Kemarin malam minggu saya rendezvous dengan sobat di cafeshop hotel Jalan Sudirman.Tadinya sobat ini berkarir hebat disalah satu bank abnormal di Indonesia. Melalui forum head hunter, beliau direcruit sebagai executive MNC dibidang keuangan di Singapore. Padahal latar belakangnya yaitu insinyur. Menurut saya beliau tetap elok diusia mendekati 40 tahun ini. Dia mengajukan satu pertanyaan yang menciptakan saya gundah menjawabnya. Pertanyaanya yaitu dimanakah daerah teraman untuk mencuri ? Maksudnya yaitu kita bebas mencuri tanpa ada satupun pihak meragukan kita akan mencuri ditempat itu. Demikian beliau menegaskan pertanyaan itu. Saya menggelengkan kepala. Karena memang saya tak pernah terpikirkan untuk mencuri jadi tidak paham menjawabnya. Dengan mimik menahan tawa, beliau menjawab “adalah mencuri milik kita sendiri”. Saya mengerutkan kening. Anda tahu, katanya, banyak perusahaan publik diperas oleh rekanan perusahaan yang gotong royong rekanan perusahaan itu pemiliknya yaitu para direksi dan pemegang saham mayoritas. Perusahaan itu bertindak sebagai outsourcing pekerjaan dari perusahaan publik itu. Contoh perusahaan tambang batubara. Dari hauling road, pelabuhan, tugboat, truk angkut adalah unit business yang bangun sendiri dan dimiliki oleh direksi dan pemegang saham lebih banyak didominasi dari perusahaan publik tersebut. Tentu harga jasa yang ditetapkan sanggup diatur sesukanya dan volume pekerjaan sanggup diatur sedemikian rupa lantaran pemiliknya sama walau entity nya berbeda.
Dengan cara menyerupai itu maka para direksi dan pemegang saham lebih banyak didominasi sanggup mengendalikan keuntungan sesukanya terhadap perusahaan publik tersebut. Misal keuntungan gotong royong USD 100 juta pertahun namun diatur menjadi USD 30 juta lantaran harus menanggung biaya jasa yang nota bene pemiliknya yaitu mereka sendiri. Andai ada resiko pada entity business jasa pendukung tersebut maka akan dibebankan kepada perusahaan publik tersebut. Nah, saat harga batubara jatuh dipasaran international , ongkos yang sudah tercatat rapi dalam akuntasi mustahil diturunkan lagi. Maka perusahaan tambang itu harus menderita rugi dan terpaksa memakan cadangan keuntungan untuk memastikan business outsourcing tetap solid dan mendatangkan laba. Kaprikornus dalam situasi apapun pemegang saham lebih banyak didominasi dan direksi tetap untung. Yang jadi korban yaitu pada pemegang saham retail dan institusi menyerupai dana pensiun dll lantaran dividen terus turun dengan alasan harga batubara jatuh dipasaran international. Itu sebabnya salah satu pemegang saham ( Nathaniel Rothschild) tambang batubara di Indonesia yang populer dan listed dibursa international mengajukan somasi kepada direksi dan pemegang saham Artikel Babo lantaran dicurigai melaksanakan insider crime alias mencuri didalam perusahaan sendiri secara legal. Kini saya sanggup pahami. Menurutnya ini terjadi bukan hanya pada perusahaan tambang tapi hampir disemua perusahaan yang sudah listed dibursa. Semua diatur dan direkayasa untuk mencuri dari dalam dan merugikan investor retail.
Anda tahu ,katanya, mengenai kasus Century? Ini juga cara smart mencuri dari dalam. Yang dicuri bukanlah bank Century tapi LPS (lembaga Penjamin Simpanan). Bank Century hanyalah underlying untuk melegitimasi penarikan dana dari LPS. Kehebatan pemain dibalik kasus ini yaitu bagaimana mereka bisa menggiring orang terhebat seperti Boediono, Sri Mulyani (SMI) dan SBY untuk begitu saja mengakui bahwa Bank Century harus di bailout lantaran alasan kawatir berdampak sistemik. Bagi SMI , Boediono dan SBY, problem Century bukanlah problem besar. Mereka hanya focus terhadap problem besar yang dihembuskan akhir dari kalah clearingnya Bank century akan berdampak sistemik. Apalagi saat itu anggaran yang diajukan untuk membail out hanyalah sebesar Rp.632 miliar. Jumlah ini tidak ada artinya untuk kepentingan nasional. Para pemain dibalik kasus ini hanya membutuhkan legitimasi bailout. Soal berapa jumlahnya, ini bukan wilayah pemerintah untuk menentukan.Ini wilayah LPS. Ini hubungan business antara LPS dan Perbankan dalam sistem yang diatur dalam UU. Dan berapapun dana yang dikeluarkan oleh LPS itu maka itu bukanlah kerugian negara. Ini dana milik publik yang dipungut lewat premi resiko tabungan /deposito. Jadi, tidak ada ruang sebagai kasus tindak korupsi ,walau senyatanya dana yang dikeluarkan oleh LPS sebesar Rp.6,76 triliun.
Teman ini tersenyum melihat saya melongo dengan uraiannya. Kaprikornus sama saja saat para direksi dan pemegang saham perusahaan publik yang merampok perusahaan lewat entity business yang bertidak sebagai outsourcing perusahaan. Ketika mereka merampok , masalahmya hari itu juga selesai, clean and clear. Tidak bisa dituntut dikemudian hari lantaran semua diatur dalam kontrak dan kepatutan sketsa transaksi yang legitimate. Juga saat dana bailout Rp. 6,7 triliun untuk century dilakukan, masalahnya sudah selesai. Semua terealisasi sesuai aturan aturan yang berlaku. Tidak ada kerugian negara. Masalahnya mengapa hingga dibawa keranah hukum? Ya, bagaimanapun sketsa ini harus ada yang dkorbankan. Pejabat BI memang bersalah lantaran menciptakan aturan diluar ketentuan Dewan Gubernur namun gotong royong mereka tidak berniat jelek saat itu. Mereka lakukan itu lantaran pengabdian pada pekerjaan dan tanggung jawabnya menjaga aspek teknis stabilitas moneter. Yang seharusnya dicari tahu yaitu siapa dibalik ini semua yang mengatur sehingga pejabat BI terjebak hingga menggiring para boss nya mengeluakan kebijakan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek kepada bank Century yang risikonya menjadi trigger keluarnya kebjakan bailout sebesar Rp.6,7 triliun. Kata saya. Kalaupun tahu, untuk apa ? secara aturan mereka tidak bisa disalahkan lantaran tangan mereka higienis tanpa ternoda apapun. Ingat kita menganut aturan positive. Katanya dengan tersenyum.
Ketahuilah kejahatan menyerupai diatas itu yaitu kejahatan yang disebut super white collar crime. Hanya orang yang sangat hebat dan bermental crime yang bisa melakukannya. Mereka juga berada dibalik keluarnya UU wacana liberalisasi PMA. Yang niscaya orang orang ini sekarang sangat kaya raya. Mereka menjadi konglomerat , pemilik club bola berkelas dunia ,pemilik media massa dan juga aktif sebagai donatur partai untuk mencetak pemimpin yang kelak bisa mereka atur untuk melancarkan super white collar crime dalam bentuk lain. Selagi pemimpin lemah dan bodoh, selama itupula orang orang super white collar crime bebas berbuat memperkaya dirinya...