Kerakusan...



Suatu ketika bertemu taman lama. Dia berkarir di Hangseng, Bursa Hong kong. Usianya belum 40, namun kedewasaan tercermin dari kematangan jiwanya. Walau ia tidak punya suami namun di apartement nya menampung dua orang anak asuh dari Vietnam. Mungkin kesamaan chemistry kami bisa dekat walau jarang ketemu alasannya kesibukan masing masing.  Ingat engga , katanya. Tahun 80 an ada film yang berjudul Wall street. Film ini diangkat dari banyak sekali sumber kisah nyata, kisah insider trading, tokoh raksasa kejam semacam Gecko yang hanya peduli meraup uang besar dalam waktu singkat, dan juga intrik pasar saham semuanya memang ada. Karakter Gecko sendiri konon dibentuk untuk menggambarkan tokoh semacam Carl Icahn, Ivan Boesky, Michael Milken, dan lain Artikel Babo. Pemerhati Buffett mungkin kenal dengan Boesky, ia dikenal sebagai lawan Buffett dalam mengakuisi Scott & Fraser, perusahaan penerbit World Book Encyclopedia. Manajemen Scott & Fraser lebih menentukan Buffett sebagai sosok pelindung manajemen daripada Boesky yang perusak. Milken dikenal sebagai raja obligasi sampah (junk bond), ia dieksekusi 10 tahun dalam kasus insider trading. Stone, sang sutradara , katanya menciptakan film ini juga sebagai pengabdian untuk ayahnya, seorang pialang saham di era Great Depression

Ya, berdasarkan saya, kisah yang diangkat film ini merupakan sisi jelek pasar investasi di bursa. Semua orang mungkin akan berusaha menghindari kejahatan finansial menyerupai yang terjadi di film ini. Tapi menurutnya, ironinya, kita selama ini mendapatkan konsep besar bahwa untuk kaya dalam berinvestasi ialah dengan cara yang digambarkan di film Wall Street ini. Tiap kali ”kapitalisme” tampak guncang dan buruk, tiap kali Wall Street terbentur,  cara menyederhanakan soal, menampilkan dahsyatnya keserakahan manusia. Di sana Gekko, diperankan Michael Douglas, menegaskan dalilnya: rakus itu bagus. ”Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil. Rakus itu… menandai gerak maju manusia.” Tapi rakus ialah fiil pribadi-pribadi, sementara ”kapitalisme” tak cukup bisa dikoreksi dengan menciptakan orang insaf. 

Tapi berdasarkan saya, rakus juga bisa lahir di luar Wall Street. Ia tak hanya melahirkan ”kapitalisme”.Memang ada sesuatu yang amat rumit hari-hari ini. Seperti mantra, menyerupai makian, kata ”kapitalisme” kini meyakinkan hanya alasannya dampaknya bagi pendengar, bukan alasannya definisinya yang persis. Juga kata ”sosialisme”. Juga kata ”pasar”, ”Negara”, dan lain-lain yang tak berseliweran di antara kita. Kita sering tak menyimak, pengertian itu kini pada retak, nyaris rontok. Setidaknya semenjak Juli 2008 yang lalu. Majalah The Economist melukiskan adegan dramatik yang terjadi di sentra kekuasaan Amerika Serikat, negara kapitalis papan atas itu: ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seperti ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang gres timbul….” 

Hari itu Paulson, pembantu Presiden Bush, mengungkapkan rencana daruratnya buat menyelamatkan Fannie Mae dan Freddie Mac, dua bisnis raksasa dalam bidang pendanaan hipotek yang tak bisa lagi membayar kewajibannya US$ 5,2 triliun. Pemerintah menggunakan kata ”conservator-ship”. Pemerintah AS mengambil alih perusahaan itu—kata lain dari ”nasionalisasi”, sebuah langkah yang menyerupai apa yang pernah dilakukan di Indonesia dan akhir-akhir ini di Venezuela. Tapi ini terjadi di suatu masa, di suatu tempat, di mana ”pasar” dianggap punya daya memecahkan persoalannya sendiri. Ini terjadi di sebuah era yang masih meneruskan anutan Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama jelek dengan soal itu sendiri”. Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya ialah siapa yang mau ambil untung harus berani mendapatkan kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih keuntungan di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah? Di situlah ”kapitalisme” meninggalkan prinsipnya sendiri. 

Dia tersenyum. Tapi tak berarti ”kapitalisme” di Amerika berhenti sejenak. Memang tindakan nasionalisasi di sana—terakhir dilakukan terhadap perusahaan asuransi raksasa AIG (American International Group)—menunjukkan kian besarnya tugas ”Negara” dalam perekonomian. Namun kita perlu lebih saksama. Sebab yang terjadi sebetulnya sebuah simbiosis yang tak selamanya diakui antara ”Negara” dan ”pasar”. ”Nasionalisasi” terhadap Fannie dan Freddie berarti sebuah langkah menyelamatkan sejumlah pemain pasar dengan dana yang dipungut dari pajak rakyat. Dengan kata lain: yang dilakukan Pemerintah AS ialah sebuah ”pemerataan” kerugian, bukan ”pemerataan” hak. Hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: berdasarkan laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang ramah kepada mereka—termasuk ketika gejala keambrukan sudah terasa. 

Tapi berdasarkan saya, bila ”Negara” dan ”kapital”, ”pemerintah” dan ”pasar” ternyata tak sepenuhnya lagi bisa di pisahkan dengan jelas, apa yang luar biasa? Bukankah semenjak masa ke-19 Marx menawarkan bahwa ”Negara” selamanya ialah sebuah kekuasaan yang memihak kelas yang berkuasa? Dikatakan secara lain, bukankah ”Negara” tak hanya terdiri atas ”apa”, melainkan ”siapa”? Tapi dilema tak selesai hanya dengan satu tesis Marx. Sejarah politik makin tak simpel menentukan bagaimana sebuah kelas sosial merumuskan identitasnya—terutama ketika kaum pekerja bisa tampil lebih ”kolot” ketimbang kelompok sosial yang lain, dan ”ketidakadilan” tak hanya menyangkut ketimpangan dalam mempunyai alat produksi. Mau tak mau, para analis dan pakar teori harus berhenti menyerupai beo yang pintar, dan berhenti menggunakan mantra dan makian ketika ”kapitalisme” dan ”sosialisme” begitu simpel dikatakan. Itu tak berarti api awal yang dulu memperabukan perang purba itu, perang yang melahirkan mantra dan makian itu, telah sirna. 

Sambil menghabiskan wine di gelasnya ia berkata bahwa selama ketidakadilan menandai rasa sakit sejarah, api itu masih akan memperabukan dan perang masih akan berlangsung. Selama sejarah belum berakhir dalam mengisi pengertian yang disebut Etienne Balibar sebagai égaliberté, paduan antara ”keadilan” dan ”kebebasan”, perang tak akan padam.  Perang itu, tak selamanya dengan darah dan besi, ialah usaha politik. Ketidakadilan tak bisa hanya bisa diselesaikan dengan administrasi, alasannya manajemen ”Negara” selamanya akan terbatas dan terdorong ke arah contoh yang cepat jadi aus. Ketidakadilan juga tak akan bisa diselesaikan dengan perbaikan kebijaksanaan pekerti, dengan mengubah atau mengalahkan orang macam Gekko. Apalagi pergulatan ke arah keadilan dan kebebasan tak hanya terbatas dengan mengutuk Wall Street. Kita tak cukup jadi Oliver Stone. 

Dengan tersenyum saya menegaskan perilaku saya bahwa konsep bahwa biar sukses kita tidak harus melaksanakan apa saja buy low sell high, created the Future of an Illusion and take upfront. Sebetulnya tak perlu harus melaksanakan insider trading. Ada begitu banyak investor yang sukses bahkan dengan metodologi konservatif, hati-hati, cenderungnya memang perlahan dan membosankan. Untuk menjadi sukses menyerupai Buffett pun tak perlu harus melanggar aturan. Dalam lanjutan film yang diluncurkan tahun 2010, money never sleep , Stone tetap mengangkat kisah yang mirip, dan tentu sudah tidak terlalu fantastis lagi. Tapi itulah pasar investasi. Media tetap menceritakan kisah pertarungan dan balapan yang sama. Buku-buku investasi diterbitkan lebih berisi perihal peramalan dan mengalahkan pasar daripada buku mempelajari bisnis yang baik yang berlandaskan kepada kerja keras dengan produk penemuan dan pabrik terbangun. Dunia investasi 'papers " memang pada kesannya menciptakan dunia terjerat krisis financial karenanya. 

Padahal pokomasalah finansial dunia mungkin bukan di sana. Masalah financial ialah KERAKUSAN . Ketika orang meng create delusi lewat produk investasi yang menjanjikan masa depan tanpa kerja keras dengan keuntungan berlipat, ketika itulah komunitas rakus yang pemalas terbentuk, kelak mereka akan berurai air mata dan terkapar diladang pembataian..Wallstreet tetap berwajah zombi namun akan selalu mengundang orang untuk mendekat. Karenanya  sebaiknya, jangan terjebak dengan kekayaan tanpa kerja keras. Karena ini akan membuatmu menikmati hidup tanpa nurani. Punya ilmu tanpa kemanusiaan. Memiliki pengatahuan tanpa karakter. Berpolitik tanpa prinsip. Melakukan bisnis tanpa moralitas dan niscaya beribadah tanpa pengorbanan. Jangan takut dengan bisnis yang harus kerja keras walau hasilnya lambat yang kadang harus menghadang resiko, alasannya dari itu kau akan tahu arti bersyukur dan tahu arti mencitai kehidupan ..Kami setuju soal itu dan mengakhiri pertemuan itu untuk saling mendoakan biar tetap istiqamah di kawasan ramai.

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait