Acap kita mendengar bahwa Indonesia ialah Negara yang paling berhasil melakukan system demokrasi. Para politisi juga ikut mengomentari betapa Indonesia Negara yang paling cepat beradaptasi dengan system demokrasi. Benarkah ? mungkin ada baiknya kita melihat data riset dari pihak luar. Economist intelligent Unit dalam laporan wacana Global Democracy Index 2011 menempatkan Indonesia pada rangking 60 dari 167 negara didunia. Indonesia masih dibawah Thailand (rangking 58) , India (39) , bahkan jauh dibawah Timor Leste (42) yang merdeka ketika rezim reformasi berhasil menjatuhkan Soeharto. Dalam survey tersebut dengan mengacu aneka macam indikasi maka Indonesia dinyatakan sebagai Negara yang cacat demokrasi ( Flawed Democracy ). Mengapa disebut cacat demokrasi ? ya alasannya ialah pemilu yang penuh dengan kecurangan. Mengapa terjadi kecurangan ? alasannya ialah memang tujuan orang berkuasa untuk menjadi koruptor dengan mempermainkan janji janji.
Akibat demokrasi yang cacat itu maka sanggup pula dikatakan bahwa Indonesia belum masuk Negara modern. Bahkan berdasarkan Failed State Index yang dirilis oleh The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine selama periode 2005-2010 Indonesia masuk dalam katagori Negara diambang gagal. Study ini menunjukkan posisi peringatan ( warning ), yang apabila tidak diperhatikan dengan serius maka akan segera masuk dalam posisi “waspada”, selangkah lagi menjadi Negara gagal. Yang menyedihkan dari tahun ketahun posisi Indonesia terus menurun dan mendekati Negara gagal. Saya tidak tahu bagiamana para elite menyikapi hasi riset ini. Yang niscaya , tidak perlu diperdebatkan alasannya ialah semua rakyat sanggup mencicipi dan melihat fakta keseharian.
Indikasi diambang Negara gagal ini ibarat pemerintah sentra yang tidak efektif. Banyak kebijakan sentra tidak diperhatikan oleh Daerah. Banyak menteri yang mengabaikan perintah president. Infrastruktur ekonomi yang payah dan mengakibat ongkos pelayanan public menjadi mahal. Korupsi semakin meluas, dari korupsi receh hingga ke pada korupsi sistematis bergaya mafia. Kriminalitas dan amuk massa gampang terjadi. Terjadi eksodus buruh keluar negeri. Indek ekonomi membaik tapi kehidupan perekonomian semakin memburuk. Gap antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin melebar. Lantas mengapa ini sanggup terjadi ? Ketika ngobrol diruang tunggu keberangkatan pesawat tadi pagi saya sempat berkenalan dengan seorang Guru besar , ia menyampaikan yang menjadi duduk kasus kita dikala ini ialah kekacauan system ketata negaraan.
Menurutnya kesalahan ini berawal ketika di amandement nya Undang-Undang Dasar 45 tanpa dilakukan study menyeluruh. Seakan amandement itu dibentuk dengan terburu buru. Entah mengapa harus terburu buru? Mungkin ada jadwal tersembunyi dari kelompok tersembunyi yang ingin membonsai kekuatan Negara kesatuan ini , katanya. Bayangkan, lanjutnya, bagaimana jadwal pemerintah akan efektif bila otoritas politik saja tidak jelas. Ketidak jelasan ini berakibat kepada kacau balaunya system pengawasan dan pengendalian administrasi. Dalam situasi kacau balau ini maka aturan menjadi permainan dan kompromi menjadi syah saja terjadi. Karena platform yang goyah akhir system yang kacau, menciptakan celah korupsi disemua lini terjadi secara legitimate. Sehingga susah diurai. Cobalah perhatikan, semua partai terjebak dalam masalah yang memalukan dan anehnya masih saja mereka bicara wacana demokrasi dan hukum.
Benarkah system yang salah ? tanya saya. Dia menjawab dengan tegas bahwa secara akademis belum sanggup dijawab dengan pasti. Karena perlu study dan kejujuran bersikap. Bukankah dalam setiap Pemilu jumlah pemilih diatas 50%, tanya saya. Kalau jumlah pemilih dalam Pemilu sebagai indikator kesetujuan rakyat terhadap system demokrasi sekarang, itu tidak benar, jawabnya. Karena rakyat hanya sebagai konsumen dan mereka membeli alasannya ialah sytem promosi dari para elite dengan janji setinggi gunung dan seluas lautan. Namun nyatanya gunung tak terdaki, lautan tak terseberangi. Rakyat tetap ditempatnya tanpa beranjak, bahkan semakin terpuruk kedalam bumi. Kemakmuran hanya ada pada data statistik. Semuanya hanya permainan culas untuk menipu rakyat.
Dalam sejarah , tidak pernah system politik itu dibicarakan eksklusif kepada rakyat. System politik itu dibicarakan dan dimusyawarakan oleh para elite yang terdidik dengan baik dan teruji akhlaknya untuk tegaknya kebaikan, kebenaran dan keadilan. Nah jika system demokrasi kini ini menciptakan Negara diambang gagal maka sanggup disimpulkan sementara bahwa para perancang amandement Undang-Undang Dasar 45 dan juga mereka yang ada di Senayan, dibalik createor UU itu memang tidak qualified lahir batin sebagai negarawan. Dan akhir ulah mereka, rakyat banyak yang korban dan para elite kekuasaan hidup bahagia dengan segala kemewahan akomodasi negara. Benar benar culas.
***
Tapi semua itu biangnya alasannya ialah negara telah menghalau etika sebagai perekat budaya dan mengasingkan agama sebagai fondasi negara dan alhasil jadilah negeri tak bertuan. Hanya soal waktu, akan hancur dengan sendirinya. Semoga ini disadari oleh kita semua untuk berubah sebelum terlambat...
Sumber https://culas.blogspot.com/***
Tapi semua itu biangnya alasannya ialah negara telah menghalau etika sebagai perekat budaya dan mengasingkan agama sebagai fondasi negara dan alhasil jadilah negeri tak bertuan. Hanya soal waktu, akan hancur dengan sendirinya. Semoga ini disadari oleh kita semua untuk berubah sebelum terlambat...