Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat angka potensi sumber daya daya ikan di Indonesia terus naik setiap tahunnya sejak 2014. Kenaikan paling signifikan terlihat pada 2017 yang mencapai 12,54 juta ton pertahun. Stok ikan tersebut lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yakni 9,93 juta ton pertahun. Ini berkat kebijakan moratorium kapal asing, penenggelaman kapal ilegal, pelarangan bongkar muat di bahari dan larangan penggunaan alat tangkap yang merusak. Selain itu, moratorium kapal absurd juga memberi manfaat kepada nelayan lokal untuk meningkatkan jumlah produksi ikan. Artinya pengelolaan kekayaan bahari Indonesia dikembalikan kepada anak bangsa.
Yang jadi persoalan yaitu sebegitu andal kegiatan penegakan aturan di bahari oleh pemerintah, sebegitu hebatnya potensi ekonomi ikan di laut, namun penerimaan negara tidak significant. PNBP ( Pendapatan Negara Bukan Pajak ) yang disetorkan KKP kepada negara di 2017 sebesar Rp 491 miliar. Realisasi tersebut sebesar 51,68 persen dari sasaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2017 yang mematok Rp 950 miliar. Makanya tahun 2018 sasaran hanya ditetapkan sebesar Rp. 600 miliar. Bayangkan, dari ribuan triliun potensi ekonomi bahari kita hanya mendatangkan PNBP tidak lebih Rp 1 triliun. Kalau anda pernah bisnis ikan dan punya kapal penangkapan ikan diatas 30 GT , setahun sanggup mendapakan net profit Rp. 10 miliar.
Sejak awal Jokowi berkuasa, semua nelayan yang punya kapal ukuran dibawah 10 GT dibebaskan dari kewajiban mendapat izin. Di abad SBY itu hanya berlaku dibawah 3 GT. Artinya nelayan ukuran UKM dibebaskan dari pajak dan kewajiban Artikel Babo. Bahkan bukan hanya dibebaskan tetapi juga pemerintah menunjukkan derma dalam rangka modernisasi nelayan. tahun 2017 saja pemerintah telah menyalurkan 754 unit derma kapal perikanan dan membagikan 7.255 unit alat tangkap ramah lingkungan kepada nelayan UKM. Nah siapa yang harus sanggup izin ? ya mereka yang punya kapal diatas 10 GT. Itupun izinnya ke provinsi. Pusat atau KKP hanya melayani izin diatas 30 GT. Dari mereka inilah negara berharap mendapat pemasukan pajak. Makanya proses perizinan diperketat.
Mengapa proses perizinan kapal itu ( SIPI ) itu sangat sulit dan terkesan mempersulit. Karena KKP harus memastikan yang mengajukan permohonan itu benar benar pengusaha nasional di bidang perikanan. Tract record nya harus jelas. Kalau semua syarat terpenuhi, engga perlu keluar uang atau melalui broker, izin keluar otomatis. Pengajuan pun sanggup online. Bukan diam-diam umum bahwa banyak pemilik SIPI diatas 30 GT hanyalah joki dari pengusaha asal Thailand, Taiwan, dan China. Pemerintah tidak mau mengulang kesalahan masa kemudian dimana SIPI jadi komoditas diantara broker yang niscaya bekerjasama dengan elite politik. Makara yang teriak teriak kepada Sandi bahwa pemerintah persulit izin SIPI itu bukanlah nelayan UKM tetapi orang absurd yang berbaju nelayan, dan menarik hati Sandi biar membela mereka.
Saya engga sanggup bayangkan jikalau Sandi jadi terpilih sebagai Wakil Presiden dan beliau mempermudah izin SIPI maka bahari kita kembali ke abad sebelum JOkowi. Makara lahan bancakan. Apakah nelayan makmur alasannya itu? faktanya justru nelayan mengalami kemiskinan di abad dimana semua izin tangkap ikan mudah. Di abad Jokowi nelayan makmur alasannya mereka diberi kebebasan dan juga mendapat derma dari negara. Mengapa Sandi tidak pernah berguru atau membaca aturan yang ada sebelum memberi komentar?
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/