Bukan Saatnya Menang...

Anak ku,
Dulu kami sebagai aktifis mencar ilmu politik tidak dari sosmed atau media massa, sebab waktu itu belum ada sosmed dan lagi media massa tidak bisa seratus persen di percaya. Kebebasan masih di pasung. Kami mendapat pengetahuan dan wawasan politik dari banyak membaca buku. Berbagai litetarur tentang  politik, sosial, ekonomi dan agama, kami baca hingga tuntas. Tak semua kami bisa membeli buku namun piknik kami bukan ke mall tapi ialah perpustakaan nasional. Di sanalah kami membenamkan diri melahap buku.Setelah itu kami akan terlibat diskusi dengan sahabat sahabat sesama aktifis. Dari diskusi itulah wawasan kami semakin kaya dan paham di mana kami berdiri. Paham mengapa kami harus berjuang. Kami sedari usia muda sudah terlatih berdebat dengan santun dan   smart.  Bukan untuk saling menyalahkan tapi saling mengingatkan bahwa walau kami berbeda paham namun kami punya satu tujuan, yaitu membela kebenaran, kebaikan dan keadilan.

Kamu tahu Nak, proses sejarah usaha kaum terpelajar Indonesia menuju Indonesia merdeka di pengaruhi oleh empat golongan yaitu Nasionalis, TNI, Agama  dan Komunis. Ini fakta sejarah. Ke empat golongan  ini bersatu ketika menyusun konsep kemerdekaan Indonesia dengan lahirnya Pancasila. Dalam palsafah Pancasila idiologi keempat golongan itu terwakili. Tapi dalam kenyatannya ke empat golongan itu memang punya aktivitas masing masing yang tersembunyi dibalik Pancasila. Kelompok Agama, dalam hal ini Islam ingin mendirikan negara Islam. Kelompok Komunis ingin mendirikan negara komunis. 

Memang baik Komunis maupun islam punya kesamaan yaitu internationalisasi. Sementara nasionalisme tidak ingin ada negara Agama atau negara golongan. Baik islam maupun komunis , keduanya pernah terlibat pemberontakan. Tahun 1948 terjadi pemberontakan Madiun oleh PKI. Kekuatan islam berkali kali melaksanakan makar menyerupai Gerakan DI/TII Daud Beureueh, Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar, Gerakan DI/TII Amir Fatah, Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar, PRRI yang didukung oleh Tokoh Masyumi. Semua pemberontakan itu berhasil dipatahkan oleh TNI/ABRI. Ketika terjadi pemberontakan G30S PKI, ketika itulah Tentara Nasional Indonesia melaksanakan propaganda bahwa PKI anti Tuhan sehingga dengan gampang menarik massa Islam dalam satu barisan untuk mengakibatkan Soeharto sebagai Presiden.

TNI berperan besar mencambuk kaum nasionalis dan komunis paska G30S dengan keluarnya Tap MPRS XXV/MPRS/1966 bahwa PKI sebagai Partai Terlarang di Indonesia karena tidak sesuai dengan Pancasila. Padahal tokoh PKI menyerupai Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Chaerul Saleh, Sukarni dll ikut terlibat membidani lahirnya republik ini yang bersendikan kepada Pancasila. Makara PKI memang korban politik berebut hegemoni diantara kekuatan idiologi di Indonesia.

Namun Nak, yang harus kau pahami bahwa tugas umat islam dari semenjak awal kemerdekaan hingga jatuhnya rezim Soeharto selalu di manfaatkan sebagai benteng terakhir bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menggusur kekuatan kolonialis dan nasionalis yang berkuasa. Cobalah perhatikan, ketika merebut kemerdekaan, Ulama sejawa mengeluarkan anutan bahwa perang melawan kolonialis asing  ialah jihad. Fatwa itu tidak tiba dengan sendirinya. Tapi berkat bujukan dari Tentara di bawah pimpinan pengalima Sudirman yang di kenal sangat religius itu. Karena itulah Ulama tergerak hati mengerahkan rakyat untuk bersama sama dengan Tentara menyabung nyawa dalam perang kolosal di setiap wilayah Indonesia. Tak terbilang jumlah suhada menjadi nisan tak bernama. 

Setelah kolonial absurd di usir. Kekuasan tidak jatuh ke golongan Islam. Tapi jatuh ke kelompok nasionalis. Ketika Soekarno melemah, kembali kelompok Islam di provokasi Tentara Nasional Indonesia untuk bersama sama menjatuhan Soekarno dengan mengakibatkan PKI sebagai pintu masuk. Soekarno jatuh dan PKI di nyatakan sebagai Partai terlarang, islampun tidak mendapat tugas apapun dalam kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Kekuasaan tunggal ada di bawah Soeharto yang di back up ABRI. Partai islam di bolehkan berdiri namun di awasi ketat perkembangannya dan segala infrastruktur politik islam di kebiri. Ketika Soeharto harus di jatuhkan maka kembali kekuatan Tentara Nasional Indonesia memakai elite islam menyerupai Amin Rais dari Muhamaddiah dan Gus Dur dari NU yang merupakan ormas terbesar di Indonesia sebagai corong menggiring massa Islam bersimpati atas gerakan reformasi dan mengakibatkan mahasiswa sebagai pemicu terjadinya chaos. Soeharto pun jatuh.

Pertanyaannya mengapa di setiap moment pergantian kekuasaan selalu islam sebagai benteng terakhir Tentara Nasional Indonesia untuk mendapat santunan menjatuhkan kekuasaan. Namun ketika kekuasan masih berlangsung malah islam tidak mendapat tempat?. Bahkan  bila golongan Islam ingin menyuarakan kebenaran harus berhadapan dengan moncong senjata TNI. Jawabnya sederhana. Bahwa emosi rakyat Indonesia yang lebih banyak didominasi Islam memang gampang di provokasi untuk menjadi pemicu terjadinya revolusi. Karena sebenarnya setiap revolusi dan reformasi terjadi bukan sebab rekayasa atau buah pemikiran orang tapi lebih sebab situasi dan kondisi terjadi begitu saja di masyarakat. Mengapa? semua berawal sebab dilema ekonomi. Karena pemerintah gagal mengatasi ekonomi dan korban terbesar ada para rakyat yang lebih banyak didominasi umat islam. Itulah mengapa gampang sekali umat islam di provokasi menjadi kekuatan kolosal menjatuhkan penguasa.  Dan sehabis revolusi terjadi, kekuatan islam kembali pada kehidupan menyerupai sebelumnya di mana mereka menjadi umat yang gagal bersaing dengan kelompok minoritas. Mereka tidak  menjadi bagaikan karang di tengah lautan tapi lebih bagaikan buih di lautan yang gampang di sibak oleh sampan kecil. Selagi kelompok menengah dan atas solid , dan ekonomi tumbuh sehat, maka tidak akan pernah ada revolusi yang sukses.

***
FPI ( Front Pembela Islam )  bersama ormas islam Artikel Babo bertekad melengserkan Ahok melalui cara extra parlementer dengan issue menistakan agama. Demikian yang di pahami orang. Saya tidak tahu siapa yang mendesign munculnya kekuatan islam pada moment sekarang. Bagaimana ia begitu yakin  FPI dan ormas islam bisa melengserkan Ahok, yang juga berharap bisa saja bergerak menjatuhkan Jokowi. Apakah ini merupakakan awal dari aktivitas besar untuk merubah Republik yang bersendikan Pancasila menjadi bersendikan Syariah Islam? Apakah ini hanya hard game dari elite politik? Apakah gerakan itu akan mendapat santunan dari cendikiawan ? Apakah akan mendapat santunan kelompok Menengah dan Atas?. Apakah mendapat santunan dari semua Elite partai? 

Mengapa ini saya tanyakan ? sebab kekuatan extra parlementer di manapun berada akan menjadi people power apabila didukung oleh kelompok yang saya tanyakan tersebut. Kerumunan rakyat banyak yang berdemo tidak pernah masuk perhitungan kalkulasi politik. Karena moncong senjata Polisi dan Tentara Nasional Indonesia selalu di arahkan kepada rakyat bukan kepada elite politik. “ Para pegiat agama diwilayah politik hanyalah omong kosong. Mereka sedang mencoba bargain position tapi sebenarnya itu tak lebih mastur politik. Membosankan dan memalukan. Yakinlah kepentingan elite politik berserta kelompok menengah bukanlah idiologi tapi kepentingan ekonomi. Semua elite politik dan birokrat berada dalam kalkulasi bisnis. Harap maklum bahwa kini 90 % APBN bersumber dari Pajak dan ingat ! bahwa 90% pembayar pajak ialah corporate dan kelompok menengah dan atas. Kepentingan business dan kelompok menengah haruslah segala galanya, dan semua itu bermuara kepada UANG." ”  Demikian kata sahabat saya seorang aktifis. 

Mengapa ? Kita mengenal uang sebagai ujud lembaran kertas atau koin. Uang itu kita kenal dan bersahabat dengan keseharian kita untuk melaksanakan aktifitas pertukaran barang dan jasa. Dengan uang maka semua ada nilai untuk dibeli, dijual dan di nominalkan. Lantas bagaimanakah uang itu di ciptakan dan darimana asalnya ? Dahulu kala uang itu di buat dari emas dan perak. Berapa nilai uang itu , ya tergantung dari beratnya koin emas atau tembaga. Artinya uang berafiliasi pribadi dengan nilai materi yang menempel padanya. 

Tapi ia kurun modern , ketika populasi insan semakin bertambah, kebutuhan semakin luas, perpindahan penduduk, barang dan jasa semakin cepat. Maka uang tak bisa lagi sepenuhnya ditentukan dengan materi yang ada. Uang sudah bergeser menjadi ”sebuah nilai ” yang tak bisa lepas dari "Internationalisasi." Uang dan politik ialah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Suka tidak suka inilah kenyataanya. Dari segi monetary system kita menyatu dengan system keuangan global. APBN harus di buat menurut Standard Government Finance Statistic (SGFS) yang sehingga kekuatan fiskal negara sanggup setiap ketika dimonitor sebagai dasar forecasting value Rupiah. Di samping itu juga Sistem Akuntasi Moneter Bank Indonesia harus mengacu kepada International Reserves and Foreign Currency Liquidity (IRFCL). Sehingga setiap detik posisi devisa BI sanggup di monitor secara international. Semua menjadi transference dan terhubung keseluruh dunia secara borderless 

Walau semua serba transference namun pasar berbuat sesukanya berdasar data real tesebut. Di sinilah nilai uang di ukur dan di tentukan oleh segelintir pemain. Cadang devisa negara dalam banyak sekali mata uang tak lagi terkait pribadi dengan jumlah rupiah yang beredar. Cadangan devisa hanya di pakai untuk transaksi atau belanja yang mengharuskan tunai atau cash advance bermata uang asing. Sementara hampir 90% transaksi lintas negara ( cross border ) yang dilakukan dunia usaha tidak berupa cash advance tapi commitment. Commitment ini dalam bentuk instrument yang di legimite oleh kesepakatan multilateral baik dalam kuridor WTO maupun BIS dan Artikel Babo. Hitunglah berapa perputaran uang dibalik commitment itu?. Anda akan terkejut. Jumlahnya diatas cadangan devisa negara kita. Bahkan melebihi SUN yang kita terbitkan. Atau melebihi dari jumlah pajak yang terkumpul. 

Proses uang itu sangat sophisticated, misal Corporate melakukan pinjaman luar negeri. bermata uang asing. Apabila mereka mendapat penghasilan dalam mata uang rupiah, lantas bagaimana menjamin keseimbangan kurs antar mata uang semoga transaksi ini tidak merugikan. Pertanyaan berikut, apabila pinjaman itu gagal siapakah yang akan menjamin uang itu kembali. Juga bermacam-macam kegiatan investasi yang berhadapan dengan resiko perbedaan kurs itu. Pertanyaan ini akan panjang sekali bila kita melihat melalui kacamata uang secara normal.Proses itu bergerak sangat cepat , bukan lagi jam atau hari ukurannya tapi detik.

Tapi dalam system moneter ini sudah diantisipasi. Yaitu melalui banyak sekali instrument derivative yang mendukung proses perputaran uang. Instrument ini tidak melihat devisa negara sebagai kekuatan mata uang. Tidak melihat mendasar ekonomi sebagai dasar uang. Tapi melihat dari sisi ”kepercayaan ” ( trust ). Trust ini ialah energy ( power) dari uang itu sendiri untuk terus berputar mengorbit melintasi dunia sebagai alat tukar. Sementara system moneter ialah software untuk memungkinkan uang terkendali sesuai aktivitas yang diinginkan. Di dalam software itu terdapat fiture menyerupai CDS dan banyak sekali produk derivative keuangan Artikel Babo. Besar /kecilnya atau besar lengan berkuasa / lemahnya trust ( energi) sanggup dilihat dari tingkat premium credit Default Swap (CDS) yang dibayar.  

CDS itu biasanya meliat tingkat rating ( trust ) obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah. Semakin murah CDS semakin tinggi tingkat ”trust” dan tentu semakin tinggi energy yang berputar. Arus investasi akan masuk deras. Nah, Apa jadinya bila CDS tingkat premiumnya semakin tinggi ? tentu ongkos transaksi semakin mahal dan resiko semakin terbuka lebar. Uang akan mengalir keluar ketempat yang energynya besar. Pada ketika inilah commitment uang menjadi hancur. Bila hancur maka mata uang yang kita pegang lepas dari orbit. Uang akan terjun bebas tak terkendali hingga harga harga barang sehari hari akan melambung tinggi tentu akan menciptakan rakyat miskin semakin miskin.Yang kaya jatuh miskin.

Jadi Nak, uang bukan hanya lambang legitimate dan kekuasaan negara tapi juga uang sebagai lambang kepercayaan. Bila kita percaya tapi dunia tidak percaya maka kita hancur. Bila dunia percaya tapi rakyat tidak percaya, masih engga ada masalah. Apabila Ahok sanggup di jatuhkan oleh kekuatan extra parlementer maka reputasi negara hancur dimata international. Trust hancur. Tentu Rupiah hancur. Karena jakarta ialah barometer Indonesia. Kecuali gerakan itu memang kehendak dari dunia international dan di dukung oleh kelompok menengah dan Atas, menyerupai jatuhnya Soeharto dan Mursi di Mesir. Tapi ini hanya di dukung oleh segelintir tokoh islam  dibawah Ormas Islam yang tak pernah berhasil mengakibatkan partai Islam unggul dalam Pemilu. Artinya mereka memang tidak dukung oleh lebih banyak didominasi rakyat. Dunia tahu itu. 

Melunaknya perilaku elite Politik dari KMP terhadap Jokowi-JK, dan hasilnya koalisi bubar sebab mereka sadar bahwa bila kondisi politik tidak stabil maka kepercayaan jatuh dan rupiah akan hancur. Yang pertama jadi korban ialah rakyat banyak serta elite dari KMP sebab sebagian besar mereka ialah pengusaha yang sarat dengan hutang. Jatuhnya rupiah akan menciptakan hutang mereka semakin menggunung dan bisnis bankrut. Semua akan setuju siapapun yang menciptakan instabilitas politik akan digilas ,siapapun itu.

***
Nah Anakku, mengapa saya ceritakan ini semua? semoga kau sadar Nak, bahwa kurun kini dan selanjutnya jikalau kau ingin mengakibatkan syariah islam di tegakkan di negeri ini maka yang harus kau lakukan bukanlah demo dan teriakan amarah terhadap keadaan yang apa boleh buat sudah cacat. Kamu harus mulai membangun gerakan ashaf di bidang ekonomi yang bertumpu pada IPTEK dan di laksankan dengan dasar Tauhid untuk cinta bagi semua. Yakinlah, bila ini jadi gerakan kolosal maka hanya dilema waktu , Umat islam akan memimpin perubahan menuju peradaban negeri yang makmur di bawah lindungan Tuhan. Saya berharap ada pihak pihak yang seide dengan saya sanggup berdiskusi secara jernih bagaimana mestruktur gerakan itu secara terorganisir: berdikari , modern dan lentur. Memang tidak gampang tapi bila kita bergerak cita-cita itu tercipta. Seperti apa yang dikatakan oleh Lu Xun, penulis China ” cita-cita ialah menyerupai jalan didaerah pedalaman, pada awalnya tidak ada jalan setapak, semacam itu, namun banyak orang berjalan diatasnya, jalan itu tercipta

Kita bersyukur ketika kini Jokowi ialah presiden yang bukan elite partai, bukan birokrat, dan bukan TNI. Ini kesempatan besar bagi umat islam untuk ambil potongan dalam pembangunan ekonomi.  Mengapa ? Bagaimanapun semoga kekuasaanya stabil , ia akan terus menjaga keseimbangan kekuatan komponen bangsa, dan umat islam dengan santunan ulama akan mendapat tempat istimewa sebagai kawan pemerintah. Ayooo sikapi smart situasi. Kini bukan saatnya menang tapi jikalau kita terus bergerak dengan smart maka hanya dilema waktu kita akan menang dengan sendirinya sebagai sebuah sunatullah..


Pahamkan sayang..


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait