Sore itu saya mendatangi apartemen yang pernah ditempati Fernandez empat tahun lalu. Sebuah bangunan yang tak layak disebut sebagai apartemen, yang pada umumya berkesan mewah. Lokasinya berada di perkampungan padat di tengah kota. Hanya lima ratus meter dari jalan utama.
Dengan memakai taksi, saya menuju apartemen itu. Aku berharap sanggup mendapatkan informasi lengkap wacana Fernandez dari petugas pengelola apartemen. Paling tidak, beliau tahu bagaimana cara menghubungi Fernandez.
“Maaf, data yang Anda minta sudah kami hapus. Karena kami hanya menyimpan file untuk satu tahun saja,’’ kata petugas apartemen ketika saya tiba meminta informasi wacana Fernandez.
“Apakah ada orang di kantor ini yang sanggup mengingat seseorang berjulukan Fernandez? Dia warga negara Mexico,” tanyaku tidak berputus asa.
“Maaf, saya orang gres di sini,” jawab sang petugas. “Tapi saya sanggup memperkenalkan Anda dengan petugas cleaning service. Dia orang lama. Mungkin beliau mengenal nama itu,” lanjutnya sambil mengangkat gagang telepon. Seorang lelaki muda dengan potongan rambut model cepak, nampak sedang memanggil nama seseorang. “Tolong tiba kemari. Ada yang ingin bertemu.” Tak usang kemudian, seorang petugas cleaning service tiba menghampiri. Dia adalah seorang perempuan paruh baya dengan senyum ramah ketika berjabat tangan denganku.
“Apakah Ibu mengenal laki-laki berjulukan Fernandez? Dia tinggal di sini empat tahun yang lalu.”
“Orang Meksiko?”
“Ya. Ibu mengenalnya?”
“Tentu. Pria yang sangat baik dan selalu royal kepada kami semua. Setiap ahad beliau niscaya memberi kami uang,” kata perempuan itu dengan raut sumringah. “Uuhh! pria yang sangat tampan dan baik hati.” lanjutnya dengan mata berbinar.
“Baiklah. Apakah Ibu mengetahui, mungkin ada seseorang yang sangat bersahabat dengannya? Apakah Ibu mengenal orang itu untuk saya hubungi? Saya hanya ingin tahu keberadaan beliau sekarang.”
“Banyak sekali sahabatnya yang sering tiba ke apartemen. Saya sering lihat dari sudut koridor itu,” beliau menunjuk sebuah tempat di sudut ruangan. “Tapi saya tidak mengenal mereka. Siapalah saya ini untuk sanggup kenal bersahabat dengan mereka?” kata perempuan itu sambil bersandar ke tembok ruang kantor.
“Tapi, saya kenal dengan sobat wanitanya yang selalu tiba di selesai minggu. Wanita itu baik sekali. Kami sering ngobrol ketika Pak Fernandez belum tiba di apartemen.”
“Siapa perempuan itu? Apakah Anda masih mengingatnya?”
“Tentu. Tentu. Bagaimana mungkin saya sanggup melupakannya?”
“Siapa namanya?”
“Susi.”
“Di mana beliau sekarang?”
“Saya tidak tahu di mana beliau tinggal,” jawabnya dengan ramah. “Tapi Bapak sanggup menemui perempuan itu bila Bapak mau membayarnya.”
“Maksud Ibu?”
“Dia perempuan panggilan. Semua orang di sini tahu wacana itu.”
“Baiklah. Di mana saya sanggup menemuinya?”
“Anda harus bertemu dengan bosnya lebih dulu.”
“Baik. Di mana bosnya?”
Wanita itu memandang petugas apartemen di sampingnya. Pria itu tersenyum penuh arti menatapku.
“Anda sanggup temui perempuan itu di sebuah kafe di kawasan selatan Jakarta,” kata officer itu sambil menulis sebuah alamat. Lalu memberikannya kepadaku. “Temui beliau di alamat ini.”
“Lantas, bagaimana saya sanggup mengenal perempuan itu?” tanyaku memastikan.
“Anda sanggup tanyakan kepada petugas kafe. Mereka semua mengenal Susi. Bilang saja, Bapak kenal Susi dari saya.”
“Oh ok. Terima kasih.”
Pria itu tersenyum penuh arti ketika saya melangkah keluar dari gedung apartemen. Aku mengenal tempat itu. Sebuah kafe yang biasa dikunjungi orang asing. Tak heran bila sebagian besar perempuan penghibur di kafe itu lancar berbahasa Inggris dengan baik.
Ironis memang, negeri yang katanya religius, tapi tempat maksiat justru terpelihara dengan baik, bertaburan di tempat remang-remang. Para pejabat memberi izin berkedok perjuangan pariwisata, tapi sebetulnya melegalisasi prostitusi terselubung. Ini juga yang menciptakan geram para penggerak muslim yang ingin mengakibatkan kota Jakarta sebuah kota utopis, higienis dari segala maksiat. Sebuah upaya yang ikhlas namun terlalu utopis alasannya setan tidak pernah di musnahkan Tuhan. Ke maksiatan yaitu bab dari kehidupan sebagai ujian bagi orang beriman untuk tetap mendekat kepada Tuhan di tengah godaan nafsu yang menyesatkan
***
Malam itu saya mendatangi kafe yang dimaksud. Mungkin alasannya saya tiba lebih ‘pagi’, pengunjung belum begitu ramai. Aku mendatangi petugas kafe untuk menanyakan perempuan yang ingin kutemui. Petugas kafe itu menunjuk ke sudut ruangan. Nampak seorang perempuan duduk sendirian. Wajahnya berhias senyuman menggoda. Aku tidak terlalu sanggup melihat terang kecantikannya alasannya suasana yang remang-remang. Terdengar alunan musik lembut menambah nuansa romantis pembangkit imaginasi syahwat.
Aku juga paham betul. Sebagai kafe kelas atas, sudah tentu semua minuman di kafe ini dibandrol mahal. Apalagi dibanding warung pinggir jalan. Yah, sebuah delusi antara harga dengan permak-permak yang mendempulnya. Bentuk orisinil dari harga itu pun tak kelihatan lagi.
Aku melangkah ke arah tempat perempuan itu duduk. Namun seorang laki-laki dengan setelan jas mendatangi perempuan itu lebih dulu. Aku pun terpaksa berbelok, menyingkir.
Tempat duduk di kafe ini dirancang untuk menciptakan pengunjung merasa nyaman duduk berlama-lama. Kursi berbentuk setengah bundar yang bersebelahan dengan dingklik Artikel Babo. Menjamin tawar-menawar dan program ngobrol basa-basi berjalan santai.
Aku pun mengambil tempat duduk di sebelah, sambil menunggu laki-laki itu berlalu. Dengan jarak yang tidak mengecewakan dekat, saya sanggup mendengar dengan terang apa saja yang mereka perbincangkan. Samar-samar saya juga sanggup melihat posisi mereka. Maklum, lampu memang dibentuk muram biar nyaman untuk melampiaskan syahwat.
“Kamu sendirian, ya?” tanya laki-laki itu basa-basi. Sambil berusaha mendekatkan wajahnya ke perempuan itu.
“Bapak lihat, apakah ada orang lain menemaniku?”
“Aku kan, hanya ingin memastikan saja.”
Wanita itu tersenyum sambil melirik laki-laki di sampingnya. Dia menyulut sebatang rokok dan mengepulkan asap rokok dari sudut bibirnya. “Mungkin malah Bapak yang sedang dinantikan seseorang?” kata si wanita, balik bertanya. “Aneh pertanyaan Bapak ini. Di sini, semua perempuan tentu menunggu.”
Pria itu tertawa kecut seakan menertawakan dirinya sendiri yang bodoh, alasannya sedang berada di sebuah tempat di mana semua hal sanggup dibeli. “Aku gres kali ini melihatmu,” kata si laki-laki mulai serius.
“Sama! Aku juga gres kali ini melihat Anda.”
“Boleh duduk di sebelahmu? Siapa namamu?” Kata laki-laki itu sambil merapatkan tubuhnya ke badan wanita.
“Berapa Bapak sanggup membayarku?” tanya perempuan itu tanpa basa-basi. Datar, tanpa ekspresi.
“Apakah saya terlihat menyerupai sedang manawar?”
Wanita itu memicingkan mata kea rah tamunya, “Lantas untuk apa Bapak mendekatiku, di tempat menyerupai ini?”
“Aku tertarik dan ingin tahu saja.”
“Tertarik apa? Ingin tahu apa?”
“Kamu nampak berbeda dengan yang Artikel Babo.”
“Di tengah kompetisi, kita harus memilih cara unik menarik pelanggan. Aku tidak mau menyerupai yang lain dengan turun ke lantai bar, memamerkan badan untuk ditawar.”
“Jadi, perilaku kau kini yaitu perilaku menjual dengan cara yang kau yakini benar dan efektif untuk menarik pelanggan?”
“Ya! Sebutkan berapa harganya?”
“Aku tidak mau transaksi seks walau saya memang butuh seks malam ini.”
“Mengapa?”
“Aku ingin menikmati seks tapi tidak mau membeli untuk itu.”
“Mengapa?”
“Aku tidak ingin membeli, tapi saya ingin menikmati dan di layani menyerupai selayaknya saya membeli.”
“Mengapa?”
Pria itu terdiam. Wanita itu mengerutkan kening. Sepertinya beliau mulai kesal alasannya laki-laki itu tidak sanggup menjawab rasa ingin tahunya. Sepertinya ini pertanyaan yang gampang tapi juga sulit untuk dijawab.
“Mengapa?” beliau mengulangi pertanyaanya.
“Aku ini orang terhormat yang percaya wacana moral. Membeli seks yaitu perbuatan tidak bermoral. Itu selera rendahan. Bukan selera insan sepertiku.” Pria itu tersenyum bangga. Seolah di telah berhasil membuka mata perempuan yang ada di sampingnya wacana siapa beliau sebenarnya.
“Tapi tetap saja, Bapak tidak sanggup lari dari kebutuhan seks dan selera rendahan,” balas perempuan itu dengan senyum mencibir.
Pria itu tampak terkejut dan menatap tajam perempuan yang ada di sebelahnya, “dengar baik-baik!” kata laki-laki itu setengah berteriak biar perempuan itu sanggup mendengar dengan terang di tengah kerasnya alunan musik. “Bisakah kau lupakan wacana harga dan tarif untuk kencan? Kamu akan mendapatkan lebih banyak dari apa yang kau terima selama ini.”
“Tidak bisa! Aku ini pedagang. Harga harus ditetapkan sebelum kita sepakat. Beda dengan istri kau di rumah yang tanpa tarif tapi memeras kau setiap hari.”
“Kamu pelacur. Ingat itu!”
“Iya, saya tahu dan ingat betul!” Jawab perempuan itu mencibir dan berani.
“Aku ini orang yang paling dihormati, bab dari segelintir orang di negeri ini. Aku ini pejabat!”
“Apa bedanya?”
“Tentu ada bedanya. Kamu hanyalah perempuan murahan yang terdampar di dunia remang-remang. Siapapun sanggup membeli kamu. Jangan sombong. Sangat beda denganku, seorang pejabat negara yang mewakili rakyat banyak. Aku punya misi untuk kesejahteraan mereka. Termasuk insan terlantar menyerupai kamu.”
“Tetap tidak ada bedanya. Siapapun sanggup membeliku, asal ada uang. Banyak tamuku cerita, bahwa mereka biasa membeli orang-orang menyerupai Bapak untuk kelancaran bisnisnya. Aku tidak sombong dengan profesi ini. Sedang kau terlalu naif, bercerita wacana kiprah terhormat. Padahal kenyataannya, setiap hari kau juga melacurkan diri dengan jabatanmu.”
Aku mendengar pembicaraan itu dengan terang dan semakin tertarik. Ternyata perempuan yang pernah bersama Fernandez ini bukanlah perempuan biasa. Dari gaya bicaranya, tahulah saya bahwa beliau perempuan cerdas.
“Kamu pelacur murahan!” balas laki-laki itu dengan ketus. Namun tetap duduk merapat dengan perempuan itu.
“Soal murah atau mahal, itu hanya soal tarif. Toh, tetap saja kau dan saya sama-sama pelacur. Sama, kan?”
“Apa kesamaannya, heh?!” tanya laki-laki itu lantang. Tampaknya beliau mulai kesal dan marah.
“Sama-sama melacurkan diri untuk uang. Aku melacurkan tubuhku untuk uang dan kau melacurkan jabatan untuk uang. Sama, kan?!”
“Tapi, tetap saja kau beda denganku.”
“Apa sih bedanya antara saya dan kamu? Sama-sama mendapatkan uang dari cara yang tidak bermoral. Kamu melindungi diri dengan pangkat. Aku melindungi diri dengan parfum dan make up. Semakin tinggi pangkat seorang pejabat, semakin tinggi pula tarif komisi haramnya. Begitupula dengan kami, semakin mahal parfumnya, semakin mahal pula tarif kencan kami. Bila kau bilang, mendapatkan uang untuk kesenangan dan kebahagiaan keluarga maka akupun melaksanakan profesi ini dengan alasan yang sama!
Tapi setidaknya ada perbedaan fundamental antara saya dan kamu. Kamu besar hati dengan jabatanmu tapi tidak suka disebut KORUPTOR. Sementara kami aib mengakui profesi kami di depan publik tapi masa ndeso bila disebut SUNDAL!”
“Semua orang tahu bahwa profesi kau yaitu profesi terhina di dunia,” balas laki-laki itu emosi.
“Sebagaimana profesi Artikel Babo, profesi ini juga punya jasa. Bahkan sesungguhnya, profesi pelacur di negeri ini harus besar hati alasannya keberhasilannya membangun infrastruktur negeri ini, menduduki peringkat kedua di dunia sesudah Ukraina. Inilah profesi yang sanggup berkembang tanpa banyak fasilitas. Jangkan fasilitas, kami justru diburu sebagai pesakitan oleh petugas ketertiban kota. Kadang kami digiring ke dalam truk sampah untuk dibawa ke sentra rehabilitasi yang bahwasanya lebih pantas disebut penjara.
Sangat berbeda dengan para koruptor yang digiring ke penjara dengan kendaraan beroda empat Land Cruiser, atau kadang kendaraan dinas Jaksa yang mewah. Dari semua perlakuan yang tidak manusiawi inilah kami tumbuh dan berkembang di negeri yang para pejabatnya ‘berlindung’ dari mimpi berjulukan Pancasila. Di mana ketuhanan yang maha Esa ditempatkan sebagai sila pertama.
Sangat beda sekali dengan profesi lain menyerupai industriawan, pedagang, atau bankir yang semuanya hidup dari banyak kemudahan Negara, tapi pada karenanya malah menjadi beban Negara. Jangan tanya perbandingan peringkat kesuksesan profesi ini di dunia. Karena terlalu jauh panggang dari api bila berharap. Rangking profesi selain palacur di negeri ini, sanggup menduduki peringkat 500 terbaik di dunia. Bahkan forum pendidikan pencetak generasi bangsa yang dikelola oleh para professor dan Phd, faktanya tak pernah berhasil masuk 100 universitas terbaik di dunia.”
Aku terpukau dengan kata-kata perempuan ini. Sangat faktual dan runtut ketika memberikan argumen. Dia berhasil menjadi pembela ulung bagi profesinya. Aku berusaha merapatkan duduk biar sanggup semakin terang mendengar perempuan itu bicara. Si pejabat hanya termenung kelu.
“Hm… tentu alasan yang saya kemukakan barusan tetap saja tidak akan merubah persepsi Bapak wacana profesi pelacur, bukan? Tetap saja dianggap tak bermoral untuk sanggup hidup di lingkungan masyarakat yang menjunjung tinggi moral. Baik! Saya setuju. Tapi tahukah Anda, bahwa pemimpin-pemimpin dunia yang Bapak agungkan sebagai simbol moral kebangsaan dan tercatat dalam tinta emas sejarah, yaitu orang-orang yang jatuh dalam pelukan pelacur?
Soekarno jatuh dalam pelukan Dewi. Wanita penghibur di sentra hiburan Ginza, Jepang. Hitler terlelap dalam kekalahan dengan hening alasannya di sampingnya ada seorang pelacur. Juga Napoleon yang tetap bertahan dalam penjara di Pulau Elba hingga selesai hayatnya alasannya ada seorang pelacur di sisinya. Mereka semua tercatat dalam tinta emas sejarah. Namun tidak dengan profesi kami yang sudah memberi andil dalam kehidupan mereka.”
“Tapi bagaimanapun, keberadaan orang menyerupai kau merusak kehidupan moral kota. Cepat atau lambat, profesi kau memang harus dikikis,” kata pejabat melunak.
“Pemerintah kota boleh men-cap kami sebagai pencemar nama baik kota. Tapi anggaran belanja pembangunan daerahnya, mereka ambil dari pajak hiburan. Mereka namakan pajak hiburan. Padahal, dunia hiburan yaitu bab dari promosi untuk melancarkan kegiatan profesi kami. Apapun namanya bentuk dunia hiburan, akan berujung pada kelangsungan profesi kami. Tidak ada dunia hiburan sanggup berkembang tanpa kehadiran kami. Tidak berlebihan bila goyang Inul berhasil menahan Undang Undang Pornografi dan Pornoaksi yang sedang disusun DPR. Goyang Inul yaitu bab dari promosi ampuh untuk menggiring para sampaumur dan orang bau tanah untuk membayar profesi kami.
Dalam ranah agama pun setali tiga uang. Bisa kita temukan dalam nasehat-nasehat agama, banyak dongeng wacana pelacur yang bertobat. Entah mengapa profesi kami dijadikan ‘sampel kasus’ pendosa yang karenanya bertobat. Tidak dengan profesi Artikel Babo. Padahal sanggup jadi profesi lain lebih hina dibanding profesi kami. Tapi itupun kami tidak peduli. Romatisme nirwana mungkin telah menempatkan kami sebagai profesi neraka, meski bahwasanya tetap mempunyai kesempatan untuk masuk nirwana asal bertobat. Setidaknya, kami tetap bersukur alasannya semua agama mengharapkan kami bertobat.
Sangat beda dengan profesi lain yang biarpun ditegur, tapi dengan begitu banyak bahasa kiasan tanpa ada kesan menghakimi. Aku tidak tahu bagaimana cara pandang agama wacana pendosa, sehingga profesi kami begitu dibenci dengan bahasa yang vulgar.
Kadang saya iri sekali melihat para ulama begitu gemarnya tiba ke rumah pejabat korup, mengisi pengajian dan ceramah agama. Ulama juga dengan mudahnya tiba ke acara-acara nasional memperlihatkan ceramah agama atau memimpin doa dan diliput banyak media massa. Tapi hampir tidak ditemukan, seorang ulama tiba ke tempat kami bekerja untuk memberi pencerahan agama. Apalagi berharap biar ceramahnya di hadapan kami diliput media massa.
Mungkin di lingkungan yang katanya ‘terhormat’ itu seorang ulama sanggup mampu uang saku. Sementara di lingkungan tempat kami bekerja, seorang ulama hanya akan mendapatkan malu.
Tahukah Bapak bahwa ketika kami pulang ke kampung halaman, kami semua berdusta wacana profesi kami sebagai pelacur? Kemewahan yang kami bawa dari kota harus dikemas dengan dongeng palsu. Kami menutup rapat dongeng profesi kami dengan berpura-pura menjadi profesi lain, biar mereka tidak curiga wacana kemewahan yang kami bawa pulang. Tapi berbeda dengan para pejabat. Mereka tidak pernah aib mengakui dirinya sebagai pejabat dengan segala kemewahan yang mereka miliki. Padahal semua orang tahu bahwa hartanya jauh lebih banyak dibanding honor orisinil yang harusnya diterima. Namun semua masyarakat di kampung tetap memujinya. Masyarakat tetap mengagungkan profesi itu, meski jelas-jelas ia hidup dari melacurkan jabatannya demi uang!”
Wanita itu tersenyum. Dia menghabiskan minumannya sambil berdiri kemudian berkata, “Ah, mengapa hingga begini jauh saya membela profesiku? Padahal saya yakin tidak akan ada orang yang sanggup mendapatkan pembelaan ini. Tapi setidaknya, saya harus bicara, sekedar memalsukan para politisi menyerupai Anda. Walau saya sendiri tahu, kami tetap akan ditertawakan. Ya endak apa-apa, kok! Wong namanya demokrasi. Siapa pun boleh ngomong. Siapa tau entar sanggup bikin partai dan jadi presiden. Wong komedian saja sanggup jadi anggota dewan. Koruptor saja sanggup jadi menteri. Kenapa pelacur tidak?”
Pria itu tersenyum kecut mendengar kata-kata terakhir perempuan itu. Dia merasa tersudut. Sebuah tesis gemilang dari seorang perempuan yang hidup dari dunia remang-remang telah dipaparkan dengan begitu baik.
“Lebih baik saya akhiri di sini saja. Kelihatannya Bapak tetap dengan pendirian Anda untuk membeli seks tanpa mau disebut melacur. Kita akan tatap sama dalam cara dan perbuatan kita. Sama-sama pula dikutuk oleh semua orang yang masih menghargai moral. Sebaiknya Anda tetap setia kepada perempuan di rumah yang selalu mau melayani. Walau beliau sadar sedang ditiduri oleh laki-laki yang setiap hari melacurkan jabatannya demi membayar dan memuaskan wanita, yang disebut sebagai istri itu. Itulah beda kami dengan perempuan di rumah, istri seorang koruptor. Entah mana yang lebih hina? Tanyalah kepada rumput yang bergoyang!”
Wanita itu berdiri, kemudian melangkah menjauh dari si pejabat. Aku segera mengikutinya dari belakang. Kemudian beliau duduk di meja bar. Aku menyusul dan ikut duduk di sampingnya.
“Susi?” saya menegurnya. Wanita itu menoleh ke samping dan memperhatikanku dengan seksama. “Anda mekenalku? Apakah saya pernah bertemu dengan Anda sebelumnya? Oh, maaf. Saya memang tidak pernah mau mengingat setiap tamu yang datang,” kata perempuan itu ramah.
”Tidak! kita tidak pernah bertemu sebelumnya. Aku mengenalmu dari petugas apartemen.”
“Mas Budi, ya?”
“Waduh! Aku tidak tahu niscaya namanya. Lupa bertanya.” Aku menyungging senyum kecil sekedar untuk mencairkan suasana.
“Ya. Pasti dia. Hanya beliau yang tahu jika saya sering ke sini. Kadang beliau juga kasih order untuk melayani tamu-tamu apartemennya.”
“Oh, begitu?”
“Ya!”
Susi kembali memicingkan mata ke arahku. Sejenak kemudian beliau berdiri. “Ikuti aku” kata Susi, menggiringku untuk beranjak dari tempat duduk.
“Aku tidak ada waktu untuk berlama-lama. Hari ini saya memang sedang panik. Aku butuh uang untuk biaya putriku masuk sekolah. Makara maaf bila saya tidak ada waktu untuk dialog kosong. Sebutkan berapa kau mau membayarku?”
“Berapa Anda minta bayaran?”
“Tiga juta,” jawab Susi ragu dengan harga yang dibukanya.
“Ok, saya bayar.”
Aku eksklusif membuka dompet dan menyerahkan lembaran seratus ribu. Sambil memasukkan uang itu ke dalam tas kecil yang disampirkan di bahunya, beliau tersenyum senang. “Terima kasih, saya suka orang menyerupai Anda. Tidak pernah perundingan soal seks,” puji perempuan itu sambil merapatkan tubuhnya padaku.
“Bukan seks,” jawabku singkat sambil melonggarkan posisi duduk dari pelukan Susi.
“Lantas apa?”
“Aku butuh informasi tetang Fernandez.”
Dia termenung sambil menatap lurus padaku. Seakan beliau mencari sesuatu di balik wajah dan sorot mataku. Kemudian nampak wajahnya memerah dan air matanya berlinang. “Pria yang malang!”
“Apa maksud Anda?”
“Aku sangat mencintainya, tapi…” beliau menutup mata dengan kedua telapak tangannya. Susi tampak tertekan. Seolah beliau sedang mengingat sesuatu yang begitu menyakitkan. Aku merasa sedikit menyesal namun, saya butuh informasi itu. Susi kembali mengangkat wajahnya dan menatapku lagi dengan mata merahnya. Sementara jemarinya sibuk mengusap air mata yang sepertinya, enggan untuk berhenti mengalir. Aku merasa iba sekaligus bingung. “Ada apa?”
“Dia terbunuh ketika kami sedang berduaan di kamar apartemen.”
“Terbunuh?”
“Ya. Seseorang telah menghabisi nyawanya dengan sangat kejam. Dia ditembak dalam jarak hanya satu meter dan terkapar dalam pelukanku.” Susi kembali tersedu.
“Oh!” Aku terkejut dengan informasi ini. Dan saya semakin resah dengan kabar sedih yang misterius ini. Bayangan Fernandez berkelebat di pelupuk mata. Seorang teman yang begitu baik. Susi kembali menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Baiklah, saya permisi. Terima kasih untuk informasinya,” kataku kemudian dan beranjak pergi. Aku pikir tidak ada lagi yang sanggup diperlukan dari Susi. Jalan untuk menemukan Fernandez tertutup sudah. Aku tidak tahu lagi kemana harus mencari tahu, apa dibalik transaksi yang sedang dihadapinya.
“Tunggu!!” Susi berdiri dan mengusap airmatanya, “tampaknya Fernandez begitu berarti buat Anda?”
“Ya. Sangat berari.” Aku tetap melangkah, menuju pintu kafe.
“Kalau begitu, ada sesuatu yang mungkin mempunyai kegunaan bagimu,” kata Susi sambil memegang tanganku, menahan langkahku.
“Apa itu?”
“Tas kecil yang kudapatkan dari simpanan pribadinya. Kupikir isinya sesuatu yang sangat berharga, ternyata cuma tumpukan surat menyurat yang tidak kumengerti. Tapi saya selalu menyimpannya, alasannya saya tidak akan pernah sanggup melupakannya. Setelah beliau pergi, hidupku berubah drastis. Menjadi pelacur murahan. Ini pertama kalinya saya mendapatkan bayaran mahal, darimu.”
Wanita itu kembali duduk. “Apakah kau menginginkan tas itu?”
“Ya, siapa tahu ada gunanya.”
“Kalau begitu, kau harus mengambilnya di rumahku.”
”Baiklah, kita ambil sekarang?”
Susi mengangguk dan kami melangkah keluar dari kafe. Taksi mengantar kami kerumah Susi. Suasana malam mendekap kelabu. Membuatku berkerut kening ketika taksi yang kami tumpangi mulai masuk kawasan kumuh. Susi yang duduk di sampingku tampak tenang saja. Padahal, di lingkungan ini semua hal sanggup terjadi dengan gampang hanya alasannya alasan sepele. Termasuk menghilangkan nyawa orang lain.
Susi mengangguk dan kami melangkah keluar dari kafe. Taksi mengantar kami kerumah Susi. Suasana malam mendekap kelabu. Membuatku berkerut kening ketika taksi yang kami tumpangi mulai masuk kawasan kumuh. Susi yang duduk di sampingku tampak tenang saja. Padahal, di lingkungan ini semua hal sanggup terjadi dengan gampang hanya alasannya alasan sepele. Termasuk menghilangkan nyawa orang lain.
Dari informasi yang pernah kubaca di koran, hanya alasannya uang seratus ribu rupiah, penduduk sini biasa menghilangkan nyawa orang lain. Benar-benar citra suram sebuah negeri yang katanya kaya akan sumber daya alam. Tapi nyatanya, penduduknya sanggup menjadi buas hanya alasannya ingin mempertahankan hidup. Lalu di mana dongeng kekayaan negeri itu? Semuanya tampak suram dan menguap begitu saja. Tersembunyi di balik labirin yang sukar terkuak. Hidup menyerupai sebuah misteri dalam lorong panjang yang seakan tak berujung.
“Mungkin kau gres pertama kali berkunjung kewilayah ini, ya? Tidak usah gugup, tenang saja,” kata Susi mencoba menenangkan. Seakan beliau sanggup membaca kekhawatiran di wajahku. Dia tidak tahu masa kemudian ku ketika awal tiba ke Jakarta pernah tinggal di lingkungan menyerupai ini. Acap melihat orang bertarung hanya alasannya uang receh dan duduk masalah sepele.
Setiba di rumah, saya eksklusif mengambil tas yang kuterima tanpa mengusut isinya. Aku pun segera pamit biar sanggup cepat berlalu dari wilayah itu. Aku tak menanggapi, ketika Susi berusaha untuk menahanku lebih usang untuk hanya sekedar basa-basi. Aku gres sanggup bernafas lega ketika taksi yang kutumpangi sudah keluar dari kampung itu dan melaju di tengah jalan raya. Aku menetapkan untuk eksklusif pulang ke rumah dan istirahat. Istriku tercinta tentu sudah menunggu dengan sayuran hangat kegemaranku
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/