Hari jumat saya bertemu dengan teman yang sedang mengurus fundraising untuk perusahaan yang sudah listed di Bursa. Dia dongeng bahwa pada ketika kini sumber dana dari perbankan sudah sangat sulit didapat. Semua perusahaan besar kini berusaha mencari sumber dana alternative. Mengapa ? lantaran LDR bank sudah sangat tinggi. Kalau LDR ini tinggi lantaran prestasi bank menyalurkan dana sektor real maka itu anggun sekali. Tapi ini lebih disebabkan oleh semakin banyaknya nasabah institusi ibarat Lembaga Dapen, Asuransi, yang mengalihkan dana depositonya ke Obligasi dan bagi nasabah langsung lebih menentukan penempatan dana ke Obligasi ritel ibarat ORI. Alasan mereka bahwa penempatan dana di obligasi dan ORI jauh lebih baik dari segi keamanan walau yield nya relative sama dengan bunga bank.Namun setidaknya obligasi menyampaikan kepastian yield dalam jangka panjang. Walau terjadi penambahan volume penyaluran kredit dari sektor perbankan kedunia perjuangan namun itu tidak semuanya bekerjasama dengan investasi gres tapi lebih kepada restruktur hutang dari debitur yang terancam NPL. Menurut teman saya , restruktur hutang melalui aneka macam denah atas NPL ini terjadi sangat besar. Ini sangat berbahaya lantaran ini menjadikan bubble debt. Salah satu teman banker absurd menyampaikan kepada saya bahwa apabila di lakukan stress test perbankan secara jujur, ia yakin 90% perbankan Indonesia secara akuntasi sudah bankrut. Keadaan ibarat inilah yang membuat hampir mustahil suku bunga perbankan sanggup turun. Ingat falsafah “ semakin tinggi bunga semakin tinggi resiko’
Itu sebabnya semenjak tahun 2011 dunia perjuangan sudah mengalihkan perhatiannya kepada sumber pendanaan di luar sistem perbankan atau dikenal dengan istilah unconventional way. Sebetulnya sumber dana perjuangan diluar sistem perbankan tersebar luas dan bahkan sangat akrab dengan masyarakat ibarat rumah gadai, kreditan, rentenir, ijon. Secara tradisional kegiatan pembiayaan diluar sistem perbankan itu telah menjadi jaring pengaman sosial ditengah masyarakat golongan menengah bawah. Namun bagi golongan menengah atas denah pembiayaan diluar sistem perbankan tersedia luas. Para forum keuangan non bank yang dikenal dengan istilah shadow banking yang bertindak sebagai intermediary bagi nasabah kaya ( private maupun institusi) untuk terlibat dalam aktivitas pembiayaan. Skema proteksi yang ditawarkan beragam, dari yang biasa hingga kepada sophisticated way seperti hedge funds, money market funds, structured investment vehicles (SIV), credit investment funds, exchange-traded funds, credit hedge funds, private equity funds, securities broker dealers, credit insurance providers, securitization asset. Hampir semua nama itu tidak akan ditemukan dalam literatur akademik. Itu di create oleh mahir financial engineering yang bekerja sama dengan mahir hukum. Namun pada dasarnya shadow banking bekerja diwilayah private, mereka sanggup saja forum non bank yang beoperasi ibarat bank dan sanggup juga bukan forum non bank yang beroperasi layaknya forum non bank. Mereka bekerja memanfaatkan lope hole aturan dan hukum.
Di Amerika dan Eropa , shadow banking tumbuh subur ketika likuditas perbankan seret lantaran semakin banyak orang berhutang daripada menabung dan pada waktu bersamaan segelintir orang kaya didekati oleh shadow banking untuk mendapat keuntungan dari tingginya musim berhutang dari masyarakat. Dari itulah awalnya shadow banking membuat denah berhutang dan juga denah investasi bagi pemilik uang. Kepada debitur mereka menyampaikan “cepat dan mudah” (fast track loan ). Kepada investor mereka menyampaikan investasi dengan hasil tinggi dan tanpa resiko ( Riskless and high yield investment). Keduanya yang dipancing ialah emosi kerakusan dari nasabah. Rakus berhutang dan rakus akan laba. Sudah sanggup ditebak bahwa cara ini pada kesudahannya akan merugikan semua pihak. Baik yang berhutang maupun yang berpiutang jadi korban, dan memaksa pemerintah untuk mem bail out. Lantas siapa yang untung? Ya , yang untung dan terang menikmati keuntungan tak terbilang ialah para fund manager, underwriter, consultant financial engineering, tax consultant, legal advisory, securities agent, insurance company. Karena setiap transaksi mereka mendapat fee. Mereka tidak peduli soal masa depan yang penting masa kini mereka mendapat up front fee. Itu sebabnya turnover Shadow banking dari tahun ketahun terus meningkat. Tahukah anda bahwa nilai dana yang berputar di shadow banking melebih GDP negara yang tergabung dalam G 20. Sangat fantastik!. Artinya semakin tiggi turnover tentu semakin tinggi fee bagi pihak yang terlibat dalam proses intermediary tersebut.
Amerika dan Eropa sedang bergulat dengan aneka macam dilema semoga keluar dari krisis akhir ulah dari shadow banking. Mereka mulai membuat sistem stabilitas moneter dan sekaligus membentuk dewan supervisi. Indonesia juga semenjak tahun 2010 sudah mulai berhati hati dengan kehadiran shadow banking. OJK telah membuat aturan ketat membatasi keberadaan shadow banking. Apakah ini efektif? Seorang analis ekonom China menyampaikan kepada saya bahwa shadow banking sama ibarat pelacuran. Dia tidak akan pernah sanggup dihapuskan, apalagi nilai nilai perkawinan tidak lagi didasarkan kepada cinta kasih yang nrimo tapi lantaran materi. Artinya selagi perbankan hanya berorientasi kepada keuntungan dan menghilangkan tanggung jawab sosialnya maka selama itupula shadow banking akan tetap tumbuh dengan cara cara berbeda atas dasar private to private atau suka sama suka tidak peduli jika itu beresiko. Shadow banking di Amerika dan Eropa sudah menurun , bukan lantaran aturan tapi memang tidak lagi exciting lantaran sumber dana perbankan dipasok oleh dana stimulus pemerintah. Tapi di negara emerging market seperti Indonesia, semenjak tahun 2011 shadow banking semakin tinggi perputarannya terutama semenjak bank semakin ketat likuiditasnya. Hanya dilema waktu sistem moneter indonesia akan collapse dan jika ini terjadi akan lebih dahsyat dibandingkan krismon tahun 1998.
Sumber https://culas.blogspot.com/