Hikmah Ahok Di Penjara.?




Setelah kekalahan Koalisi Merah Putih di Parlement, nampaknya kekalahan yang belum selesai. Lawan politik Jokowi yang tidak mendapatkan bubarnya koalis merah putih, memanfaatkan kekuatan extra parlementer untuk melemahkan kekuasaannya. Apalagi sukses demi sukses kerja Jokowi lebih banyak menguntungkan Citra Jokowi dan partai pendukungnya. Bagi lawan politik Jokowi, ini disikapi dengan serius. Namun bagimana menghadapinya? Karena tidak ada cara terbaik untuk sanggup menjatuhkan Jokowi. TIdak ada issue rasional yang sanggup merusak gambaran Jokowi. Tidak ada. Mengapa? Karena Jokowi secara pribadi tidak melaksanakan konspirasi bisnis bagi dirinya maupun keluarganya. Jokowi dikenal sangat konsisten dengan Undang-Undang Dasar dan NKRI. Lantas bagaimana melemahkan Jokowi menjelang 2019 ini? Ini harus to be or not to be. Satu satunya cara ialah emosi agama dan ras. Hanya itu yang efektif. Dan Ahok pintu gerbang menjatuhkan Jokowi dan PDIP.

Ahok di jadikan stigma  bagi lawan politik Jokowi bahwa Pemerintah Pro-China. PDIP ialah partai pendukung penista agama. Dua hal ini di goreng oleh lawan politiknya lewat agresi secara massive baik melalui sosmed maupun extra parlementer. Mungkin sebagian besar umat islam tidak tahu politik dibalik ini semua. Mereka hanya nrimo menurut standar keimanan bahwa mereka murka apabil ada orang non muslim menghina ulama atau agamanya.Berbulan bulan masalah ini yang tadinya hanya api kecil namun lambat laun jadi api besar, bagaikan bola salju semakin menggelinding semakin membesar sehingga menjadi bahaya serius bagi keutuhan negara republik Indonesia. Kemenangan Anies-Sandi ialah fakta suksesnya gerakan membangun stigma bahwa Ahok ialah juga Jokowi yang pro china dan anti islam. 

Bagaimana perilaku Tentara Nasional Indonesia dan POLIRI dalam kegaduhan politik ini? Teman saya menyampaikan bahwa Tentara Nasional Indonesia dan POLRI melihat masalah ini secara jernih. Mereka menunjukkan advice yang bijak kepada Jokowi bahwa harus sanggup dipisahkan mana murni gerakan rakyat dan mana yang ditunggangi politik.  Rakyat yang berdemo itu ialah orang awam yang bergerak bukan alasannya ialah kebencian kepada Jokowi tapi kepada Ahok dengan alasan menistakan agama. Mereka tidak membeci Ahok secara pribadi tapi tidak sanggup mendapatkan kelakuan Ahok. Tidak perlu diperbedatkan mengapa mereka begitu gampang terprovokasi. Karena sebatas itulah sebagian besar wawasan Rakyat Indonesia. Makanya ia sangat gampang dijadikan kayu bakar oleh politisi busuk. Lantas bagaimana menyelesaikannya? Harus dipastikan bahwa Presiden atau Pemerintah tidak melaksanakan intervesi aturan atau masalah Ahok. Biarkan aturan bekerja walau mungkin dimanfaatkan oleh lawan politik untuk menghipnotis Hakim. 

Kalau sekarang Ahok di vonis Penjara 2 tahun dan eksklusif di tahan tanpa melihat dakwaan JPU maka itu ialah satu babak penyelesaian kegaduhan Politik. Stigma bahwa Presiden atau Jokowi membela Ahok ternyata tidak benar. Stigma bahwa PDIP partai penista agama, itu tidak benar.  Masalah selesai. Counter attack terhadap lawan politik tidak dihadapi dengan retorika tapi fakta. Rakyat awam cepat sekali disadarkan wacana ini, termasuk mereka yang ikut demo. Bagi Tentara Nasional Indonesia dan POLRI setelah  vonis hakim atas Ahok terjadi, jadi terperinci siapa bahwasanya yang harus dihadapi. Waketum Gerakan Nasional Pembela Fatwa MUI (GNPF MUI) Zaitun Rasmin menyatakan agresi 55 merupakan agresi terakhir yang berkaitan dengan masalah Basuki T Purnama. Kalau ada lagi agresi maka itu sudah bukan lagi agama tapi politik. Tentu bagi lawan politik Jokowi, upaya pressure  akan terus berlangsung hingga 2019  khususnya bagi kader partai yang memang di setting menjadi pembeci. Mereka akan terus begrilya merusak cintra Jokowi dengan issue lain atau tetap memakai agama dengan tema lain. Maka bagi Tentara Nasional Indonesia dan POLRI  ini disikapi sederhana,  bahwa ini bukan lagi soal agama atau ras  tapi sudah mengarah kepada kebencian kepada Pemerintah yang syah dengan mengusung agenda agama. Pancasila dan NKRI ialah harga mati. Tidak ada kompromi atas itu.

Jokowi ingin memastikan sistem demokrasi dan supremasi aturan tegak. Menghadapi lawan politiknya yang memakai issue SARA tentu tidak dengan senjata Milter tapi melalui penindakan aturan tegas dan operasi inteligent melalui kerjasama dengan NU dan Muhammadiah serta memanfaatkan insfrastruktur Tentara Nasional Indonesia dan POLIRI diseluruh Indonesia. Issue SARA akan di hadapi dengan KUHP  Pasal 4 abjad b Jo Pasal 16 UU RI Nomor 40 Tahun 2008 wacana Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis dan atau Pasal 156 kitab undang-undang hukum pidana yang dijadikan Jaksa JPU mendakwa Ahok. Belum lagi UU mengenai ITE. Ormas yang berbagi pemikiran anti Pancasila atau berniat mengubah Pancasila jadi Syariah Islam akan dihadapi dengan pedang hukum.  Bagaimana kelanjutan wacana Ahok ? tidak perlu kawatir karena  sistem aturan Indonesia juga sangat gampang menunjukan apakah Vonis hakim itu direkayasa atau tidak. Karena ditingkat banding , Hakim tidak melihat fakta persidangan tapi melihat apakah berkas kasus dan putusan hakim itu telah menerapkan standar aturan pidana yang sempurna atau tidak. 

Kalau terbukti vonis tidak sesuai dengan penerapan aturan pidana, maka Ahok akan bebas atau mendapatkan eksekusi sama dengan yang di dakwa JPU. Kalau hingga Ahok juga bebas, juga akan jadi pelajaran bagi siapa saja termasuk Ormas Islam bahwa jika memang mereka benar, tidak perlu takut, mereka akan tetap bebas. Jokowi akan memastikan bahwa aturan akan berpihak kepada kebenaran. Apapun itu, walau langit akan runtuh , ndonesia harus tegak diatas HUKUM. Apa yang terjadi sepanjang sejarah keadilan negeri ini sebelumnya, itu bukanlah alasannya ialah perbedaan suku, agama, bukan. Tapi karana politik memang tak sanggup menghindari adanya korban dan dikorbankan. Tidak seharusnya kita sebagai rakyat menggenggam amarah sesama kita. Kita harus bersatu apapun suku dan agamanya, karana musuh kita bukan agama atau suku atau etnis atau Jokowi,  tapi ialah politisi amis yang hendak berkuasa dengan menghalalkan segala cara, termasuk memecah-belah atas nama SARA  atau idiologi. Mereka hanya menyayangi diri mereka sendiri. Bagi mereka harta ialah segala galanya. Walau alasannya ialah itu negeri hancur dan terbelah belah, mereka tidak peduli. Dan pada akibatnya jika jelek yang terjadi menyerupai di Suriah, kitalah korban pertama kali. Sementara mereka sudah lebih dulu tinggal di London atau Singapore dengan standar kemewahan hidup.





Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait