Dampak Tax Amnesty..



Minggu kemudian teman kisah bahwa kini pasar keuangan Indonesia sedang ramai. Semua portfolio jadi incaran investor. Itu sudah bias di tebak. Karena sebelum di syahkan saja dana abnormal sudah mulai masuk. Mulai dari 1 Januari hingga 24 Juni dana masuk ke Indonesia sebesar Rp97 triliun, Kaprikornus sentiment positip atas TA begitu besar dan sesudah di syahkan oleh DPR, dana masuk semakin besar. Investor ingin melaksananakan kewajibannya sebagai wajib pajak dengan mengikuti agenda deklarasi harta di luar negeri, tarif yang berlaku yaitu 4% (Periode I mulai 1 Juli-30 September 2016), 6% (Periode II mulai 1 Oktober-31 Desember 2016), 10% (Periode III mulai 1 Januari-31 Maret 2017). Itu sebabnya semua ingin mendapat agenda awal repatriasi lantaran tebusanhya murah hanya 4%. Hal ini bedampak luas sekali di pasar keuangan dan pasar modal. Sepanjang periode 1 hingga 5 Agustus 2016, rata-rata nilai transaksi harian mengalami kenaikan 14,28 persen. Performa nyata IHSG turut mengerek nilai kapitalisasi pasar modal Indonesia ke level tertingginya sepanjang masa sebesar Rp5.838,51 triliun di final pekan ini dari Rp5.614,62 triliun di final pekan kemudian atau telah meningkat 3,99 persen. Selama Juli, nilai tukar rupiah menguat mendekati level Rp13.000 per dolar AS. Imbal hasil SBN juga terus menurun hingga mencapai 6,99%, terendah dalam 3 tahun terakhir. Dana repatriasi diperkirakan akan terus meningkat mendekati final 2016.

Instrument investasi yang diminati paling tinggi oleh wajib pajak biasanya NCD ( negotiable Certificate Deposito ) yang memang di sediakan oleh bank yang di tunjuk oleh pemeritnah sebagai bank persepsi untuk pengampunan pajak. Di samping itu ada lagi pilihan investasi yang di buru oleh investor yaitu  surat utang pemerintah menyerupai SBN, surat utang BUMN , surat utang korporasi,  Reksa dana yang underline-nya infrastruktur juga RDPT. Pada tahap awal memang dana dana itu masuk ke sector keuangan yang  mengendap sesuai holding periode yang di menetapkan pemerintah dan selanjutnya akan masuk ke sector real menyerupai industry dan manufaktur, bisnis insfrastruktur yang berbasis PPP, perdagangan dan jasa. Ini akan sangat luas sekali lantaran peluang investasi semenjak di keluarkan paket akal ekonomi terbuka lebar di semua sector. Negara lain menyerupai Singapore, Hongkong, Swiss tidak sanggup menahan arus capital outflow ke Indonesia ini. Karena di samping dana tersebut memang milik warga Negara Indonesia dan hak nasabah untuk memindahkan uangnya di akui oleh otoritas jasa keuangan di manapun, juga lantaran imbal hasil yang di tawarkan Indonesia jauh lebih tinggi dari Negara lain. Maklum lantaran sebagian besar dana di Negara tersebut di tempatkan di money market yang end user nya sebagian besar punya bisnis di Indonesia. Tentu yield lebih rendah dan akan jauh lebih tinggi bila eksklusif masuk ke Indonesia.

Di perkirakan dana repatriasi asset ini akan mencapai Rp. 500 triliun menyerbu dalam negeri. Di satu sisi memang anggun namun juga bahaya serius bila pemeirntah tidak antisipasi dengan baik. Ingat bahwa dana repatriasi ini walau mendatangkan pajak tapi juga menimbulkan ongkos moneter yang tidak murah.  Kalau investor tidak nyaman, mereka sanggup pindahkan lagi dana itu keluar negeri dan ini bisa  menimbulkan sudden capital reversal  khususnya di pasar keuangan. Harga asset akan melambung tinggi atau bubble.  Benarkah ? Pengalaman arus dana masuk menyerupai air bah bukan hanya kini tapi pernah terjadi di tahun 2010-2012 akhir kebijakan QE (Quantitative Easing)  dari AS. Operasi moneter yang di lakukan BI selama pelaksanaan QE terus meningkat dari kisaran Rp257 triliun per bulan (2009) menjadi Rp390 triliun di 2011. Biaya operasi moneter yang digelontorkan Bank Indonesia meningkat tajam hingga menimbulkan defisit sebesar Rp46 triliun selama 2010-2011. Di samping itu juga berdampak mata uang mulai menguat sehingga menciptakan barang impor jadi murah. Keadaan ini mendorong swasta berlomba lomba impor dan memanfaatkan dana melimpah itu dengan  menarik dukungan yang sebagin besar tanpa di hedging.  Akibatnya, pada ketika The Fed  melaksanakan tapering pada Mei 2013, terjadi pembalikan dana secara massif dan nilai tukar kembali melemah bahkan sempat overshoot mencapai level Rp14.000 per dolar AS.

Pemerintah Jokowi harus  berguru dari pengalaman masa lalu. Agar lebih focus memperlihatkan fasilitas bagi investor dengan melaksanakan diversifikasi investasi di sektor financial. Kalau sanggup instrument pasar obligasi di perluas diversifikasinya sehingga tidak semua masuk ke sector pebankan yang sanggup mengancam stabilitas moneter. Pemerinah harus memahami bagan financial engineering yang memungkinkan banyak sekali instrument pasar keuangan dan pasar moda sanggup di askes untuk mendorong tumbuhnya sector real. Peluang investasi insfrastruktur jangan lagi hanya berkutat kepada BUMN dan pengusaha itu itu saja. Kemudahan terusan investasi harus mengabaikan eklusifitas dan memperlihatkan kesempatan siapa saja, termasuk bagi pendatang baru. Jangan hingga menyerupai dulu ketika uang melimpah,  arus investasi masuk tidak menodorong pengusaha melaksanakan langkah  strategis  atas jatuhnya harga komoditas utama lantaran memang pemerintah tidak mengansipasinya dengan  baik sehingga berdampak current account deficit pada 2012 sebesar -2,8% terhadap PDB. Padahal pada 2009, neraca transaksi berjalan Indonesia masih positif. Paradox !

Waktu bagi pemerintah Jokowi tersisa hanya 3 tahun kurang, sementara dana repatriasi akan mengendap paling usang 3 tahun.  Memang pada tahap awal, investasi akan masuk melalui pasar uang dan modal. Jika kondisi perekonomian masih belum meningkat, likuiditas akan mengalir ke BI melalui instrumen operasi moneter menyerupai SBI, reverse repo SBN maupun Term Deposit. Jangan hingga dana melimpah yang masuk akhir Tax Amnesty tidak berdampak apapun bagi ekspansi investasi sector real, tapi justru menimbulkan efek jelek bagi sector moneter yang sanggup menguras cadangan devisa. Resikonya sengat mahal. Semoga cabinet yang kini tahu resiko itu dan bekerja keras memastikan semua akan baik baik saja, jikalau tidak maka 2019 sulit bagi Jokowi sanggup bertahan dan Indonesia masuk dalam duduk perkara besar yaitu krisis struktur yang parah..

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait