Memburu Harta (15)

Kali pertama bertamu dengan Catty, saya mencicipi suatu getaran dalam hatiku. Ini berbeda dengan Ester. Kebersamaan yang begitu menyenangkan. Seakan sudah usang saling kenal. Walau suaminya yaitu sahabatku namun Tomasi tidak pernah kisah banyak ihwal Catty. Pun Fernandez yang juga sahabat dekatnya, tidak pernah kisah ihwal Catty. Pertemuannya dengan ku yaitu takdir yang tak bisa dielak. 
Catty percaya, bahwa pertemuan Tomasi dan Fernandez denganku sudah diatur Tuhan, hingga alhasil menuntunku masuk ke dalam perputaran decade asset sesudah dua laki-laki itu meninggal. Tentu takdir ini tidak tiba dengan sendirinya. Ada alasannya yaitu dan proses hingga saya bisa larut dalam putaran ini. Sikapku yang sangat concern ihwal duduk kasus sosial. Kepedulianku pada keadilan. Tentu tidak sulit bagi Tomasi dan Fernandez untuk membawaku masuk ke dalam obsesi mereka.
Semua orang yang terdidik dengan baik dan mempunyai hati nurani yang jernih tentu tidak sulit untuk mengetahui mana yang salah dan mana yang benar. Ketika ia tahu itu, ia akan memilih perilaku dan berusaha mencari orang lain yang bisa ia ajak kerjasama menghadapi ketidak-adilan itu. 
Kalau kini saya membuka diri dengan Naga Kuning, tentu tak lain lantaran upayaku untuk mendapatkan kebenaran. Ini perjalanan takdirku yang harus kulewati. Catty tidak bisa mendikteku bagaimana harus bersikap. Aku lebih tahu soal itu. Karena  Catty sendiri pun hingga kini tidak tahu niscaya apakah upayanya akan berhasil menebus kesalahan leluhurnya. 
Zaman ketika decade aset itu pertama kali masuk ke dalam sistem, dengan dikala ini sudah sangat jauh berbeda. Untuk melacak seberapa jauh kerusakan yang terjadi akhir decade asset ini pun sangat sulit dilakukan. Apalagi menjawab pertanyaan, apakah kerusakannya sanggup dihentikan? Catty tidak tahu. Apalagi, saya sadar kekuatan sistem yang memanfaatkan decade asset itu telah merubah aset itu dalam banyak sekali portfolio  investasi. 
Aku tidak tahu apa motivasi Cina dikala masuk dalam pertarungan ini. Apakah untuk merebut kembali decade asset itu. Atau sengaja membuat duduk kasus supaya terjadi kompromi dengan pihak yang menguasai. 
Memang Cina pada dikala kini telah menjadi negara yang sangat kuat di bidang ekonomi dan sains. Sikap Cina sulit ditebak. Karena mereka cenderung tertutup dalam perilaku dan perbuatannya. Langkah mereka gres akan diketahui lawan ketika Cina sudah berada di depan mereka menghunuskan pedangnya dengan cepat. Catty sangat yakin dari kisah kakeknya bahwa Cina hanyalah penggalan dari penguasa atas decade aset itu. Kaprikornus Cina bukanlah pemilik keseluruhan aset yang pernah tercatat ketika awal penempatannya dalam sistem. 
Harus ada catatan yang bisa menunjukan sejarah penempatan harta ini oleh dinasti yang dulu berkuasa di Cina. Tapi sayang, Dinasti yang pertama kali mengatur penempatan harta ini, tidak pernah memperlihatkan dokumen itu kepada dinasti berikutnya. Akibatnya, detail kisah ini hanya menjadi catatan gelap.
***
Ketika pintu kamar terbuka, saya berdiri dengan mengenakan rompi hitam dengan warna dasi kombinasi hitam bergaris putih, supaya keliatan harmoni dengan baju lengan panjang warna putih.  Aku membimbing Catty ke tempat duduk yang bersebelahan dengan meja kerja. Tencium aroma parfum lembut ketika Catty menghempaskan tubuhnya di sofa. Di samping ruangan, sebuah jendela dengan beling lebar menyuguhkan panorama kesibukan harbour  Hong Kong.
“Bagaimana rapat dengan Chang?” tanya Catty.
“Tidak ada yang istimewa,” saya menjawab sambil melangkah ke meja kerja.
“Mereka tidak bisa membantu apapun tanpa acces code. Kita pun tidak tahu pasti, apa benar mereka pemilik sah aset tersebut,” sambung Catty.
“Apa maksudmu?” saya mendongak, ingin mendengar klarifikasi lebih ihwal apa yang gres saja ia ucapkan.
“Ya, duduk kasus aset ini terlalu pelik untuk dipahami. Namun yang jelas, semua pihak dari beberapa negara merasa berhak atasnya. Tugas kita hanya ingin mengungkap kebenaran ihwal aset itu dan selanjutnya menghentikan pihak-pihak yang memanfaatkannya untuk mengelabui pasar uang.”
“Aku mengerti.”
“Sebaiknya kau tetap hati-hati. Bagaimanapun, dikala ini kau berada di garis terdepan dalam pertarungan gigantic ini.”
“Aku sadari itu. Terima kasih selalu mengingatkan.”
Aku memperlihatkan lembaran dokumen yang berubah, menjadi goresan pena yang sanggup dibaca sesudah terkena air. Catty memperhatikan dokumen itu dengan seksama. Matanya tidak berkedip sama sekali ketika membaca kata demi kata, dari untaian kalimat berbahasa Cina dan Arab itu.
“Luar biasa!!” Serunya tiba-tiba. “Dokumen ini menunjukan secara aktual bahwa Cina bukanlah pemilik aset itu sepenuhnya. Ada bebarapa negara yang berhak atas aset ini. Dari dokumen ini terperinci sekali bahwa Cina dahulu kala hingga dengan kala ke 16 berperan sebagai clearing house perdagangan dunia. Karena mereka menguasai armada kapal yang besar hingga sanggup menjamin suplai barang kebutuhan setiap negara dengan keharusan menyerahkan emas kepada mereka sebagai jaminan pengadaan barang. Inilah perdagangan imbal beli terbaik sepanjang zaman. Sangat adil dan teradministrasi dengan baik.”
“Yang jadi pertanyaan yaitu mengapa emas tersebut kini berada di Eropa?” Kataku memotong kisah Catty. 
“Dokumen ini menceritakan, bahwa ada semacam bank di Eropa yang sengaja dibuat Cina untuk keamanan penyimpanan emas. Karena mungkin menyimpan di dalam negeri terlalu rawan, sehingga Eropa pun dipilih lantaran alasan keamanan itu.”
“Bukankah perbankan gres dikenal pada kala 17?”
“Ya. Tepatnya sesudah jatuhnya dinasti Utsmaniyah di Turki akhir serangan Austria dan Venesia. Tentu namanya dulu bukan bank. Namun cara beroperasinya tidak jauh berbeda dengan sistem perbankan yang menimbulkan uang kertas sebagai alat tukar.”
“Lalu, bagaimana dengan dokumen yang ini?” tanyaku sambil menunjuk salah satu dokumen. “Di situ tertulis kalimat ihwal Istanbul. Ada kekerabatan apa sebenarnya?”
“Kalau saya perhatikan, tampak terperinci bahwa di balik pengaturan tata perdagangan internasional dan admistrasi sistem imbal beli yaitu bangsa Turki. Penempatan aset ini dilakukan pada kala ke 16, yaitu pada masa pemerintahan Sulaiman Al-Qanuni. Waktu itu, Dinasti Utsmaniyah menguasai Eropa. Kaprikornus mungkin masuk nalar bila Cina meminta jasa mereka untuk membantu membangun sistem perdagangan Internasional, dan menimbulkan Eropa sebagai tempat penyimpanan aset.”
Aku pun menanggapi, “atau bisa saja sebagian aset itu memang milik ex-Khilafah Utsmaniah yang dirampok secara sistematis oleh kelompok yahudi dengan cara berkonspirasi dengan elite dalam Dinasti. 
Hal ini sanggup kita lihat pada paruh kedua kala ke-16, terjadi krisis moneter dikala emas dan perak diusung ke Eropa lewat kolonial Spanyol. Akibatnya mata uang Khilafah dikala itu terpuruk; inflasi andal terjadi. Mata uang Baroh diluncurkan Khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qirsy di kala ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua kala ke-16. Dan akhir adanya korupsi, negara harus menanggung utang 300 juta Lira.”
“Wah! Semakin asyik saja pembicaraan kita. Sepertinya kita punya perhatian yang sama soal sejarah,” kata Catty semangat. Kemudian berdiri dari tempat duduknya dan melangkah ke jendela kamar hotel.
Aku memperhatikan Catty yang berada di sisi jendela. Dia berdiri dengan posisi tubuh sedikit miring dengan pandangan mata menerawang jauh ke luar jendela. Dia perempuan dengan tatapan mata lembut namun teguh pendirian. Rambutnya yang hitam dan lebat, dibiarkan terurai sebatas bahu. Sinar matahari memantul pada tubuhnya yang tegak berdiri. Membangun siluet abu-abu yang membuat dirinya tampak anggun di mataku. Dan semua itu membuatku semakin kagum padanya. Pengetahuan dan wawasannya sangat luas. Membuat pembicaraan kami siang itu semakin mendalam, ihwal Kejayaan Dinasti Islam dan peradabannya yang bisa bertahan membuat perdamaian di muka bumi selama lebih dari 600 tahun. Itu semua lantaran syariat Islam ditegakkan secara kaffah.  Keadilan dijunjung tinggi. Kebenaran dibela. Kebaikan diperjuangkan.
“Jak,” panggil Catty  kemudian. “Sekarang saya akan menghubungi contac-ku di Madrid untuk mencari tahu ihwal Ahmed Khalik yang terkait dengan aset ini. Mungkin dari sana kita sanggup menelusuri kebenaran aset ini. Saya yakin niscaya ada orang yang mengetahui sejarah keluarga Ahamed Khalik. Orang Turkey populer sangat rapi menjaga dokumen silsilah keluarga. Maklum, mereka pernah menjadi penguasa dunia.”
“Ya, saya rasa itu lebih baik. Karena itulah satu-satunya petunjuk.”
Cellphone Catty bergetar. Ada pesan singkat masuk. Dia terlihat mengerutkan kening. “Aku tidak kenal orang yang kirim pesan ini. Tidak ada nomor. Hanya nama. Pesan ini tampaknya dikirim melalui internet.”
“Apa pesannya?”
“Mungkin Anda membutuhkan jalan ke Timur? Dalam lima menit saya akan menelepon anda,” Catty membacakan pesan itu. 
“Ini tentu ada kaitannya dengan pesan yang kutempatkan di  search engine,” lanjutnya.
Lima menit kemudian, telepon selular Catty benar-benar berbunyi. Aku dan Catty saling berpandangan. Ada keraguan untuk menjawab. Dia khawatir bila ini yaitu jebakan. Namun akhirnya, saya mengangguk kepadanya, memberinya instruksi untuk mendapatkan telepon itu. 
“Datanglah ke Beirut. Saya tunggu. Saya akan menghubungi Anda lagi dalam 26 jam,” terdengar bunyi berat di seberang dan segera terputus tanpa memberi kesempatan kepada Catty untuk menjawab.
“Beirut. Dia mintaku ke Beirut. Siapa bahwasanya orang ini?” Catty mengerutkan kening.
“Aku tidak mengerti,” kataku sambil mengangkat bahu. “Apa pendapatmu?”
“Tapi orang ini menyebutkan pesan yang persis sama dengan apa yang tertulis dalam dokumen.”
Catty melihat kembali dokumen yang ada di meja. “Tentu ia mempunyai petunjuk yang sangat berarti.” Catty menatapku.
“Apakah kau akan memenuhi undangannya?” Tanyaku. Catty termangu namun matanya terus menatapku. Akhirnya ia berdiri dan memegang tanganku. “Jaka, saya harus temui orang ini. Sama menyerupai ketika saya harus menemuimu. Apapun harus  kulakukan untuk aset ini.”
Aku tersentak, dan seketika merasa kecil di hadapan perempuan ini. Begitu teguh dengan keyakinannya dan tidak kenal menyerah. Berusaha keras menjemput takdir, sebesar apapun resikonya. “Aku akan temani kamu,” kataku sembari memegang jemarinya.
“Sungguh?” mata Catty yang hitam menatapku dalam. Seolah ia ingin menyakinkan pendengarannya ihwal apa yang kuucap barusan. “Iya. Kita akan gotong royong ke Beirut.” Jawabku mantab.
“Kalau begitu, besok kita berangkat ke Beirut.”  Catty memelukku. “Terima kasih telah mau mengerti. Tuhan Maha Adil. Tomasi meninggal dan menggantinya dengan kamu. Dua laki-laki yang mungkin berbeda namun punya semangat yang sama.”
“Nah, kini kembalilah ke kamar. Istirahatlah dan besok pagi kita berangkat ke airport,” Aku melepas pelukan Catty sambil tersenyum.
***
“Kota ini seakan telah melupakan perang saudara yang pernah berlangsung lama,” kata Catty dalam perjalanan dari bandara ke hotel di daerah Hamra, Beirut Barat. Seseorang telah mengatur supaya kami tiba ke hotel itu dan menginap di sana. Semuanya dipersiapkan dengan sempurna.
“Aku rasa kurang tepat bila disebut sebagai ‘perang saudara’, lantaran terlalu banyak keterlibatan kekuatan asing. Apa yang terjadi di Lebanon bisa disebut perang Lebanon-Palestina, Lebanon-Lebanon, Suriah-Palestina, Israel-Palestina, Suriah-Lebanon, Suriah-Israel, dan Israel-Lebanon,” saya menimpali. 
Catty melirikku dan tersenyum. “Nampaknya kau cukup kenal negeri ini?” kemudian menyandarkan kepalanya ke bahuku dan memejamkan mata. Raut mukanya tampak lelah dan tegang. Aku memalingkan wajah ke samping dan menatap keluar kendaraan. Melihat pemandangan kota dengan gedung-gedung pencakar langit dan apartemen jangkung yang berantakan hampir di segala penjuru kota. Tidak aneh, lantaran Beirut yaitu financial center di Arab. Negeri ini yaitu terminal perputaran uang raksasa dan hidup dari sistem ini.
Dari beberapa literatur ihwal Beirut, saya tahu bahwa Negara ini lahir ketika berakhirnya Perang Dunia I dan runtuhnya kekhalifahan Ottoman. Wilayah yang kini ini berjulukan Lebanon jatuh ke tangan Perancis. Pimpinan Maronit  berhasil meyakinkan penguasa Perancis untuk membentuk sebuah negara berjulukan Lebanon di mana golongan Maronit dan sekte Kristen yang lebih kecil Artikel Babo berkuasa bersama-sama. Sekte Kristen selain Maronit yaitu Ortodok Yunani, Ortodok Armenia, Nasrani Armenia, Roma Katolik, dan Protestan.
Selain itu, mereka juga meminta wilayah Lebanon dikala itu – selain daerah Gunung Lebanon yang secara tradisi menjadi wilayah mereka – yang meliputi kota-kota pantai yang dikuasai golongan Muslim Sunni. Misalnya: Beirut, Tripoli, Sidon, dan Tirus. Mereka juga ingin memasukkan wilayah yang dikuasai golongan Muslim Syiah, yakni Lebanon Selatan, Akkar, dan Lembah Bekaa. Saat itu, berdasarkan sensus 1932, golongan Maronit dan sekte Kristen Artikel Babo berjumlah 51 persen lebih sedikit.
Tuntutan golongan Maronit itu memojokkan golongan Muslim Sunni dan Syiah, juga Drus yang bahwasanya lebih suka bergabung dengan Suriah ketimbang menjadi penggalan ‘Lebanon Raya’. Namun, pada alhasil mereka bersepakat untuk membentuk negara baru, sehingga dengan demikian Perancis pun angkat kaki. Kesepakatan itu kemudian dikenal dengan nama Pakta Nasional.
Dalam Pakta Nasional – persetujuan tidak tertulis – itu mereka juga tetapkan bahwa Presiden Lebanon akan selalu dari golongan Maronit dan komposisi tubuh legislatif harus mempunyai perbandingan 6:5 antara Kristen dan Muslim. Mereka juga bersepakat, perdana menterinya akan selalu dari golongan Muslim Sunni, sementara ketua parlemennya dari golongan Muslim Syiah.
Hal itu bertahan selama jumlah golongan Maronit dan Kristen Artikel Babo lebih dari 51 persen. Akan tetapi, pada tahun 1970- an komposisi demografis berubah. Golongan Maronit hanya tinggal sekitar sepertiga jumlah penduduk, sementara golongan Muslim meningkat menjadi dua pertiga. Selain itu, golongan Syiah yang sebelumnya menempati urutan ketiga dalam jumlah, menjadi komunitas agama terbesar.
Oleh lantaran itu, para pemimpin Muslim menuntut supaya komposisi kepemimpinan nasional diubah sejalan dengan adanya perubahan demografis. Tuntutan itu ditolak oleh Maronit yang tetap menginginkan Pakta Nasional menyerupai semula. Untuk memperkuat sikapnya itu, Maronit kemudian membentuk milisi bersenjata. Milisi yang paling terkemuka yaitu milisi Phalangis yang dibuat oleh Pierre Gemayel. Tindakan kelompok Maronit itu dijawab oleh kelompok Muslim dan Drus. Mereka juga membentuk pasukan sendiri. Hal tersebut menimbulkan lumpuhnya pemerintahan.
Pada dikala masing-masing kelompok membentuk milisi dan membangun kekuatan, ketegangan Kristen-Muslim jalin-menjalin dengan ketegangan PLO dan Israel. Menyusul pengusiran PLO oleh Raja Hussein dari Jordania sesudah terjadi kejadian ‘Black September 1970’. Yasser Arafat dan kelompoknya pindah ke wilayah-wilayah pengungsi Palestina di Beirut dan Lebanon selatan.
Kedatangan PLO ini disambut baik oleh kelompok Muslim dan Drus. Sebaliknya mereka ditolak oleh kelompok Maronit. Bagi kelompok Muslim dan Drus, kedatangan PLO merupakan aksesori kekuatan. Karena itu, Maronit menginginkan PLO keluar dari Lebanon. Tentu saja, rencana itu ditentang oleh kelompok Muslim dan Drus.
Situasi semakin tegang. Tiba-tiba semuanya telah terjadi. Suatu pagi, 13 April 1975, sejumlah orang bersenjata tak dikenal dengan mengendarai kendaraan beroda empat melepaskan tembakan ke sebuah gereja di Ein Al-Rumaneh, Beirut Timur, wilayah Kristen. Tembakan itu menewaskan empat orang termasuk dua milisi Phalangis. Aksi itu segera dijawab milisi Phalangis. Di bawah pimpinan Gemayel mereka membantai 27 orang Palestina yang tengah menumpang bus di Ein Al-Rumaneh.
Api pertempuran pun membesar. Perang Lebanon pecah. PLO pimpinan Yasser Arafat berpihak pada milisi Muslim. Lebanon pun terpecah belah. Lebanon penggalan selatan dan Beirut penggalan barat berada di bawah kekuasaan PLO dan milisi Muslim, sementara milisi Maronit dan Kristen Artikel Babo menguasai Beirut penggalan timur serta Gunung Lebanon.
Ketika milisi Maronit berada di ambang kekalahan, Juni 1976, mereka meminta tunjangan Suriah supaya ikut mengintervensi. Suriah masuk, kemudian menduduki menduduki wilayah Lebanon yang tidak diklaim oleh kelompok Muslim maupun Maronit, contohnya Tripoli dan Lembah Bekaa. Masuknya pasukan Suriah memberi semangat gres bagi milisi Maronit. Perang pun berkobar lagi, saling bantai terjadi di banyak wilayah.
Situasi bertambah pelik sesudah Israel juga terlibat dengan menginvasi Lebanon pada bulan Maret 1978. Serangan Israel ini lantaran terprovokasi oleh serangan PLO terhadap sebuah bus di Israel penggalan utara. Perkembangan di lapangan mendorong campur tangan dunia internasional menyerupai AS, Perancis, dan Italia.
Begitulah sejarahnya, dan hingga kini Lebanon masih selalu menyimpan potensi konflik. Ditambah lagi adanya harapan pihak Amerika untuk terus membantu Israel.
“Anda sudah sampai,” kata supir taksi. Aku tersentak dari lamunanku. Dengan lembut, kusentuh kening Catty yang segera mengedipkan kelopak matanya.
“Oh, sudah sampai.” Catty segera membuka pintu taksi. Matanya memperhatikan sekilas ke arah lobi hotel. Kemudian tersenyum kepadaku yang segera menuntunnya masuk ke dalam. Di belakang kami, seorang petugas hotel membawa bagasi milik kami.
Catty memperlihatkan paspor miliknya kepada petugas reservasi, seorang perempuan manis yang sangat ramah. Petugas jelita itu sekilas melirik ke arahku.
“Ini kunci kamar Anda,” petugas itu menyerahkan kunci kamar kepada Catty. “Selamat menikmati layanan kami.”
Aku agak terkejut lantaran petugas ini hanya memberi satu kunci kamar. Artinya kami akan tidur sekamar. Catty menangkap keterkejutanku.
“Tenang saja. Aku tidak akan memperkosamu.” Catty mencubit tanganku ketika masuk ke dalam lift. “Seseorang telah mengatur semuanya ini. Bukan kemauanku,” lanjut Catty santai. Belum lima menit berada di dalam kamar, terdengar bunyi telepon berdering.
“Datanglah ke daerah Solidere. Ada seseorang yang akan menunggu Anda di kafe di daerah itu. Ikutilah dia,” telepon pribadi terputus. Catty tertegun.
“Sebaiknya kita segera berangkat ke sana,” kataku segera meyakinkan Catty yang masih kaget.
“Baiklah,” Catty segera melangkah ke pintu. 
“Jak,” Catty berbalik sebelum keluar. Menghadap ke arahku dengan tatapan serius, “seseorang telah mendeteksi hubunganku dengan kamu.”
“Dari mana kau tahu itu?” tanyaku terkejut.
Aku mempunyai alat di dalam sistem komputerku yang sanggup mendeteksi bila email serverku disadap orang lain. Teknologi ini kudapatkan dari sahabat di Israel. Awalnya alat ini digunakan perusahaanku untuk mengetahui pihak yang ingin menghacker sistem gosip kami.”
“Apakah itu artinya berbahaya?”
“Aku yakin pihak yang menghacker yaitu pihak yang sangat mengerti ihwal isi pesan saya di search engine. Tentu mereka juga sedang menanti, sama sepertiku, seseorang yang akan merespon kalimat tersebut.”
“Oh!”
“Yang pasti, kini posisi kita telah terbuka. Kita harus lebih hati-hati.”
“Tentu.”
Aku merasa keadaan kian bertambah pelik. Namun, suka tidak suka saya sudah terlanjur masuk ke dalam bulat ini. Resiko ada di depan. Ada rasa takut menyelimuti tapi segera kutepis. Keyakinanku akan qada dan qadr, membuat semangatku tak bergeming. Hidup memang penuh resiko. Dan resiko terbesar dalam hidup yaitu kematian. Tapi,toh semua orang niscaya akan mati. Lantas, apa yang harus ditakuti? Aku berusaha menguatkan hatiku untuk tetap tegar.
Taksi melaju menuju wilayah Solidere yang terletak di akrab pantai. Banyak turis duduk santai. Di sekitarnya juga terdapat banyak kafe yang berjejer. Kami tidak tahu di mana posisi kafe yang harus di datangi. Dalam kebingungan itu, telepon selular Catty bergetar kembali. “Kafe Libanis di ujung jalan,” bunyi singkat dari seberang dan kemudian terputus kembali. Setiap pembicaraan melalui telepon tidak pernah lebih dari dua menit.
Belum sempat kami duduk di kafe itu, seorang laki-laki tiba menghampiri. Dengan memakai bahasa Itali, laki-laki itu berbicara kepada Catty. Kemudian Catty mengangguk kepadaku dan memegang tanganku. Kami melangkah mengikutinya. Menyeberangi jalan di depan kafe. Kemudian terus masuk ke sebuah gang sempit di sela dua bangunan enam lantai. Pria itu berhenti sebentar di depan pintu yang berada tepat di belakang bangunan itu. Tak berapa usang pintu terbuka. 
Pria itu masuk, dan kami mengikuti dari belakang. Sepasang mata dari orang yang tadi membukakan pintu terus mengikuti dengan tatapan aneh. Tidak ada cahaya lampu di dalam gedung itu kecuali selarik cahaya yang menyusup masuk dari celah jendela. Kami masuk ke sebuah ruangan di lantai dua. Di sana, sudah menanti seorang laki-laki bertubuh atletis. Dia bukan orang Arab. Lebih tepatnya orang Eropa dengan rambut blow  dan mata biru.
“Selamat tiba di Beirut,” sapa laki-laki itu sambil menyalami kami satu persatu. “Saya yakin Anda niscaya akan tiba memenui seruan saya. Terima kasih,” lanjut laki-laki itu dengan senyum.
“Apa maksud Anda mengundang kami?” tanya Catty.
“Untuk memberi tahu suatu hal ihwal kebenaran,” jawabnya singkat. 
“Kebenaran? Maksud Anda?” 
Pria itu mengambil sesuatu dari dalam laci mejanya. “Ini,” kata laki-laki itu sambil menyerahkan setumpuk dokumen. Catty menerimanya dengan penuh tanda tanya. Dia perhatikan dokumen itu. Membacanya. Tiba-tiba Catty tersentak. Aku juga tak bisa menyembunyikan keterkejutanku. 
Dalam tumpukan itu, terdapat dokumen mengenai Hilton Memorial Treaty yang ditandatangani oleh JF Kennedy, Soekarno serta Gubernur Bank Sentral Swiss. Treaty ini ditandatangani pada tahun 1962. Merupakan bukti syah akreditasi decade asset yang masuk ke dalam Fed system. Posisi Soekarno pada waktu itu yaitu mandataris pemilik aset dari delapan negara.
Kemudian, beberapa dokumen lagi menyebutkan ihwal manifes  kapal yang mengangkut emas ke Eropa pada kala ke-14. Juga ada bukti-bukti tanda terima barang dengan rincian berat dan jumlah batangan emas, serta asal negaranya. Pria itu tetap tenang, sambil memperhatikan saya dan Catty yang nampak antusias membaca dokumen-dokumen itu.
“Dokumen ini saya dapatkan pada tahun 1980. Ketika saya masih bertugas di KGB. Kami berhasil menyelinap masuk ke dalam markas The Fed dan mengambil dokumen ini dengan memfotonya,” kisah laki-laki itu seakan menangkap rasa ingin tau kami ihwal asal muasal dokumen tersebut. 
“Apa pendapat Anda ihwal dokumen ini?” tanya laki-laki itu kemudian.
“Ternyata pemilik terbesar aset ini yaitu Cina,” Catty menatapku. Seakan meminta saya untuk mengingat dokumen yang ada di tanganku. Aku mengangguk.
“Lalu, apa maksud Anda sebenarnya?” tanyaku kepada laki-laki itu. 
Dia balik tersenyum kepada kami berdua. Lalu bangun dari duduknya. 
“Kita harus bersatu untuk sebuah misi kemanusiaan. Dokumen ini akan sangat berguna, yang akan memberi kesempatan bagi pemilik aset, untuk menuntut haknya di pengadilan internasional.”
“Misi kemanusiaan?” Aku mengangkat alis. Meminta penjelasan.
“Ya. Kami hanya ingin membuat mereka lemah dan tak berdaya lagi mengontrol keuangan dunia. Itu saja.”
Catty tersenyum kepada laki-laki itu, “Semoga.”
Namun, saya masih belum begitu yakin dengan laki-laki ini. Aku merasa bahwa orang yang ada di hadapanku kini bukanlah orang biasa. Dengan ia sanggup mengetahui keberadaan kami, sanggup dipastikan bahwa orang ini mempunyai rencana besar dan dengan kekuatan yang besar pula.
“Baiklah. Apa yang harus segera kami lakukan?” Aku bertanya dengan hati-hati.
“Berikan dokumen yang ada pada Anda dan kita akan gotong royong menyusun taktik untuk menghadapi mereka. Juga transaksi Anda di Swiss akan menjadi salah satu alasan terkuat untuk bisa masuk dengan tepat,” kata laki-laki itu sambil tersenyum ramah kepada mereka berdua.
“Mana dokumen itu?” lanjutnya dengan mata elang.
“Tidak ada sama saya sekarang,” saya menjawab tegas.
“Di mana?”
“Saya tempatkan di safety box bank di Hong Kong. Tapi fotocopinya ada sama saya. Di dalam tas di hotel,” kataku.
“Oh.”
 Pria itu berpikir sejenak, “Baiklah. Akan kita ambil aslinya nanti. Sekarang orang saya akan bersama Anda menuju hotel untuk mengambil fotokopinya.” Pria itu berteriak memanggil seseorang. Tak berapa lama, seorang laki-laki muda dengan postur tubuh tegap sudah ada di hadapan mereka. 
Nampak keduanya berbicara dengan serius, alhasil laki-laki itu berkata, “Sebaiknya Anda pergi meninggalkan Beirut sekarang. Kedatangan Anda diikuti orang lain. Anda tidak bisa keluar dari Beirut melalui udara. Sangat tidak aman. Orang saya akan mengeluarkan Anda melalui Aridhah, kemudian terus ke Damaskus. Di sana sudah ada orang kami yang akan memperlihatkan paspor palsu untuk Anda pulang. Saya akan kabari jadwal kita bertemu di Hong Kong. Kita harus hati-hati.”
Aku dan Catty segera pergi dengan mengendarai kendaraan beroda empat Mercy menuju perbatasan Lebanon-Suriah. Tanpa mampir dulu di hotel, lantaran laki-laki yang mendampingi kami, menegaskan bahwa tas kami sudah diambil oleh temannya dan akan bertemu di perbatasan.
Hari telah beranjak malam ketika kami hingga di Aridhah. Sementara temannya yang berjanji akan bertemu ternyata tidak kunjung datang. Pria itu melirik jam tangan dan berkata kepada Catty, “kelihatannya ada duduk kasus dengan sahabat saya. Sebaiknya kita tidak usah tunggu dia. Anda pribadi saja keluar dari sini. Setelah Anda keluar dari border, ada orang kami yang akan menjemput. Tolong matikan telepon Anda. Ini penting untuk menjaga posisi Anda supaya tidak diketahui,” kata laki-laki itu datar.
Untunglah paspor tidak tertinggal di hotel. Aku dan Catty menghela nafas panjang ketika kami berhasil melewati petugas imigrasi. Memang betul, seseorang tiba menghampiri dan memperkenalkan diri untuk menjemput. Dengan kendaraan Van tua, mereka melaju menuju sentra kota dan terus ke airport. 
Selama perjalanan, saya dan Catty mencicipi kecemasan yang teramat sangat. Kami  tidak tahu apakah ini hanya sandiwara atau apa? Siapakah yang kami takuti? Siapakah yang mengikuti kami? Masalah apa yang terjadi pada sahabat laki-laki itu? Beratus pertanyaan tak terjawab, hanya menambah kebingungan dan kecemasan kami. Ingin rasanya kami segera berlalu dari tempat ini.
“Jak, saya harus segera pergi untuk berkemas-kemas kembali ke Lugano. Sebelumnya akan mampir ke Madrid. Kita harus terus berkomunikasi dengan cara memakai sandi atau membuat banyak sekali alamat email supaya membingungkan pihak tertentu yang ingin melacak gosip dari kita,” kata Catty dikala hendak berpisah di Damascus International Airport.
“Saya juga akan kembali ke Hong Kong. Jaga diri baik baik, ya..” 
Aku melihat ada air mata mengambang di pepuluk matanya. Namun saya berusaha tersenyum tegar kepada Catty yang kemudian mengangguk dan melangkah menuju border.



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait