkaitan dengan system yang berafiliasi dengan pendelagasian wewenang terhadap anggota organisasi. Berkat IT yang populer diseluruh dunia ketika ini, system database terpusat yang terhubung dengan extranet memungkinkan setiap anggota organisasi terhubung satu sama lain walau jarak berjauhan. System Information management yang canggih memungkinkan untuk itu. Katanya. Jadi, di era kini sangat ajaib jikalau Pemimpin Negara atau Daerah buta IT dan doyan tatap muka untuk disembah oleh bawahannya.

Menurut teman saya itu, bahwa CEO diabad modern ketika ini, tidak terlibat dalam pekerjaan manajemen atau managerial yang membosankan. Tugas CEO ialah melihat semua duduk kasus yang ada. Kemudian memilahnya berdasarkan  object kasus. Dari setiap object masalah itu , dipilah lagi skala prioritas nya. Dari skala prioritasi itu dipilah lagi berdasarkan faktor strategis. Dari factor strategis itulah, CEO berbuat untuk memperlihatkan terobosan melalui kebijakan dan keputusan,serta mengawasinya secara langsung. Ini harus focus. makanya tidak sanggup dibaur dengan kerja administrasi. Disinilah kiprah CEO sesungguhnya. Makanya CEO tidak perlu ada terus dikantor. Mobilitasnya harus tinggi untuk menjalin komunikasi dengan stake holder dan beliau harus kreatif serta punya nyali  untuk melewati segala hambatan, dan pada waktu bersamaan memastikan kebijakannya bukan hanya dituruti oleh anggota organisasinya  tapi lebih dari itu ialah ide bagi mereka untuk bekerja lebih baik. Keberhasilannya ialah keberhasilan dari sebuah system dan beliau pecahan dari pembaharuan yang berkelanjutan.

Mengapa harus focus pada masalah yang terbatas saja. Padahal begitu banyak masalah yang harus diselesaikan? Tanya saya. Teman ini memperlihatkan analogi perihal Travelling bag. Bahwa jangan masukan semua barang dalam tas perjalanan anda. Kalau anda memikirkan begitu banyak rencana dan kebutuhan anda selama dalam  perjalanan maka yakinlah tas anda tidak akan cukup menampungnya. Atau mungkin anda butuh tas yang lebih besar. Akibatnya sanggup dipastikan bahwa selama dalam perjalanan anda akan dibebani, Anda tidak sanggup lincah untuk melewati waktu yang terus berpacu. Kita ialah pemimpin atas diri kita sendiri. Lingkungan kita ialah resource yang harus kita gunakan dalam seni memimpin itu. Kita harus focus kepada tujuan perjalanan yang menjadi prioritas kita dan jangan semua dimasukan dalam tas. Bahwa begitu banyak rencana kita, begitu banyak ambisi kita maka kadang tanpa disadari kita disibukan dengan begitu banyak duduk kasus dan balasannya kita gres menyadari kita tidak pernah beranjak dari daerah kita. Waktu, dana terbuang sia sia. Itulah sebabnya berkali kali ganti gubernur masalah Jakarta tak pernah tuntas diselesaikan. Tak pernah beranjak dari masalah yang sama lantaran Gubernurnya terjebak sebagai birokrat, bukan pemimpin.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait