Sabtu (23/03/2013) ,pukul 0.30 dini hari di Lapas Sleman, pintu Lapas diketuk oleh empat orang berpakaian preman dengan menandakan surat kiprah dari Polda DI Yogyakarta. Ketika pintu Lapas dibuka, gerombolan laki-laki bersenjata lengkap dengan memakai topeng masuk tanpa banyak bersuara memaksa petugas Lapas menandakan ruang empat orang penghuni Lapas yang menjadi target. Dihadapan penghuni lapas lainnnya keempat orang itu dihukum mati oleh gerombolan laki-laki bersenjata itu. Sementara petugas Lapas yang berjumlah delapan orang telah dlumpuhkan. Semua proses itu berlangsung hanya 15 menit. Peristiwa ini menciptakan kita merinding. Siapakah pelakunya? Diragukan itu berasal dari sipil, demikian jawaban teman saya yang juga rekanan procurement TNI. Karena palaku tidak satu orang. Jumlahnya ada 15-20 orang yang bersenjata laras panjang dan granat. Tidak gampang menyediakan senjata untuk lebih selusin kecuali memang aparat. Dari kronologis kejadian itu nampak bahwa operasi pembunuhan keempat orang penghuni lapas itu dilakukan dengan sangat professional, terkesan hambar dan hanya membunuh yang menjadi sasaran sehabis itu berlalu dengan cepat. Dugaan teman ini mungkin ada benarnya alasannya yaitu keempat orang itu yaitu pelaku pembunuhan Sersan Satu Santosa, anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) di Hugo's Cafe Yogya, 19 Maret 2013 lalu. Sepertinya ini agresi dari spirit solidaritas korps…
Siapakah pelakunya? Tentara Nasional Indonesia dengan tegas menyampaikan bahwa pelakunya bukan berasal dari aparatnya. Walau salah satu korban dari keempat penghuni lapas itu yaitu mantan Polisi namun tidak terdengar pendapat yang mengindikasi adanya pertikaian antara Tentara Nasional Indonesia dan Polri. Lantas siapa ? apakah ini terroris ? Semakin saling mengelak semakin menandakan pertarungan antara Tentara Nasional Indonesia dan Polisi atau Tentara Nasional Indonesia vs Sipil semakin terperinci arahnya, yaitu menciptakan negara lemah dan menciptakan pemerintah rusak citranya dihadapan rakyat; Betapa tidak berdayanya Negara melindungi terpidana didalam penjara. Kalau orang dibawah pengawasan keamanan 24 jam saja tidak kondusif bagaimana dengan orang diluar yang jauh dari jangkauan pegawanegeri keamanan? Dari kejadian ini kita mulai bertanya dimana Negara ? dimana kepemimpinan. Dimana undang Undang. Dimana hukum. Semakin mengindikasikan bahwa ada yang salah dalam spremasi sipil dikala ini. Bahwa seharusnya supremasi sipil yaitu supremasi hokum. Lantas apa alhasil jika kenyataannya sipil yang korup memperdagangkan hukum. Rakyat kecewa, apalagi Tentara Nasional Indonesia yang memegang teguh dokrin Tentara Rakyat, pembela Pancasila. Seharusnya ini disadari oleh para elite politik sipil. Sadar bahwa mereka tidak bebas berbuat sesukanya. Ada kekuatan lain yang sanggup menjadikan mereka pecundang.
Ya, diatas kemajuan ekonomi yang dibanggakan oleh pemerintah ternyata ada satu yang mulai ringkih oleh keadaan social dan politik. Apa itu ? relasi antara Polisi Republik Indonesia dan TNI. Lebih luas lagi yaitu relasi antara Tentara Nasional Indonesia dan sipil. Setelah Reformasi, perseteruan antara Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia sering terjadi. Peristiwa paling fenomenal terjadi pada 2001. Bentrokan antara anggota Polresta Madiun dengan Batalion 501 diawali duduk masalah sepele, yaitu berselisih di antrean SPBU. Bentrokan ini menciptakan situasi Madiun, Jawa Timur mencekam. Kantor Mapolresta Madiun sempat dua kali diserang anggota TNI. Baku tembak tak terhindarkan. Ada juga bentrok di Ternate, Oktober 2009, yang dipicu duduk masalah penjagaan di sebuah pelabuhan Bentrokan ini bermula dari kesalahpahaman antara anggota TNI-Polri yang ditugaskan mengamankan kapal Lambelu ketika mendarat di Pelabuhan Ternate, Maluku Utara. Sejumlah anggota bintara magang Polisi Republik Indonesia tiba-tiba diserang anggota Tentara Nasional Indonesia yang berpakaian preman. Akibatnya, tiga anggota bintara terluka terkena bacokan sangkur. Akibat kejadian ini, Kota Ternate mendadak menjadi tegang. Bulan ini terjadi pembakaran Mapolres OKU di Sumsel oleh puluhan prajurit TNI. Peristiwa bentrok antara anggota Tentara Nasional Indonesia versus Polisi Republik Indonesia itu bukan kali itu saja terjadi. Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, semenjak 2005 sampai kini, setidaknya terjadi 28 kejadian bentrokan terbuka antara anggota dua korps tersebut di banyak sekali daerah.
Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 45 maka terjadi re-definisi Sistem Pertahanan Nasional dengan pemisahan secara tegas antara POLRI dan TNI. Tugas keamanan dalam negeri sepenuhnya otoritas POLRi yang strukturnya pribadi dibawah Presiden. Tentara Nasional Indonesia hanya bertugas menjaga keamanan dari bahaya pihak luar. Apakah ini diterima lingkaran oleh TNI? Tahun 2000 saya masih ingat dengan ucapan teman perwira Tentara Nasional Indonesia bahwa walau kedudukan Tentara Nasional Indonesia kini berubah seiring berubahnya Undang-Undang Dasar 45 namun bukan berarti Tentara Nasional Indonesia juga berubah. Tentara Nasional Indonesia tidak loyal kepada Undang-Undang Dasar tapi loyal kepada Pancasila. Selagi Undang-Undang Dasar seiring sejalan dengan Pancasila, dimanapun Tentara Nasional Indonesia ditempatkan maka itu akan menjadi dedikasi dan kehortmatan bagi TNI. Kenyataannya kedudukan Tentara Nasional Indonesia kini ini tak lain menempatkan Tentara Nasional Indonesia di sudut yang kalah dan terabaikan secara system dari supremasi sipil, yang pada waktu bersamaan sipil gagal menuaikan janjinya lebih baik dibandingkan militer dan Pancasila diabaikan. Bahkan sipil bersama Polisi Republik Indonesia hidup bergelimang kemewahan dari korupsi dan ini tentu mengakibatkan efek psikologis bagi Tentara Nasional Indonesia khususnya ditingkat perwira menengah kebawah. Tak heran, terlihat adanya indikasi bahwa Tentara Nasional Indonesia ingin kembali mendapat kewenangan di luar fungsi pertahanan negara, yaitu keamanan dalam negeri, menyerupai yang dilakukan lewat RUU Keamanan Nasional. Namun elite politik tidak rela begitu saja menciptakan Tentara Nasional Indonesia kembali berperan significant.
Agar stabilitas keamanan dan politik negeri ini terjadi solid maka 1).pemerintah harus menempatkan kedudukan kelembagaan Tentara Nasional Indonesia setara dengan Polisi Republik Indonesia dan 2). memperbaiki kesejahteraan prajurit Tentara Nasional Indonesia setara dengan Polisi Republik Indonesia serta 3). menjamin spremasi sipil yaitu supremasi aturan dengan menempatkan kebenaran, kebaikan dan keadilan diatas segala galanya. Apabila ketiga hal tersebut tidak segera dilaksanakan maka sejarah membuktikan Tentara Nasional Indonesia akan selalu bersama rakyat melaksanakan perubahan secara halus maupun kasar. Sehebat apapun pemerintah, akan jatuh. Semoga ini disadari …
Sumber https://culas.blogspot.com/