Ada perusahaan A yang beroperasi di Indonesia, setiap pengembangan perjuangan tidak pernah beliau gunakan modal nya sendiri. Mengapa? lantaran keuntungan setiap tahun sehabis dipotong deviden tidak cukup untuk perluasan usaha. Tapi perusahaan A terus melaksanakan perluasan perjuangan lewat berutang dan risikonya beban bunga yang besar menciptakan perusahaan A hanya menghasilkan keuntungan sangat rendah. Laba yang rendah inilah yang dipotong untuk membayar pajak. Pertanyaan terbelakang ialah bagaimana perusahaan A sanggup terus berutang sementara keuntungan tidak significant. Sebodoh itukah perbankan diluar negeri ? Mari kita liat apa yang dilakukan oleh perusahaan itu. Ketika A menjual atau mengekspor barang/produk , beliau tidak pribadi menjual ke pembeli selesai tapi melalui agent di negara yang pajak nya rendah. Dia menjual kepada agent itu dengan harga rendah.Maklum agent itu juga bergotong-royong ialah anak perusahaannya sendiri yang disamarkan. Kemudian agent itu menjualnya ke negara pembeli selesai dengan harga tinggi. Laba tinggi dinikmati oleh agent. Proses ini dilakukan berkali kali sehingga keuntungan menumpuk di agent. Akumulasi keuntungan ini dipakai agent untuk memperlihatkan pinjaman kepada Perusahaan A untuk melaksanakan perluasan perjuangan di Indonesia Begitulah. Perusahaan itu berkembang tanpa memperlihatkan pajak berarti kepada negara dan keuntungan menumpuk di luar negeri. Modus operandi ini banyak terjadi pada perjuangan perkebunan kelapa sawit, pertambangan batubara, coklat,industry , manufacture.
Memang UU MIGAS no.22/2001 menyebutkan bahwa dana investasi berasal dari kontraktor Minyak. Tidak disebutkan berasal dari pinjaman. Namun pihak kontraktor Migas berhak mengajukan permohonan funding scheme untuk proyek itu dengan banyak sekali alasan yang sanggup diterima sehingga pemerintah memperlihatkan persetujuan atau pengecualian. Di periode pemerintah sebelumnya ini sanggup dengan Trustee Borrowing Scheme (TBS). Ketika mereka investasi di Indonesia tidak membawa dana sendiri tapi dana pinjaman melalui shadow banking Sebetulnya shadow banking itu ialah group mereka sendiri. Maklum sketsa pinjaman melalui shadow banking itu ber-ongkos mahal dan tentu menjadi beban operasional bagi perusahaan.Kadang semakin besar resiko proyek semakin tinggi bunga atau risk management fee semakin mahal. Cost of fund ini pada risikonya akan dibebankan sebagai cost recovery yang akan mengurangi bagi hasil untuk negara dibidang MIGAS. Makanya jangan kaget walau bagi hasil MIGAS antara pemerintah dan operator itu 85/15 namun nyatanya 15 untuk pemerintah ,85 untuk operator. Selalu operator yang sanggup lebih namun tidak sanggup dikenakan pajak lantaran keuntungan berupa sinking dari bunga yang high yield. Dengan diratifikasinya hak patent dan property right dalam WTO maka biaya intengible sanggup ditempatkan sebagai biaya mengurangi pajak. Hampir semua perusahaan absurd yang berhubungan dengan perusahaan didalam negeri, tetapkan management fee, merk fee, tekhnologi fee. Jumlah sesuai kesepakatan. Karena namanya afiliasi maka deal sanggup dibentuk semau gue. Belum lagi ada keterkaitan dengan supply chain diluar negeri untuk materi penolong, jasa pendukung dan materi utama dari induk perusahaan. ( Principal ).Pendapatan pajak untuk Indonesia tetap rendah lantaran keuntungan sudah di transfer melalu Procurement dan intangible cost ke induk perusahaan diluar negeri.
Masih banyak lagi modus operandi transfer pricing. Diperkirakan setiap tahun menyebutkan bahwa ada Rp. 1200 Triliun transfer pricing. Saya yakin jumlahnya jauh lebih besar. Karena luasnya cakupan transfer pricing itu sendiri Apalagi semakin canggih saja transfer pricing ini. Singapore negara yang tidak punya apa apa tapi nilai ekspornya lebih tinggi dari Indonesia dan Malaysia. Penempatan dana dibank Singapore lebih tinggi dibanding Indonesia. Bertahun tahun negara dibohongi oleh PMA dan investor. Mereka bergelimang harta dengan menguras sumberdaya Indonesia sementara negara terbelit hutang yang tak terbayar. Tahun ini, Ditjen Pajak akan menindak tegas praktik curang tersebut, guna menutup kebocoran pajak senilai Rp200 triliun. Direktur Jenderal Pajak, Sigit Priadi Pramudito, dalam sebuah wawancara dengan Reuters, ditulis Selasa 24 Februari 2015,. Tahun ini, kami akan mengejar mereka,".Hal itu sangat memungkinkan. Bila sebelumnya itu sangat sulit mendapat data keterlibatan agent di Singapore sebagai potongan dari operasit transfer pricing lantaran singapore menolak memperlihatkan gosip posisi perusahaan yang jadi agent itu. Tapi menurut hasil pertemuan G 20 di Rusia tahun 2013 , singapore harus memperlihatkan data mengenai itu lantaran sudah diatur dalam Automatic Exchange of Information dalam rangka memburu penggelapan pajak. Bulan desember 2014 Menteri Keuangan sudah mendapat commitment dari pemerintah singapore untuk memperlihatkan semua data mengenai agent yang disinyalir jadi daerah penampungan transfer pricing...Itu sebabnya banyak perusahaan badung yang panas cuek lantaran itu..sebagian sudah sanggup surat panggilan dari dirjen pajak mempertanyakan soal laporan pajaknya.
Kini Transfer pricing menjadi focus Kabinet Jokowi. Satu demi satu kebocoran APBN mulai di sumbat lantaran visi seorang presiden untuk kebaikan bagi bangsa.Untuk itu kebenaran harus diperjuangkan dengan kekuatan jiwa. Yang niscaya upaya ini tidaklah mudah. Akan banyak tantangan namun kita semua harus memperlihatkan sumbangan kepada pemerintah demi tercapainya keadilan social bagi semua.
Sumber https://culas.blogspot.com/