Memburu Harta (11)

Aku gres saja terjaga pagi itu, tapi masih enggan untuk pribadi berdiri dari daerah tidur. Rasanya gres dua jam tidur sesudah sholat Subuh. Karena semalaman sibuk mempelajari banyak sekali dokumen yang berkaitan dengan transaksi yang sedang kuperjuangkan. Juga terlibat komunikasi panjang dengan Chang di Shanghai lewat telepon internasional. Chang meminta maaf atas dilema yang kuhadapi di Swiss. 
Aku berusaha memejamkan mata kembali namun pikiranku tidak sanggup lepas dari dilema yang sedang kuhadapi. Chang, dokumen-dokumen, The Fed, Swiss dan puzzle-puzzle itu terkumpul jadi satu. Memberi bayang-bayang yang sulit dilepaskan. Lebih-lebih ihwal sahabatku, Budiman.
Dering telepon membuatku terkejut dan membuyarkan pikiran.
“Ya?” kataku agak parau.
“Hi, saya Amir. Bangunlah! Aku punya informasi elok untukmu,” sahut bunyi dari seberang. Mendengar bunyi parau, Amir yakin saya masih terbaring di atas daerah tidur.
“Oh ya?” Aku kaget dan segera berdiri dari daerah tidur. Aku melirik jendela, tersadar bahwa matahari pagi sudah mulai menerobos masuk.  Aku tersenyum ketika istriku masuk ke kamar membawa sarapan pagi dan secangkir teh hangat.
“Ya, saya temukan cara untuk selesaikan masalahmu. Datanglah ke kantor pagi ini ya?”
“Ok!”
“Oh ya, jangan terlalu siang, alasannya yakni di atas jam 10 nanti, ada banyak tamu yang ingin bertemu denganku.”  Sambungan terputus.
Aku sanggup memaklumi, bahwa sebagai pejabat tinggi, Amir banyak disibukkan dengan banyak sekali pihak yang ingin bertemu. Dan lagi, Amir yakni orang yang sangat menghargai tamu. Baginya, tamu  harus diterima alasannya yakni tamu yang tiba itu membawa rejeki. Demikian kata Amir suatu ketika, sambil bergurau.
Namun, sebetulnya saya tidak begitu bersemangat bertemu dengan Amir. Informasi yang kudengar semalam dari Chang menyiratkan bahwa masalahnya tidak lagi menyangkut berapa nilai uangnya yang terbuang, tapi bahkan lebih daripada itu.
Chang mengabarkan, Beijing telah membentuk sebuah team untuk menuntaskan dilema ini. Chang juga memintaku untuk tetap dalam posisiku sekarang, dan tidak melaksanakan hal kolot hanya alasannya yakni dananya diblokir. Bahkan mereka berjanji akan mengganti seluruh biaya operasi yang sudah kukeluarkan. Hanya soal persahabatan dengan Amir saja, yang membuatku terpaksa memenuhi undangannya.
Kedatanganku disambut seorang sekretaris. Seorang perempuan jawa berwajah ningrat, yang selalu berusaha bersikap ramah. “Bapak sudah menunggu Anda di dalam.” Sapanya dengan ramah. Aku tersenyum sambil melirik sekilas wajah ayu itu. Di ruang kerja, nampak Amir sedang asik dengan tumpukan dokumen di atas meja. Dia pribadi berdiri dan menghampiri ketika melihat saya datang.
“Maaf, terlalu pagi ketemuannya,” kata Amir sambil menyalamiku.
“Tidak ada masalah. Tapi, saya heran, sepagi ini kau sudah sibuk dengan tumpukan dokumen. Sementara saya masih terlelap di daerah tidur. Sampai kapan kau akan terus begini?”
“Ah, saya hanya menikmati kesibukanku saja, kok. Sistem birokrasi kita memang mengharuskan saya sibuk dengan banyak sekali dokumen. Stafku butuh petunjuk dan keputusan. Makara beginilah, setiap hari saya harus membaca semua dokumen ini. Yah, memang benar-benar pekerjaan membosankan.” 
Amir duduk di bangku tamu dan kuikuti saja tanpa harus meminta ijin. Tak berapa lama, sekretaris Amir tiba dengan dua cangkir teh hangat.
“Silahkan diminum tehnya.” Amir menyerahkan cangkir padaku yang kusambut dengan ucapan terima kasih.
“Mir, saya tidak mengerti kenapa Otoritas Penyelesain Utang  harus melelang semua aset?” Tanyaku membuka percakapan.
”Ya, itu semua terkait dengan kebijakan IMF. Kita semua tahulah negara ini sedang dalam proses recovery  akhir krismon. Dan IMF bertindak sebagai dokternya.”
“Apa tidak ada lagi rasa nasionalisme sedikit pun, untuk mencari solusi selain melelang aset itu ke tangan asing? Kan masih banyak cara lain.”
“Ya tapi itulah cara yang disukai IMF. Mau apalagi?” Amir tersenyum pahit. Seakan enggan menjelaskan lebih jauh alasan di balik pelelangan aset-aset itu. Aku merasa ada yang disembunyikan. Namun tampaknya membisu yakni pilihan bijak demi menjaga perasaan teman.
“Kelihatannya masalahmu tidak sesederhana ibarat dokumen yang kau perlihatkan ke aku?” Amir mengalihkan topik. Matanya fokus menatap pribadi ke arahku.
“Mengapa?”
“Temanku dari forum keuangan multilateral yang memberi tahu.”
“Siapa?”
“Ah, tidak penting.”
“Jadi?”
“Aku hanya ingin kau keluar dari transaksi ini dan saya pastikan uang yang sudah kau keluarkan akan diganti. Juga akan ada kompensasi Artikel Babo. Kamu sanggup bebas gunakan untuk apa saja termasuk menyelamatkan perjuangan temanmu. Tapi tolong, jangan pernah lagi terlibat dalam urusan ibarat ini. Terlalu rumit untuk sanggup kau mengerti.”
Aku memperhatikan setiap gerak bibir Amir. Mencoba mencerna apa di balik kata-katanya ini, yang seolah menyembunyikan sesuatu. “Tidak semudah itu, Mir,” kataku sembari berdiri dari sofa. “Sekarang masalahnya bukan lagi ihwal rekening yang diblock, atau biaya yang sudah terlanjur dikeluarkan. Tapi lebih dari itu!”
“Memangnya apa?!” tanya Amir setengah berteriak.
“Pemilik collateral memperingatkan saya biar tetap commit dengan posisi sekarang. Seluruh dana yang sudah saya keluarkan dalam transaksi itu akan diganti. Mereka juga berjanji akan memberi komisi embel-embel untukku.”
“Jadi?”
“Terima kasih untuk bantuanmu. Aku pikir dilema ini sudah selesai.”
“Tidak semudah itu, Jaka. Kamu harus mengerti, bahwa yang kau hadapi kini yakni sebuah group raksasa yang memiliki sumber dana tak terbatas. Mereka sanggup melaksanakan apa saja. Aku minta biar kau keluar dan tidak perlu membuat perang yang kau sendiri tidak akan sanggup menghadapinya.”
“Bukan saya yang akan menghadapinya, tapi pemilik collateral.”
“Tapi tetap saja kau yang berada di garis depan. Apapun yang terjadi, kau yang akan jadi target tembak lebih dulu. Mengertilah, saya sayang kau dan inginkan yang terbaik untukmu.”
“Terima kasih. Tapi saya harus pergi, ada kesepakatan dengan putraku untuk makan siang di restoran bersama istri.”
“But!” Amir tak hingga menuntaskan kalimatnya. Melihatku tetap kekeuh, beliau pun pasrah. “Ok!”
Amir tidak sanggup berbuat banyak walau bergotong-royong beliau khawatir dengan pilihanku. Dia hanya sanggup berharap suatu ketika ada yang sanggup diperbuatnya untukku.
“Salam untuk Rizky, ya? Oh ya, sudah tingkat berapa kuliahnya sekarang?” Tanya Amir ketika mengantarku keluar kamar.
“Tingkat persiapan,” jawabku sambil tersenyum.
Dalam perjalanan menuju restoran, saya merasa ada sesuatu yang luar biasa sedang terjadi. Kata-kata Amir yang memintaku keluar dan akan memberiku dana kompensasi, sesaat sesudah bertemu dengan forum keuangan multilateral, menyiratkan sesuatu yang tidak sederhana. Tapi apakah itu?
Awalnya, Tomasi mengenalkanku dengan Chang yang memperlihatkan aset sebagai collateral untuk masuk dalam  trading program. Aset itu disimpan di salah satu bank terkemuka di Eropa, dengan nilai yang sangat luar biasa. Bahkan melebihi cadangan devisa negaraku. Chang memberiku posisi sebagai mandate  atas kepemilikan aset itu. Untuk pekerjaan ini, saya akan mendapat komisi sebesar lima persen. Jumlah yang sangat luar sanggup dan hampir mustahil saya peroleh meski dengan kerja keras seumur hidup. 
Setelah semua proses transaksi terlewati, ternyata ada penolakan dari The Fed. Upaya aturan yang ditempuh untuk menuntut hakku, tidak membuahkan hasil. Bahkan dana premium yang telah kukeluarkan turut amblas. Sedangkan keberadaan rekening trading dan aset tersebut terkunci di dalam sistem. Aku terjebak. Buntu! 
Tapi kini situasi berubah. Pihak Chang yang awalnya sangat pelit untuk mengeluarkan dana, kini bermetamorfosis pemurah. Temanku, Amir juga memperlihatkan solusi cepat. Hanya saja undangan keduanya bertolak belakang. Pihak Chang meminta biar saya tetap dalam posisi gugatan, sementara Amir memintaku keluar. Dua-duanya menjanjikan uang. Antara bertahan dan keluar akan mengatakan hasil yang sama. Lantas, manakah yang harus kupilih?
Sudah saatnya saya mulai mencari tahu apa sebetulnya di balik transaksi ini. Aku  membutuhkan seseorang yang hebat dan tahu belakang layar ini, untuk membantuku melewati semua proses ini dengan benar. Setidaknya membantuku menentukan pilihan yang tepat. Tapi siapakah dia?
Aku gres menyadari ihwal perlunya kembali kepada seseorang yang pertama kali memperkenalkanku pada transakasi ini. Setelah semua yang terjadi, saya tidak lagi sanggup mempercayai siapapun. Aku harus berusaha mengetahui sendiri, ada apa di balik semua ini. Aku tidak ingin lagi menemui pihak Chang, juga Amir sebelum saya mengetahui yang sebenarnya. I have to know about the truth! 
Anehnya, sesudah kesepakatan kerjasama dengan Chang dilakukan, Tomasi tidak pernah lagi menghubungiku. Dia seolah menghilang ditelan angin. Saat itu saya tidak peduli. Aku lebih menentukan untuk fokus menuntaskan transaksi. Aku pun mulai disibukkan dengan pencarian team profesional untuk mendukung transaksi. Ditengah segala kemelut misteri yang seakan tak terungkap, saya teringat dengan seorang sahabat usang yang juga pernah tinggal di Jakarta. Dia yakni Fernandez. Tapi, saya juga tidak pernah lagi mendengar keberadaan Fernandez. Dimana beliau sekarang?
Aku harus menghubungi Fernandez untuk melacak keberadaan Tomasi. Masalahnya, saya juga tidak tahu di mana alamat Fernandez. Dulu saya pernah coba menghubungi kedutaan Meksiko di Jakarta, tapi tentu saja data ihwal nama Fernandez terlalu banyak. Aku tidak tahu siapa nama lengkap laki-laki Meksiko itu.
Sepertinya semua jalan keluar nampak semakin menyempit. Padahal ketika ini saya sedang terjepit di antara dua pilihan. Menuruti kemauan Amir atau Chang. Dan lalu-lalang kendaraan di ibu kota ini semakin membuatku sesak. Aku terdesak dalam sebuah ruang yang tak hendak memberi pintu keluar. Tapi lihatlah itu, seorang laki-laki muda sedang menyetir kendaraan beroda empat dengan penuh keyakinan. Dengan gagahnya, beliau membawaku ke restaurant untuk menemui istriku, seorang yang telah mengatakan saya banyak arti dalam hidup ini. Terlebih lagi ketika dua orang anak, dengan bangganya telah memanggilku dengan sebutan Papa!


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait