Di dunia sekular, apapun itu di ukur dengan transaksional. Kalau bekerja anda akan di bayar sesuai dengan kemampuan anda. Dan kalau anda merasa bayaran tidak cocok ya anda berhak demo minta di naikan. Kalau engga juga di turuti ya anda bisa pindah ke kawasan lain. Hubungan suami istri juga terjadi lantaran transaksional. Wanita bagus berusaha mencari laki-laki ganteng dan kaya. Kalau relasi saling memuaskan maka berlanjut ke mahligai rumah tangga. Kalau ternyata kemudian merasa satu sama lain tidak lagi bisa men delivery apa yang di inginkan misal , laki-laki jatuh bangkrut, atau suka ngorok, ketiak bacin atau apalah yang tidak membuat nyaman, maka satu sama lain mencari alasan untuk demo dan balasannya percerairan terjadi, untuk menemukan pasangan lain yang cocok. Itu biasa saja. Persahabatan juga di ukur atas dasar kepentingan. Kalau nguntungi ya sahabat sejalan, kalau engga nguntungi ya sahabat sekedar kenal.
Di Dunia sekular apapun di transaksikan dan ukurannya yakni reward alias pamrih. Bahkan agamapun di transaksionalkan sesuai dengan demand. Ada sorga yang di lengkapi kemudahan bidadari bagus yang di janjikan asalkan berjihad. Orang ramai percaya dan sebuah politik dokrin mendapat peluang berkuasa untuk kesenangan dunia yang di bungkus agama. Ada cara cepat kaya asalkan mau mengorbankan harta secara suka rela kepada gerakan amal terorganisir. Orang ramai percaya lantaran delusi yang di sampaikan dengan magic word namun faktanya yang mengorganisir lebih dulu kaya, yang berderma, entahlah. Dari itu semua, dunia sekular renta dengan tabrakan amarah,sesal, permusuhan walau itu semua di bangkit diatas etika, moral menurut konsepsi HAM.
Lantas bagaimana bekerjsama dunia agama samawi? Agama itu kalau di analogikan menyerupai Pohon, maka akar yakni Tauhid, batang dan ranting yakni syariat , sementara buahnya yakni akhlak. Pohon tidak bisa tumbuh tanpa akar. Pohon tidak akan berbuah bila tak ada dahan dan ranting. Buah tidak akan pernah ada tanpa akar dan dahan. Makara kait mengkait alias kaffah. Artinya kalau kita percaya kepada Tuhan maka kita juga harus meniru sifat Tuhan yaitu adil dan beradab. Untuk memastikan itu kita juga harus bisa bersatu dengan siapapun, menghindari permusuhan. Bila persatuan terjadi tentu tidak sulit untuk bermusyawarah membuat hukum supaya keadilan sosial sebagai ujud bahwa Islam itu rahmat bagi semua, sanggup teraktualkan. Nah, acap kita mendengar kata ”Akhlak”. Apa sih yang dimaksud dengan adab ? Lantas apa bedanya dengan Etika, Moral, Norma. Akhlak yakni perbuatan baik yang di sebabkan oleh adanya relasi antara makhluk dengan Tuhan untuk dasar berinteraksi dengan sesama mahkluk. Makara Akhlak itu yakni apapun perbuatan ukurannya bukan transaksional, bukan insan tapi Tuhan. Sementara moral dan etika dasarnya yakni transaksional.
Dengan adab , orang bekerja, berwirausaha lantaran Tuhan maka niscaya beliau akan punya passion tinggi. Ketika beliau bekerja beliau tidak berharap bonus, tidak berharap naik pangkat, tidak berharap kaya raya. Bahkan kadang di remehkan oleh rekan sekerjanya atau tetangganya. Contoh Jokowi tidak merasa rendah walau jabatan Presdien, tapi anaknya jual martabak. Saya tidak peduli bila di nilai tidak bonafide karena sebagai pengusaha hidup kok sederhana. Karena akhlak, kau tidak perlu korupsi sebagai pejabat dan tidak perlu menipu sebagai pengusaha, tidak perlu tentukan tarif sebagai pengkotbah bila di undang ceramah. Tapi buah upayanya membuat perubahan lebih baik, membuat atmosfir cinta untuk memberi, bukan meminta. Tentu hasilnya akan maksimal lantaran beliau akan tangguh menghadapi kendala dan tabah dengan segala keterbatasan untuk menjadi unggul dalam putaran waktu. Orang yang berakhlak tidak pernah sempit hidupnya. Kalau hidupnya lapang bukan lantaran melulu doa tapi itu lantaran sunattulllah, something good happens because the process is good. Kebaikan yang di tebar maka kebaikan juga yang tuai.
Karena Akhlak orang bisa berteman dengan siapapun. Dia tidak melihat apa agama orang dan berapa banyak kekayaan orang atau seberapa besar manfaat yang akan diraih dari persahabatan itu. Dia tidak hanya berbuat baik kepada orang baik tapi juga kepada orang yang jahat kepadanya. Seberapapun orang menghinanya dan merugikannya namun pintu maaf selalu terbuka. Baginya kelengkapan hidup bukan hanya bersyukur berteman dengan orang baik tapi juga bisa merebut hati orang yang membencinya. Karena Akhlak, komitmen nikah dasarnya yakni Allah. Sehingga apapun kekurangan istri atau suami, akan di terima dengan tabah untuk saling melengkapi. Poligami memang di bolehkan oleh Allah namun di sikapinya dengan rendah hati sehingga tidak merasa bisa berlaku adil sesuai syarat yang di menetapkan Allah, karenanya ia selalu menjaga hati istrinya supaya nyaman dan tentram.
Karena Akhlak, orang beragama tidak mengharapkan sorga atau neraka. Walau Allah menjanjikan itu namun beliau aib mengharapkannya lantaran selalu merasa rendah di hadapan Tuhan sehingga merasa sorga tidak pantas baginya. Selalu rendah hati di hadapan insan sehingga tidak pantas cap orang lain kafir atau ke-imanan orang lain lebih rendah di bandingkan dia. Karena Akhlak maka tak lain yang di harapkan yakni rahmat Alllah. Karenanya agama di hidupkan dengan Cinta. Tuhan di dekati dengan cinta, bukan rasa takut. Sehingga keimanan itu menempel di hati tanpa bisa di pengaruhi oleh transaksional menyerupai beramal mengharapkan kaya raya dengan too good to be true, patuh kepada harakah mengharapkan sorga dengan kemudahan VVIP plus bidadari cantik. Tidak.
Nabi Muhammad SAW di tugaskan oleh Allah tak lain untuk memperbaiki Akhlak manusia. “Sesungguhnya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR Al-Bukhari dan Malik). Kesannya sangat terang dalam misi Rasul itu yaitu untuk menyempurnakan Akhlak. Artinya sesuatu yang sudah ada akan di koreksi sedemikian rupa supaya baik dan sempurna. Bukan terkesan sebagai sebuah revolusi atau merombak total sehingga menjadi yang gres sama sekali. Itu juga berarti bahwa proses agama tauhid yang diturunkan Allah semenjak Nabi Adam terus eksis dan hingga ke Muhammad itu disempurnakan.
Dalam konteks membangun peradaban yang di perlukan yakni islam nilai. Nilai nilai islam itulah yang utama. Dalam nilai islam itu bisa saja berangkat dari kebudayaan yang bersandar kepada etika, moral, norma namun di sesuaikan dengan adab sebagai sumber kebenaran ilahiah. Inilah yang harus di pahami oleh umat islam supaya cerdas beragama atau tidak terkesan eklusive. Jangan bersandar kepada hal yang tersurat saja tanpa memperhatikan yang tersirat di alam semesta ini. Islam kaffah yakni islam yang bersandar kepada yang tersurat maupun yang tersirat. Yang tersirat itu yakni pengetahuan yang diajarkan oleh Allah lewat kehidupan ini semenjak bumi terbentang. Dari itulah kita tahu bahwa ilmu Allah itu teramat luas untuk kita mendapat hikmah. Nah, mari kita renungkan bersama, apakah kita beragama dengan kebudayaan sekular ataukah kita beragama dengan akhlak? Tanyalah diri sendiri..
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/