Showing posts sorted by relevance for query demokrasi. Sort by date Show all posts
Showing posts sorted by relevance for query demokrasi. Sort by date Show all posts

Memburu Harta (14)

Pertemuan dengan Catty meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Di mataku, Catty yaitu seorang perempuan yang tegar. Meski orang-orang terdekatnya harus meninggal akhir perburuan aset ini, tapi ia tak gentar untuk terus melangkah dan pantang putus asa. Hanya dengan mengandalkan search engine ia pun berharap menerima informasi yang bisa membantunya menemukan kebenaran. Sembari berharap biar menemukan orang yang tepat, yang punya kesamaan visi dengannya. Memang dalam hidup ini jika tak bisa menuntaskan masalah sendiri, maka harus mencari orang lain untuk gotong royong menyelesaikan. Manusia satu sama dengan nol. Dan dua sama dengan satu.  Catty tak pernah ragu dengan tekadnya. Maka ketika menerima respon dariku, ia rela terbang melintasi negara biar bisa bertemu denganku. Dari sini, nampak terang bahwa ia sangat serius. Ceritanya ihwal dosa para leluhurnya terhadap aset ini tentu bukanlah kata-kata manis belaka. Tapi ia juga buktikan dengan sikapnya.
Tapi, saya masih belum bisa menangkap dengan terang masalah yang dihadapi. Apa sebetulnya yang membuat Catty selalu gagal memanfaatkan aset ini. Benarkah ada kekuatan lain yang lebih hebat menghadang niatnya. Lantas mengapa Tomasi hingga berani mengambil resiko dengan nyawanya? Begitu juga dengan Fernandez yang bertahun-tahun ada di Indonesia.  Mengapa pula Tomasi begitu gampangnya memberiku kepercayaan dengan mengirim cash collaeral dalam bentuk SBLC dan kemudian memperkenalkan diriku dengan Chang sebagai pemilik asset? Lalu soal Chang, mengapa gres kini Chang kisah soal keberadaan tim yang akan membantunya menuntaskan masalah aset ini? Mengapa Chang tidak pernah kisah sebelumnya. Kalaulah saya tahu dari awal, bahwa aset ini bermasalah tentu Aku tidak akan mengambil resiko yang begitu besar. Apalagi ongkos ini semua tidaklah murah.
Sedari tadi saya masih termangu memandang ke luar jendela. Banyak hal yang kupikirkan. Untuk sementara saya tidak akan membuka informasi ihwal pertemuanku dengan Catty kepada Chang. Aku juga tidak akan menceritakan soal dokumen Fernandez yang ada di tanganku. Aku hanya ingin melihat perkembangan situasi. 
Entah mengapa saya memikirkan Ester. Aku merindukannya. Sedang apakah ia kini? Hanya sejengkal dari hotelku yaitu kantor kawasan ia berkarir. Cukup dengan sentuhan jariku di layar telephone selular, saya sanggup mengirim pesan singkat dan dalam 15  menit ia sudah ada dalam dekapanku. Tapi segera saya urungkan.  Sejak pertemuan dengan Tomasi di Singapore, saya mengganti nomor handphone biar Ester tidak punya jalan masuk terhadapku. Dan lamunanku terbuyarkan oleh getaran telepon selular. Aku segera mendapatkan telpon itu.
“Selamat Pagi, Jaka,” terdengar bunyi Chang di seberang.
“Pagi.”
“Di mana posisi Anda sekarang?”
“Marriot Hotel, Hong Kong.”
“Ok. Dalam satu jam, team saya akan bertemu dengan Anda. Kami segera ke sana sekarang.”
“Ok. Bye.”
Aku teringat janji untuk bertemu pagi ini dengan Catty Liem. Dia tidak ingin pertemuannya dengan team Chang, dihadiri pihak lain.
“Catty,” sapa saya melalui telpon selular.
“Ya..” Catty menjawab santai.
“Pagi yang cerah ya?”
“Tentu..”
“Pertemuan kita ditunda hingga nanti ada informasi dari saya, bisa?”
“Apa ada yang salah?”
“Tidak ada. Hanya saja, team Chang ingin segera bertemu.”
“Oh, ok. Saya akan tunggu waktu yang tepat untuk kita.”
“Ok. Bye.”
“Bye, Honey…”
Catty memanggilku Honey? Dadaku berdesir ketika mendengar sebutan itu. Aku tersenyum ketika menutup telepon selular.
Di ruang business center Hotel Mariot, Chang tiba dengan teamnya. Tak satupun dari mereka mengenalku. Chang kemudian memperkenalkan mereka satu persatu. Huang, seorang profesor di bidang Sospol. Yu, phd di bidang financing and banking. Wu, andal IT dan system computerize jaringan. Xiau Lien, perempuan cantik, andal di bidang banking law. Aku tersenyum membalas salam hormat dari setiap mereka yang di perkenalkan.
“Kami sudah mempelajari masalah Anda,” kata salah satu dari mereka. Ia berjulukan Huang, profesor Sospol. Berwajah teduh dan matang, dengan bahasa Inggris yang sempurna. 
“Masalah yang kita hadapi yaitu kekuatan raksasa yang ingin menguasai dunia melalui acara demokrasi. Mereka memiliki kekuatan dana raksasa dari transaksi yang penuh rekayasa. Inilah yang harus kita hentikan,” sambungnya.
“Demokrasi?” tentu bukan kata gres di telingaku. Tapi, kata-kata Huang, membuat Aku bertanya, apa kekerabatan transaksinya dengan demokrasi? 
“Ya. Promosi demokrasi secara sistematis akan mengintegrasikan dunia dalam satu jaringan kekuatan, demi terciptanya tatanan dunia gres menyerupai yang mereka inginkan.”
“Oh, begitu.”
“Kamu sudah tahu kan?” lanjut sang profesor. “Sebagian orang menganggap bahwa sistem demokrasi yaitu sistem terbaik untuk mendistribusikan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Saya tidak sedang mempermasalahkan demokrasi sebagai sebuah pandangan gres atau nilai, lantaran memang kami dalam praktiknya konsisten dengan sistem komunis yang katanya anti demokrasi. Tentu kritikan saya ini akan dianggap bias.
Tapi yang harus kau tahu, bahwa sistem demokrasi ini, bukanlah menyerupai nilai-nilai demokrasi sesungguhnya yang bicara ihwal kedamaian, kebebasan, dan kesetaraan. Demokrasi kini ini, hanyalah alat untuk mendukung lahirnya tiran baru. Sebuah rezim yang ingin menguasai dunia dalam satu genggaman. 
Ia merupakan salah satu belahan dari acara neoliberal yang memungkinkan dunia terintegrasi menjadi wilayah privat. Tak ada lagi ideologi dan budaya sebagai perekat rakyat, biar tetap dalam barisan teratur. Tapi semuanya direkayasa biar mengarah kepada kepentingan kapitalisme global. Pada waktu bersamaan, ia juga meminggirkan semangat nasionalisme, semangat kebersamaan, dan semangat kasih sayang. Yang ada hanyalah individualisme. You win you take all!
Demokrasi bicara ihwal kebebasan. Secara teori, ia sangat tepat sebagai kendaraan elite kapitalis menuju era neoliberal. Sebagai sebuah sistem politik bentukan dari neoliberal, demokrasi akan memindahkan tanggung jawab sosial dan ekonomi negara kepada rakyat. Artinya hal yang berkaitan dengan sosial dan ekonomi harus dipisahkan dari struktur pemerintahan. Pemerintah hanya akan jadi semacam portal, intermediasi.
Karenanya jangan kaget banyak negara tak berdaya menghadapi tuntutan neoliberal. Seakan tangan pemerintah telah dirantai, tidak lagi bebas melindungi rakyat yang lemah akhir persaingan kapitalis. Itu lantaran publik dan pemerintah sudah direkayasa oleh demokrasi.
Demokrasi yang kita mimpikan hanya ada dalam konsep yang melangit namun tak pernah membumi. Ia hanya sebuah teori, dan pemerintah hasil pemilu bermetamorfosis menjadi pemerintahan oligarki  atau plutokratis. Yang terjadi kini, demokrasi bukannya menyerupai konsep idealnya. Dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Tapi dari pasar, oleh pasar dan untuk pasar.”
“Begitu naifnya,” potongku.
“Ya. Makanya tidak heran, dalam masyarakat yang masih lekat dengan budaya yang pluralis tak simpel menjadikan demokrasi sebagai sebuah cara mengelola kekuatan masyarakat. Dengan bagan bentukan demokrasi, antar kekuatan dalam masyarakat itu akan diadu domba, dibenturkan hingga menimbulkan kekerasan di tengah masyarakat. 
Pada ketika itulah demokrasi ditegaskan sebagai sebuah solusi ihwal sebuah paradigma, bagaimana pluralisme itu seharusnya dikelola. Segala hal yang jelek ihwal rezim adikara selalu dihembuskan tiada henti. Namun kenyataannya demokrasi menjadi masalah yang membosankan, melelahkan, menghabiskan energi, mahal, bersikap ganda dan tak pernah mencapai tujuan idealnya. 
Jangan kaget bila lambat laun demokrasi akan menimbulkan apatisme di tengah masyarakat. Mereka mulai merindukan kepemimpin yang berpengaruh untuk membela rakyat yang lemah dari kekuatan kapitalis. Dan tentu mereka tidak peduli bila pemimpin yang berpengaruh itu seorang otoriter. Niat baik pribadi pemimpin lebih diperlukan dari pada distribusi kekuasaan yang melembaga namun hakikatnya tak lebih dari segerombolan pemeras yang dilegitimasi oleh undang undang.”
“Lantas bagaimana promosi demokrasi itu dijalankan, sehingga kini menjadi ikon modernitas bernegara di dunia? Padahal, tujuan aslinya yaitu menjadikan dunia dalam bundar kekuasaan mereka.”
“Sebetulnya ini dimulai pada era presiden Ronald Regen. Pada tahun 1982, Reagen atas rekomendasi dari the American Political Foundation,  meluncurkan pendirian sebuah LSM yang tugasnya menjadi clearing  house bagi seluruh upaya-upaya Promosi Demokrasi di seluruh dunia. Organisasi ini diberi mandat untuk mempercepat pembangunan infrastruktur demokrasi di seluruh dunia. 
“Luar biasa!” seruku. “Benar-benar direncanakan dan dikerjakan dengan sistematis.”
“Itulah yang harus kita waspadai. Karena semenjak ketika itu, organisasi clearing itu tak pernah kehabisan energi untuk mengintervensi kebijakan sebuah negara yang dianggap tidak sesuai dengan sistem poliarki atau demokrasi berorientasi pasar. Untuk menjalankan mesin organisasinya, mereka gotong royong partai Republik dan partai Demokrat, Dewan Bisnis dan lain-lain, untuk jangka waktu yang usang dipimpin oleh pebisnis kakap, Carl Gershman.”
“Bagaimana dengan pendanaan kampanye itu?” tanyaku yang mulai larut dalam emosi untuk mengetahui lebih jauh. Aku tertarik lantaran ulasannya disampaikan dengan menarik sekali.
“Dari segi pendanaan, organisasi clearing itu mendapatkan dana dari pemerintah Amerika Serikat, ada juga dari beberapa donatur, dan  LSM yang mempromosikann pasar bebas. Dengan dana tersebut Promosi Demokrasi digerakkan. Mereka mendukung publikasi kaum terdidik dengan menerbitkan jurnal. Jurnal ini, gagasan mengenai kesetaraan, demokrasi dan pasar bebas, diekspor ke seluruh dunia dan menerima penghargaan sangat tinggi di kalangan akademisi di negara-negara target. Jumlah dana yang mengucur memang besar. Tapi yang lebih penting, sesudah lebih dari duapuluh tahun beroperasi, kebijakan Promosi Demokrasi ini, telah berubah menjadi sebuah industri global dengan omzet multi-milyaran dolar. 
Organisasi clearing itu bukan satu-satunya forum yang diserahi tanggung jawab untuk Promosi Demokrasi. Ada tiga level organisasi politik yang bertugas mendesain, membiayai, melaksanakan kegiatan operasional, dan menghipnotis kebijakan negara target. 
Pertama, level tertinggi aparatur negara AS. Seperti Gedung Putih, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, dinas intelijen CIA, dan cabang-cabang kekuasannya di negara lain. Pada level ini, seluruh kebutuhan untuk melaksanakan intervensi politik melalui kebijakan Promosi Demokrasi pada suatu negara atau wilayah tertentu, harus disinkronkan dengan kebijakan militer, ekonomi, diplomasi, dan dimensi-dimensi lain.
Level kedua yaitu distributor pembangunan internasional AS, USAID, dan beberapa cabang departemen Luar Negeri yang memperoleh kucuran dana ratusan milyar dolar. Level ketiga, yaitu organisasi-organisasi AS yang menyediakan grant – dengan maksud membiayai, mengarahkan, dan menjadi sponsor politik – bagi organisasi-organisasi yang berada di negara sasaran intervensi. Organisasi-organisasi ini boleh jadi telah berdiri sebelumnya, kemudian melalui acara Promosi Demokrasi diinkorporasikan ke dalam desain kebijakan luar negeri Amerika Serikat. 
Atau bisa saja lembaga-lembaga itu diciptakan sebagai sebuah kesatuan dari lembaga-lembaga yang telah ada. Lembaga-lembaga ini bisa berupa partai politik lokal beserta koalisinya, kelompok mahasiswa dan perempuan, liga petani, kelompok hak asasi manusia, serikat buruh, intelektual, forum swadaya masyarakat, media massa, asosiasi-asosiasi sipil, lembaga-lembaga bisnis profesional, dan sebagainya.
Di lapangan, dalam pembagian kerja dengan jaringan intervensi politik, setiap distributor Promosi Demokrasi ini bekerja pada bidang garapan yang telah ditentukan.   Di sektor masyarakat sipil, jaringan kerja intervensionis ini melaksanakan penetrasi dan mengontrol kelompok masyarakat di negara target. Kelompok-kelompok lokal ini seringkali diundang jalan-jalan ke AS, di mana mereka memperoleh pemahaman lebih bahwa dirinya yaitu independen dan non-partisan. Kelompok-kelompok lokal ini juga memperoleh serangkaian pertolongan teknis, konsultasi, dan pakar untuk memperkuat partai politik dan masyarakat sipil. Jaringan kerja intervensi ini juga melaksanakan serangkaian pembinaan dan workshop mengenai pendidikan sipil, pembinaan media, dan sebagainya.”
“Benar-benar acara yang sangat sistematis untuk menguasai dunia. Apakah ini tidak disadari oleh negara-negara yang kini menjadikan jargon demokrasi untuk menerima legitimasi kekuasaan dari rakyat?” kataku geram. Sekarang saya mulai mengerti alasan mereka memintaku untuk terus menghadapi transaksi ini dan tetap dengan posisinya.
”Sebetulnya mereka mengetahui dan menyadari bahaya itu. Tapi mereka di buai dengan kekuasaan dan uang untuk menjadi pemenang dalam setiap pemilu. Sangat menyedihkan bila sebagian besar negara yang mendapatkan paham demokrasi tersebut, pada kesannya harus mendapatkan tekanan untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak pro rakyat miskin.”
Aku terdiam. Semua yang hadir juga ikut membisu dengan pandangan fokus kepada Huang.
“Nah, saya berharap Anda bisa berada gotong royong kami untuk menuntaskan kasus ini. Apapun taruhannya harus kita hadapi. Ini menyangkut nasib miliaran penduduk planet bumi yang terjebak dalam sistem yang tidak adil,” kata Huang yang kini menatapku tajam. “Apakah Anda bersedia bergabung dalam team kami?”
“Ya saya siap,” kataku tanpa ragu. Ini yaitu pilihan yang harus ku jalani.
“Terima kasih,” kata Huang menjabat tangan kemudian merangkulku. “Anda kini resmi menjadi sobat kami, kamerad,” sambung Huang. 
Kemudian, satu persatu yang hadir juga menyalamiku dan merangkul hangat dengan senyum penuh semangat.
“Kami akan membayar semua biaya yang pernah Anda keluarkan untuk transaksi ini dan juga ada kompensasi untuk Anda. Tolong beritahukan nomor rekening Anda. Private Investment Company  kami di Hong Kong akan mengatur proses transfer,” kata Yu. 
Aku terkejut bercampur girang, “Baiklah. Terima kasih,” jawabku antusias.
“Mulai hari ini, saya minta Anda melapor semua langkah yang Anda lakukan kepada kami. Miss Lin akan bertindak sebagai penghubung Anda dengan kami. Tolong jangan gunakan email untuk komunikasi antar kita. Cukup gunakan telpon selular dari kami, lantaran teknologi ini tidak bisa disadap oleh Amerika. Oh ya, Miss Lin juga bertindak sebagai sekretaris dalam team ini,” kata Huang sambil melirik Miss Lin.
“Baik. Bagaimana jika kita kembali pada situasi terakhir yang terjadi di Swiss?” kataku mulai masuk pada inti persoalan. “Jelaskan kepada saya. Mengapa pihak The Fed tidak mengakui keberadaan aset Anda. Padahal ketika diverifikasi semuanya sah dan legal?”
“Sulit menjelaskannya,” jawab Yu menanggapi pertanyaanku. 
“Tapi, untuk Anda ketahui bahwa kami bekerjsama telah melaksanakan ini lebih dari tuju kali transaksi. Semuanya dengan hasil yang sama. Ditolak ketika hingga di babak akhir. Hanya saja, kali ini ada perbedaan fundamental yaitu Anda berada dalam posisi yang berpengaruh dan berani mengajukan gugatan. Itulah sebabnya team ini kemudian dibentuk.”
“Ok. Mengapa ada penolakan?”
“Dokumen aset itu kami peroleh dari pewaris harta salah satu keluarga dinasti yang pernah berkuasa di negeri kami. Lebih dari empatpuluh tahun, segala upaya telah kami lakukan untuk menuntut hak atas aset tersebut tapi selalu gagal.
Mulai tahun 1984 kami tak lagi menempuh cara konvensional melalui jalur hukum. Kami mencoba masuk dengan memanfaatkan sistem moneter yang dicreate oleh The Fed system. Kami pun mulai mengirim orang-orang terbaik kami ke sentra pasar uang Amerika menyerupai Swiss, New York, Luxemburg, Singapore, Canada, dan London untuk melaksanakan infiltrasi ke dalam sistem mereka. Dengan impian bisa menemukan cara yang tepat untuk mengambil alih hak kami.”
“Saat itulah kami mulai memakai System Information Technology,” Wu mulai angkat bicara lantaran memang ia andal bidang IT.
“Melalui jalur intelijen, kami berhasil membuat jaringan untuk membuat pretender  kami masuk dalam keanggotaan Euroclear, DTCC, dan Cleartream. Tentu kami menyediakan modal tunai biar kami diterima oleh sistem tersebut. Harapan kami, dengan diterimanya kami sebagai member maka jalan masuk untuk masuk ke sistem pun akan terbuka. 
Tapi, ternyata di dalam sistem itu ada beberapa tingkatan keanggotaan. Masing-masing tingkat harus melewati access code. Level tertinggi yaitu keanggotaan yang berafiliasi dengan decade aset. Dan hingga kini kami belum berhasil.”
Aku teringat perbincanganku dengan Catty. Kaprikornus yang dibutuhkan yaitu acces code biar sanggup menguasai kepemilikan aset secara sistem. Inilah pertarungan yang harus dilalui.
“Jadi penempatan saya sebagai mandatori yaitu dalam posisi sebagai pretender. Mengapa harus saya dan mengapa tidak Anda sendiri?”
“Tepat sekali. Untuk Anda ketahui, team kami telah memanipulasi sistem mereka biar dokumen kami tidak mengalami penolakan ketika dilakukan verifikasi. Karenanya kami mustahil terlibat pribadi dalam transaksi ini,” kata Yu menjawab pertanyaan Aku.
“Secara aturan kami telah mendaftarkan somasi atas aset ini semenjak tahun 1962. Makanya bila kami terlibat dalam sistem mereka niscaya akan ditolak oleh otoritas keuangan Amerika.”
“Oh! Kaprikornus diam-diam, Anda semua terlibat di belakang saya hingga pada tahap mendapatkan dukungan credit dari Global Asset Management.”
“Ya,” jawab Huang tegas, kemudian tersenyum penuh arti. “Sekarang Anda telah menjadi team kami. Kita akan selalu bersama dalam situasi apapun,” sambungnya.
“Kalau begitu, sebaiknya pertemuan ini kita akhiri hingga di sini,” lanjut Huang. Semua team berdiri serentak dan menjabat tanganku.
“Siapakah kalian sebenarnya?”
“Kami yaitu yayasan Naga Kuning,” jawab Huang.
“Ada kaitannya dengan pemerintah Cina?”
“Tidak ada. Secara formal kami bergerak di bidang sosial kemanusiaan,” jawab Xiau Lien.
Aku menangkap kejanggalan istilah ‘formal’. Tapi ia tidak ingin membahasnya lebih jauh.
Mereka pergi meninggalkan ruang rapat Hotel Merriot. Segera saya mengirim pesan singkat kepada Catty biar tiba ke kamarku.
Pertemuan dengan team Naga Kuning membuatku merasa telah masuk ke dunia lain. Dunia yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Dari pembicaran tadi,  saya mulai mengetahui bahwa uang memang bukanlah segala-galanya. Tapi lebih dari itu, ia yaitu alasan untuk sebuah misi menegakkan keadilan. Yaitu ketika ada sekelompok orang yang sangat berkuasa dan tak tersentuh untuk melaksanakan apa saja, mengakumulasi dana yang tidak ada hubungannya dengan teori ekonomi lantaran akibat.  Ini yaitu kejahatan teorganisir yang melebihi kejahatan ala  kolonialisme kala 19 dan 20. Ini yaitu era gres penjajahan yang sangat canggih di mana uang berputar tanpa terlacak dan berkembang secara dahsyat melalui cyber system. Hanya orang bebal dan masa ndeso yang tidak menyadari fakta ini. 
Benarlah kata Catty bahwa keberadaanku yaitu takdir dari Tuhan yang harus ku syukuri dengan berjuang tak kenal lelah.



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Demokrasi ? Pemerintah Yang Efektif


Ketika reformasi dan jatuhnya Gus Dur oleh kekuatan elite di Parlemen dengan kemudian mengakibatkan Megawati sebagai presiden, maka kita menyebut bahwa Pemerintahan Soekarno = Old Order, Pemerintahan Soeharto = New Order, Pemerintahan Habibie = Dis-Order, Pemerintahan Abdurrahman Wahid = No Order, Pemerintahan Megawati = Reform-Order. Ya benarlah, DI kurun Megawati RUU ihwal PEMILU di syahkan dan lengkap dengan infrastruktur kelembagaan yang mendukungnya ibarat Bawaslu, KPU. Disamping itu juga dibuat KPK , MK dll sebagai sebuah commitment reform Era terhadap pemerintahan yang bangun diatas nilai nilai demokrasi ihwal clean dan Good government. Demokrasi Pancasila masuk keranjang sampah, digantikan demokrasi liberal bahkan paling liberal didunia. Ini bukan reformasi tapi REVOLUSI. Perubahan dari negeri socialist religious menjadi negeri capitalism individualist yang bangun diatas system demokrasi liberal. Ketika tahun 2000 dalam satu seminar yang diadakan oleh FORKEM ( Forum Komunikasi Wartawan EKonomi Moneter ) , saya sempat bertanya dengan salah satu pakar Politik ihwal demokrasi liberal yang sedang di Rancang oleh DPR. Menurutnya di kurun kini , Negara yang tidak menerapkan demokrasi liberal maka akan disudutkan oleh negara lender berserta group funder insitusi ibarat World bank, IMF. 

Ternyata reformasi yang terkesan revolusi itu tak lebih pra syarat compliance untuk  mendapatkan sumber pembiayaan dari abnormal untuk  menutupi APBN yang terancam default memenuhi kebutuhan belanja rutin akhir recovery perbankan yang memakan ongkos mahal. Lantas mengapa dengan Demokrasi LIberal? Dalam demokrasi liberal tugas utama dipegang oleh partai politik. Karenanya tak sanggup dielakkan permainan partai politik untuk memenangkan tujuannya memakai banyak sekali cara dan alat, yang kurang cocok dengan etika dan moralitas, termasuk membeli bunyi atau money politic. Kekuasaan menjadi terdistribusi sehingga proses pengambilan keputusan menjadi bertele tele dan melelahkan. Jalan lambat ibarat siput. Dr. Raj Vasil, yakni seorang pakar ilmu politik di Selandia Baru yang mempelajari Asia Tenggara selama 45 tahun terakhir. Ia menulis di Sunday Review bahwa demokrasi liberal bukan pilihan yang sempurna bagi Indonesia. Mungkin alasanya lantaran budaya dan agama sangat mendominasi kehidupan masyarakat Indonesia yang dalam demokrasi liberal itu hal yang terpisahkan dari politik. Mungkin itu sebabnya sesudah periode kedua terpilih sebagai presiden, SBY tak lagi nampak nyaman dengan Demokrasi  dalam kehidupan bernegara. Karena nyatanya kebebasan atas dasar HAM pada alhasil menciptakan semua orang kehilangan value untuk berbuat besar.

Bagi pemimpin yang visioner maka system demokrasi liberal akan memasungnya menjadi banci. Bahkan terkesan pecundang dihadapan rakyat. Dia lemah tak berdaya bersikap cepat jika harus berbuat. Ia bukan penentu arah dan penentu kecepatan. Ia hanya person yang ditempatkan ditempat terhormat namun tak sepenuhnya berkuasa layaknya imam sholat atau Raja yang bertitah satu. Ia penggalan dari sistem distribusi kekuasaan yang sehingga setiap orang tidak sanggup meng claim beliau paling berkuasa. Awal reformasi para elite bahagia namun lambat laun merekapun merasa tidak nyaman lantaran Stabilitis politik acap terganggu akhir perseteruan antar kekuasaan executive, legislative, judicative. Posisi ormas dan Media massa sangat bebas sehingga kadang mengganggu kebijakan pemerintah yang  berujung pada jatuhnya dapat dipercaya pemerintah. Dalam situasi itulah maka para elite secara nature berkumpul untuk menyamakan persepsi semoga kembali kepada demokrasi bukan liberal. Kini sedang di Rancang UU mengenai Ormas. Semua pasal tak lagi memperlihatkan kebebasan berdasarkan public tapi berdasarkan penguasa. Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional sudah mulai dibahas oleh dewan perwakilan rakyat yang memuat pasal membatasi kebebasan sipil dan memperlihatkan hak kepada pemerintah melalui Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia meredamnya demi keamanan Nasional. 

Ya keamanan bukan hanya soal bahaya dari luar tapi juga bahaya dari dalam yang sehingga menciptakan pemerintah tidak efektif.  Era kini gambaran pemerintah tidak dilihat dari system politik yang diterapkan tapi sejauh mana pemerintah sanggup mendelivery jasa dan barang yang terjangkau oleh rakyat dan mendapat uang untuk belanja tidak sulit lantaran kesempatan kerja dan perjuangan terbuka lebar dan adil.  Ini hanya mungkin tercapai jika presiden itu efektif tanpa diganggu oleh sistem distribusi kekuasaan. Rakyat hanya ingin pemerintahan efektif melakukan kekuasaannya, yang ditandai daya responsive yang tinggi. Untuk itu , memang demokrasi liberal tidak sanggup diterapkan, lantaran tidak menciptakan pemerintah efektif mengelola 6000 pulau dari Sabang hingga Marauke dengan populasi diatas 200 juta. Lantas apakah dengan RUU Ormas dan Keamanan Nasional sudah cukup menciptakan demokrasi tidak liberal? Demokrasi ibarat apa? demokrasi ala Soekarno yang terpimpin , pernah dicoba tapi tidak cocok. Demokrasi pancasila ala Soeharto , malah hasilnya KKN. Makara apa ? Ya Demokrasai dihapus saja dan diganti apalah namanya yang sanggup melahirkan pemimpin yang amanah. Sebuah sistem yang menjamin kebenaran dijunjung, kebaikan dibela, keadilan tegak. Suatu proses yang bertumpu kepada adab mulia para elite yang pesan yang tersirat dan bijakasana  untuk lahirnya masyarakat sejahtera dibawah lindungan Allah. Kembali kepada Pancasila? atau Islam is enough ?

Sumber https://culas.blogspot.com/

Negara Tanpa Idiologi...

Apakah kau kecewa dengan sebuah pentas , demikian sobat saya berkata dikala usai menonton sebuah teater. Kisah wacana kebenaran yang selalu menang. Saya bahagia ceritanya walau ini hanya sebuah teater. Ilusi belaka. Karena apa ? Sesuatu yang tak mungkin saya dapatkan didunia kalkulasi , ada di teater. Kalau orang butuh keadilan , niscaya akan kecewa dengan demokrasi yang membuat Dinasty kekuasaan di Partai dan Kepala Daerah. Kalau orang butuh kebenaran dan kebaikan , niscaya akan kecewa dengan ketua MK yang korup dan KPK yang takut dengan “Bunda Putri”. Itulah realitas yang setiap hari kita tonton, sebuah teater yang menyesakkan dada.  Akan ini berubah ? Lebih dari ribuan tahun kekuasaan dibangun diatas kepatuhan mutlak. Kemudian tumbang dikala kepala Claude Lefort jatuh kebumi sebagai tanda dimulainya sebuah revolusi di Francis. Sejak itu, tak ada kepala yang menggiring orang kepada satu kiblat. Tokoh dibangun dari creativitas media massa untuk dijual dengan cara cara kapitalis. Dari situlah kekuasaan tak lagi punya dasar sakral. Dari situlah konstitusi di create sesuai kehendak pasar. Dari situlah kreatifitas propaganda berkembang pesat untuk melahirkan rakyat yang malas berpikir wacana kebenaran sedang diselewengkan.

Kreatifitas ini diagungkan semenjak terjadinya revolusi di Francis , kemudian Revolusi Industri di Inggeris. Ada keinginan wacana keadilan akan dibangun diatas kehendak orang banyak. Diatas keyakinan demi lahirnya Freedom, Peace, Equality. Tak gila kalau beberapa decade demokrasi telah melahirkan creativitas nilai ; Demokrasi demi sosialime, Demokrasi demi kapitalisme. Ini sanggup terjadi begitu mudahnya dan tak ada yang perlu diperdebatkan untuk dipahami orang banyak. Kemana nilai demokrasi itu ? Tergantung kapitalisme atau sosialisme. Mengapa ini hingga terjadi. Karena demokrasi yakni sebuah system yang didasarkan atas tak adanya sebuah “dasar”. Setelah idiologi, agama, terpenggal dari badan politik maka kepala sanggup dalam bentuk apa saja. Tak ada lagi yang mutlak kecuali kehendak pasar. Itulah mungkin yang membuat para pendiri negara bingung dikala harus mendirikan republic ini. Resah alasannya yakni tak mungkin sebuah negara dibangun tanpa landasan filosofi yang kuat. Apakah agama sebagai landasan ? Budaya ? Ada keraguan untuk berkiblat pada satu titik. Pemikiran kemerdekaan berangkat dari sejarah kekecewaan dengan sistem otokrat keagamaan. Kecewa dengan sosialisme dan komunisme yang feodalis. Kecewa dengan demokrasi barat yang arogan. Tapi itu niscaya bukan negara agama , tapi juga bukan negara sekterian. Radjiman Widiodiningrat, yang terpengaruh filsafat Kent dan Hegel, mendesak supaya konstitusi di create dari sebuah nilai nilai universal dan semangat gotong royong. Maka Pancasila dirumuskan tapi dasar negara yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila sebuah ilham multi dimensi. Pancasila penghapus keresahan dikala dipersimpangan jalan mencari perekat kesatuan visi. Mungkin juga sebuah kompromi final yang tak selesai. Karena didalamnya mengakomodasi nilai nilai spiritual, dan keagungan sosialisme. sebuah mimpi wacana keadilan social bagi siapa saja. Mimpi spiritual socialisme memang tak kondusif dari serangan kaum bermodal yang rakus--sebagai kelanjutan dari sisten colonialisme berupa Neo colonialisme--. Apa arti kekuasaan tanpa tiran, demikian kata mereka pro demokrasi untuk jatuhnya Soeharto. Reformasi di dengungkan dan Soeharto di ganyang untuk Lahirnya  demokrasi liberal , demokrasi kaum bermodal. Rich Dad’s , Conspiracy of the rich , dari Robert T. Kiyosaki menyebutkan ada empat hal yang membuat demokrasi harus dipertahankan oleh kapitalisme yaitu perlunya uang sebagai kekuataan dan karenanya perlu inflasi untuk memeras rakyat, perlu hutang untuk menggadaikan resource dan perlunya konsumsi untuk membuat orang tergantung terhadap pasar. Sebuah sistem nilai yang andal wacana konspirasi orang kaya dan penguasa untuk menjajah yang lemah. Dari waktu kewaktu krisis ekonomi terjadi alasannya yakni sistem ini, dengan korban kemanusiaan yang massive. 

Yang pada balasannya Pancasila hanya menjadi jargon dikala upacara naiknya berdera merah putih. Ia tinggal romantisme diatas kehebatan propaganda pasar untuk meyakinkan supaya kapitalisme punya ruang menganeksasi rakyat. Inilah kehebatan demokrasi, sebuah grey area, dimana dewan perwakilan rakyat berkuasa membuat UU namun sanggup dengan gampang dibatalkan oleh forum non parlemen, MK.  Demokrasi beranak cucu menjadi neoliberal, sebuah sistem yang melahirkan budaya cinta bersyarat tanpa bandrol. Sebagai cara sistematis membuat kelas terbentuk tanpa sanggup digugat. Sebuah realitas yang membuat china tersenyum bersama komunisme sebagai "dasar"...yang membuat Iran unggul bersama islam sebagai "dasar". Keliatannya benarlah bahwa kapitalisme hanya sanggup dijinakan oleh sebuah idiologi ( "dasar ") dan menjadi monster ganas dikala ia bebas ( demokrasi liberal dan neoliberal). Itulah yang kita lupa dalam membangun sebuah bangsa. Lupa bahwa Pancasila bukanlah produk konpromi politik tapi sebuah baiat kepada Allah. Melawan itu, yakni kehancuran. Kembalilah....

Sumber https://culas.blogspot.com/

Tim Jokowi Bantah Fadli Soal Demokrasi Ri Anjlok: Information Dari Mana?

Tim Jokowi Bantah Fadli soal Demokrasi RI Anjlok: Data dari Mana?Ace Hasan (Tsarina/detikcom)

Jakarta -Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin menjawab kritik Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang menyebut indeks demokrasi Republic of Indonesia anjlok. Juru bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily, balik memaparkan information dari laporan lembaga internasional, Freedom House, yang jadi rujukan Fadli.

"Data dari mana itu Fadli Zon dapatnya? Ambil information kok seenaknya? Menurut information The Freedom House, tidak benar Republic of Indonesia statusnya turun dari 'free' ke 'partly free'. Republic of Indonesia masih tetap 'partly free', bahkan condition itu tidak berubah dari 2014, nilai agregatnya pun stabil di angka 65," kata Ace kepada wartawan, Rabu (2/1/2019).


Ia pun menjelaskan mengapa Republic of Indonesia hingga kini masih menyandang condition 'partly free'. Masih menurut information Freedom House, Ace mengatakan hal ini berkaitan dengan kasus penistaan agama yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Di tahun 2018, angka turun jadi 64 oleh Freedom House, yang paling disoroti adalah kasus Gubernur Ahok yang Kristian, di mana dipersekusi/kriminalisasi atas tuduhan penghinaan agama, bahkan sampai dipenjara ii tahun. Ini sebab freedom kita partly free," ujarnya.

Ace menyebut kasus itu pun tidak lepas dari keterlibatan Fadli. Ia mencontohkan peristiwa aksi bela Islam yang berkaitan dengan kasus Ahok itu.

"Dan ini ulah Fadli dan kawan-kawan yang selalu mendorong isu-isu agama untuk kepentingan politik. Jelas saja indeks demokrasi Republic of Indonesia turun, kebebasan memeluk agama, peradaban agama lain selain Islam di Republic of Indonesia semakin tergerus, aksi-aksi bela Islam, persekusi nonmuslim marak terjadi, di mana momentum awalnya ada di Pilkada DKI, di mana timnya Prabowo yang memulai. Justru ini kesalahan Fadli dkk. Indeks akan makin parah jika orang seperti mereka yang berkuasa," kata Ace.

Ace kemudian merujuk pada information The Economist Intelligence Unit (EIU), yang juga menjadi dasar kritik Fadli. Ia menegaskan angka yang dipaparkan Fadli merupakan information 2017.

"Sementara, menurut The Economist Intellegence Unit, tahun 2017, memang indeks demokrasi Republic of Indonesia benar turun xx peringkat dibanding tahun 2016 seperti yg dikatakan Fadli Zon. Perlu dicatat itu tahun 2017, bukan 2018 seperti yang dikatakan Fadli," jelas politikus Golkar itu.

"Posisi Republic of Indonesia sama dengan AS, yang tidak sepenuhnya demokrasi. Padahal AS digadang-gadang sebagai rujukan Fadli, Prabowo dkk, negara paling demokratis," lanjut Ace.


Sementara itu, kata Ace, jika merujuk pada information BPS, indeks demokrasi Republic of Indonesia pada 2017 naik dibanding pada 2016. Namun ia mengatakan memang indikator kebebasan berpendapat turun.

"Indeks demokrasi angkanya 72,11 (skala 0-100) pada 2017, meningkat dibanding 2016 yang hanya 70,09. Dengan demikian, Republic of Indonesia berada di kategori sedang. Aspek kebebasan sipil meningkat 2,3 poin dari 76,45 jadi 78,75. Aspek lembaga demokrasi juga naik 10,44 poin dari 62,05 jadi 72,49," paparnya.

Menurut Ace, menurunnya kebebasan berpendapat ini dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satu yang utama adalah adanya ancaman kekerasan dari pihak yang tak menyukai perbedaan pendapat.

"Tentu ini ulah kelompok yang berjubah agama yang sweeping dan mulai mengkafir-kafirkan. Merekalah yang membuat kebebasan berpendapat, masyarakat minoritas berekspresi menjadi turun," pungkas Ace.



Saksikan juga video 'DKI Djakarta Sabet Indeks Demokrasi Tertinggi Versi BPS':

[Gambas:Video 20detik]



Sumber detik.com

Fadli Zon: Ancaman Kebebasan Meningkat, Indeks Demokrasi Ri Anjlok!

Fadli Zon: Ancaman Kebebasan Meningkat, Indeks Demokrasi RI Anjlok!Fadli Zon (Foto: Dok. Twitter Fadli Zon)

Jakarta -Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan ada ancaman kebebasan sipil di Republic of Indonesia yang membuat indeks demokrasi Republic of Indonesia anjlok hingga berada di bawah Timur Leste. Waketum Gerindra ini mengaku menyampaikan hal tersebut berdasarkan information dari laporan lembaga internasional, Freedom House.

"Meningkatnya ancaman kebebasan sipil, menurut Freedom House, telah mendorong Republic of Indonesia turun condition dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free) di tahun 2018. Sementara itu, jika kita bandingkan dengan Timor Leste, situasinya berbalik. Timor Leste mengalami kenaikan condition dari negara 'partly free' menjadi 'free'," kata Fadli dalam keterangan tertulisnya, Selasa (1/1/2019).


Dia juga menyatakan mengutip information dari The Ecomist Intelligence Unit (EIU) yang menurutnya menyatakan peringkat demokrasi Republic of Indonesia anjlok twenty peringkat dibanding 2016. Dia mengatakan pada 2016, Republic of Indonesia berada di peringkat 48, namun kini Republic of Indonesia berada di posisi 68.

"Harapan publik untuk melihat wajah demokrasi Republic of Indonesia yang semakin berkualitas, tampaknya harus tertunda kembali. Secara umum, tahun lalu, menurut information The Economist Intelligence Unit (EIU), peringkat demokrasi kita anjlok twenty peringkat dibandingkan 2016. Pada 2016 kita masih berada di peringkat 48, tahun lalu peringkat kita anjlok ke 68. Lebih menyedihkan lagi, peringkat demokrasi kita bahkan lebih buruk dari Timor Leste yang ada di urutan 43 secara global," ucapnya.

Dia mengatakan hal ini sebagai ironi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, penurunan indeks demokrasi ini sejalan dengan keluhan masyarakat.

"Ini ironi perkembangan politik di era pemerintahan Joko Widodo. Demokrasi Republic of Indonesia mengalami kemunduran memalukan, apalagi kini menjelang diselenggarakannya pemilu serentak 2019. Indikator di atas, jika kita hadapkan dengan keluhan masyarakat bawah, akan sangat koheren. Baik yang mengeluhkan adanya persekusi terhadap ulama yang kritis, maupun keluhan adanya upaya pembungkaman dan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh oposan pemerintah. Semua itu telah membuat kita kembali mundur dalam berdemokrasi," ujar Fadli.


Fadli juga menyoroti soal persoalan praktik manajemen pemilu yang menurutnya amburadul. Dia menyinggung soal isu pelanggaran administrasi kependudukan, yang menurut Fadli, marak terjadi di Republic of Indonesia selama 2018.

"Di luar soal kebebasan sipil yang makin menurun, demokrasi kita di tahun ini juga dinodai praktik manajemen pemilu yang amburadul. Terutama, terkait buruknya administrasi kependudukan yang sangat mempengaruhi DPT (Daftar Pemilih Tetap) pada Pemilu serentak 2019. Terkait isu ini, sepanjang 2018 kita disajikan maraknya pelanggaran administrasi kependudukan. Mulai dari ditemukannya jual beli blangko e-KTP, tercecernya ribuan e-KTP di Bogor dan Jakarta, serta adanya isu di mana 31 juta pemilih yang belum masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). Ini semua tentu mengancam kredibilitas pelaksanaan Pemilu 2019. Kita tak ingin Pemilu 2019 yang menyedot anggaran sekitar Rp 24 triliun rupiah ini, berjalan dengan kualitas information pemilih yang buruk," jelasnya.

Sumber detik.com

Strategy...?

Tahukah kau kata teman waktu ketemu kemarin setelah aktivitas presentasi proyek infrastruktur, bahwa dulu abad Soeharto semua kekuatan hanya bertumpu ditangan President. Lembaga President menjadi forum tak tertandingi. Inilah kesaktian kekuasaan yang menurut Undang-Undang Dasar 45. Hanya dikawal oleh 500.000 personel tentara namun ia sanggup berkuasa selama 32 tahun dalam kondisi yang sangat stabil mengendalikan lebih dari 150 juta rakyat. Program yang dikenal dikala itu yaitu stabilitas politik , stabilitis ekonomi dan stabilitas keamanan. Ketiga hal ini yang dijaganya dengan all at cost. Soeharto tidak merasa berdosa jika alasannya itu harus membunuh orang tanpa diadili (Petrus), tidak merasa melanggar HAM jika menangkap lawan poltik  dan diadili dengan sesukanya atau mencekal lawan politik tanpa ada pengadilan. Namun dari stabilitas itulah strategy nya bekerja untuk membangun SD diseluruh desa untuk mengurangi angka buta hurup. Membangun Puskesmas  diseluruh Desa untuk memastikan pelayanan kesehatan terjangkau bagi semua rakyat. Membangun basis ekonomi rakyat lewat koperasi. Membangun irigasi, bendungan dan mencetak sawah baru, untuk mencapai swasembada pangan.Membangun jalan trans sumatera, trans kalimantan dan tran sulawesi untuk membuka wilayah dan menyebarkan potensi wilayah. Dan banyak lagi aktivitas berjalan dengan terpola dengan tujuan yang jelas.

Bagaimana Soeharto sanggup menggerakan kekuatannya dengan sangat efektif dalam keadaan demokrasi dipasung dibawah dokrin pancasila? Itulah pertanyaan saya kepada teman ini.Dia menyampaikan bahwa pada abad Soeharto kekuatan itu bergotong-royong berasal dari elemen masyarakat  namun semua elemen masyarakat itu ditempatkan dalam satu kata yang disebut ‘tentara”. Tentara itu dalam bahasa Yunani yaitu srategois dan stratos atau strategy yang artinya yaitu pelaksana atau pihak yang menjalankan. Makanya diera Soeharto tentara itu disebut Angkatan. Ada angkatan yang dipersenjatai atau disebut dengan ABRI, dan ada juga angkatan yang tidak dipersenjatai ( aparatur negara termasuk eksekutif BUMN dan rakyat). Kedua angkatan ini bekerja sesuai bidang keahliannya masing masing untuk mencapai tujuan nasional. Mereka  tidak melaksanakan politik tapi hanya pelaksana dari politik yang tertuang dalam GBHN.Tugas mereka menterjemahkan GNHN itu dalam bentuk kegiatan ekonomi,sosial dan budaya. Sementara Politik tetap ada pada President. Hanya presiden yang boleh berpikir dan bersikap ihwal politik. Makanya barisan semua kekuatan nasional selalu rapat dan lurus. Gerakan barisan tidak pernah berkelok atau bergeser dari tujuan nasional. Kekuatan menyerupai ini tidak sanggup dimasuki oleh kekuatan absurd yang ingin memecah belah dan menguasai dengan cara neokolonial.

Meski cara kepemimpinan Soeharto tidak lepas dari kritik para penggagas atau lawan-lawan politiknya, namun Soeharto menjadi berkah bagi rakyat kecil. Bagi rakyat kecil , abad Soeharto merupakan abad terbaik alasannya sembilan kebutuhan pokok yang mereka butuhkan sangat terjangkau. Harga beras murah, minyak tanah juga, bahkan harga cabe tak hingga semahal sekarang. Keamanan buat mereka pun terjamin, yang paling membanggakan lagi, di abad Soeharto, Indonesia menjadi negara yang paling kuat dan disegani di Asia Tenggara. Tak ada negara ASEAN yang berani menyinggung Indonesia menyerupai yang dilakukan oleh Malaysia sekarang. Perkembangan GDP perkapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$70 dan pada tahun 1996 telah mencapai lebih dariUS$1.000, sukses transmigrasi, sukses KB, sukses memerangi buta huruf, pengangguran minimum, sukses Gerakan Wajib Belajar, sukses Gerakan Orang Tua Asuh, sukses keamanan dalam negeri, investor absurd mau menanamkan modal di Indonesia, dan sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri. Setiap lima tahun aktivitas pembangunannya selalu terjadi perubahan yang significant. Janjinya selalu dipenuhinya. Ini bukan hanya retorika tapi memang dirasakan oleh rakyat.

Lambat laun lawan politiknya menjadi kehilangan alasan untuk berseberangan dengan Soeharto. Puncaknya yaitu dikala masuknya barisan kekuatan intelektual Islam ( ICMI) dalam bundar kekuasaan Soeharto. Inilah yang sangat mengkawatirkan Barat/AS yang punya prinsip apapun kekuatan islam harus dihabisi.  Soeharto tidak lagi dianggap good boy di Asia Tenggara semenjak ia menunaikan rukun Islam ke Lima. Kembali cara usang digunakan oleh Barat/AS yaitu menggunakan  tokoh tokoh  islam yang dibina dan didik  oleh agent demokrasi Amerika untuk menjadi agent perubahan di Indonesia.Menjadi pressure group terhadap kekuasaan Soeharto.Issue yang digunakan yaitu KKN. Gelombang tuntutan reformasi walau sayup namun telah mengakibat berderaknya kesatuan kekuatan angkatan dalam Tentara. Karenanya hanya dengan sedikit sapuan gelombang hedge fund dari George Soros telah menciptakan ekonomi Indonesia limbung dan politikpun ikut limbung. Seoharto nampak menua yang lelah menghadapi tekanan dari segala sudut biar ia mundur. Soeharto jatuh dan Elite reformasi yang dimotori oleh tokoh islam menyerupai Amin Rais ( Muhammadiah), Abdul Rahman Wahid ( NU), Nurcolis Madjid ( Cendikiawan Islam) tampil menjadi pahlawan.  Melalui mereka reformasi di design. Tidak di design sesuai syariat islam tapi sesuai  design dari USAID. Undang-Undang Dasar 45 di amandement menjadi Undang-Undang Dasar 2002 yang menempatkan Indonesia menjadi negara demokrasi liberal. Terjadi perubahan dari single power menjadi group power yang flexible yang tak gampang dirubuhkan alasannya ia elastis menyerupai ular.

Sebagian orang menganggap system demokrasi yaitu system yang paling baik untuk mendistribusikan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Kata saya. Teman itu menyampaikan bahwa ia tidak mempermasalahkan demokrasi. Tapi yang harus diketaui bahwa system demokrasi bukanlah menyerupai nilai nilai demokrasi yang bicara ihwal kedamaian, kebebasan, dan kesetaraan. Demokrasi yaitu alat untuk lahirnya tiran baru. Rezim yang ingin menguasai dunia dalam satu genggaman. Merupakan bab dari aktivitas neoliberal yang memungkinkan dunia terintegrasi menjadi wilayah private. Tak ada lagi idiologi sebagai perekat rakyat dalam barisan teratur. Kecuali semua mengarah kepada kepentingan kapitalisme global. Pada waktu bersamaan meminggirkan semangat nasionalisme, semangat kebersamaan, semangat kasih sayang. Yang ada hanyalah individualisme. You win you take all. Sebagai sebuah system politik maka konsep neoliberal menjauhkan tanggung jawab social dan ekonomi negara kepada rakyat. Artinya hal yang berkaitan dengan social dan ekonomi harus dipisahkan dari struktur pemerintahan.  Karenanya jangan kaget banyak negara tak berdaya terhadap tuntutan neoliberal. Seakan tangan pemerintah dirantai untuk bebas melindungi rakyat yang lemah akhir persaingan kapitalis. Demokrasi yang kita kenal hanya ada dalam konsep yang melangit namun tak pernah membumi. Ia hannya menjadi sekedar sebuah procedural dan pemerintah hasil pemilu berubah menjadi menjadi pemerintahan oligarhis atau plutokratis. Yang ada kini demokrasi bukannya menyerupai konsep idealnya dimana dari rakyat , oleh rakyat tapi dari pasar, oleh pasar dan untuk pasar. Asing (AS/Barat) melalui para bedebahnya sanggup dengan  mudah menjatuhkan Tentara Soeharto untuk menguasai Indonesia dan terjajahlah sudah ...

Sumber https://culas.blogspot.com/

China, Demokrasi ?

Dari segi susunan kekuasaan tidak ada yang berbeda antara China dengan Barat. Di China dikenal dengan trias politika, dimana terjadi pemisahan kiprah antara Executive, Legislative dan Yudikatif. Ketiga unsur kekuasaan ini berkerja menurut Undang-Undang Dasar yang ditentukan menurut bunyi Rakyat. Saat kini China menerapkan Pemerintah dengan system Parlementer dimana Kekuasaan Pemerintah dipegang oleh Perdana Menteri dan Kekuasaan Negara dipegang oleh Presiden. Namun sebagian besar kita akan berkata sambil mencibir bahwa china anti demokrasi. Tentu dengan alasan teori dasar  dimana demokrasi itu terdiri dari banyak Partai dan dipilih pribadi oleh rakyat lewat bilik pemilu. Sementara China hanya ada satu partai, yaitu Partai Komunis. Tidak ada Pemilu. Ini Negara absolut Partai. Kalau kita memakai teori Barat wacana demokrasi maka kesimpulan bahwa china tidak demokrasi yakni benar. Tapi bukan berarti China tidak menerapkan demokrasi. Ya tentu demokrasi ala china. Nah pertanyaannya yakni manakah yang benar ? Apakah cara China yang benar ataukah cara Barat ? 

Kekuasaan tertinggi di China yakni Kongres Rakyat Nasional (KRN) yang merupakan forum legislative. KRN terdiri dari wakil-wakil yang terpilih dari aneka macam propinsi, tempat otonom, kota setingkat propinsi , tempat manajemen khusus dan tentara. KRN melakukan legislatif negara dan memutuskan dilema penting dalam kehidupan politik Negara, yang mencakup menciptakan UU dan mengamandemen UUD, mensyahkan APBN dan  menetapkan kebijakan strategis jangka pendek, menengah da panjang, ibarat penentuan tempat otonom, tempat manajemen berserta hukum pendukung system pemerintahannya.  mengawasi kiprah pemerintahan. KRN juga bertugas menentukan Presiden dan Wakil President, memutuskan calon perdana menteri dan anggota-anggota lain Dewan Negara, menentukan ketua Komisi  Militer Pusat dan memutuskan calon anggota-anggotanya, menentukan Ketua Pengadilan Rakyat Tertinggi dan Ketua Kejaksaan Rakyat Tertinggi. Tentu KRN juga berhak memecat pejabat pejabat tersebut kalau terbukti tidak dapat melakukan tugasnya.

Karena mereka yakni tokoh nasional yang tidak semua mahir maka mereka dibantu oleh para professional yang tergabung dalam  Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat China, Lembaga ini yakni forum di luar pemerintah yang dibuat untuk memberi masukkan terkait dengan pembangunan China dalam aneka macam sektor. Mereka menciptakan anjuran baik secara individu maupun kelompok wacana aneka macam hal ibarat bagaimana kebijakan pemerintah wacana suatu pembangunan di tempat tertentu atau bidang tertentu untuk dibahas oleh Kongres Rakyat Nasional. Anggota forum ini terdiri dari unsur anggota partai politik, aneka macam organisasi yang mewakili etnis dan masyarakat khusus, kalangan non partai dan profesional di bidang khusus. Mereka dipilih dan diusulkan dari partai politik level nasional dan daerah, pemerintah, organisasi sosial dan organisasi profesional. Lembaga ini semacam forum penasihat politik di tingkat nasional dan beranggotakan sekitar 2000 orang, di level tempat juga memiliki forum serupa tetapi ruang lingkupnya juga sesuai dengan wilayahnya.  Mereka melakukan konferensi nasional tiap lima tahun.

Nah, yang menarik yakni bagaimana orang dapat duduk di KRN ? KRN tingkat nasional terdiri dari 34 delegasi yang mewakili dari propinsi, wilayah manajemen khusus, kota khusus, tempat otonomi dan komisi militer yang semuanya sekitar 3.000 anggota. Masing-masing delegasi tersebut memiliki ketua, wakil ketua, dan anggota. Para anggota delegasi itu dipilih dari proses berjenjang dari lurah, camat, kabupaten dan propinsi. Mereka yakni elite terbaik China dari kalangan tokoh masyarakat, ketua asosiasi bisnis dan sosial, ketua LSM , Militer, pejabat , para professional, dan kader Partai. Untuk menjadi anggota delegasi tidaklah mudah. Mereka harus punya kualitas-kualitas tinggi dari segi adab dan karakter. Kualitas-kualitas, ibarat visionary, empowering, authentic, resonant, heroic, transformational, dan lain lain. Hal itu yakni hasil tempaan yang usang dan penuh jerih payah melalui keterlibatan penuh dedikasi di dalam komunitasnya. Proses ini bukan sebentar , puluhan tahun bertekun, kadang harus bergerak melawan arus, dan tak jarang berkorban untuk para pengikut. Dari proses inilah lahir nature kepemimpinan  dengan  ide-ide dan perbuatan-perbuatan besar dan cinta besar yang membawa perubahan. Sehingga ia nampak berkilau ditengah komunitasnya sehingga menjadi impian bagi banyak orang. Semua proses itu dikawal ketat oleh Para kader Partai Komunis yang ada disemua level.

Jadi mustahil orang dapat pribadi atau instant  menjadi elite politik di China. Ada  proses panjang yang harus dilaluinya. Sedikit saja cacat maka ia akan tersingkir oleh lingkungannya dan niscaya gagal dalam nominasi masuk sebagai anggota delegasi. Tidak ibarat dalam system demokrasi liberal dimana siapapun dapat menjadi pemimpin disemua level. Tidak perlu terkejut kalau barisan komedian dan artis jadi caleg alasannya restu partai. Tidak perlu terkejut putra putri pejabat partaipun jadi caleg alasannya restu partai. Tidak ada yang aneh. Ini sudah lazim dalam system demokrasi. Tokoh tidak lagi dilahirkan tapi diciptakan oleh marketing mix communication. Ditambah bumbu money politic maka jadilah orang itu elite politik, dapat dipartai, dapat pula dipemerintahan. Mereka ibarat mie istant yang semua bumbunya yakni hasil rekayasa biotech bukan natural. Mereka naik terlalu cepat sebelum abjad dan kualitas adab mereka ditempa komunitas yang mereka pimpin. Dicangkokkan dari luar, mereka tidak berakar dalam komunitas itu. Seperti product “mie instant” ;. rasa soto tapi bukan soto, rasa ayam tanpa ayam, rasa pedas tanpa cabe. Makanya jangan kaget kalau sehabis mereka berkuasa tidak ada yang sesuai dengan janjinya. Karena semua palsu dan menipu.  

Mengapa Komunis di China dapat solid sementara di Negara lain ibarat Uni Soviet justru komunisme bankrupt. China dari  dulu hingga kini secara sosiologis maupun antropologis tak mungkin menjadi materialis ibarat yang dialami barat yang otomatis marxisme yakni turunannya. Masyarakat China yakni masyarakat yang selalu percaya akan adanaya kekuatan lain diluar dirinya yang menguasai alam serta isinya dan ini bersifat gaib. Ada aneka macam kepercayaan di china ibarat animisme, dinamisme, dan agama Hindu, Budha, Kristen, Islam juga yang bermunculan dan dianut oleh sebagian penduduk China. Teori revolusi Marx hanyalah sebagai metode bukan sebagai dogma. Oleh alasannya itu, Marxisme bagi china dipahami dalam kerangka teoritis dan penerapannya amat tergantung pada kondisi masyarakat dimana ia tinggal. Kaprikornus yang penting dari Marxisme yakni penerapan metode Marx berpikir, bukan menjalankan risikonya cara berpikir. China tetaplah China yang membumikan budaya dan agama dalam mengelola komunitasnya. Maka risikonya selalu betujuan untuk kepentingan bersama , bukan individu atau golongan. Kaprikornus untuk apa banyak partai dan banyak bendera, ibarat paham demokrasi Liberal yang ada di Barat dan AS  bila kenyataanya risikonya hanyalah untuk kepentingan pemodal dan Partai,sementara rakyat banyak terjajah by system

Sumber https://culas.blogspot.com/

Negara Gagal...

Acap kita mendengar bahwa Indonesia ialah Negara  yang paling berhasil melakukan system demokrasi. Para politisi  juga ikut mengomentari betapa Indonesia Negara yang paling cepat beradaptasi dengan system demokrasi.  Benarkah ? mungkin ada baiknya kita melihat data riset dari pihak luar. Economist intelligent Unit dalam laporan wacana  Global Democracy Index 2011 menempatkan Indonesia pada rangking 60 dari 167 negara didunia. Indonesia masih dibawah Thailand (rangking 58)  , India  (39) , bahkan jauh dibawah Timor Leste (42)  yang merdeka ketika rezim reformasi berhasil menjatuhkan  Soeharto. Dalam survey tersebut dengan mengacu aneka macam indikasi maka Indonesia dinyatakan sebagai Negara yang cacat demokrasi  ( Flawed Democracy ). Mengapa disebut cacat demokrasi ? ya alasannya ialah pemilu yang penuh dengan kecurangan. Mengapa terjadi kecurangan ? alasannya ialah memang tujuan orang berkuasa untuk menjadi koruptor dengan mempermainkan janji janji.

Akibat demokrasi yang cacat itu maka sanggup pula dikatakan bahwa Indonesia belum masuk Negara modern. Bahkan berdasarkan Failed State Index yang dirilis oleh The Fund for Peace dan Foreign Policy Magazine selama periode 2005-2010  Indonesia masuk dalam katagori Negara diambang gagal. Study ini menunjukkan posisi peringatan ( warning ), yang apabila tidak diperhatikan dengan serius maka akan segera masuk dalam posisi “waspada”, selangkah lagi menjadi Negara gagal. Yang menyedihkan dari tahun ketahun posisi Indonesia terus menurun dan mendekati Negara gagal. Saya tidak tahu bagiamana para elite menyikapi hasi riset ini. Yang niscaya , tidak perlu diperdebatkan alasannya ialah semua rakyat sanggup mencicipi dan melihat fakta keseharian.

Indikasi diambang Negara gagal ini ibarat pemerintah sentra yang tidak efektif. Banyak kebijakan sentra tidak diperhatikan oleh Daerah. Banyak menteri yang mengabaikan perintah president.  Infrastruktur ekonomi yang payah dan mengakibat ongkos pelayanan public menjadi mahal. Korupsi semakin meluas, dari korupsi receh hingga ke pada korupsi sistematis bergaya mafia. Kriminalitas dan amuk massa gampang terjadi. Terjadi eksodus buruh keluar negeri. Indek ekonomi membaik tapi kehidupan perekonomian semakin memburuk. Gap antara kelompok kaya dengan kelompok miskin semakin melebar. Lantas mengapa ini sanggup terjadi ?  Ketika ngobrol diruang tunggu keberangkatan pesawat tadi pagi saya sempat berkenalan dengan seorang Guru besar , ia menyampaikan yang menjadi duduk kasus  kita dikala ini ialah kekacauan system ketata negaraan.

Menurutnya kesalahan ini berawal ketika di amandement nya Undang-Undang Dasar 45 tanpa dilakukan study menyeluruh. Seakan amandement itu dibentuk dengan terburu buru. Entah mengapa harus terburu buru? Mungkin ada jadwal tersembunyi dari kelompok tersembunyi yang ingin membonsai kekuatan Negara kesatuan ini , katanya.  Bayangkan, lanjutnya,  bagaimana jadwal pemerintah akan efektif bila otoritas politik saja tidak jelas. Ketidak jelasan ini berakibat kepada kacau balaunya system pengawasan dan pengendalian administrasi. Dalam situasi kacau balau ini maka aturan menjadi permainan dan kompromi menjadi syah saja terjadi. Karena platform yang goyah akhir system yang kacau, menciptakan celah korupsi disemua lini terjadi secara legitimate. Sehingga susah diurai. Cobalah perhatikan, semua partai terjebak dalam masalah yang memalukan dan anehnya masih saja mereka bicara wacana demokrasi dan hukum.

Benarkah system  yang salah ? tanya saya. Dia menjawab dengan tegas bahwa secara akademis belum sanggup dijawab dengan pasti. Karena perlu study dan kejujuran bersikap. Bukankah dalam setiap Pemilu jumlah pemilih diatas 50%, tanya saya. Kalau jumlah pemilih dalam Pemilu sebagai indikator kesetujuan rakyat terhadap system demokrasi sekarang, itu tidak benar, jawabnya. Karena rakyat hanya sebagai konsumen dan mereka membeli alasannya ialah sytem promosi dari para elite dengan janji setinggi gunung dan seluas lautan. Namun nyatanya gunung tak terdaki, lautan tak terseberangi. Rakyat tetap ditempatnya tanpa beranjak, bahkan semakin terpuruk kedalam bumi. Kemakmuran hanya ada pada data statistik. Semuanya hanya permainan culas untuk menipu rakyat. 

Dalam sejarah , tidak pernah system politik itu dibicarakan eksklusif kepada rakyat. System politik itu dibicarakan dan dimusyawarakan oleh para elite yang terdidik dengan baik dan teruji akhlaknya untuk tegaknya kebaikan, kebenaran dan keadilan.  Nah jika system demokrasi kini ini menciptakan Negara diambang gagal maka sanggup disimpulkan sementara bahwa para perancang amandement Undang-Undang Dasar 45 dan juga mereka yang ada di Senayan, dibalik createor UU itu memang tidak qualified lahir batin sebagai negarawan. Dan akhir ulah mereka, rakyat banyak yang korban dan para elite kekuasaan hidup bahagia dengan segala kemewahan akomodasi negara. Benar benar culas.
***
Tapi semua itu biangnya alasannya ialah negara telah menghalau etika sebagai perekat budaya dan mengasingkan agama sebagai fondasi negara dan alhasil jadilah negeri tak bertuan. Hanya soal waktu, akan hancur dengan sendirinya. Semoga ini disadari oleh kita semua untuk berubah sebelum terlambat...

Sumber https://culas.blogspot.com/

Tim Joko Widodo Bantah Fadli Soal Demokrasi Ri Anjlok: Data Dari Mana?


Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin menjawab kritik Wakil Ketua dewan perwakilan rakyat Fadli Zon yang menyebut indeks demokrasi Indonesia anjlok. Juru bicara TKN Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily balik memaparkan data dari laporan forum internasional, Freedom House yang jadi referensi Fadli.

"Data dari mana itu Fadli Zon dapatnya? Ambil data kok seenaknya? Menurut data The Freedom House, tidak benar Indonesia statusnya turun dari 'free' ke 'partly free'. Indonesia masih tetap partly free, bahkan status itu tidak berubah dari 2014, nilai agregatnya pun stabil di angka 65," kata Ace kepada wartawan, Rabu (3/1/2019).

Ia pun menjelaskan mengapa Indonesia hingga sekarang masih menyandang status 'partly free'. Masih berdasarkan data Freedom House, Ace menyampaikan hal ini berkaitan dengan kasus penistaan agama yang Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

"Di tahun 2018 angka turun jadi 64 oleh Freedom House yang paling disoroti ialah kasus Gubernur Ahok yang Kristian di mana dipersekusi/kriminalisasi atas tuduhan penghinaan agama bahkan hingga di penjara 2 tahun. Ini lantaran freedom kita partly free," ujarnya.

Ace menyebut kasus itu pun tidak lepas dari keterlibatan Fadli. Ia mencontohkan insiden agresi bela Islam yang berkaitan dengan kasus Ahok itu.

"Dan ini ulah Fadli dan kawan-kawan yang selalu mendorong isu-isu agama untuk kepentingan politik. Jelas saja indeks demokrasi Indonesia turun, kebebasan memeluk agama, peradaban agama lain selain Islam di Indonesia semakin tergerus, aksi-aksi bela Islam, persekusi non muslim marak terjadi, di mana momentum awalnya ada di Pilkada DKI di mana Timnya Prabowo yang memulai. Justru ini kesalahan Fadli, dkk. Indeks akan makin parah jikalau orang ibarat mereka yang berkuasa," kata Ace.

Ace kemudian merujuk data The Economist Intelligence Unit (EIU) yang juga menjadi dasar kritik Fadli. Ia menegaskan angka yang dipaparkan Fadli merupakan data 2017.

"Sementara, Menurut The Economist Intellegence Unit, tahun 2017, memang Indeks Demokrasi Indonesia benar turun 20 peringkat dibanding tahun 2016 ibarat yg dikatakan Fadli Zon. Perlu dicatat itu taun 2017, bukan 2018 ibarat yang dikatakan Fadli," terang politikus Golkar itu.

"Posisi Indonesia sama dengan AS, yang tidak sepenuhnya demokrasi. Padahal AS digadang-gadang sebagai referensi Fadli, Prabowo, dkk negara paling demokratis," lanjut Ace.

Sementara itu, kata Ace, jikalau merujuk data BPS indeks demokrasi Indonesia di 2017 naik dibanding 2016. Namun, ia menyampaikan memang indikator kebebasan beropini turun.

"Indeks demokrasi angkanya 72,11 (skala 0-100) pada 2017, meningkat dibanding 2016 yang hanya 70,09. Dengan demikian Indonesia berada di kategori sedang. Aspek kebebasan sipil meningkat 2,3 poin dari 76,45 jadi 78,75. Aspek forum demokrasi juga naik 10,44 poin dari 62,05 jadi 72,49," paparnya.

Menurut Ace, menurunnya kebebasan beropini ini dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satu yang utama ialah adanya bahaya kekerasan dari pihak yang tak suka dengan perbedaan pendapat.

"Tentu ini ulah kelompok yang berjubah agama yang sweeping dan mulai mengkafir-kafirkan. Merekalah yang menciptakan kebebasan berpendapat, masyarakat minoritas berkespresi menjadi turun," pungkas Ace. [detik.com]

Pemilih Dan Terpilih...

Winston Churchill  hampir tidak percaya ketika ia kalah dalam Pemilu paska perang dunia kedua tahun 1945. Padahal reputasinya sedang tinggi sekali alasannya yakni ia berhasil membawa inggeris bersama Amerika keluar sebagai pemenang dalam perang dunia kedua melawan jerman. Peranannya sebagai jago strategi, orator, diplomat dan politisi terkemuka mengakibatkan Churchill salah satu dari tokoh paling kuat di dunia ketika itu. Mengapa rakyat pada balasannya lebih menentukan Partai Buruh dibandingkan dia? Rakyat memang terpesona dengan dongeng dan informasi kehebatan Churchill namun pada balasannya rakyat tidak hidup dalam jargon dan retorika aliran Churchill. Rakyat tidak sanggup mendapatkan seorang pemimpin yang hidup dalam mimpinya dan berharap meraih kenyataan dari mimpi itu. Rakyat  ingin hidup dalam dunia nyata.Nyatanya perang dunia kedua hanyalah ambisi Churchill yang balasannya membuat Inggeris gulung tikar terlilit hutang akhir perang yang berdasarkan sebagian besar rakyat inggeris, tak ada gunanya. Andaikan Churchill mau mendapatkan konsep perdamaian dengan Hitler, perang tidak perlu terjadi. Korban akhir perang ,tidak perlu ada.  Namun yang terjadi terjadilah. Churchill merasa rakyat terlalu terbelakang untuk menunjukkan mandat kepada Partai buruh yang hanya pintar mengeluh setiap hari. Bukan soal mengeluh atau apa, tapi justru buruh yang banyak berkorban untuk ambisi perang Churcill. Pemilu yakni pengadilan terbaik dihadapan Rakyat perihal siapakah yang dipercaya. Rakyat bersikap dan Churchill harus kalah.

Ada tiga teori perihal loyalitas pemilih dalam pemilihan umum. Yang partama yakni teori Identification atau Michigan Model ( 1997) yang menjelaskan bahwa pemilih mengindentifikasikan diri dengan partai politik yang mereka dukung. Artinya pemilih menentukan pilihannya sesuai dengan paham partai tersebut ( demokrat, sosialis atau nasionalis ). Kedua, yakni pendekatan social loyalty, dikenal dengan Europe model yang menyampaikan variable identitas sosial yakni faktor lain penentu sikap pemilih dalam pemilihan. Artinya dalam teori ini pemilih tidak lebih sebagai alat penegasan pemilih ( voters affirmation ) terhadap loyalitas sosial tertentu mirip agama, etnisitas komunitas dimana mereka dilahirkan, atau kesamaan profesi dll. Ketiga, adalah teori kompetensi dan integritas calon. Artinya pemilih lebih tertarik pada kualitas kandidat yang berlaga dipemilihan atau isu kampanye yang dikomunikasikan pasangan calon, tanpa mempersoalkan identitas sosial kandidat.  Di Indonesia semenjak menerapkan pemilihan langsung, semenjak  Pacasila dinyatakan ramai ramai sebagai dasar Partai maka teori pertama tidak lagi berlaku. Namun kelihatannya ada sebagian elite partai  masih percaya dengan social loyality. Nyatanya walau sudah mengakibatkan partainya berazaskan islam , tetap tidak berhasil menjadi pemenang walau dominan penduduk beragama islam. Teori ketiga , juga tidak efektif terbukti banyak tokoh hebat mirip Amin Rais gagal jadi capres. Banyak artis dan tokoh tenar juga gagal ke Senayan. Mungkin ada benarnya Fukuyama dalam tesisnya yang terkenal “the End of History” sebagai simpulan dari sejarah. Bahwa konflik ideologi telah hilang dan digantikan dengan alasan-alasan demokratik yang rasional. Semakin maju orang berpikir semakin rasional ia bersikap, yang tentu tidak  mudah ditaklukan dengan magic word bernuasa agama, sosialis,nasionalis. 

Seorang sobat nampak geram alasannya yakni Aceng Fikri yang terang jelas amoral alasannya yakni menceraikan istri nikah sirinya alasannya yakni alasan subjective dan balasannya dilengserkan sebagai bupati oleh kekuatan politik DPRD. Nyatanya sekarang terpilih sebagai anggota DPD (Senator) mewakili Jawa Barat.  Padahal untuk menjadi anggota DPD lebih berat dibandingkan menjadi anggota DPR.  Aceng Fikri harus mendapatkan bunyi diatas 1 juta pemilih dan ia berhasil meraih 1.139.556 suara. Ini bukan hal yang sederhana. Sementara banyak artis tenar, tokoh masyarakat,elite partai gagal meraih bunyi untuk duduk di Senayan, bahkan enam anggota keluarga keraton Solo juga gagal menjadi legislatif padahal  secara defacto  mereka keluarga terhormat di Solo. Ada apa ini? Memang demokrasi liberal yakni system yang memastikan tidak ada superioritas. Semua pemilih dan dipilih yakni equal. Pemilih tidak sanggup didikte dalam bentuk apapun alasannya yakni kebebasannya dijamin oleh undang undang. Karenanya sehebat apapun anda dengan visi nasionalis, agamais, sosialis ,moralis pada balasannya anda harus mengambarkan dihadapan pemilih  bahwa anda memang patut dipilih untuk mewakili mereka.  Kata kata tetaplah kata kata, niat tetaplah niat namun pada balasannya orang menentukan anda alasannya yakni memang anda pantas dipilih. Mungkin saja ada kecurangan dalam Pemilu dan itu tidak sanggup dihindari namun yang harus diingat bahwa pemilu itu memungkinkan by system orang bebas mengawasi dan memastikan orang tidak bebas mencurangi. Kalaupun ada pelanggaran , tidaklah massive. Itu rasio yang tidak significant sehingga sanggup merubah pilihan mayoritas.

Apakah ini sehat untuk kehidupan bernegara? Bagi orang yang bahagia dihormati oleh orang banyak alasannya yakni patron , primordial (emosi keagamaan, profesi, etnis) maka demokrasi liberal sangat tidak nyaman. Apalagi  terbiasa dengan memaksa orang patuh secara totaliter atas kebenaran dari persepsi atas nama agama atau idiologi, tentu demokrasi liberal bukan system yang baik. Bahkan Soekarno merubahnya menjadi demokrasi terpimpin. Soeharto merubahnya menjadi Demokrasi Pancasila. Yang niscaya ketika mereka bersandar kepada ketidak-setaraan , pada dikala itu mereka berlaku menjadi penjajah atau tiran.Atas nama Pancasila , Soeharto mengakibatkan lawan politiknya pesakitan. Atas nama Revolusi, Soekarno mengakibatkan lawan politiknya pesakitan. Demokrasi liberal seakan menunjukkan kode kepada siapapun bila ingin terpilih maka mereka harus sanggup menaklukan hati pemilih. Satu satunya yang membuat orang takluk hatinya yakni apabila “diberi”. Namun derma yang tidak lapang dada gampang ditebak menjadi derma yang memalukan. Banyak caleg yang memberi ketika masa kampanye tapi tetap gagal menerima korsi.  Pemilih punya prinsip ambill uangnya tapi jangan pilih orangnya. Kaprikornus tidak seratus persen pemilih itu orang terbelakang yang gampang dibeli. Mereka cerdas dan tahu bagaimana harus memilih. Ketika pemilu rakyat yang buta hurup namun tidak buta hati,tidak sulit menilai Partai mana yang peduli kepada mereka dan mana yang hanya retorika. PDIP dan Garindra menjadi pilihan utama Rakyat Jakarta alasannya yakni mereka sanggup mencicipi hasil yang dicapai oleh Jokowi dan Ahok selama hampir 2 tahun memimpin Jakarta.

Yang niscaya mereka yang sanggup menaklukan hati pemilih itu kebanyakan yakni bukanlah orang kaya raya atau keluarga keraton tapi malas bersosialisasi dengan rakyat banyak. Bukan Da'i yang hanya tiba bila dikasih uang saku. Atau ulama yang rajin nulis buku tapi miskin spiritual sosialnya. Bukan aktifis yang hanya sibuk onani perihal konsep aliran hebatnya  namun hidup bergantung dari bantuan orang lain.  Bukan ketua LSM yang hanya sibuk jadi pengamat di mediamassa dan mendapatkan bayaran alasannya yakni itu. Bukan ekonom / budayawan/ sosiolog/insinyur yang hanya sibuk berceloteh dan menghujat pemerintah tapi miskin tindakan dan tidak pernah sanggup mandiri. Mereka yang terpilih  itu yakni orang biasa saja namun ia selalu dekat kepada rakyat dan ikut terlibat dalam karya konkret membantu rakyat perihal bagaimana menuntaskan duduk masalah keseharian. Tentu itu tidak dilakukan hanya ketika menjelang Pemilu tapi memang sudah menjadi kesehariannya selalu ada untuk orang banyak. Yang niscaya mereka ini dimanapun berada selalu menentramkan. Mereka pecahan dari rakyat dan erat lahir batin. Karena itupula demokrasi liberal lambat namun niscaya membuat kekuasaan berdasarkan kerakyatan yang rasional, dan tentu hanya duduk masalah waktu liberalisme akan tereliminasi dengan sendirinya. Karena demokrasi dan liberalisme menyerupai air dan minyak.Tidak akan pernah bersatu. Marx pernah berkata bahwa demokrasi yang bahu-membahu yakni masa depan dari masyarakat komunis dimana kekuasaan akan kembali pada rakyat dan rakyat-lah yang akan mengatur diri mereka sendiri. Ya hanya mereka yang erat lahir batin dengan rakyatlah yang berhak memimpin dan dipilih...

Sumber https://culas.blogspot.com/