Kapolri ?

Aiptu Labora Sitorus , beliau hanya seorang prajurit Polisi Republik Indonesia yang bukan Perwira. Kalau di Tentara Nasional Indonesia pangkatnya setara dengan Pembantu letnan Satu. Artinya beliau butuh satu tingkat lagi untuk menjadi perwira pertama dan mungkin hingga pension beliau hanya bermimpi menjadi pewira menengah Polisi Republik Indonesia apalagi Jenderal. Namun taukah anda, bahwa sang Aiptu ini menurut temuan tahun 2012 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melakukan transaksi keuangan mencurigakan selama lima tahun terakhir dengan nominal mencapai Rp 1,5 triliun! Data yang diperoleh IPW, dari Januari 2012 hingga Maret 2013 , sang Aiptu menyetor hingga Rp 10,9 miliar kepada 33 pejabat Polri. Mereka yang mendapatkan mulai dari Kepala Pospol, Kepala Polsek, Kepala Polres, Propam, Direktur, Ajudan Kapolda, Kapolda Papua, hingga pejabat di Mabes Polri. Artinya sang Aiptu bekerja tidak sendirian tapi melibatkan semua pihak di internal Polri. Makanya tidak gila ketika PPATK tahun 2010 menyebutkan ada enam Jenderal yang memiliki rekening gendut. Keenam jenderal itu yaitu Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Kepala Korps Brigade Mobil Polri,  Inspektur Jenderal Mathius Salempang, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Inspektur Jenderal Budi Gunawan, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian, Inspektur Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Divisi Pembinaan Hukum Kepolisian, Komisaris Jenderal Susno Duadji, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal, Inspektur Jenderal Bambang Suparno, Staf pengajar di Sekolah Staf Perwira Tinggi Polri.

Tahun 2014 Mahkamah Agung menolak kasasi yang diajukan Aiptu Labora dan mengabulkan permohonan kasasi dari jaksa penuntut umum. Sebelumnya jaksa menuntutnya dengan eksekusi 15 tahun penjara. Aiptu Labora tentu kecewa lantaran sehabis dia  bersedia menjadi whistleblower KPK membongkar keterlibatkan bos nya tapi balasannya tidak ada satupun bosnya yang dijadikan tersangka. Sementara beliau bukannya mendapatkan dispensasi eksekusi sebagai whistleblower malah hukumnya diperberat dan berlapis. Aiptu sadar bahwa beliau yaitu korban dari ketidak senangan para Petinggi aturan atas sikapnya yang menjadi whistleblower. Andaikan beliau tetap bungkam, eksekusi itu akan berujung kepada pembebasan bersyarat. Namun kini lantaran niat baik untuk kebaikan negeri ini , beliau harus menghabiskan hari hari dipenjara. Susno Duaji juga pernah menjadi whistleblower kasus Century gate  tapi balasannya berujung kepada penjara. Ya seharusnya dengan kasus Aiptu Labora, KPK sanggup jadikan kasus ini sebagai pintu masuk membongkar denah uang haram yang mengalir dari para cukong pemalak hutan dan penambangan illegal , kepada perwira Polisi khususnya yang ada ditingkat komando. Tapi KPK hanya berbuat namun tidak menghasilkan apapun. Juga seharusnya kasus Susno Duadji sanggup dijadikan pintu masuk bagi KPK untuk membongkar denah pembobolan bank Century khususnya para petinggi Negara yang ada dibalik kasus itu.  Tapi KPK hanya berbicara dan berjanji untuk menuntaskan namun hasilnya tidak ada.

Semua kita tentu berharap banyak kepada KPK dan media massa membuat image positip bahwa KPK forum higienis dan satu satunya forum yang dipercaya, yang lain semua korup kecuali KPK. Benarkah ? orang lupa bahwa semua pimpinan KPK dipilih oleh dewan perwakilan rakyat dan setiap calon KPK harus melewati tim seleksi sebelum dikirim ke dewan perwakilan rakyat untuk diadakan Fit and Proper test. Tim seleksi hanya melihat dari segi rekam  jejak dan kompetensi namun keputusan tetap ada pada DPR.  Jalan untuk sanggup mendikte dewan perwakilan rakyat ya partai. Karenanya siapapun yang ingin menjadi pimpinan KPK harus menerima restu pimpinan Partai yang menguasai bunyi lebih banyak didominasi di DPR. Makanya jangan kaget jikalau kasus besar politisi/kader partai yang balasannya masuk bui yaitu mereka yang sudah delisting dari Partai atau orang yang akan removed dari Partai. Selagi orang itu didukung oleh Partai maka KPK akan membiarkan kasus ini mengambang dan menyanderanya hingga posisi Partai berubah. Makara , KPK itu yaitu serpihan dari senjata elite politik untuk membunuh lawan politiknya. Ya tebas pilih.! Apakah petugas KPK bersih? Tanyalah kepada siapapun yang pernah berafiliasi dengan KPK, baik sebagai saksi maupun keluarga terdakwa maka anda akan merinding mendengarnya.  Bagi pimpinan KPK yang mencoba melawan arus maka mereka akan menghadapi mesin buldoser politik yang penah membuat seorang Ketua KPK Antasari masuk bui selama 20 tahun dengan kesalahan yang “diragukan”.

Seorang sobat lawyer menyampaikan kepada saya bahwa KPK kini ini adalah  serpihan dari konspirasi elite partai kala pemerintahan SBY. Tentu misinya yaitu menyelamatkan kasus besar. Itu sebabnya Jokowi tidak mempercayai seratus persen para pimpinan KPK lantaran semua tahu bahwa Pimpinan KPK punya hutang dengan rezim sebelumnya dan tersandera oleh Pimpinan Partai terutama PD. Sikap terburu buru Jokowi menentukan Kapolri lantaran beliau juga tahu bahwa Kapolri kini serpihan dari konspirasi Partai sebelumnya. Sementara desember tahun ini pimpinan KPK akan diganti dan Jokowi tidak begitu yakin koalisi partainya sanggup menentukan orang orang yang sempurna sesuai denga visinya di KPK. Makanya transaksi tidak sanggup dielakan, deal  terjadi. Apa itu ? KPK diambil KMP namun Polisi diambil Jokowi. Kelak KIH akan mendukung terpilihnya pimpinan KPK sesuai versi KMP dan kini KMP mendukung Budi Gunawan pilihan KIH sebagai Kapolri. Namun deal ini ternyata tidak melibatkan PD. Itu sebabnya hanya PD dan PAN yang tidak baiklah terpilihnya Budi Gunawan sebagai Kapolri. Keliatannya ada beberapa elite KMP dari PKS, Golkar dan Garindra yang kecewa dengan PD.  PD tentu tidak tinggal diam. Tidak sulit menerima bukti menimbulkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Mengapa ? Semua pimpinan Polisi Republik Indonesia terlibat rekening gendut kecuali “Polisi tidur”. Bukti itu ada di Polisi sendiri ( maklum Kapolri orang PD). Perang berlanjut, kita liat nanti hasilnya. Politik itu dinamis dan niscaya ada solusi terbaik tanpa membuat ada yang kehilangan muka dihadapan rakyat.

Yang niscaya Jokowi hanya akan mendapatkan Kapolri yang terpilih sesuai dengan prosedur yang diatur dalam UU. Siapapun yang jadi KaPolri bukanlah lantaran beliau higienis tapi beliau mau bekerja dengan sasaran yang ditetapkan Jokowi dan loyal. Tak penting siapapun itu, termasuk Budi Gunawan atau bukan. Yang niscaya ketika kini satu satunya calon Kapolri yang dikenal loyalis Jokowi yaitu Budi Gunawan lantaran ia dibina oleh PDIP dan mantan ajun Megawati. Budi Gunawan punya kartu truf untuk memaksa KPK menuntaskan kasus yang menggantung dan sekaligus membersihkan Polisi Republik Indonesia dari orang orang loyalis PD/SBY. Kedepan, Jokowi lebih focus menegakkan keadilan dan membrantas Korupsi lewat perbaikan system terhadap forum yang secara Undang-Undang Dasar menerima mandate,yaitu POLRI dan Kejaksaan. Contoh Kejaksaan dibawah Pimpinan HM Presetyo (kader Nasdem) telah membentuk Satgasus P3TPK (Satuan Tugas Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi) dengan melibatkan 100 orang jaksa terpilih yang sesuai dengan standar KPK, yang sebelumnya mereka  ditugaskan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Diharapkan Kapolri yang terpilih juga punya agenda khusus untuk membrantas Korupsi. Bagaimana dengan KPK? KPK akan sama menyerupai kala SBY banyak bicara sedikit kerja. Banyak yang jadi tersangka tapi sedikit yang masuk penjara. Ya jadi anjing pengembala para Elite Partai untuk mengeliminate kader yang rakus tak mau berbagi..

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait