Indonesia Hebat...

Kemarin saya buka puasa bersama dengan sobat yang juga  pejabat disalah satu Kementrian . Dia Phd bidang economy dan berencana jika pensiun akan  bergabung dengan saya menciptakan institute penelitian untuk pengembangan ekonomi Islam. Seperti biasanya ,karena ini lagi masa Pilpres , tentu pada alhasil pembicaraan masuk keseputar debat capres. Bagaimana soal sinyalemen wacana “kebocoran” yang diungkapkan oleh Prabowo? Dan lalu Hatta Rajasa meluruskan bahwa itu bukan kebocoran APBN tapi potensia loss. Demikian saya bertanya. Teman itu tersenyum sambil menggeleng gelengkan kepala. Potensial loss itu terjadi lantaran system kapitalisme yang kita pakai dan kita terjebak dengan system itu. Jebakan itu ada dua yaitu pertama, beban hutang untuk pembayaran bunga dan cicilan. Kedua, pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dua hal ini saling berafiliasi dan saling menyandera. Pemerintah terpaksa membiarkan materi baku SDA dijual keluar negari lantaran untuk menciptakan pengolahan membutuhkan waktu tidak sebentar sementara kita diburu waktu untuk memacu pertumbuhan ekonomi semoga pertumbuhan penduduk sanggup diantisipasi dengan menyediakan sarana dan prasarana, lapangan pekerjaan. Segala konsep ideal pembangunan ekonomi nasional terbentur dengan kenyataan bahwa besok kita sanggup makan atau tidak, dan didepan rumah ada debt collector menagih hutang yang tak sanggup di muratorium. Kita harus mendapatkan kenyataan menjual dengan cara apapun yang sanggup dijual untuk menutupi kewajiban sosial APBN yang tak sanggup ditunda dan hutang yang harus dibayar.

Benarkah jebakan hutang dan ledakan penduduk itu sebegitu parahnya. Tanya saya. Kondisi negara kita bekerjsama dalam bahaya yang serius soal hutang. Dalam international economy community  ada konsesus bahwa apabila  DSR diatas 20% berarti menggambarkan lampu kuning, atau harus ekstra hati-hati. Debt Service Ratio /DSR  atau rasio pembayaran utang dan bunga dibagi dengan jumlah penerimaan ekspor. Data  yang ada pada tahun 2013 menunjukkan DSR Indonesia terus meningkat oleh alasannya ialah kenaikan jumlah utang, sedangkan di sisi lain ekspor cenderung menurun pertumbuhannya. Data ( BI) tahun 2013 , DSR Indonesia berada di kisaran 45-47 persen. DSR pada kuartal pertama 2014 mencapai 46,31 persen atau setiap 100 nilai ekspor 46,31 untuk bayar hutang. Fantastik! Menurut sobat ini rata rata setiap hari Indonesia harus bayar bunga utang  sebesar  Rp. 300 miliar atau setiap jamnya sebesar Rp.13 miliar atau setiap detik jantung berdetak , negara  harus bayar bunga sebesar Rp.220 juta. Ini tidak termasuk cicilan yang harus dibayar bersamaan dengan bunga. Disamping jebakan hutang kita juga terjebak dengan angka pertumbuhan penduduk yang tinggi. Dengan laju pertumbuhan penduduk (LPP) mencapai 1,49 persen per tahun. Setiap tahunnya penduduk Indonesia bertambah empat sampai lima juta jiwa. Itu berarti setiap hari lahir 10.000 bayi atau setiap detik jantung berdetak lahir 7 bayi indonesia. Bayangkanlah bagaimana Prabowo dan Hatta sanggup bermimpi dengan jadwal menutupi kebocoran atau potensi loss yang ada.

Lantas bagaimana solusi menghadapi jebakan hutang dan pertumbuhan penduduk ini.? Solusi itu ada pada Jokowi –JK. Bagaimana? Untuk diketahui bahwa jawaban dari jebakan hutang itu mata uang semakin melemah dan harga bergerak cepat mengalahkan pendapatan minimum.Produksipun menurun. Ini yang korban ialah rakyat kecil. Karenanya perlu ada revolusi mental dari kalangan the have  khususnya yang menguasai sebagian besar sumber daya ekonomi nasional. Pernah Darmin Nasution ketika masih menjabat Gubernur BI menyampaikan bahwa dari total 140 juta rekening nasabah perbankan, sebanyak 3% ( 4,2 juta) nasabah menguasai 67% dana di perbankan.Kalau total dana nasabah diperbankan sebesar  Rp 3.392 triliun maka  4,2 juta nasabah menguasai Rp.2.270 Triliun atau kurang lebih sama dengan USD 200 miliar. Artinya komunitas elite yang jumlahnya hanya 3% dari penduduk Indonesia bila mau merubah mentalnya maka mereka sanggup menjadi sumber solusi mengatasi jebakan hutang. Caranya? Pemerintah sanggup mengeluarkan kebijakan menukar ( SWAP) tabungan/deposito untuk 4,2 juta nasabah tersebut dengan  SUKUK RI (Obligasi berbasis revenue). Hasil dari SWAP ini sanggup dipakai untuk melunas hutang negara. Apakah 4,2 juta nasabah itu dirugikan? Tidak! SUKUK ini dijamin likuiditasnya oleh pemerintah asalkan disertai dengan underlying pembiayaan proyek  ( bukan untuk konsumsi). Sehingga pada waktu bersamaan pemerintah memaksa secara UU pemilik dana untuk terlibat pribadi dalam produksi ( sektor riil). Makara jangan ada lagi orang kaya menikmati rente. Disini pentingnya revolusi mental. Siapapun boleh kaya asalkan kerja keras.

Pada dikala kini mental Birokrat sangat buruk.Kamu tahu,kata sobat saya,  untuk memenuhi konsumsi mereka yang kaya dari rente business jawaban penguasaan sumber daya alam dari absurd maka pejabat  tidak mau repot mendesign kemandiran Produksi dalam negeri untuk memenuhi konsumsi itu. Daripada berlelah merencanakan indusri hulu dan hilir dengan proteksi riset maka lebih baik buka kanal import semoga barang tersedia dietalage. Daripada berlelah dan bersusah memompa produksi pertanian lebih baik import. Akibatnya jalanan macet diisi oleh kendaraan buatan jepang, korea, eropa dan Amerika. Penumpang angkutan darat bahari udara, dilayani oleh alat transfortasi buatan asing. Produk pertanian import membanjiri pasar dalam negeri dan petani keok.  Daripada berlelah merencanakan dan membangun kekuatan rakyat menyediakan distribusi barang maka lebih baik mengizinkan absurd mengurusnya. Maka gerai raksasa absurd hadir disemua sudut kota dan desa. Mereka yang kaya raya jawaban kebijakan dari pejabat pemerintah yang malas ini tidak banyak. Mereka sangat sedikit. Menurut Merrill Lynch &amp, Co serta perusahaan konsultan Capgemini Lorenz ( 29 september 2010 ) dalam laporannya menyebutkan hanya sekitar 20,000 saja dari 200 juta lebih rakyat Indonesia yang punya saluran kesektor nontradable ini. Pemerintah harus membentuk Indonesia incorporate untuk terjalinnya komunikasi moral antara elite business yang 20.000 orang itu dengan pemerintah semoga terjadi  perubahan mindset dari business nontradable kepada tradable.Ini revolusi mental diperlukan

Apabila hutang sanggup lunas maka  negara sanggup tegas kepada absurd yang mengelola SDA lantaran tidak ada lagi beban hutang. Selanjutnya SDA sanggup dikelola dengan mengutamakan Value added. Dengan revolusi mental sanggup dilakukan maka populasi penduduk ( SDM) yang besar tidak lagi menjadi beban atau bahaya tapi menjadi asset bangsa untuk berproduksi dan berbagi. Revolusi mental harus memastikan orang kaya sanggup berkembang namun by system memaksa mereka membuatkan kepada yang lemah dan yang lemah terlindungi.  Sudah saatnya para pemimpin entah itu di executive, legislative, yudikative untuk bersama sama merubah mentalnya nya dari hidup kemaruk harta dengan segala trik atas nama rakyat menjadi hidup sederhana dengan kerja keras demi amanah untuk kesejahteraan rakyat banyak. Yakinlah bahwa terpilihnya Jokowi sebagai Presiden sanggup menjadikan ide bagi seluruh pemimpin disemua level untuk hidup sederhana.Karena Jokowi tidak menyampaikan apa itu sederhana tapi beliau menandakan kesederhaan itu dengan perilaku hidupnya. Ingatlah sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa “Tidak bakal susah orang yang hidup sederhana." Hiduplah sederhana lantaran itulah kekuatan sesungguhnya. BIla amal kebaikan dengan perilaku rendah hati  disemai didunia maka buahnya akan didapat di akhirat, dan itu kesepakatan niscaya dari Allah. Mari berubah untuk Indonesia hebat.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait