Ketika di luar negeri ,di sebua hotel bintang 5, ada tiga orang laki-laki berbaju gamis dan berjanggut menanti di depan pintu lift. Ketika pintu lift terbuka, sobat saya menahan saya untuk tidak masuk sama sama mereka dalam satu lift.
“ Mengapa kita engga masuk dalam lift “ tanya saya bingung.
“ Saya terlalu renta untuk menghadapi hal yang tak terduga.”
“ Maksud kau ?
“ Wajah mereka mengingatkan saya wacana pelaku teror, pasukan jihad”
“ Menurut tafsir Jihad bukan kekerasan, ibarat pikiran kamu”
“Tapi kenyataanya orang lain berkata jihad itulah yang membenarkan bila orang yang di anggap kafir atau murtad di bunuh. Tiap tafsir sanggup dibantah tafsir lain. Kepada siapa saya sanggup minta kata simpulan wacana apa sebetulnya yang diperintahkan agama?
Saya terdiam...
Jarak antara kekerasan dan perilaku yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa senti—seperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang sewenang-wenang dipergunakan dalam bertikai. Kita tahu, riwayat agama-agama tak higienis dari darah dan kebengisan. Tentu saja tak hanya agama: yang brutal terjadi tiap kali iman termakan jadi totaliter, ketika anutan di jejalkan ke segala pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para andal agama—sebagaimana kaum ideolog—merasa diri jadi penyambung pengecap Yang Maha Sempurna. Yang sering di abaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan wacana kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan wacana ”yang sempurna” ini hanyalah fantasi wacana utopis, pada hakikatnya lahir dan tumbuh dari rasa risau wacana dunia yang apa boleh buat cacat. Ketika yang cacat tak kunjung sanggup di hilangkan, iman pun membentuk diri dengan membuat apa saja yang harus di kutuk dan risikonya di binasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si ”kafir”, si ”revisionis”, ”si komunis”, ”si liberalis”….
"Fundamentalisme agama lebih berbahaya… lantaran ia tak berbentuk, dan bergerak ke banyak arah. Fundamentalisme memperoleh pengikut di daerah yang paling tak terduga. Ia menyatakan diri dalam bentuk yang acak dan sangat massive. Dengan secuil firman Allah, benci sanggup jadi advertensi dahsyat. Jika kau teriakkan rasa muak, geram, dan tak sabar kau kepada sekelompok manusia, dengan teriakan yang cukup keras, kau akan menarik perhatian orang ramai. Kamu bahkan akan sanggup dukungan. Sejarah juga mencatat, mereka itu mengisolasi diri, mengakibatkan dirinya tak kelihatan, merawat khayal atau phantasma-nya, menyimpan tenaga, dan menanti hingga saatnya datang. Sehingga akan ada selalu orang-orang yang mengakibatkan nafsunya sebagai dasar mentafsirkan firman Tuhan untuk menjadi pemicu bahwa kekerasan dengan pemaksaan kehendak itu di benarkan. Mereka ialah sampah dari peradaban insan yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang seharusnya cinta dan kasih sayang sebagai tautnya dengan Tuhan." Kata teman
" Mengapa ?
“ Mereka tak melihat hidupnya berharga, dan tak memandang hidup orang lain berharga pula. Maka ketika dikala itu tiba dan ia menggebrak, ia siap membinasakan orang lain. Mereka punya agama yang cukup untuk membuat mereka membenci, tapi tak cukup untuk membuat mereka mencintai” Katanya.
Saya terdiam...
Saya teringat sejarah. Saat kejatuhan Usman bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang di angkat ke kedudukan pemimpin umat pada tahun 644 itu–melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima orang–berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang Islam sendiri yang bersepakat memberontak. Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya terpaksa “bertahan dua malam lantaran tidak sanggup dikuburkan”. Ketika mayat itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja tidak boleh menyalatinya. Jasad orang renta berumur 83 itu bahkan diludahi dan salah satu persendiannya di patahkan. Karena tak sanggup di kuburkan di pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah pekuburan Yahudi.
Tak di ketahui dengan niscaya mengapa semua kekejian itu terjadi kepada seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Dalam kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 30.500.000 dirham dan 100.000 dinar. Kaum “Islamis” tak pernah menyebut insiden penting itu, tentu. Dan tentu saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu menawarkan ada yang kurang dalam aturan Islam: tak ada pegangan yang mengatur cara mencegah seorang pemimpin supaya tak menyeleweng dan bagaimana pergantian kekuasaan dilakukan.
Ketika Usman tak hendak turun dari takhta , ia mengatakan, “Demi Allah, saya tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”, orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana di sebut dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari teladan dari masa kemudian bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. “Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,”. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman–lalu membunuhnya, kemudian menistanya.
Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi dengan rasa cemas yang sangat. Orang menggunakan dalih agama untuk mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebetulnya mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta. Itu sebabnya laris mereka begitu sewenang-wenang dan begitu bengis.
Pada tahun 661, sesudah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, ialah orang yang di kenal sangat taat dalam aqidah.Ia spesialis ibadah, andal shalat, shaum, dan penghafal Al-Qur’an. Namun lantaran karam dalam fitnah Khawarij, ia menjadi pembunuh ponakan yang sekaligus menantu Rasul. Khawarij mempunyai sekian sifat sebagaimana Rasulullah sabdakan. Mereka ialah kaum yang banyak membaca Al-Qur’an tetapi tidak memahami apa yang dibaca. Bahkan memahaminya dengan pemahaman yang menyimpang dari kebenaran. Ali Bin Abithalip khalif ke-4 itu wafat sesudah dua hari kesakitan. Ibnu Muljam di tangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kakinya di penggal, matanya di cungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya dibakar. Kekerasan di balas kekerasan. Selesaikah ? Tidak.
Ketika pada kala ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri (juga keyakinan orang lain) wacana kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif hingga ke kuburan. Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu mayat yang agak utuh, mayat itu pun di dera, di salib, di bakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi…. Itu sebabnya, bahkan sekian kala sesudah “Si Jagal”, orang macam Ahok di ancam harus dibunuh. Karena Ia mempersoalkan keabsahan firman Allah di pakai memprovokasi orang dalam memilih pilihannya di Pilgub. Ia mengusik komoditas sekelompok orang yang kaya raya lantaran firman Allah laris di jual untuk meningkatkan rating TV dan onkos naik panggung yang enam digit, juga sanggup mengedorse orang jadi penguasa..
Dalam sejarah Islam—sebagaimana yang umumnya sudah diketahui. Jika ”Islam” ialah nama bagi sebuah peradaban, yang terjadi ialah sebuah riwayat panjang wacana arus yang surut. Penyair muslim kelahiran India, Hussain Hali (1837-1914), yang menggambarkan bagaimana peradaban yang pernah jaya pada kala ke-8 itu risikonya ”tak memperoleh penghormatan dalam ilmu, tak menonjol dalam karya dan industri”. Yang kemudian berlangsung ialah Islam yang hanya sibuk dengan urusan langit dan lupa akan bumi yang mengharuskan bersaing mendapatkan kemakmuran dengan jerih, iktiar atas dasar iptek. Tanpa itu tak lebih hanyalah kumpulan orang yang tak henti menyalahkan siapapun dan terpinggir dengan sendirinya dari kemajuan zaman
“ Akankah ada perubahan sesuai keyakinan, yang pernah menakjubkan ketika kali pertama di perkenalkan oleh Rasul? ' Kata sobat saya.
Saya percaya, Islam akan selalu indah bagi siapa saja dan solusi bagi apa saja, apalagi bila ia menggenggam iman dan percaya bahwa Allah Maha Pengasih Penyayang. Hanya saja bagi segelintir orang islam, mereka lupa akan sejarah. Bahwa upaya teror , kekerasan, kebencian tidak pernah sukses melaksanakan perubahan ibarat tafsir yang ia percayai. Mereka tidak pernah sanggup berguru dari sejarah dan mendapatkan hikmah untuk merubah dirinya menjadi agent cinta. Tapi saya sadar, mereka akan sulit untuk bersikap demikian. Terutama ketika mereka mendapatkan anutan bahwa dunia hanya sanggup beres lantaran mereka. Maka bom di ledakkan, chaos tercipta, nirwana yang kekal di janjikan, jihad janjkematian jadi langkah awal dan akhir. Dan selebihnya beku, tanpa di sadari merekalah penista agama sesunggunya, lantaran mereka merusak kemuliaan islam yang seharusnya menjadi rahmat bagi semua.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/