Mengapa Jakarta Banjir


Dulu zaman Kolonial, Belanda menciptakan kebijakan perubahan tata ruang wilayah Bogor dan Puncak, yang tadinya sebagai wilayah perkebunan karet  dirubah menjadi wilayah perkebunan teh.  Dampak dari perubahan tata ruang ini akan mengakibatkan debit air dari wilayah Bogor dan Puncak ke daerah hilir Jakarta akan bertambah besar. Karena flora teh tidak menyerupai flora Karet yang lebih baik dalam meresap air hujan. Dampak itu diketahui dengan niscaya oleh penguasa colonial ketika itu. Apalagi terbukti sehabis perubahan tata ruang itu Batavia ( Jakarta) mengalami banjir hebat. Itu sebabnya ketika kebijakan itu diterapkan Pemerintah Kolonial Belanda juga menyiapkan segala sesuatunya untuk mengantisipasi dampak dari perubahan tata ruang itu. Maka dibangunlah Banjir Kanal Barat yang berjarak 17,3 KM dari Pintu Air Manggarai hingga ke Muara Angke. Konsep Banjir Kanal Barat ini tiba dari Prof Van Breen yang pada tahun 1920 diangkat sebagai Ketua Team Penyusun Rencana Pencegahan Banjir. Saat itu luas Jakarta ( Batavia ) hanyalah 2500 Ha. Konsep ini sederhana saja yaitu mengendalikan pedoman air semenjak dari hulu sungai dan mengatur volumenya masuk ke Jakarta. Dari akses kolektor  dipinggiran selatan kota , air dialirkan melalui tepi barat kota. Saluran kolektor inilah yang disebut dengan Banjir Kanal Barat. Sampai sekarang sarana itu masih digunakan oleh DKI

Begitulah cara pemerintah Kolonial mengelola kota  dan sekaligus bertanggung jawab terhadap rakyat penduduk kota. Setiap kebijakan yang ada dipikirkan dampaknya. Bila dampaknya jelek maka diantisipasi. Kaprikornus Analisa Dampak Lingkungan memang menjadi satu kesatuan terhadap prinsip kebijakan pemerintah colonial. Tapi sehabis kita merdeka, pemerintah tidak lagi memikirkan dampak lingkungan terhadap kebijakannya. Kalau dulu Belanda merubah lahan flora karet menjadi flora teh hanyalah 10 % dari total luas wilayah Bogor dan puncak namun mereka pikirkan dampaknya terhadap peningkatan  debit air, sekarang 90 % lahan yang tersisa itu telah berubah fungsi menjadi Vila  dan daerah real estate. Tidak ada kompensasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengantisipasi dampak dari perubahan tata ruang di wilayah bogor dan puncak itu. Maka bila kesudahannya Jakarta selalu kebanjiran bila tiba hujan maka itu tidak perlu terkejut. Ini ialah indikasi bahwa sehabis berakhirnya kala colonial maka berakhir pula pengelolaan pemerintahan yang modern. Yang ada ialah pemerintah ala kampong namun bergaya modern.

Cobalah perhatikan, dulu zaman colonial 40% wilayah Jakarta dipertahankan sebagai wilayah resapan air dan rawa rawa. Disamping itu Jakarta dipagari oleh SITU. Semua tahu bahwa SITU  ( waduk ) ialah cara untuk mengatasi banjir dihilir jawaban tekanan debit air dari hulu. Belanda membangun SITU dulu sebanyak 200an. Kini tersisa hanya 48 SITU itupun yang berfungsi hanya 5 saja, yaitu Waduk Situ Lembang di Menteng (Jakarta Pusat), Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Taman Makam Pahlawan (TMP) Kali­bata, Cibubur dan di Ragunan. Yang Artikel Babo mengalami pendangkalan jago dan rusak parah. Kemana sisanya? Banyak SITU  di Jakarta telah diuruk dan berubah fungsi jadi Mall dan daerah glamor menyerupai di Pluit , waduk Melati yang diuruk jadi Thamrin CIty dan lain lain. Daerah-daerah yang bergotong-royong berfungsi sebagai daerah resapan air, sekarang kondisinya semakin menyempit, bahkan sudah banyak yang hilang atau telah berubah fungsi menjadi Pantai Indah Kapuk, Pantai Mutiara, Muara Karang, Ancol dll.  Akibat tata ruang yang dirancang bertujuan korup tanpa memperhatikan dampak lingkungan maka jangan salahkan alam dan kondisi letak DKI yang dibawah permukaan maritim bila setiap animo hujan banjir melanda dan mengakibatkan kerugian.Ini harga kobodohan dari pemerintahan yang dipimpin oleh orang orang ndeso dan tolol lagi korup.

Seharusnya dari dulu ada koordinasi efektif antar instansi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Keuangan sebagai pemegang dana, Kementerian PU dan kepala daerah di wilayah Jabodetabek untuk membangun kembali SITU sebanyak yang efektif mengedalikan arus air dan menambah wilayah resapan air hingga sedikitnya 30% dari total wilayah Jakarta. Mungkinkah?  Memang hambatan utama adalah pembebasan lahan untuk menciptakan Situ dan resapan air. Maklum setiap jengkal tanah di Jakarta sudah ada yang punya. Namun kalau Pemprov DKI dan pemerintah sentra punya visi kuat, dilema pembebasan lahan bukan dilema besar. Masalah dana bukan dilema lantaran Pemrov DKI sanggup menerapkan tarip suplemen atas Pajak Bumi Bangun berupa retribusi project banjir. Atau meningkatkan pajak minuman keras dan rokok bagi penduduknya dan lain sebagainya. Namun berkali kali ganti Gubernur , DKI tetap tidak sanggup dikelola dengan cara cara modern. Ketika banjir wajah modern Jakarta yang ditandai dengan Gedung jangkung dan pemukiman glamor  kembali menampak wajah aslinya yaitu kampungan.

Alasan terbodoh penyebab banjir yaitu menyalahkan alam. Jangan salahkan alam. Alam selalu benar lantaran ini sunatullah. Yang salah ialah insan yang tak cerdik mengelola alam. Banjir besar yang terjadi ketika ini tentu mengakibatkan kerugian negara triliunan rupiah. Jumlah kerugian tersebut tentu tidak sebanding dengan nilai investasi pemerintah kalau mau serius menata lingkungan Jakarta yang protective terhadap peristiwa banjir. Ya, kita berharap di Era JOKOWI –AHOK Jakarta sanggup dikelola dengan cara cara modern dan bermoral. Sudah saatnya penduduk Jakarta mau menggeser tempat tinggalnya 100 meter dari pedoman sungai. Jangan adalagi pemukiman dipinggir kali. Jangan!. Perluas  Kanal  Banjir barat dan timur, tanggul banjir, normalisasi sungai, interkoneksi, sistem drainase perkotaan, sistem polder (waduk dengan pompa), pintu air pasang, dan pintu air pengatur. Sediakan resapan air hingga 30%. Jakarta tidak akan dibilang kampungan tanpa MRT, atau monoral tapi Jakarta akan kampungan bila hujan besar kota banjir dan kubangan dimana mana. 

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait