Ketika hingga di apartement Ester, waktu membuktikan pukul sepuluh malam. Ester membuka pintu dengan wajah kawatir alasannya yakni melihat wajahku keruh. Aku membuka jas biar tubuhku menjadi segar. Udara terasa panas sekali walau cuaca di luar dingin. Ester pergi ke ruang minibar mengambil minuman untukku. Dia mengulurkan segelas teh hangat sebelum menyapa, “ada apa, Jak?”
“David menolak secara halus. Dia menunjukkan solusi gres untukku,” jawabku sembari menghempas badan ke sofa. Ester duduk di sampingku sambil memegang kerah bajuku, memperhatikan dengan seksama. Di wajahnya, ada raut tidak percaya. “Tadi siang ia menelephonku. Katanya, ia sangat tertarik dengan kamu, Jak. Dia ingin bermitra dengan dengan kamu. Kenapa kini berubah?”
“Dia ingin mengakibatkan saya sebagai proxy.”
“Apa itu salah?” Ester mengerutkan kening.
“Tidak salah. Tapi bukan yang saya mau untuk menuntaskan kasus clients-ku.”
“Jaka” sapa Ester lembut. “Bolehkah saya memberi saran?” sambungnya.
“Silahkan.”
“Aku menginginkan yang terbaik untukmu. Kamu yakni sahabatku. Kamu punya semua potensi untuk jadi orang hebat. Bahkan sanggup menjadi penakluk dunia. Kamu pekerja keras dan cerdas. Mengapa kau tolak tawaran David?”
“Ini bukan soal saya tapi Budiman. Soal sahabatku!”
“Lantas?” Ester tetap tidak memahami sikapku.
“Cobalah mengerti. Budiman sahabat terbaikku. Budiman, ketika ini sedang di ambang kehancuran. Hutang-hutangnya membengkak jawaban krisis mata uang. Perusahaannya pun terancam di lelang. Aku sudah menganggap Budiman sebagai saudara sendiri, bahkan lebih dari sahabat. Sekian usang kami berteman, sudah sangat banyak kebaikan yang pernah kuterima. Walau Budiman telah menjadi konglomerat namun tegur sapa dan silahturahmi diantara kami tidak pernah putus. Ini sebuah unconditional friends. Dalam segala suasana, dalam segala kondisi.
Saat malapetaka Mei 1998 menghantam, perjuangan Budiman limbung dengan beban hutang yang semakin membengkak terkerek perubahan kurs. Kala itu Budiman sempat berharap keadaan akan segera pulih. Tapi setahun berlalu, ternyata keadaan justru semakin memburuk. Sebagian besar perusahaannya terpaksa masuk ke dalam daftar yang diserahkan perbankan untuk Otoritas Penyelesaian Utang.
Dia pun tak menyerah. Berjuang keras demi mendapat proteksi pemerintah berupa dispensasi hutang melalui sketsa hair cut dan reschedulling. Aku yakin, saya sanggup membatunya. Karena saya sahabatnya yang paling mengeti dia. Aku tidak mau nasib Budiman menyerupai yang lain. Yang akirnya perusahaan di lelang. Kamu tahu sebagian besar lelang itu pemenangnya bukanlah orang yang berpengalaman dalam bidang bisnis. Mereka yakni kumpulan petualang yang mendapat kepercayaan dari pihak asing. Para petualang, anggota dewan dan mereka-mereka yang merasa berjasa atas lahirnya periode reformasi. Berbaur dalam pesta pora sebagai makelar dan menjual seluruh aset negara dengan harga murah kepada pihak asing.
“Ok. Aku mengerti, Ja. Tapi bagaimana dengan hidupmu? Apakah kau tidak ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk meraih impian? Ayolah, Sayang. Jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri. Cobalah untuk melihat kenyataan. Saat ini yakni periode untuk kau tampil menggantikan dia. Kamu selamatkan usahanya dan kau ambil sahamnya. Beri ia golden share sebagai kompensasi.” Kata Ester dengan lembut.
“Terima kasih untuk kepedulianmu, Ester. Maaf, saya tetap dengan sikapku. Mohon dukung aku, Ester. Kamu kan sudah kenal saya semenjak tahun 93. Sampai kini telah delapan tahun persahabatan kita, itu lebih dari cukup untuk saling memahami?”
Ester terdiam. Dia merebahkan tubuhnya di sofa sambil memejamkan mata. Dia tidak tidur tapi berpikir ihwal sesuatu entah apa. Tapi yang jelas, Ester sangat lembut memperlakukanku. Kami jarang sekali bertengkar dengan bunyi keras. Bila kami sudah dihadapkan pada perbedaan, hingga tidak menemukan titik temu, maka kami akan membisu untuk beberapa saat. Berharap dengan berlalunya waktu, kami sanggup menemukan kebenaran sikap masing-masing dan memakluminya.
“Aku lelah sekali. Aku harus kembali ke hotel.”
Ester membuka matanya, ”Tidurlah di sini. Besok kita bicarakan duduk kasus kamu. Kan besok hari libur nasional? Tidak ada yang harus dikerjakan,” katanya lembut sambil memegang pipiku. “Aku ambilkan selimut untukmu ya?” Ester pergi beranjak dari sofa dan kembali lagi dengan selimut tebal untuku. Malam itu saya tidur di sofa.
“Good nite, Honey.” Ia mengusap wajaku dengan tersenyum.
***
***
Pagi harinya saya terbangun alasannya yakni dikejutkan oleh kesibukan Ester di dapur. Dia sedang memasak untuk sarapan pagi. Ketika saya hingga di dapur ia menoleh ke arahku dengan senyum indahnya. “Good morning, Jaka. Mandilah dulu, sebentar lagi sarapan pagimu sudah tersedia.” Aku masuk ke kamar Ester untuk memakai kamar mandinya. Di meja kerjanya, nampak laptop masih menyala dengan wallpaper photo kami di Bali. Aku tersenyum meliat photo itu.
Di meja makan, Ester berceloteh, “aku ada usul! Apakah mungkin sanggup credit line dari bank di Jakarta?”
“Engga mungkinlah. Bank mana yang mau menunjukkan credit kepada Budiman? Dan lagi Indonesia sedang dilanda krisis. Financial resource kering.” Jawabku dengan bunyi tertekan.
“Tapi saya sanggup informasi dari temanku di Eropa. Katanya ada perusahan milik Jenderal mantan menantu orang nomor satu, yang mendapat kemudahan kredit dari bank milik pemerintah. Kredit ini dipakai untuk mengambil alih perusahaan kertas yang juga dimiliki oleh mantan kroni penguasa itu. Cara mereka mengambil alih melalui bail out hutang di bank yang juga milik pemerintah.”
“Bukankah pengambil alihan dihentikan dengan sketsa LBO, atau pengambil alihan dengan memakai utang Bank? Apalagi dikaitkan dengan berutang kepada bank milik pemerintah.” Kataku
“Benar. Tapi sketsa yang dibentuk yakni bank pemerintah hanya sebagai channeling bank atas pelepasan non cash loan dari bank di Eropa.”
“Apa yang kau maksud kemudahan non cash loan?“
“Fasilitas kredit dalam bentuk SBLC atau bank garansi.”
“Jadi bagaimana settlement dengan bank milik pemeritah?”
“Bank di Eropa mengirim SBLC kepada bank milik pemerinntah dan kemudian SBLC itu, alasannya yakni sifatnya transferable, maka sanggup dijual kepada pihak lain. Dalam hal ini SBLC di transfer ke singapore. Bank di Singapore mentunaikan SBLC itu untuk kepentingan bail out utang sebagai cara pengambil alihan perusahaan yang bergerak dibidang industry kertas dan hutan tanaman industry.
“Mengapa bank di Eropa mau menunjukkan credit berupa Non cash loan?”
“Karena kegiatan pengambil alihan industry kertas itu punya exit taktik yang berpengaruh dan aman. Disamping itu, bank milk pemerintah sebagai channeling bank, bersedia untuk menjamin sketsa ini dengan menunjukkan confirmation stop loss guarantee kepada bank penerbit SBLC. Makara kondusif sekali.”
“Wow! Hebat sekali sketsa ini. Artinya jikalau pihak debitur default maka resiko ditanggung oleh channeling bank. Luar biasa!”
“Tepat sekali!” Seru Ester, “bisakah ini diterapkan untuk jalan keluar penyelesaian utang Budiman?”
“Bisa saja. Tapi, Budiman bukan jenderal, Sayang. Engga mungkin!”
“Oh begitu?” Seru Ester. “Kalau bank local tidak mungkin. Bagimana jikalau kau coba tarik kredit dari bank di Singapore?”
“Apa jaminannya?”
“SBLC.”
“Dari mana dapatkan SBLC?”
Ester mengambil mangkuk sop ayam yang sudah kosong dari hadapanku dan mengisinya lagi. “Ah, kau semakin membuatku bingung,” sambungku.
“Aku akan bantu kau sediakan Standby Letter of Credit. Aku punya koneksi di Eropa yang sanggup bantu itu.”
“Apa dasarnya mereka mau sediakan Standby Letter of Credit? Itu kan sama dengan jaminan cash?”
“Aku akan gunakan documen sketsa pembiayaan yang kau olok-olokan kepada AMC itu. Feasible kok untuk dapatkan SBLC dari bank di Eropa.”
“Aku rasa, tidak tepat memakai sketsa pembiayaanku itu. Jangka waktu SBLC hanya satu tahun sementara exit strategiku butuh waktu lima tahun untuk secure.”
“Engga ada masalah!” Kata Ester dengan cepat.
“Aku tidak mengerti.”
“Dengar! Begini strateginya. Coba yakinkan bank di Singapore ihwal rencana bisnismu itu. Yakinkan mereka bahwa creditmu akan dijamin oleh SBLC yang diterbitkan oleh first class bank di Eropa.”
“Kalau mereka sudah yakin?”
“Itu urusanku selanjutnya.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Ingat loh, Jaka. Aku ini Banker! Aku punya reputasi untuk meyakinkan perbankan biar membantumu dengan sketsa yang kau ajukan.”
“Kira-kira apa?”
“Nanti sajalah,” Ester tersenyum sambil meneguk kopi.
“Kenapa tidak kini saja sih, kasih tahu aku?”
“Percayalah padaku, Jak. Nanti kau akan tahu sendiri. Ok?” Ester mencubit lenganku. “Kamu selalu memaksa, ya?!”
“Ok lah. Aku percaya kamu. Dan akan selalu percaya.”
Pagi itu juga saya segara menghubungi Budiman. Ester memperhatikanku ketika kami berbicara di telephone.
“Clients ku sepakat untuk solusi ini. Dia punya kawan di Singapore yang sanggup dapatkan credit line dengan jaminan Standby Letter of Credit. Menurutnya, ia harus membuka Special Propose Company sebagai vehicle untuk mengajukan credit.”
“Benarkah?” kata Ester dengan mata setengah melotot. Dia nampak bahagia sekali. ”Kalau begitu, tunggu apa lagi? Lakukan segera! Pastikan dalam seminggu sudah sanggup line of credit. Kalau sudah ada Comfort letter dari lender bank. Aku akan segara terbang ke London untuk deal dengan Provider Standby Letter of Credit.”
“Kamu yakin bisa?”
“Yakin!”
“Kenapa?”
“Karena saya Banker, Sayang!” Ester tersenyum.
“Hanya itu?”
“Dan alasannya yakni saya peduli padamu” Ester menepuk bahuku. " Besok liburan naik kapal pesiar ya. Mau ?"
Aku mengangguk. Usai sarapan pagi kami memutuskan untuk membeli ticket kapal pesiar berkeliling di perairan Hong Kong. Cara murah menikmati hari libur.
***
Di geladak kapal, kami duduk memandang maritim di bawah sinar bulan. Tidak ada yang kami bicarakan. Walau usia menjelang empatpuluh tahun, namun Ester masih nampak cantik. Tidak kalah dengan perempuan berusia tigapuluhan. Kecerdasannya sebagai Banker di forum keuangan kelas dunia tidak perlu diragukan. Bagaimanapun Ester yakni sahabat yang selalu ada untukku.
“Aku harus pulang sebelum tahun baru. Sudah hampir setahun saya di sini. Semoga solusi yang tiba dari mu sanggup sukses,” kataku.
“Aku akan melaksanakan segalanya untukmu, Ja.”
“Thanks. Kau yakni sahabat terbaikku.” Kugenggam jemarinya. Ester memejamkan mata, membisikkan sebuah kalimat, “aku tahu betapa berat tantangan yang kau hadapi, Ja. Kamu harus tegar, ya? Bukankah semua ini kau lakukan demi sahabatmu?”
“Ya. ia sahabat terbaikku. Aku lakukan ini tanpa dibayar apa pun. Aku tulus. Karena ini menyangkut perbaikan nasip ribuan buruhnya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi bila kasus ini gagal. Mungkin ke depan, arus investasi di Indonesia akan semakin sulit. Entah jadi apa masa depan negeri kita nanti, Ester!”
“Kini kenyataan yang ada sesudah krisis moneter tahun 1998, tidak ada lagi yang sanggup diperlukan dari negeri kita. Infrastrukur rusak dan tidak memadai untuk menampung arus investasi. Aturan dan aturan tidak konsisten. Sumber daya insan yang rendah kualitasnya. Dan, banyak lagi kenyataan yang bila diungkap akan menciptakan siapapun berpikir seribu kali untuk menanamkan uangnya di Indonesia,” Kata Ester
Aku membisu tanpa reaksi. Sekuat apapun usahaku, namun begitulah kenyataan yang ada di Indonesia. Ester berusaha menyunggingkan senyum dan menggenggam jemari tanganku dengan lembut. Sekedar menguatkanku biar tegar menghadapi kenyataan.
“Semoga Budiman sukses mendapat credit line?” kataku.
Ester menatapku sambil tersenyum. “Yah, semoga,…”
“Jak, bila gagal, pulanglah dan hadapi kenyataan ini dengan tegar. Keluargamu membutuhkan hadirmu. Jangan larut dalam kegagalan. Ingat bila satu pintu di tutup Tuhan alasannya yakni rahmatnya maka akan selalu ada dua pintu lain dengan kasih sayang Nya, Ya kan ? Kamu orang baik dan berniat baik untuk sahabatmu. Tidak ada yang salah padamu, Jak. Aku yakin Tuhan akan melindungi dan menunjukkan yang terbaik untukmu,” ucap Ester lagi. Aku tahu ia sedang berusaha meyakinkanku untuk tetap tegar menghadapi kenyataan bila situasi terburuk datang. Kapal pesiar yang kami tumpangi terus melaju tanpa peduli. Suara gemuruh yang ditimbulkan oleh mesin penggeraknya, sama ributnya dengan isi kepalaku.
Menjelang dini hari kapal pesiar itu mulai merapat ke dermaga. Meninggalkan buih-buih yang pecah di perairan Hong Kong. Gedung-gedung pencakar langit menyambut kami tiba di depan sana. Sebuah kota yang sibuk, dengan manusia-manusia penuh ambisi dalam perjuangan menguasai dunia.
“Kembali ke hotel?” tanya Ester. Aku hanya mengangguk. “Antar saya ke apartemen, ya?” pinta Ester kemudian, sambil memagut tanganku mesra. Aku tersenyum. Wanita memang begitu bila ada maunya. Di dalam taksi, Ester semakin erat memagut tanganku sambil merapatkan tubuh. Dia menyandarkan kepala ke bahuku. Hong Kong di bulan Desember hadir dengan suhu udara yang dingin. Kabut tipis turun membawa uap air yang lembab. Aku menghela nafas, memastikan diri bahwa saya masih berkesempatan hidup di dunia ini. Dengan setumpuk tanggung jawab yang harus saya hadapi dan selesaikan.
Dari dermaga, taxi yang kami tumpangi melaju ke arah Kowloon. Setelah melewati torowongan, taksi jenis limousine itu berbelok ke arah Hongham. Mobil itu pun berhenti di Harbour Front View Horison, daerah tinggal bergengsi di area Kowloon. Di sinilah Ester tinggal dengan segala kemewahannya sebagai seorang fund manager dengan standar honor enam digit.
Dari jendela apartemen, terlihat panorama Hong Kong bertabur lampu warna warni membias di permukaan laut. Dari kejauhan nampak sebuah kapal sedang melaju lambat, di hiasai lampu terang berkilauan. Aku menggumam dalam hati, tata ruang apartemen ini diatur dengan sangat mewah. Setiap titik dalam setiap sudut ruang, sangat diperhitungkan. Jendela-jendela berkaca besar diarahkan biar si penghuni apartemen sanggup menikmati panorama dan keindahan maritim Hong Kong. Sebuah apartement yang di desain khusus bukan hanya sebagai tempat beristirahat namun juga sebagai tempat refreshing. Dari sudut mata saya melihat Ester tersenyum penuh arti, namun saya tak peduli. Aku hempaskan tubuhku di atas sofa yang empuk. Berharap beban malam ini pun ikut ambruk bersama tubuhku.
Sinar lampu menyelinap masuk dari balik tirai. Malam telah bergitu renta namun kegundahan tak beranjak pergi. Aku berusaha keras untuk tetap di sofa. Senyum manisnya berputar-putar di pikiranku. Sekuat tenaga saya berusaha mengalihkan pikiran ke hal lain namun justru wajah Ester yang kian lekat berkumpul di otakku. Semakin usang semakin detail bayangan ihwal dirinya. Wajah kaukasia dengan badan tinggi semampai dan kulit putih higienis menyerupai susu. Setiap kali ia tersenyum, lesungnya yang imut muncul dari kedua pipinya. Belum lagi cara bicaranya yang lembut, seolah mempunyai medan magnit yang menarik setiap hati untuk mendekat. Ditambah kerlip matanya itu, dengan sorot yang berpengaruh memancarkan keindahan pribadinya yang berbaur dengan kecerdasan luar biasa. Belum lagi ketika tubuhnya yang ideal itu, melenggok berbalut lingering. Ester adalah bentuk dari kumpulan keindahan yang terjebak dalam satu raga manusia. Setiap kepingan tubuhnya mempunyai tugas untuk menegaskan bahwa ia yakni perempuan sempurna. Duh, kenapa bayangan ini tak sanggup hilang?
Ester yakni sahabatku yang seharusnya kujaga kehormatan persahabatan ini tanpa menyentuhnya, bisik hatiku mencoba menetralisir memori ihwal Ester. Aku merenungkan peperangan antara nafsu dan hatiku. Terbayang perilaku Ester yang selalu berusaha dengan segala cara biar saya merasa nyaman bersamanya. Namun, setiap kali pikiranku terasa ingin menyerah, setiap kali pula hati nuraniku memenangkan pertarungan. Aku putuskan untuk kembali ke Hotel dengan pikiran segar. Siap bertarung untuk putaran berikutnya.