Sondang Hutagalung

 Tak perlu dijelaskan bagaimana kehidupan orang miskin itu Sondang Hutagalung

Ia ialah putra seorang supir taksi. Tak perlu dijelaskan bagaimana kehidupan orang miskin itu. Dia rasakan dan beliau akrap dengan keseharian itu. Walau beliau beruntung termasuk segelintir kecil perjaka yang mendapat kesempatan duduk di Universitas untuk sebuah hope namun tidak membuatnya berdiam dan menanti hope itu. Dia berdiri dalam kegundahan wacana kemiskinan yang dilihatnya setiap hari. Dia tahu niscaya bahwa itu alasannya ketidak adilan penguasa. Dia ingin menjadi pejuang dari komunitasnya. Semua sadar , termasuk beliau bahwa apa yang diperjuangkannya ialah sia sia. Karena yang dihadapinya ialah system yang arogan bersama elite yang korup. Yang tak suka ada aktifis ibarat dia. Yang membolehkan Polisi menyepak atau merekaya pembunuhan untuk orang ibarat dia. Dialah Sondang Hutagalung , yang mengkremasi dirinya sendiri didepan Istana dimana sang President berkantor dan bertitah.

Sebelumnya bulan kemudian di Nigeria terjadi hal yang sama pada perjaka berjulukan Yenesew Gebre yang mengkremasi dirinya sendiri dalam satu agresi anti korupsi. Mungkin apa yang dirasakan oleh Yenesew Gebre di Negeria tak beda dengan Sondang Hutagalung di Indonesia. Betapa tidak ? Yenesew Gebre tahu niscaya bahwa negerinya penghasil minyak, Negara demokratis sesudah menjatuhkan junta militer tapi perbaikan bukannya terjadi malah korupsi semakin terjadi secara sistematis. Dulu para perjaka gagah berani bersama sama menjatuhkan junta militer dan bersama sama pula menaikkan kekuataan sipil dalam pemerintahan. Namun apa yang terjadi ? tak ubahnya keluar dari lisan macam masuk kedalam lisan buaya. Militer maupun sipil tetap saja sama walau berbeda gaya, mereka memang pencuri terlatih. Demikian yang ada dalam benak para anak muda itu. Hingga mereka lelah dan lelah alasannya kecewa akhir akad dan kenyataan tak bersua.

Dalam era kini , dimana semua diukur dengan logika , rasanya sulit untuk menjelaskan bagaimana ada insan sehat lahir batin mau mengkremasi dirinya sendiri. Hanya alasannya alasan untuk memberikan kebenaran. Padahal banyak cara untuk memberikan kebenaran. Demikian kata orang yang berakal. Tapi tidak bagi sipemberani mati itu. Baginya kehidupan bukanlah harga mati untuk dibela. Tentu bagi sang aktifis, saat beliau berjuang semua resiko telah diperhitungkannya. Mereka focus dengan nilai nilai perjuangannya. Segala cara, mungkin telah dilakukannya. Disepak polisi, ditangkap dan di interogasi dengan kekerasan dan lain sebagainnya telah dilaluinya. Sampai pada satu titik , timbul rasa frustrasi alasannya semakin keras perjuangannya untuk menegakan kebenaran semakin keras pula perilaku penguasa untuk mengabaikan, bahkan semakin mempertotonkan kebobrokan.

Penguasa kini tidak ibarat Firaun yang memaksa orang remai menjadikannya Tuhan. Namun prilaku, perilaku dan perbuatan penguasa kini tak ubahnya Firaun. Memang tidak ada tindak pemaksaan kepada pembela kebenaran untuk membunuh dirinya sendiri tapi cara dan perilaku pemeritah secara psikis dan sistematis telah menjadikan banyak korban mati sia sia. Kalau tragedi Tsunami terjadi sekali dalam 100 tahun dengan korban maut diatas 100,000 orang namun ada maut yang terus terjadi. Setiap enam jam ada 400 balita mati alasannya kurang gizi. Laporan dari SDKI , setiap 3 jam ada 1 maut ibu melahirkan alasannya kurang gizi. Jumlah maut lain yang tak terdeteksi dapat saja terjadi setiap hari pada 70 juta orang miskin yang berpenghasilan dbawah USD 2 dolar perhari. Malangnya nasip orang miskin di Indonesia, Pilihannya hanya tiga yaitu berhutang, mengurangi makan , bunuh diri. Ketiganya berujung kepada kematian...

Memang tragedi kemanusiaan akhir penguasa buta hati lebih dahsyat dibandingkan tragedi alam. Sementara 40 orang terkaya di Indonesia sama dengan penghasilan 60 juta rakyat Indonesia. Gap yang maha lebar ini menciptakan sesak dada dan geram para aktifis pejuang kemanusiaan. Mengapa sulit sekali mencapai cita cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Padahal sudah lebih setengah kurun merdeka dengan berkah SDA tak ternilai. Mengapa ? Jawabannya hanya satu , yaitu KORUPSI. Itulah yang menciptakan lelah para aktifis dan hasilnya frustrasi. Sondang Hutagalung , putra seorang supir taksi, Ketua Bidang Organisasi Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi), kini telah tiada dan berharap menyadarkan semua pihak untuk nilai nilai kebenaran demi tegaknya keadilan bagi semua.

Akankah ini menyadarkan para elite politik negeri ini untuk membuka mata hatinya dan mulai berpikir bagaimana berkorban untuk membela orang miskin? Setidaknya mengorbankan nafsu korupsinya untuk hidup higienis sesuai yang diridhoi Allah. Akankah ? Entahlah.


Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait