Han memintaku mendapatkan telephon dari Huang yang sedang berada di New York.
“Hi, Jaka,” terdengar bunyi Huang di seberang. “Apakah kau merasa nyaman di sana?”
“Sangat nyaman. Terima kasih.”
“Kami sudah mengajukan legal action di pengadilan New York kemarin.”
“Bagaimana kira-kira hasilnya?
“Masalah menjadi rumit lantaran tuntutan kita dilengkapi bukti fund confirmation dari US33. Mereka mempertanyakan bagaimana kita mendapatkan fund confirmation. Tapi itu bukan urusan kita. Karena sistem di US memang memungkinkan kita untuk mendapatkan fund confirmation.”
“Oh begitu. Lantas?”
“Fidelity group tetap mempertanyakan. Namun saya tahu, pihak US Treasury membenarkan akan hak kita. Semua ini ialah system. Semua berjalan secara otomatis. Anda tahu kan, bahwa kekuatan mata uang Amerika sesungguhnya lantaran kekuatan system. Di mana The Fed sebagai pelaksana dan US Treasury sebagai regulator dan penguasa mata uang. Kedua pihak tidak pernah mencampuri urusan masing-masing. Itulah yang menciptakan US dipercaya. Sehingga mata uang US dollar menjadi pegangan bagi semua negara di dunia.”
Aku mendengarkan klarifikasi Huang dengan seksama sebelum akibatnya saya menyhut, “Dan lagi, US Treasury tidak pernah tahu atau terlibat dalam forfaiting aset. Itu ialah tanggung jawab The Fed sebagai direktur deposit trust. US treasury mengakui transaksi yang dilakukan di Swiss hanya menurut ketentuan dari US 33. Itu saja!”
“Kau benar sekali. Mereka kini menyadari bahwa kita bukanlah pihak yang gampang ditaklukan.”
“Ya, saya tahu. Bagaimanapun mereka tidak ingin menimbulkan somasi itu untuk merusak system yang mereka miliki.” Kataku girang.
“System apa?” Terdengar bunyi Huang setengah bertariak. “Kita tidak pernah mencoba merusak system mereka. Kita hanya mengikuti system yang mereka punya dan menerima laba dari sytem itu. Itu saja.”
“Ya! Yang saya kawatirkan bila ada janji gres antara The Fed dan US Treasury khusus wacana problem ini.”
“Sejak RUU Kennedy ditolak oleh senate, regulasi US tidak pernah mengakui keberadaan decade asset. Artinya US tidak pernah menerima laba apapun dari decade asset itu,” Kata Huang. “Lantas apa yang harus disepakati diantara mereka? Menurutku, kasus ini sangat besar pengaruhnya bagi kelangsungan The Fed. Kita akan mendesak pengadilan untuk memaksa The Fed mengakui keberadaan aset ini menurut fund confirmation yang dikeluarkan US33,” terang Huang yang justru membuatku semakin maklum, bahwa group fidelity sudah terjebak dengan kebohongan yang mereka buat sendiri.
“Ya, jikalau begitu akui sajalah. Toh, aset itu secara aturan hanya terdaftar tapi tidak pernah settle mendukung system moneter US.” Kataku. “ Keliatanya memang rumit ya?”
“Aku menerima informasi bahwa Madam Lyan sebagai Senior Advisory dari US Treasury. Dia telah ditugaskan untuk melobi kita secara resmi.”
“Wow, bagus! Sekarang bola ditangan Anda. Kita bisa selesaikan kasus ini diluar pengadilan. Ya kan? Kira-kira apa deal-nya?”
“Mereka minta kita mencabut gugatan, dengan mengakui decade asset yang ditempatkan sebagai jaminan forfaiting trading kegiatan ialah illegal. Sebagai gantinya, kita akan mendapatkan dana sebanyak nilai rekening trading yang diblock. Dananya berasal dari sumber lain. Kasus selesai,” kata Huang kemudian.
“Benarkah itu? Artinya jumlah yang akan kita terima tetap sama yaitu senilai hasil transaksi?”
“Ya. Transaksi yang kemudian dinyatakan batal menurut kesepakatan. Dan semua pihak harus menandantangani Non Disclosure Agreement.”
“Apakah Anda setuju?” kataku bingung. Kalau ini disetujui, maka tahulah saya bahwa Naga Kuning hanya berpikir soal uang.
“Baiklah Jaka, nanti kita sambung lagi.” Kata Huang menutup pembicaraan via international phone yang aman.
***
Pagi itu, Han tiba ke paviliun tempatku menginap. Dia membawa kabar tenteng Lien.
“Tadi, Lien menelepon. Mereka akan mendarat di Beijing besok malam.”
Aku terkejut sambil berdiri dari tempat dudukku. “Benarkah?”
“Ya.”
“Oh. Bagus.” Aku tersenyum senang. Sudah dua ahad lebih saya berada dalam penantian di paviliun ini.
“Tapi, Anda di minta pergi ke Hong Kong hari ini.”
Aku mengernyit. “Mengapa tidak menunggu hingga mereka tiba saja? Kenapa harus buru-buru?”
“Aku tidak tahu, Pak Jaka.”
“Baiklah.”
“Nah, jikalau begitu silahkan bersiap-siap,” kata Han sambil mengeluarkan telepon. Kemudian berbicara dengan seseorang. “Dalam satu jam, supir akan menjemput Anda menuju bandara. Tiga orang team kami akan mendampingi Anda selama dalam perjalanan.”
Han menyerahkan sebuah laptop berwarna hitam. “Laptop ini terhubung dengan satelit kami. Artinya, Anda sanggup memakai access ke Fed System dengan memakai laptop ini. Darimana pun Anda mengaccess, para hacker hanya sanggup mengetahui IP address-nya di Beijing. Lokasi tepatnya tidak akan pernah terlacak secara pasti. Makara Anda tetap kondusif dari deteksi pihak manapun,” terang Han. Aku mendapatkan laptop dan berlalu, namun Han segera menyergah. “Cobalah terlebih dahulu. Aku ingin memastikan, Bapak sanggup mengakses LAN system kami,” kata Han tersenyum.
Aku menghidupkan laptop dan menekan LINK ACCESS satelite. Tak berapa lama, muncul tanda berupa gambar PC dan satelit yang saling terhubung.
“Mudah, kan?” kata Han, saya mengangguk.
Seseorang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan. Membawa sebuah tas yang saya kenal betul, itu ialah milikku. “Tas ini gres kami terima kemarin dari orang kami di Hong Kong,” kata Han sambil menyerahkan tas itu. Anda bisa periksa tas ini, kalau-kalau ada yang hilang.”
Aku menyelidiki isi tas tersebut. Semua dalam keadaan utuh. Termasuk dokumen paspor dan yang Artikel Babo.
“Maaf terlambat menyerahkan. Pihak Hong Kong memerlukan waktu untuk pemeriksaan formal.”
Aku mengangguk dan teringat insiden di Hong Kong. Empat nyawa melayang lantaran pistol Beretta Lien. Aku mengira-ngira, apa yang akan saya lakukan di Hong Kong? Tapi yang jelas, tidak ada hal sederhana. Apalagi kepergianku didampingi oleh tiga orang team Naga Kuning. Aku yakin, mereka ialah pengawal terlatih yang ditugaskan untuk menjagaku.
Di dalam kendaraan menuju Bandara, Han memperkenalkan mereka satu persatu. Aku hanya hafal nama singkat mereka, A Su, A Ming, dan A Ko. Mereka semua sanggup berbahasa Inggris dengan baik. Berusia tidak lebih dari empat puluh. Kesemuanya berperawakan atletis dan sangat ramah.
“Jaga diri baik-baik, Pak Jaka,” pesan Han dikala melepasku masuk ke dalam border. “Aku akan tetap di sini. Kita akan selalu berhubungan,” lanjutnya. Aku merangkul Han. “Tentu, kita akan selalu berhubungan.”
Di dalam pesawat, A Su dan A Ming duduk di dingklik sebaris dengan ku, di seberangnya duduk A Ko. Aku berusaha tidur sementara ketiga orang itu asik membaca buku. Seakan mereka tidak ingin tidur untuk sekedar beristirahat. Walau penerbangan ke Hong Kong membutuhkan waktu cukup lama, sekitar empat jam.
Setibanya di Hong Kong, kami dijemput oleh seorang laki-laki yang memperkenalkan dirinya dengan nama, Qiu. Dengan sebuah kendaraan beroda empat Van kami melaju keluar dari bandara. Di tengah perjalanan terdengar bunyi A Ming berbicara melalui telepon selular dalam bahasa Mandarin. Kemudian beliau menoleh ke belakang.
“Kita diikuti,” katanya. Semua mata serentak menatap ke belakang. Nampaknya tadi A Ming dihubungi seseorang, dan memberitahu bahwa kami sedang diikuti.
Aku memperhatikan lewat beling spion, kendaraan yang melaju di belakang kami berwarna putih jenis Merci. Berjarak tidak lebih dari 200 meter di lintasan bebas hambatan. Semua yang ada di dalam kendaraan tampak tenang, kecuali aku. Sepertinya, sesuatu hal akan segera terjadi. Firasatku berkata demikian.
Tak berapa lama, kendaraan berbelok menuju wilayah Aberden di pinggiran kota Hong Kong. Kendaraan meliuk-liuk menyusuri kawasan perbukitan. Jalanan nampak sepi, tidak seramai jalan bebas kendala tadi. Ketika kendaraan berbelok pada satu tikungan, saya memperhatikan kendaraan yang mengikuti kami masih terlihat. Tepat di belakang Merci itu, terlihat pengendara motor balap dengan kecepatan tinggi. Kemudian, pandanganku tertutup bukit. Dan, sekejap kemudian, BOOM!! terdengar bunyi ledakan hebat. Jantungku berdetak keras. Kukira, dikala itu wajahku niscaya telah pucat pasi. Namun ketiga pengawalku masih saja damai dan menguasai situasi.
Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saat menoleh ke belakang, yang muncul dari balik tikungan hanya motor balap yang melesat bagai anak panah. Pengendaranya melambaikan tangan sambil mengacungkan jempol terbalik, menunjuk ke arah bawah dengan tangan kirinya ketika melewati kendaraan kami.
“Apa yang terjadi?” tanyaku gugup.
“Mobil yang mengikuti kita sudah diledakkan,” kata Qiu.
“Diledakan?”
“Ya, granat tangan.”
“Oleh siapa?”
Mereka hanya tersenyum menatapku. Tidak ada jawaban. Dalam pikirnya mereka niscaya mentertawakan kebodohanku dalam hal premanisme. Ah, sial! Rutukku dalam hati. Seharusnya memang saya membisu saja dan tak banyak tanya. Namun saya segera paham, jikalau pelaku peledakan kendaraan beroda empat itu ialah pengendara motor yang gres saja melewati kami.
Kendaraan kembali berbelok masuk ke jalan kecil, berkelok-kelok dan mendaki. Tak berapa usang kemudian, kami hingga di suatu tempat. Sebuah tempat peristirahatan yang luas dengan pagar tinggi. Pintu gerbang terbuka secara otomatis.
Kendaraan berhenti ketika hingga di depan tangga. Tangga itu melekat pada tebing yang agak vertikal. Kami keluar dari kendaraan beroda empat dan menaiki tangga. Dari atas tangga, terlihat sebuah rumah besar bercat putih. Aku melirik ke bawah, sebuah motor balap di parkir tidak jauh dari Van.
Seorang perempuan keluar dari balik pintu dan, “Selamat datang, Jaka,” Lien menghambur ke arahku sambil merentangkan tangan, memelukku erat.
“Senang ya, bisa ketemu lagi,” seru Lien dengan wajah merona. Dari jaket yang beliau kenakan, saya tahu bahwa pengendara motor tadi ialah Xiau Lien. Dadaku berdesir menatap perempuan yang dikala ini, berdiri tegak di hadapanku dengan senyum mengembang. Aku gemas!
“Kapan kau kembali dari Amerika?”
“Kemarin.”
“Aku pikir eksklusif ke Beijing.”
“Chang dan Artikel Babo yang ke Beijing.”
“Oh, begitu?”
Lien menarik tanganku masuk ke dalam, diikuti yang Artikel Babo. “Untuk sementara kita akan tinggal di sini,” kata Lien.
Aku memperhatikan perilaku rombongan yang lain, terlihat sangat menghormati Lien. Ketika Aku duduk bersama Lien di ruang tamu, mereka tetap berdiri tanpa suara. Sepertinya Lien ialah ketua team ini.
“Aku sanggup kabar dari Han, bahwa kau sudah memahami e-banking dengan baik. Juga sudah bisa memakai database Euroclear, Clearstream dan DTCC.”
“Ya. Tapi saya belum bisa mengakses secara online lantaran bukan member.”
“Sekarang kau sudah bisa mengaksesnya. Kita sudah punya cukup dana untuk jadi member.”
“Oh ya?” tanyaku sambil memicingkan mata. Bingung dengan apa yang gres saja di sampaikan Lien.
“Ya. Bukalah laptopmu. Akan kuberikan password membership.”
Aku membuka laptop dan melaksanakan link ke satelit. Dengan cepat koneksi segera tersambung. Lien tersenyum menatapku. “Langsung ke situs Clearstream,” serunya.
“Ya,” kataku sambil mengetik alamat Clearstream. Lien berdiri dan melangkah ke sebuah kulkas di mini kafetaria ruang tamu. “Minum?” tanya Lien sambil melambaikan sebotol wine.
“Tidak, terima kasih. Air mineral saja.”
Lien mengambil sebotor air mineral dan menyerahkannya kepadaku. “Saatnya kau gunakan acces code untuk masuk ke Fed System,” kata Lien.
“Acces code?” saya terperanjat dan menatap Lien untuk beberapa saat. Namun akhirnya, saya kembali memperhatikan monitor laptop. Dalam hati saya masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin Lien tahu keberadaanku sebagai pemegang acces code? Mungkinkah Boy yang memberitahunya? Padahal, saya sendiri tidak yakin bahwa code yang ada padaku sanggup digunakan.
“Cobalah! Apapun hasilnya, kau tetaplah si pemegang takdir. Kami percaya itu,” kata Lien tersenyum menepuk bahuku.
Aku hanya mengangguk, tidak ingin bertanya lebih jauh bagaimana Lien bisa tahu. Yang jelas, saya sedang berada di sebuah lingkungan team yang berpengaruh dan terorganisir dengan baik. Apalagi saya juga pernah mendengar dari Lien bahwa teamnya sudah bekerja sama dengan team Lady Rose dalam operasi ini.
“Access denied.”
Kalimat itu yang nampak di layar monitor ketika saya memasukkan acces code ke dalam Fed system. Nampak kening Lien berkerut. Matanya melotot ke layar monitor.
“Tunggu sebentar.”
Lien kemudian mengambil-alih laptop dari tanganku. Jarinya dengan lincah mengetik sesuatu, masuk ke dalam LAN access.
“Aku akan melacak routing melalui LAN server kami di Beijing. Mereka mem-block access kita!” Lien menatap mataku dengan mimik penuh kepanikan.
“Kode yang kau masukin benar. Mereka mustahil mem-block access jikalau kodenya salah,” sambung Lien.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Telepon selularnya berbunyi. Usai mendapatkan telepon, beliau semakin terkejut dan wajahnya nampak tegang. Terdengar beliau bicara kepada ketiga orang teamnya dalam bahasa Mandarin. Mereka serentak pergi ke sebuah lemari di sudut ruang tamu. Dari dalam lemari, mereka mengeluarkan sesuatu, ternyata beberapa pucuk senjata. Sepertinya situasi genting akan terjadi.
“Beijing memberitahu, bahwa keberadaan kita di sini sudah terlacak lewat satelit mereka,” kata Lien menatapku tegang.
“Bagaimana mungkin?” sergahku panik.
“Akses yang gres saja kau lakukan, memungkinkan mereka melacak keberadaan kita. Teknologi yang kami sediakan untuk mengacak satelit mereka, berhasil mereka atasi,” kata Lien.
Lien menatap ketiga teamnya yang sedang berjaga di depan jendela, sambil sebentar-sebentar memandang keluar.
“Mereka niscaya tiba dan itu tak akan lama,” Lien berkata kepadaku dengan wajah dingin. Tak nampak sama sekali rasa takut menyelimuti wajahnya. Terlihat sedikit senyum di wajahnya namun perilaku siaga menghadapi segala kemungkinan jelek tetap tidak berkurang.
“Apakah kau pernah merasa takut?” tanyaku sedikit ragu. Tiba-tiba saya sedikit menyesal lantaran sudah melontarkan pertanyaan itu. Lien menghampiri dan duduk merapat di sampingku, menyandarkan kepalanya ke bahuku.
“Jak,” Lien melirik, “Sedari kecil saya tidak mengenal orang tua. Aku hidup di panti asuhan. Sedari kecil saya di latih untuk bertahan hidup. Saat remaja saya di latih untuk menjadi protector. Setelah bakir balig cukup akal saya di didik untuk setia membela negara. Walau saya pernah sekolah hingga ke Harvard, namun rasa cinta dan bela negaraku tak pernah lekang dalam jiwa. Bagiku, Negara ialah ibu kandung. Partai ialah ayah kandung. Kepada merekalah saya berbakti!”
“Apakah kau percaya wacana Tuhan?”
“Tuhan?” seru Lien.
“Ya.”
“Tentu saja saya percaya! Tapi selama dalam perburuan aset ini, saya mulai berguru banyak wacana kehidupan. Banyak hal yang sulit dipahami dalam usaha ini. Namun berkat budaya kami yang tinggi, yang selalu membuka diri pada hal yang gaib, maka tak sulit bagiku untuk mengenal Tuhan. Apalagi sesudah mengenal kau dan terbukti kamulah orang yang terpilih,” Lien mengangkat kepalanya. Wajahnya lurus, tepat berada di depan wajahku. Beberapa detik lamanya kami salaing pandang dalam diam. Lalu kuberanikan diri untuk bertanya dengaan bunyi lirih,“Bukankah komunis anti Agama. Anti Tuhan?”
“Itulah persepsi kebanyakan orang wacana Komunis. Komunisme Cina amat berbeda dengan Marx atau Lenin lantaran keduanya menempatkan agama sebagai sesuatu yang unmatter meski dengan jalan tak langsung. Bagi kami, agama menyerupai obor yang berada di luar dan tidak memasuki benda itu seluruhnya.
Kesadaran kami dari dulu hingga kini secara sosiologis maupun antropologis tak mungkin menjadi materialis menyerupai yang dialami Barat. Yang secara tak eksklusif melahirkan Marxisme di dalamnya. Masyarakat Cina ialah masyarakat yang selalu percaya akan adanya kekuatan lain di luar diri, yang menguasai alam serta isinya. Dan kekuatan ini bersifat gaib.
Ada banyak sekali kepercayaan di Cina menyerupai animism dan dinamisme. Agama Hindu, Budha, Kristen, dan Islam juga bermunculan dan dianut oleh sebagian penduduk Cina. Teori revolusi Marx hanyalah sebagai metode bukan sebagai dogma. Oleh lantaran itu, Marxisme bagi kami harus dipahami dalam kerangka teoritis. Dan penerapannya amat tergantung pada kondisi masyarakat di mana beliau tinggal. Jadi, yang penting dari Marxisme ialah penerapan metode berpikir Marx, bukan menjalankan hasil berpikirnya. Jadi, tetaplah kami sendiri yang membumikan budaya dan keyakinan kami kepada Tuhan.”
“Oh begitu?”
“Lantas apa persepsi kau wacana Tuhan?” tanya Lien sambil mendekatkan wajahnya kepadaku.
“Mau tahu?”
“Mulailah dari hal yang sederhana. Setidaknya bagaimana pun kau sudah bisa mengenal Tuhan. Mengenal Tuhan ialah mengenal akan kesejatian cinta. Tentang ketulusan, kesabaran, kesamaan, kebersamaan, rendah hati, keyakinan dan kepercayaan. Semua itu bila menyatu dalam diri kita, sesungguhnya kita sudah mengenal Tuhan secara utuh. Bila sifat tersebut menjauh dan cinta menjadi bersyarat, maka kita tak akan pernah mengenal Tuhan.”
Lien nampak terpesona dengan kata-kataku. “Hal itu tidak gampang kan, Jak?”
“Ya, memang tidak mudah. Tapi yang harus kau ingat bahwa di dalam diri kita sudah ada bekal kehadiran cinta itu. Kita mendapatkannya melalui transfer cinta seorang ibu dan perhatian lapang dada seorang ayah kepada kita. Inilah yang membentuk kita menjadi mahluk sosial sekaligus makhluk moral.
Setiap dari kita, terlahir dengan sifat religius untuk membaca sesuatu dan mengungkapkannya secara non verbal. Ungkapan non mulut itu tak bisa dijelaskan dengan nalar tapi beliau menjadi bab dasar dari diri kita. Kita sadar sesadar-sadarnya bahwa itu ada. Tapi tak pernah bisa secara utuh menjelaskannya.
Sifat marah, senang dan lain sebagainya yang terungkap dengan bahasa tubuh, itulah spiritual kita. Maka untuk mengendalikan sifat bahagia, marah, murung dan Artikel Babo haruslah dengan cara-cara spiritual pula. Itulah gunanya agama untuk mendidik dan menuntun kita memahami hal yang gaib. Agar kita menjadi tepat sebagai mahluk sosial maupun moral.”
“Hmm..” Lien berdiri dari tempat duduknya sesudah melihat ketiga teamnya yang siaga sesudah melihat sesuatu di luar.
“Mereka sudah datang,” kata A Kok setengah berteriak.
Lien segera melihat ke arah jendela. Dua buah kendaraan beroda empat van bergerak lambat sebelum akibatnya berhenti tepat di depan gerbang. Delapan laki-laki berlompatan dari dalam kendaraan. Mereka berhasil melompati pagar dan mulai masuk menuju bangunan di mana kami berada.
“Saatnya kau melindungi dirimu sendiri,” kata Lien sambil menyerahkan sepucuk senjata FN kepadaku.
“Pegang erat senjata ini dan arahkan pada sasaran,” terang Lien memperlihatkan arahan.
Tiga orang team sudah berada di luar bangunan. Sementara Lien tetap di ruang tamu bersamaku, menanti dengan tegang kedatangan tamu tak diundang.
“Apakah tidak sebaiknya kita hubungi pihak kepolisian?” tanyaku.
“Tidak mungkin. Kita harus hadapi mereka sendiri,” kata Lien tegas dengan mata tetap fokus ke arah jendela.
Selang beberapa dikala yang menegangkan. Terdengar teriakan A Kok. Kepalanya bersimpah darah dan jatuh tepat di teras. Sementara A Su dan A Ming segera mundur ke belakang. Sebelum akibatnya mereka berlari ke dalam rumah sambil melepaskan tembakan.
“Tiarap!” teriak Lien sambil melompat menyambarku. Kami bergulingan ke samping sofa.
Sejenak kemudian, beberapa peluru menembus beling dan membuatnya pecah berhamburan. Sama sekali tak terdengar bunyi desingan lantaran rupanya, mereka memakai peredam. Keadaan menjadi hening untuk beberapa saat. Lien menoleh ke samping, melihat A Ming dan A Su meregang nyawa sambil memegangi dada mereka yang tertembus peluru.
“Tetap di sini,” kata Lien yang masih terlihat damai dan tersenyum kepadaku. Lalu beliau berkonsentrasi pada empat orang yang berdiri tepat di depan jendela beling lebar. Di kedua ajun dan kirinya tergenggam pistol. Lien melompat keluar dari jendela beling yang sudah pecah dengan bersalto.
Aku memperhatikan dari balik sofa. Lien melayang sambil melepaskan tembakan ke arah empat orang yang berdiri dalam deretan sejajar. Memudahkan Lien mengarahkan tembakan untuk melumpuhkan mereka sekaligus. Benar saja, tidak satupun tembakan Lien yang mereleset. Semuanya tepat mengenai target di kepala. Empat laki-laki itu jatuh tersungkur.
Lien berguling ke samping, kemudian segera bangkit, dengan badan membungkuk, beliau berlari ke bawah untuk menyambut empat orang Artikel Babo. A Qiu tiba-tiba muncul kembali dari balik tangga sambil berlari ke arahku.
“Cepat! Ikut aku!” teriaknya. Aku mengikutinya setengah berlari menuruni tangga. Di bawah, Lien sudah berada di atas motor balap dengan helm terpasang. Di sisi tangga ada emat mayit lain awut-awutan dengan senjata masih di tangan. Kukira, mereka jadi korban agresi Lien barusan.
Lien segera memacu motornya dengan kecepatan tinggi melewati gerbang. Sementara saya dan A Qiu, mengikuti dari belakang dengan kendaran Van. “Kamu tidak apa-apa?” tanya A Qiu.
“Ya. Aku baik-baik saja.” Jawabku dengan dada bergetar.
“Bagus,” seru Qiu. “Kita akan menuju ke perbatasan Shenzhen.”
Kendaraan kemudian berbelok ke sebuah bangunan yang masih berada di dalam komplek. Di parkiran basement sudah menanti kendaraan lain dengan mesin menyala. Seseorang keluar dari kendaraan dan berganti tempat dengan A Qiu.
“Nyalakan laptopmu dan tinggalkan di kendaraan itu!” kata A Qiu kepadaku. Aku segera menghidupkan laptop yang dengan cepat terhubung ke satelit.
“Mereka akan mengira kita masih berada di gedung ini. Aku harus pastikan kita selamat hingga tujuan dengan kendaraan ini,” terang A Qiu sambil melesat keluar dengan kendaraan yang gres saja ditukar.
Lien sudah berada di tempat ketika saya dan Qiu hingga di perbatasan Shenzhen. Hari sudah menjelang sore. Tempat itu berada di resort hotel, di kaki bukit. Sebuah tempat yang sangat indah dengan panorama alam yang asri.
Lien nampak sedikit murung. Namun, di hadapanku beliau berusaha terlihat tetap tenang. Lien tersenyum ketika saya tiba menghampirinya.
“Kelihatannya sedikit kacau, ya?” kataku memecah kebisuan.
“Ya.Tapi tidak ada masalah,” jawab Lien tersenyum. “Yang penting kau tidak apa-apa, kan?”
“Yah..” saya mendesah panjang teringat akan tiga orang team yang mendampingiku dari Beijing sudah tewas. Sebuah pertaruhan yang tidak murah. Tapi team ini masih tetap sama, damai dan santai. Seolah begitu terbiasa dengan pertarungan semacam ini.
“Kami gagal menembus access mereka. Mereka bahkan sudah melacak keberadaan kami,” kata Lien serius. “Kamu tidak kondusif lagi bersama kami.”
Aku menatap Lien dan melihat raut kekhawatiran di wajahnya. “Waktumu hanya hingga besok pagi untuk segera keluar dari Cina dan pergi ke Singapura,” lanjut Lien.
“Pulang ke Jakarta?”
“Ya.” Lien berlinang air mata.
“Kita tidak gagal, kan?” kataku memegang pundak Lien. Coba menjaga asa yang sedang redup sesudah kejadian itu.
“Berangkatlah besok pagi. Aku akan pastikan team kami di Beijing untuk terus mengacaukan keberadaan kau lewat satelit,” kata Lien mengabaikan pertanyaanku.
“Mereka sangat tangguh. Tapi saya yakin, kita akan menang. Team Lady Rose sudah menanti kedatanganmu di Singapura.”
Aku menduga, bahwa yang dimaksud dengan team Lady Rose ialah Boy Steward. Itu artinya Boy kini ada di Singapura.
“Aku sudah bicarakan problem serangan ini pada Boy, termasuk kegagalan kami melaksanakan access. Mereka punya plan B untuk menuntaskan misi ini. Beijing pun sudah menyetujui. Aku harap semuanya berjalan sesuai rencana,” kata Lien sedikit terbata. Kami saling berpelukan.
Malam itu, Lien nampak ceria bermain kartu denganku dan Qiu. Aku minta izin untuk tidur ketika jam menunjuk pukul sebelas malam. Ketika terjaga pukul dua pagi, saya melihat Qiu tetap berjaga di ruang tamu. Sementara Lien tertidur di sofa dengan sebuah pistol tergeletak di atas meja. Seraut wajah polos dan lelah tampak di sana. Betapa, perempuan itu telah menjalani hidup yang sangat keras. Sekeras karang di lautan luas. Aku menghela nafas panjang, melonggarkan dada yang tiba-tiba terasa, sesak.