Sangat Jelek Laku...

Soeharto sangat cerdas. Dia berkuasa lebih dari 30 tahun dan selalu berkata bahwa beliau terpilih alasannya ialah dikehendaki oleh Rakyat. Rakyat disini bukan si Doel tukang sate jalanan yang punya baju hanya dua setel sepanjang hidupnya atau si Mamad sipenjaga pintu kereta yang honornya hanya cukup makan seminggu secara manusiawi. Bukan.! Rakyat disini ialah para mereka yang menjadi elite Partai. Ketika itu hanya ada tiga partai , yaitu Partai Persatuan Pembangunan yang merupakan fusi partai beraliran Islam , Partai Demokrasi Indonesia yang merupakan fusi partai beraliran Kristen/katolik, marhaen, nasionalis. Golongan Karya ( Golkar) yang merupakan golongan non partisan yang merupakan adonan para pekerja ( PNS) dan TNI. Kekuatan TNI/ABRI beserta pegawapemerintah inteligen memback up Soeharto untuk memastikan para elite partai itu ialah loyalis Soeharto. Ketiga partai inilah yang ikut dalam PEMILU untuk menempatkan wakilnya di DPR/D. Ketika di bilik suara, rakyat hanya menentukan tanda gambar partai. Rakyat tidak perlu tahu siapakah wakilnya di DPR/D.  Setelah Pemilu usai, para elite partai akan menentukan siapa yang akan jadi wakil rakyat untuk duduk di DPR/D.  Para wakil ini bekerja dan patuh hanya kepada partai. Mereka tidak ada urusannya dengan rakyat alasannya ialah rakyat telah menawarkan mandat kepada partai, tentu kepada partailah mereka menghamba. Begitupula, para kepala Daerah walau bekerjsama ditentukan oleh Presiden namun pelaksana formalnya dilakukan oleh DPRD. Hasilnya tentu sudah sanggup ditebak sesuai kehendak presiden.

32 tahun Soeharto berkuasa, apa yang bekerjsama yang terjadi? By system, Soeharto menggunakan Partai untuk melanggengkan kekuasaannya dan mengakibatkan semua keputusannya legitimate sesuai dengan UUD. Kita tidak tahu siapa memanfaaatkan siapa. Yang niscaya antara politisi dan Soeharto terjadi mutual symbiosis untuk mengangkangi hak rakyat dengan menjarah kekayaan negara. Makanya jangan kaget jikalau KKN marak ada disemua level, dari lurah hingga ketingkat nasional. Namun semua itu hanya dibicarakan secara bisik bisik tanpa ada keberanian rakyat bicara secara vulgar. Karena jasus ada dimana mana. Sekali salah bicara, maka malamnya sudah “dijemput”oleh tentara untuk ditatar PPPP. Akibat  krisis moneter yang dipicu oleh gelombang hedge fund, telah menciptakan Soeharto limbung dan ini digunakan oleh kekuatan pro demokrasi yang selama ini menjadi silent oposisi untuk bangkit. Amerika dan Barat yang punya kepentingan goestrategis terhadap Indonesia menggunakan moment kejatuhan Soeharto ini untuk memasukan aktivitas strategisnya, khususnya demokratisasi yang memungkinkan kapitalisme lebih berperan dalam menerapkan konsep neoiliberal. Makanya paska kejatuhan Soeharto bukanlah revolusi sebagai pilihan tapi reformasi. Tentara Nasional Indonesia dan Golkar tetap leading dalam proses reformasi dengan menempatkan sang badut reformasi sebagai tokoh pergerakan menyerupai Amin Rais, Gus Dur dan lain lain.

Semua konsep reformasi dipersiapkan oleh asing. Selama Habibie berkuasa sebagai presiden transisi telah berhasil merevisi lebih dari 100 UU kurun Soeharto. Setelah itu Habibie jatuh, proses amandemen Undang-Undang Dasar 45 dilaksanakan dibawah pimpinan badut politik dengan kode dari washington. Maka jadilah bentuk Indonesia sebagai negara demokratis dengan menempatkan kekuasaan ada pada rakyat dan pemimpin dipilih pribadi oleh rakyat. Trias politik terjadi dalam sistem sharing power yang equal. Sebetulnya tidak ada yang salah dari konsep reformasi ala abnormal yang sangat liberal ini namun tidak sesuai dengan budaya dan agama di indonesia yang lebih mengutamakan musyawarah dan mufakat. Yang masyarakatnya terikat secara moral dengan patron dan ulama dilingkungan terdekatnya.  Rakyat banyak tidak diberi pilihan selain demokrasi liberal. Rakyat patuh dan percaya kepada pemimpinnya selagi kekuasaan kurun Soeharto yang penuh dengan KKN tidak terjadi lagi. Undang-Undang Dasar 45 diamandemen selama empat kali dan dari itu lahir Undang-Undang Dasar yang demokratis dimana kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan secara pribadi melalui Pemilu. Sistem ini hanya menempatkan partai sebagai rekruitmen kader pemimpin ditingkat lokal maupun nasional untuk dicalonkan sebagai pemimpin dalam sistem pemilu  pribadi namun partai bukanlah satu satunya yang berhak mencalonkan. Rakyat juga boleh mencalonkan pribadi tanpa mediator partai atau disebut dengan calon independen.

Makanya sesudah calon terpilih sebagai pemimpin (Presiden atau kepala Daerah atau Anggota Dewan) maka putuslah hubungannya dengan partai walau beliau ialah kader partai. Selanjutnya pemimpin ialah milik rakyat dan hanya bekerja untuk rakyat. Rakyat sebagai bos. Sistem ini tidak berlangsung lama. Tahun 2009 , para elite Partai menggugat biar walau DPR/D dipilih pribadi oleh rakyat namun hak Partai tetap ada untuk memberhentikan anggota dewan atau istilah yang digunakan Pergantian Antar Waktu ( PAW). Namun syarat untuk mem PAW kan anggota dewan terpilih tidaklah gampang. Artinya partai tidak sanggup sewenang wenang. Namun dengan UU MD3/2014, pecahan Kelima Belas mengenai Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu, dan Pemberhentian Sementara, Pasal 239 ayat (2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana apabila: d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan UU MD3 maka hak rakyat menentukan wakilnya telah dikudeta oleh Partai. Benar benar tidak demokratis. Makanya jangan terkejut jikalau KPU tidak sanggup melantik Nusron Wahid. Nusron merupakan caleg terpilih di Pemilu DPR, DPD, dan DPRD 2014,yang dipecat oleh Golkar. Walau suaranya rakyat memilihnya sangat significant namun Partai lebih berkuasa untuk merubah orang yang harus jadi wakil di parlemen. Makara dalam sistem sharing power dimana legislative setara dengan Executive namun secara UU legislative dibawah kekuasaan Partai.  Negara partai!

Belum puas dengan UU MD3, sekarang DPR ingin merevisi  UU Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah. Untuk diketahui bahwa dalam UU ini kepala kawasan dipilih secara pribadi oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Sebegitu pentingnya amanah UU ini maka disempurnakan lagi dengan keluarnya UU No.22 Tahun 2007 wacana Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi berjulukan Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Kemudian disempurnakan lagi dengan UU No.15 Tahun 2011, di dalam undang-undang ini, istilah yang digunakan ialah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota. Khusus di Aceh, Pilkada diselenggarakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) dengan diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh). Begitu tepat dan panjangnya perjalanan menempatkan bunyi Rakyat bunyi Tuhan, namun semua itu sekarang bagi KMP ( koalisi Merah Putih ) tidak diharapkan lagi. Pemilihan pribadi ialah omong kosong dan membosankan serta boros dan culas. Yang benar ialah pemilihan tidak langsung, dimana Kepala Daerah dipilih oleh anggota DPRD.

UUD MD3 partai berkuasa terhadap Anggota DPR/D dan RUU Pilkada ,Kepala Daerah dipilih oleh Angota DPR/D. Apa artinya ? tidak perlu jadi profesor untuk mengerti bahwa UUMD3 dan RUU Pilkada ialah kedaulatan dan kehormatan rakyat di perebutan kekuasaan oleh Partai lewat konsitusi. Bagaimana tidak, kepala Daerah dipilih oleh DPRD yang tentu kapanpun sanggup diberhentikan oleh DPRD atas kehendak Partai. Kalau anggota DPRD menolak kehendak partai maka beliau sanggup diberhentikan oleh Partai. Begitupula walau Presiden dipilih pribadi oleh rakyat namun presiden harus berdamai dengan kekuasaan DPR yang dipilih pribadi oleh rakyat namun sanggup diberhentikan oleh Partai. Inilah yang diinginkan oleh Koalisi Merah Putih. Dengan koalisi diatas 50% bunyi di DPR maka jadilah negeri ini dibawah tiran partai. Ya kembali ke Era Soeharto. Sangat jelek laku...

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait