Meburu Harta (18)

Aku gres saja menerima telepon dari bank di Singapura, bahwa ada kiriman uang yang masuk ke rekening offshore-ku. Pengirimnya yakni forum investasi di Hong Kong. Aku merasa lega ternyata team dari pihak Chang menepati janjinya sehabis cukup lama menanti. Aku minta kepada banker biar dana itu di cadangkan untuk pelunasan hutang atas nama Special propose company milik Budiman. Aku segera menghubungi lawyer dan agentku untuk mengkeksekusi rekeningku untuk tujuan pelunasan hutang dan pastikan SBLC sebagai collateral ditarik. Walau Tomasi sudah meninggal namun kesepakatan harus saya penuhi, yaitu membayar hutang.
Aku segera memesan tiket ke Singapura dan tidak berencana untuk menginap. Aku  hanya ingin bertemu dengan team yang akan bertugas mengatur penyelesaian hutang Budiman. Aku perkirakan, cukup dua jam di sana. Setelah itu saya sudah bisa kembali lagi ke rumah. Karenanya saya merasa tidak perlu berpamitan kepada istri.
Tanpa ada firasat apa pun, saya keluar dari Changi Airport dengan langkah ringan. Tiba-tiba seorang perempuan tiba menghampiri dan berkata, “ikuti saya.” 
Aku terkejut lantaran saya tidak pernah merasa mengenal perempuan ini sebelumnya. “Anda bisa lihat di depan pintu lift itu,” kata perempuan itu sambil mengarahkan wajahnya ke arah lift. Ada dua orang laki-laki berbadan tegap. “Mereka bersenjata. Ikuti saya dengan tenang. Maka semua akan beres,” tegas perempuan itu setengah memaksa.
Ketika masuk ke dalam elevator, dua laki-laki tadi mengapit ku di kiri dan kanan. Aku hanya membisu sambil berdoa di dalam hati. Semoga saja tidak terjadi apa-apa, walau saya tak bisa menafikan firasat ihwal sesuatu yang jelek bakal menimpaku. Ketika keluar dari lift, salah satu laki-laki tegap itu menutup mataku dengan kain hitam. Selanjutnya, giliran kedua tanganku yang dilipat ke belakang dengan kasar.
“Dudukkan ia di dingklik itu,” terdengar bunyi tegas si wanita. Sepintas kemudian kain epilog mataku dibuka. Aku memperhatikan lingkungan  sekitar, mencoba mengenali tempatku di sekap. Sepertinya ini di basement. 
Kemudian mereka melucuti pakaianku satu persatu sampai  benar-benar bugil. Di depan ada seperangkat alat yang tidak pernah kulihat. Baru kutahu fungsinya, ketika alat itu mulai disambungkan dengan kabel ke tubuhku, tepatnya di selangkangan. Apa yang akan mereka lakukkan dengan listrik ini? Aku sedikit gentar namun berusaha untuk tetap tenang. Dalam hati kusebut asma Allah berulang-ulang.
“Kami tidak punya banyak waktu. Makara jawab pertanyaan kami dengan singkat dan jelas. Di mana dokumen itu Anda simpan?” tanya perempuan itu singkat. Dua laki-laki tegap tadi, berdiri sigap di sampingku.
Aku menyadari bahwa pihak yang kuhadapi kini yakni group raksasa yang sangat berkepentingan dengan dokumen yang ada di tanganku. Ancama kematian telah begitu dekat. Inilah resiko yang harus kuhadapi, menyerupai peringatan Amir sedari awal. 
Namun, sungguh saya tidak pernah membayangkan akan menyerupai ini jadinya. Aku yakin mereka tidak akan membunuhku sebelum mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kecuali bila alat yang tersambung dengan kabel di selangkanganku bekerja dan berhasil memaksaku untuk bicara.
Aku membisu tanpa bunyi apapun. Mataku terpejam. 
“Apakah kau mengerti apa yang saya katakan?” teriak perempuan itu garang. Aku tetap diam. Berkali-kali perempuan itu berteriak namun jawabku  tetap sama, diam! Beberapa ketika kemudian saya mencicipi sakit yang teramat sangat mulai menyebar ke seluruh tubuh. Berawal dari selangkangan, kemudian ke otak dan kesudahannya ke seluruh tubuh. Alat itu bekerja dan saya sama sekali takberdaya. 
Sekejap kemudian, tubuhku serasa melayang ke udara menuju sebuah bulat cahaya putih yang berkilau. Tubuhku terhisap ke dalam bulat cahaya itu, tapi kemudian tertahan oleh tangan seseorang yang mamagut diriku dengan kuat. Orang itu yakni Darsa. 
“Belum saatnya kau pergi ke sana,” kata Darsa sambil menunjuk bulat cahaya itu. “Misi kau belum tuntas,” sambungnya.
Aku melihat diriku sendiri terbujur lemas, dikelilingi dua orang laki-laki dan satu wanita. Mereka sedang berusaha memperlihatkan kejutan listrik pada jantungku.
“Oh, Tuhan. Kita terlalu keras menyiksa dia. Kita lupa satu hal bahwa laki-laki ini bukanlah seorang biro profesional. Alat ini tentu terlalu keras untuknya,” kata perempuan yang tadi menginterogasiku.
Aku menyaksikan mereka sibuk memberi pertolongan kapada jasadku. Dan ketika itulah, sekonyong-konyong ada bunyi berdebam, pintu ruangan terbuka, dua orang laki-laki berkulit kuning masuk dan melepaskan tembakan. Kejadian berlangsung begitu cepat. Dua orang laki-laki dan seorang perempuan yang tadi menyiksaku kini terkapar dan bersimbah darah.
Darsa membisikkan sebuah kata, “saatnya kembali ke tubuhmu. Ikutilah dua orang laki-laki berkulit kuning tadi. Mereka yakni takdirmu. Jemputlah!” Aku mencicipi sakit yang teramat sangat, ketika ruhku terhisap ke dalam pusaran waktu. Dan saya telah kembali ke dalam raga.
“Nadinya masih berdetak. Dia masih hidup,” kata salah satu laki-laki kepada temannya kemudian membopongku keluar dari ruangan. Antara sadar dan tidak, samar-samar  saya melihat dari balik pundak laki-laki yang menggendongku. Mereka sedang menyusuri sebuah lorong yang diterangi lampu neon. Bayangan cahaya putih berkilat-kilat menyilaukan. Aku memicingkan mata, sentara saya sama sekali tidak tahu kemana mereka akan pergi. Pria itu  menurunkanku sebentar ketika hingga pada tangga besi yang menjulang ke atas. Dua laki-laki tadi mengikat tubuhku dengan seutas tali. Salah satu dari mereka menaiki tangga. 
Aku mencicipi tubuhku terangkat ketika laki-laki yang sudah hingga di atas menarikku. Pria itu kemudian memelukku ketika hingga di atas. 
Sepertinya kini saya berada di samping landasan pacu. Ternyata lorong tadi berada di bawah landasan pesawat terbang. Tidak jauh dari daerah kami keluar, sudah menanti sebuah kendaraan beroda empat yang menjemput. Seorang laki-laki keluar dari mobil, berlari ke arah kami dan segera membopongku. 
Sementara laki-laki yang tadi menarikku keluar masih menunggu temannya hingga di atas. Lalu menyusul, berlari menuju kendaraan. Semuanya bergerak cepat dan taktis tanpa suara. Aku berbaring lemah. Hanya mataku yang sanggup kugerakkan, itu pun hanya bisa melihat dengan samar. 
Kendaraan yang kami tumpangi melaju menuju daerah parkir pesawat jet pribadi. Aku dibaringkan di dalam sebuah pesawat.  Salah satu laki-laki di sana memberi suntikan ke tubuhku. Lalu gelap!
***
Kepalaku pening. Aku mencoba membuka mata namun begitu berat. Aku tak mendapati apa pun, kecuali sesuatu yang berwarna putih. Semua serba putih. Yah, saya berada dalam sebuah ruangan  serba putih.
“Dia sudah siuman. Detak jantung dan darahnya sudah stabil,” terdengar bunyi perempuan dengan pakain serba putih berbicara lewat telepon. Wanita itu berdiri di samping daerah tidurku. 
Tak berapa lama, seseorang yang kuperkirakan berumur limapuluh tahun, masuk ke dalam ruangan. “Selamat tiba kembali, Jaka,” sapanya. Dia seorang perempuan paruh baya yang masih terlihat cantik.
“Di mana saya sekarang?” saya memegangi kepala dan menatap heran perempuan di sampingku.
“Kamu berada di daerah yang aman,” jawab perempuan itu tersenyum.
“Oh ya?”
“Ya.” Wanita itu kemudian memegang keningku. “Lihatlah siapa yang datang,” katanya kemudian sambil menunjuk pintu ruangan yang terbuka.
“Oh, Honey. Puji Tuhan, kau sudah siuman,” Catty tiba dan memelukku.
“Catty?”
“ Ya, Honey.”
“Bagaimana kau bisa ada di sini?”
“Panjang ceritanya. Istirahatlah dengan nyaman. Yang penting kini kau sudah siuman.” Catty berlinang air mata. Telapak tangannya menggenggam jemariku. Wanita setengah baya tadi menyaksikan sebuah ‘drama’  dengan senyumnya yang ramah.
Aku kembali tertidur sehabis perempuan berpakaian serba putih tadi menyuntikku. Ketika terjaga, aku  merasa tubuhku kembali segar. Sakit di selangkanganku tak lagi terasa. Aku  berusaha berdiri dan berjalan ke arah pintu. Langkahku terhenti ketika melintasi satu ruangan di samping kamarku, daerah di mana perempuan berpakaian putih tadi sedang asyik menonton televisi. 
“Oh, ternyata kau sudah bangun?” kata perempuan itu menghampiri sambil tersenyum.
“Aku ingin bertemu dengan Catty,” 
“Baiklah. Mari kuantar.” 
Wanita itu berjalan di sampingku. Setelah menaiki tangga melingkar, kami hingga di suatu ruangan menyerupai kamar penthouse  hotel bintang lima. Catty terkejut melihat kedatangan kami yang tiba-tiba.
“Cepat sekali kau sembuh. Obatnya bekerja dengan baik, ya?” sambut Catty kemudian memelukku.
“Katakan padaku, mengapa kau ada di sini?” kembali kuulang pertanyaan.
“Duduklah,” Catty menuntunku ke sofa dan menceritakan kejadian yang dialaminya di Madrid. 
“Ketika saya di Madrid, sehabis sekian lama berusaha mendapatkan kontak bertemu dengan keluarga Ahmed Khalik, ada seseorang menghubungiku di hotel. Aku terkejut dan kawatir bagaimana ada yang tahu saya tinggal di hotel yang sangat kurahasiakan. Tidak ada pilihan lain kecuali mengangkat telephon kamarku. Ternyata seseorang meminta untuk bertemu. Tepat di depan loby hotel, sebuah kendaraan beroda empat Limousine sudah menanti. Seorang laki-laki dengan sangat sopan membukakan pintu dan saya masuk, meski dengan sedikit ragu. Tapi ketika laki-laki itu tersenyum, hatiku menaruh percaya. Bagiku, senyum dan kesopanannya sudah cukup walau dalam perjalanan, kami tidak ada saling sapa. 
Kendaraan kami berhenti sempurna di depan loby Hotel Lusso Infantas Madrid. Pria itu dengan sigap membukakan pintu untukku. Dia minta saya naik ke  lantai empat. Di lantai empat, di depan koridor lift sudah ada dua orang pria. Semua berusia kurang dari empat puluh tahun. Dari tampilannya, terlihat bahwa mereka yakni pengawal profesional. Salah satu dari dua laki-laki itu mendekatiku, dan memintaku mengikutinya bertemu dengan bossnya.
Di sebuah ruangan yang cukup luas, duduk seorang laki-laki setengah tua. Dia berkepala agak botak. Duduk tegap di depan meja yang cukup besar. Dia sedang berbicara lewat telepon dengan bahasa Arab. Pria itu melambaikan tangan ke arah laki-laki yang mengantarku. Kemudian ia keluar dan meninggalkan saya seorang diri.  Pria berkepala botak mengulurkan tangan kearahku, memperkenalkan dirinya yang berjulukan Abdul.  Aku mendapatkan jabat tangan itu dengan cepat.
Dia mengetahui bahwa saya sedang berusaha mencari hebat waris Ahamed Khalik. Aku terkejut namun berusaha tetap damai dan mencoba tidak memperlihatkan reaksi. Menurutnya, keluarga keturunan Ahamed Khalik sudah tidak ada lagi. Delapan belas tahun lalu, satu keluarga terbunuh hingga mata rantai keluarga ini pun punah. Sampai hari ini polisi tidak mengetahui siapa di balik pembunuhan keji itu. Dia ingin tahu apa sebetulnya yang saya inginkan. 
Aku  tidak bisa terlalu lama berpikir. Di hadapanku, ada  seorang laki-laki yang hidup dikelilingi banyak pengawal. Tidak ada lagi yang perlu ditutupi lantaran pastinya, semua info tentangku  sudah diketahui laki-laki ini. Dia menyampaikan ihwal sesuatu yang sangat berharga. Sesuatu yang membuka jalanku  menuju ke timur.”
“Bagaimana ia bisa tahu?” saya bertanya dengan perasaan heran.
“Menurutnya, bulan kemudian dia  mendapatkan dokumen dari seseorang, yang katanya mendapatkan dokumen ini dari seorang ex KGB. Mereka menjual dokumen ini kepadanya. Menurutnya itu bukanlah investasi yang jelek bila melihat goresan pena yang ada dalam dokumen tersebut. Yang mengejutkan, ex KGB itu sudah meninggal.  Terjatuh dari lantai 20 hotel di Beirut. Mungkin ia bunuh diri atau entahlah. Kejadiannya bulan lalu. 
Jak,  saya sadari bahwa perburuan aset ini beresiko tinggi. Kau ingat? Rencana bertemu di Hong Kong dengan laki-laki ex KGB itu pun tidak akan pernah menjadi kenyataan. Ternyata ia sudah tewas.  Pria itu tidak butuh uang dariku. Dia hanya butuh saya menuntunnya untuk gotong royong membuka tabir di balik dokumen ini.
Abdul berdiri dan berjalan ke salah satu dinding ruangan. Di sana, tergantung sebuah lukisan besar. Lukisan yang bercerita ihwal Salahuddin dalam perang Yarmuk. Di balik lukisan itu ada lemari penyimpanan surat berharga. Setelah membuka kunci kombinasinya, Abdul mengambil selembar dokumen yang sudah nampak usang. Kemudian menyerahkannya kepadaku, “tolong Anda lihat dokumen ini,” katanya.  
Beberapa ketika kuperhatikan lembar dokumen bertuliskan Arab itu. Abdul dengan sabar menanti reaksiku. Dokumen itu berisi informasi yang sulit dipahami. Dari sekian goresan pena yang ada, hanya satu yang kalimat yang bisa ku mengerti, yaitu Danau Angsa, daerah dinasti Zou berkuasa. 
Tapi saya tidak melihat dokumen legal aset yang berkaitan dengan bullion account, Hilton Memorial. Di manakah dokumen itu? Mungkinkah sudah dijual oleh laki-laki ex KGB, ke orang lain, menyerupai dokumen yang kini ada di tangan Abdul? Tapi saya tidak percaya bila laki-laki ex KGB itu bermental culas atas aset ini. Bisa jadi malah Abdul yang menghabisi nyawa laki-laki Ex KGB, kemudian menjual dokumen itu kepada orang lain.
Kami masih saling membisu ketika tiba-tiba, terdengar ketukan di balik pintu. Pria berjulukan Abdul, menatap ke arah pintu dengan alis ditarik ke atas. Rupanya laki-laki yang tadi menjemputku di hotel sudah berada di ambang pintu. Berdiri miring hendak terjatuh. Seorang laki-laki melangkah dari balik tubuh si pengawal, kemudian mendekati kami tanpa kata-kata. Mengangkat sebuah pistol. Abdul terhenti berbicara. Ia tersungkur dengan mata mendelik. Pistol berperedam milik laki-laki yang gres masuk itu menembak sempurna di kepala Abdul. Pria itu kemudian dengan cepat mengambil dokumen dari tangan Abdul dan memasukkannya ke dalam jas. Cepat sekali kejadiannya, Jak.”
“Hmmm…. Lalu?” 
“Pria itu menatapkuku dan menarik lenganku kasar untuk mengikutinya keluar dari kamar. Di luar ruangan, dua laki-laki yang tadi mengantarku masuk, telah menjadi mayat. Pria itu terus berjalan cepat namun damai ke dalam lift dan menekan tombol lantai basement Car Park. Tidak ada bunyi apapun yang keluar dari mulutnya. Namun pancaran ketenangan meski telah menghabisi tiga nyawa, memperlihatkan bahwa laki-laki ini yakni seorang profesional. Bukan amatir. Dia tahu betul pekerjaannya dan tidak akan membunuh tanpa alasan yang jelas. Ini membuatku sedikit tenang.
Pria itu menggiringku  masuk ke dalam kendaraan beroda empat Van yang terparkir dan mendudukkanku di dingklik depan. Belum sempat saya berpindah tempat, tampak seorang perempuan muda dari seberang berjalan damai ke arah kami. Pria itu sedikit terkejut dan segera mengambil sesuatu dari balik jasnya. Tapi nahas, ia kalah cepat. Dan geraknya terhenti ketika perempuan itu melepaskan tembakan berperedam sempurna menembus jantungnya. Tubuhnya limbung dan jatuh ke lantai Car Park dengan dada bersimbah darah.
Aku melihat Catty menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tampak ia sedang berusaha mengatur nafasnya yang tersengal. Aku memegang bahunya, mencoba menyalurkan energy positif biar ia tenang. Pelan-pelan ia mulai mengangkat wajahnya dan mulai lagi bercerita.
“Aku cuma bisa diam, terperangah menyaksikan laki-laki itu tersungkur bersimbah darah. Dengan jarak hanya setengah meter dari daerah dudukku. Wanita itu kemudian menyidik kantong jas milik mayit laki-laki yang telah dihabisinya dan mengambil dokumen yang diambil dari Abdul.
Wanita itu membuka pintu kendaraan beroda empat dan memintaku keluar dari kendaraan.  Aku tersekat dan menuruti kemauannya. Beberapa detik kemudian terdengar bunyi kendaraan beroda empat menderu di balik tikungan lantai parkir, mengarah ke arah kami. Mobil  berhenti sempurna di sampingku dan perempuan itu dengan cepat membuka pintu, memberi perintah biar saya masuk ke dalam. 
Di dalam mobil, saya melihat seorang laki-laki berkumis dengan wajah kasar, memegang kemudi. Aku berusaha menarik nafas dalam-dalam, mencoba menekan perasaan dan menenangkan diri. Kau tahu, Jak? Saat itu, seakan detak jantungku berdetak sangat cepat. Sejujurnya saya sangat takut menghadapi situasi ini, namun saya harus menghadapinya dengan tegar.”
 “Iya, Sayang. Aku paham.”
“Segala gerak-gerikku diperhatikan oleh perempuan yang ada di sampingku. Mereka membawaku ke Airpot dan sampailah saya disini, Bangkok.
Catty berhenti sejenak dan menyandarkan punggungnya pada sofa. Bahunya tampak mengendur. Beberapa kali saya melihatnya mengambil nafas berat. Betapa saya iba dengan perempuan ini.
“Jaka, telah hilang lima nyawa untuk sesuatu yang tidak ku ketahui. Untuk sebuah perebutan yang tidak jelas. Siapakah mereka ini?”
Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Catty. Aku semakin sadar bahwa kami, telah  terjepit di tengah pertarungan besar. Setiap pihak saling berebut sesuatu yang entah apa. Namun semua telah terjadi dan berjalan begitu jauh. Telah banyak korban nyawa yang menjadi tumbal atas situasi yang rumit ini. Mau mundur juga sudah kepalang berair tak ada pilihan lain selain menghadapinya dengan gagah berani. 
***
“Mari bertemu dengan Madam Lyan.” Kata Catty sambil menarik tanganku
“Siapa itu Madam Lyan?”
“Wanita yang pertama kali menyapamu ketika siuman.”
“Oh!” Aku mengikuti langkah Catty keluar dari kamar. Kami  melewati sebuah lorong yang panjang dan kemudian berbelok ketika hingga di ujung. Aku menyaksikan sebuah ruangan yang penuh dengan orang yang sibuk bekerja. Dilengkapi layar monitor komputer di setiap mejanya. Di ujung ruangan nampak perempuan setengah baya melambaikan tangan ke arah kami. Sebuah isyarat biar kami mendatanginya.
“Jak, bagaimana keadaanmu?” Tanya Madam Lyan.
“Sudah lebih baik, Madam. Terima kasih.”
“Bagus,” perempuan itu tersenyum. “Anda kini berada di daerah kami. Di sinilah kami bermarkas lebih dari sepuluh tahun untuk melancarkan operasi tandingan melawan group Fidelity.”
“Group Fidelity?”
“Ya. Group yang ingin menguasai decade asset. Mereka tidak ingin ada pihak yang berhasil mengungkap eksistensi aset itu.”
“Siapa mereka itu?”
“Tidak gampang menjelaskan eksistensi mereka. Bukan saja lantaran sifat group mereka yang rahasia, tetapi juga lantaran rentang waktu pergerakan mereka yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Dan warna sejarah yang sangat panjang, melahirkan aneka macam spekulasi dan hipotesis ihwal mereka. Singkatnya, mereka yakni group yang merupakan sempalan dari kaum Yahudi dengan paham Zionismenya. Ini yakni ideologi atau gerakan sekuler-materialistis berskala internasional untuk mengkafirkan umat beragama. Makara harus bisa di pisahkan apa itu Yahudi dan apa itu Zeonisme. Yang kita perangi yakni paham zeonisme itu, bukan yahudi nya." Madam Lyan berhenti sejenak. Menuangkan the panas ke dalam sebuah cangkir dan menyerahkannya kepada kami. 
“Pada awalnya, Zionisme terinspirasi kitab yang memuat titah ihwal ‘tanah yang dijanjikan’ atau Ezrat Yisrail. Akan tetapi, dalam perkembangannya, Zionisme menjelma sebuah ideologi imperialisme gres dengan sasaran menguasai seluruh penduduk dunia, dengan jalan melemahkan semua potensi umat beragama. Termasuk agama Yahudi itu sendiri. Memang gerakan Zionis berkaitan dengan sejarah kaum Yahudi itu sendiri. Mereka yakni bangsa yang sangat unik. Bertebaran di aneka macam penjuru dunia yang dilambangkan dengan simbol angka ‘13’. Sebuah angka yang bila di jumlahkan menjadi 4, memperlihatkan harapan untuk mewujudkan sebuah kesatuan dunia. Serta panggilan bagi seluruh bangsa Yahudi yang tersebar di empat penjuru mata angin: utara, timur, selatan dan barat.
Sebagaimana kita ketahui, semenjak pembuangan di Babel, tiga kaum Yahudi mulai bertebaran ke penjuru dunia. Karena rentang waktu yang cukup lama, membuat mereka tidak menimbulkan bahasa Ibrani sebagai bahasa sehari-hari. Mereka hanya bisa memakai bahasa Yunani atau Koine. Juga oleh alasannya yakni yang sama, Alkitab Perjanjian Lama diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sekitar tahun 200 SM. Dan pertama kali terbit di Mesir dengan nama Septuaginta.  Menurut sebuah hikayat, ia diberi nama Septuaginta lantaran disusun oleh tujuh puluh hebat bahasa.
Betapa pun mereka sudah tersebar dan terpecah belah ke aneka macam kelompok, tapi ikatan kesejarahan, emosi, khususnya keyakinan pada kitab suci serta pujian sebagai bangsa pilihan Tuhan, membuat mereka menjadi bangsa yang selalu jadi pembicaraan dalam setiap panggung sejarah peradaban manusia. 
Penderitaan dan kekecewaan mereka bersatu padu dalam cinta dan harapan, hingga melahirkan suatu bangsa yang unik. Falsafah hidup mereka melambangkan jiwa yang penuh semangat menghadapi aneka macam tantangan. Pandangan hidup mereka yang bertumpu pada kekuatan, kebijaksanaan, kemanusiaan serta cinta dengan karakternya yang pandai dan licik telah melahirkan tokoh-tokoh dunia di segala bidang. Sederet nama, menyerupai Karl Marx si tokoh komunis, Friedrich Wilhelm Nietzsche yang di kenal sebagai seorang filosof kontroversial, Albert Einstein, juga Steven Spielberg, dan banyak lagi tokoh-tokoh kelas dunia Artikel Babo.”
Aku dan Catty menyimak dengan seksama setiap kata-kata yang disampaikan Madam Lyan. Sesekali kami berpandangan, untuk menyatakan keterkejutan atas sebuah fakta yang gres kami ketahui.
“Tentu ada orang yang ditokohkan, untuk bisa membangun gerakan sedahsyat ini,” sahut Catty membuat kesimpulan.
“Ya,” jawab Madam Lyan tegas. “Tokoh yang paling di kenal di kalangan mereka yakni Adam Weishaupt.  Tidak ada satu pun revolusi di kurun ini kecuali bisa dihubungkan dengan nama dan cita-citanya. Revolusi Perancis, Revolusi Bolshevik Rusia, selalu berakhir pada mata rantai pemikiran dan seni administrasi brilian pemikirannya. Dulu, Adam yakni seorang pastor Katolik. Tapi kemudian berbalik menjadi pelopor paling gigih dalam menentang agama Kristen serta agama Artikel Babo.
Adam Weishaupt juga seorang Yesuit.  Dia yakni profesor di bidang aturan dan mengajar di Universitas Ingolstadt, Bavaria, Jerman hingga tahun 1770. Kekecewaannya terhadap dogma-dogma Kristen Nasrani membuatnya keluar dari jabatannya sebagai pastor dan mulai mengabdikan diri pada gerakan Zionis. Sebuah gerakan yang bercita-cita mendirikan satu pemerintahan tunggal dunia, yang akan menegakkan martabat insan dengan cara menghapuskan semua fatwa agama di muka bumi, terkecuali paham-paham atau ideologi hasil pemikiran manusia.  Jabatannya sebagai pastor dan Yesuit ia tinggalkan lantaran merasa bertentangan dengan pemikirannya yang bersifat kosmopolitan dan universalis. Inilah cikal bakal terbentuknya group Fidelity. 
Setelah keluar dari gereja Katolik, ia mendirikan jaringan konspirasi gres yang disebut dengan Luciferian  Conspiracy  serta Gereja Setan. Menurutnya, setan bukanlah makhluk yang hina, melainkan kekuatan yang melambangkan kejujuran, keberanian, dan kebebasan. Setan sebagai makhluk, telah mendapatkan pengampunan Tuhan dan sebagai bukti penebusannya setan ingin menyelamatkan manusia. Ajaran ini ditanamkan kepada para anggota mereka, bahwa paham Satanism merupakan bentuk evolusi kemanusiaan, lambang kebebasan manusia, dan meliputi seluruh jaringan dalam denyut kehidupan dunia secara global.
Selama lima tahun ia menyusun buku yang berjudul The Novus Ordo Seclorum  yang berisi konsep-konsep, doktrin, serta teori ihwal pemerintahan global.  Buku tersebut selesai ditulis pada tanggal 1 Mei 1776. Langkah-langkah strategis yang ditulis Weishaupt untuk mewujudkan ambisinya tersebut antara lain, mereka harus menguasai para pejabat tinggi pemerintahan dari aneka macam tingkatan jabatan. Bila perlu akan dipakai cara-cara kotor dengan menyogok, baik dengan uang maupun perempuan.
Mereka melaksanakan perekrutan terhadap pencetus mahasiswa potensial, yang mempunyai talenta dan dari keturunan yang unggul untuk dilatih sebagai anggota prospektif di masa depan. Pihak yang sudah terperangkap dalam jaringan mereka, termasuk mahasiswa yang dilatih dan diberikan pengetahuan khusus ihwal dunia internasional dan harapan mereka, akan diangkat sebagai biro di beberapa negara. Ditempatkan sebagai staf hebat atau seorang hebat yang mendampingi pejabat kunci pemerintah.
Mereka juga akan menguasai seluruh saluran media massa, baik media elektronik maupun cetak. Memiliki dan mengontrolnya sedemikian rupa, dan menjadikannya kanal informasi terpercaya, sehingga bisa membentuk opini publik sesuai keinginan. 
Pemikiran Weishaupt dikembangkan pula pada contoh pemikiran filosof Friedrich W. Nietzsche yang mengkampanyekan slogan ‘God is dead!’ sebagai salah satu bentuk serangan terhadap agama Kristen. Dogma Kristen yang mempertuhankan Yesus yakni iman budak yang harus dibebaskan. Manusia hanya akan bisa menjadi ‘manusia’ selama ia bebas, kuat, dan kuasa melepaskan diri dari jerat iman agama.”
“Lantas apa hubungannya dengan decade asset?” Tanyaku antusias, mencoba untuk mengorek informasi lebih dalam. Madam Lyan meneguk teh dalam cangkirnya, menatapku sejenak dan kembali bercerita.
“Pada kurun ke-18, ketika kekuatan Asia Tengah dan Cina mulai memudar, Meyer Amschel Rothchild  memanfaatkan harta milik Asia di Eropa untuk dijadikan cuilan dari sistem portfolio perbankan. Dengan kepiawaiannya membuatkan sistem perbankan ini secara turun temurun, ia sukses membangun sebuah dinasti keluarga yang sangat besar lengan berkuasa di dunia.
Berkat kekuatan dana  Rothchild-lah, gerakan diam-diam Zionis berkembang menjadi jaringan yang ‘menggurita’ di semua sektor kehidupan manusia. 
Salah satu ucapan Rothchild yang populer adalah, “Beri saya kesempatan mengendalikan ekonomi suatu bangsa, maka saya tidak peduli lagi siapa yang sedang berkuasa.”
Motto Rothchild ini memberi motivasi serta dorongan luar biasa bagi seluruh anggota mereka, untuk tidak melewatkan setiap jengkal aspek yang menggiring mereka pada diktatorisme ekonomi. Sehingga bisa menguasai dan mengendalikan pemerintahan di pelosok dunia manapun. 
Bahkan, salah satu Presiden Amerika ke-20, yaitu James Abram Garfield yang masih salah satu anggota mereka, juga berkata, “Barangsiapa mengendalikan uang atau perekonomian suatu bangsa, maka ia akan menguasai bangsa tersebut.”
“Jadi itulah sebabnya eksistensi decade asset ini akan selalu mereka pertahankan di bawah kendali dan dalam sistem mereka. Tidak boleh ada klaim dari pihak manapun,” kata Catty menyimpulkan.
“Anda memang cerdas,” Madam Lyam tersenyum kepada Catty.
“Keberadaan kami hanya untuk menjaga kepentingan lebih banyak didominasi warga negeri kami dan juga seluruh umat insan di planet bumi. Yang selama beratus-ratus tahun telah dijajah oleh gerakan raksasa ini. Kita harus berbuat sesuatu untuk masa depan yang lebih baik, lebih adil dan penuh cinta kasih. Bukankah ini tujuan universal bagi pemeluk agama manapun?” kata Madam Lyan sambil melirikku.
“Benar, Madam..!”
“Nah, sekarang,” Madam Lyan menatap kami berdua  bergantian, “apakah kalian bersedia berafiliasi dengan kami?”
Aku dan Catty terdiam. Kami  saling berpandangan satu sama lain. “Bagaimana kalau kami menolak?” tanya Catty.
Madam Lyan tersenyum. “Itu hak kalian. Kami hargai itu dan kalain boleh pergi kini juga. Tapi,” Madam Lyan berdiri dan menghampiri kami. “Mereka ada di mana-mana. Mereka juga sudah mengetahui siapa kalian. Ingat, mereka mulai mencari tahu kegagalan operasi mereka di Singapore menguasai Jaka dan di Madrid untuk mengambil Catty. Berikutnya, serangan mereka niscaya lebih taktif dan terencana. Kemugkinan gagal sangat kecil sekali walau kamipun berusaha melindungi kalian bedua.”
Kalimat terakhir terdengar menyerupai sebuah ancaman, yang membuat kami tidak punya pilihan. Pun kenyataannya memang benar bahwa kami berdua berhasil lolos dari lubang kematian sehabis menerima derma dari Madam Lyan.
“Baiklah. Kami setuju,” kataku. Catty melirikku sembari memegangi telapak tanganku. Semoga ini bukan keputusan yang salah. 
“Berikan dokumennya kepada kami dan kita akan gotong royong mencari tahu code di balik dokumen itu,” kata Madam Lyan.
“Saya menyimpannya di salah satu Bank, di Hong Kong,” kataku. “Anda bisa mengambilnya sendiri. Kunci safety box-nya atas nama Garuda dengan sandi 170845.”
“Terima kasih.” 
Madam Lyan kemudian mengangkat gagang telepon. Terdengar ia bicara dengan seseorang, “Ambil dokumen itu dan bawa kemari,” perintahnya. Madam Lyan tersenyum. “Sekarang kita akan lakukan pengamanan untuk kalian berdua.”
“Bagaimana caranya? Apakah Anda akan mengoperasi plastik wajah kami dan mengganti identitas kami?” Tanya Catty sedikit khawatir. Aku merinding membayangkan nasib harus berpisah dengan keluarga demi keselamatan diri dan keluargaku    .
“Tidak perlu. Kita akan memakai teknik pengelabuan lewat sistem mereka sendiri. Kami akan memasukan acces code ke dalam Fed System biar mereka sanggup memonitor dan secara otomatis akan mem-block code tersebut. Dengan demikian mereka akan menganggap perburuan terhadap decade asset ini sudah selesai. Anda pun bukan lagi bahaya bagi mereka.”
“Mengapa?”
“Mereka telah berhasil membuat komputer canggih yang terhubung dengan database Fed System. Makara menyerupai jaringan antar muka. Komputer ini bertindak sebagai firewall  bagi semua pihak yang mempunyai acces code decade asset. Ketika code tersebut terkunci dengan komputer tadi, maka acces code itu akan rusak. Selanjutnya pihak pemilik code tidak akan bisa lagi meng-access Fed System.”
“Oh! Sementara The Fed sebagai intitusi ‘bersih’, tidak perlu melaksanakan apapun dalam system-nya kecuali hanya menunggu ada pihak yang mengakses. Benar-benar cara derma yang canggih,” sahutku penuh kekaguman.
“Benar sekali. US Treasury tidak tahu kalau ada sistem lain yang mengatur Deposit System The Fed. Tapi tidak usah khawatir. Seseorang yang ikut merancang sistem komputer itu telah membocorkan rahasianya kepada kami. Sehingga kami sanggup memanipulasi mesin itu dengan kode palsu yang kami rancang, bukan kode yang sebenarnya,” terang Madam Lyan memandangku dengan wajah damai dan bijak.
“Tapi bagaimana caranya? Tentu mereka akan tetap mengejar kami?” tanyaku sambil menatap Catty.
“Yang mereka tahu, semua acara itu berasal dari Naga Kuning dan bukan dari Anda. Posisi Anda pun akan tetap kondusif dan tidak lagi dianggap sebagai bahaya bagi mereka.”
“Oh, saya mengerti sekarang. Luar biasa. Kelihatannya Madam sudah merencanakan semua ini dengan rapi,” kata Catty.
Madam Lyan menepuk pundakku dan Catty. “Mari ikut ke ruang operasi kami.”
Kami memasuki sebuah ruangan komputer. Temperatur ruangannya hanya 8 derajat celcius. Membuatku dan Catty kedinginan. 
“Pakailah ini untuk menghangatkan tubuh kalian,” Madam Lyan menyerahkan jaket plastik warna kuning. Sama menyerupai petugas yang ada di dalam ruangan itu.
Mereka menghadap layar monitor berukuran 2 x 6 meter. Madam Lyan memerintahkan petugas yang ada di dalam ruangan untuk mulai melaksanakan hubungan ke dalam Fed System. Diantara petugas itu kemudian sibuk melaksanakan pengoperasian komputernya masing-masing. Kemudian nampak di layar monitor, sebuah konfirmasi bahwa sistem sudah terkoneksi. 
“Lakukan sekarang,” kata Madam Lyan. Salah satu petugas memasukkan kode sandi ke dalam sistem tersebut. Terjadi penantian terhubung ke terminal database. Beberapa detik kemudian di layar monitor tertulis notifikasi, ‘Access denied’. Dan semua petugas di dalam ruangan itu pun bertepuk tangan.
“Kita berhasil mengelabui mereka. Sistem mereka mengenal acces code kita sebagai yang asli. Buktinya kita bisa terhubung ke terminal mereka dan dinyatakan ‘Access denied’,” kata Madam Lyan, tersenyum senang. 
“Nah, kini Anda bisa beristirahat. Besok orang kami akan mengantar kalian ke Airport untuk pulang. Selanjutnya biarkan kami yang akan bekerja memecahkan kode decade asset itu.”
Aku dan Catty kembali ke ruangan masing masing. “Apa kau percaya, mereka akan menemukan kode kanal itu?” tanyaku ketika hingga di ruangan penthouse Catty.
“Tidak tahu. Tapi kelihatannya mereka yakin sekali.”
“Lalu, apa pendapatmu ihwal semua ini?”
“Entahlah, Jak. Aku hanya ingin segera pulang.” Kata Catty duduk di pinggir daerah tidur.
“Aku juga.” kuhampiri Catty yang duduk di tepi ranjang, “aku tidak menerka keadaannya akan hingga menyerupai ini.”
“Aku juga. Semua ini membingungkan.”
“Catty, maaf,” sapaku lirih. “Aku harus kembali ke kamar.” Saat saya melangkah ke pintu. Catty berdiri dan menatapku sendu. “Tidurlah di sini, Jak. Please…”


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait