Kekuatan Memberi...

Empat Tahun lalu.

Sorang anak kecil tiba menghampiri saya dan memberikan payung untuk saya bisa menerobos hujan keluar dari stasiun BusWay. Saya tersenyum mendapatkan payung itu. Saya tahu anak itu  memberikan jasanya untuk uang receh. DItengah hujan lebat, anak itu berjalan dibelakang saya. Saya memperhatikan anak itu bayah kuyup. Ada rasa kemanusiaan untuk menariknya bersahabat dengan saya semoga terlindung dari hujan. Anak itu berusaha menolak namun saya merangkul pundaknya. Dia bersedekat dengan saya. Saya bertanya kepada anak itu.

“ Kamu sekolah ?

“ Ya pak. “

“Kelas berapa ?

“ Kelas 5 SD”

Saya perhatikan postur tubuhnya tidak menyerupai anak kelas 5 SD. Pustur tubuhnya sepeti anak kelas 2 SD alasannya yakni kurus dan kecil.  

“ Ada berapa orang kau bersaudara, nak ?

‘ Saya hanya sendiri”

“ Oh kau anak tunggal ?

“ Engga tahu , pak. Sedari kecil saya tidak tahu siapa ayah ibu saya.”

‘ Kaprikornus kau tinggal dimana ?

“ DIbawah kolong itu “ katanya sambil menujuk arah jembatan layang.

“ Siapa yang masukin kau sekolah?

“ Ada abang kakak yang antar saya masuk sekolah”

“ Siapa yang bayar uang sekolah kamu?

“ Sekolah engga bayar,pak. Gratis “

“ Beli buku , gimana ?

“ Ada abang kakak yang sering tiba ketempat saya tinggal bawain buku.

“ Sekolah kau jauh dari kawasan tinggal kau ?

“ Jauh pak, Di jelambar.

“ Naik apa ke sekolah ?

“ Jalan kaki pak.

‘ Terus makan kau gimana ?

“ Saya ngamen , cari botol plastic. “

Pembicaraan itu terhenti ketika saya hingga didepan Citraland Mall. Saya memberi uang kepada anak kecil atas jasanya meminjankan payung. Anak itu menyalami saya sambil mencium tangan saya. Dia tersenyum senang ketika pergi menjauh dari saya.

Masalah saya selesai. Saya tak perlu kawatir lagi alasannya yakni saya sudah berada ditempat tujuan saya. Namun saya masih kawatir dengan putri saya. Setiap sebentar saya telp istri saya untuk mengetahui keadaan putri saya. Seusai rapat dengan relasi, jam 9 malam , saya masih terkurung oleh hujan. Taksi dinantikan tidak kunjung datang. Jam bergerak lambat , apalagi jam 10 malam, istri saya mengabarkan bahwa putri saya belum hingga dirumah. Saya diliputi paranoia wacana keselamatan putrid saya. Jam 11.30 malam, barulah saya sanggup kabar dari istri bahwa putri saya selamat hingga dirumah. Karena menanti taksi di Hotel sangat sulit maka saya putuskan untuk keluar dari hotel dan menunggu taksi dipinggir jalan.

Hujan turun rintik rintik, dan saya bertahan dipinggir jalan untuk mendapatkan taksi yang kosong. Pada ketika itulah mata saya melihat kearah bawah kolong jembatan layang. Ada seorang perempuan sedang bersama sama anak anak kecil. Wanita itu jika dilihat dari penampilannya beliau bukanlah perempuan tunawisma. Dia dikelilingi oleh anak anak jalanan. Rasa ingin tahu saya mendesak saya untuk mendatanginya. Salah satu anak yang ada disekitar perempuan itu ada yang mengenal saya.  Anak itu tersenyum mendekati saya. “ Itu abang “ katanya menunjuk kearah perempuan itu.

“ Tadi Uli, kisah kesaya bahwa beliau bertemu dengan orang yang kasih uang banyak” kata perempuan itu tersenyum. “ Ternyata bapak ya “ sambungnya.

“ Saya kasih beliau Rp. 50 ribu. “

“ Itu besar sekali bagi mereka pak “

“ Kaprikornus yang dimaksud anak itu kakak, yakni kau ya. Kamu siapa ?

“ Saya hanya hamba Allah yang tergerak membantu mereka mencar ilmu dan meng advokasi mereka mendapatkan hak pendidikan gratis dari pemerintah“

“ Tapi kenapa malam malam begini ?

“ Hanya malam menyerupai inilah saya bisa mengajar mereka. Karena hingga jam 10 malam mereka harus bekerja mengais rezeki dibelantara kota. “

“Kamu hanya sendiri”

“ Ya, tapi biasanya sama teman. Tapi alasannya yakni hujan mungkin mereka berhalangan datang”

“ Pekerjaan kau apa ?

“ Saya masiswa pak..”

‘ Kamu tidak takut dilingkungan menyerupai ini, apalagi malam hari ?

“ Tidak pak. Saya yakin Allah bersama saya. Saya tiba dengan cinta untuk mereka. Mungkin saya tak bisa merubah kehidupan mereka kini tapi lewat pengetahuan yang saya berikan setidaknya mereka bisa berharap untuk hari esok yang lebih baik. “

“ Wah andal kamu. Apalagi aktivitas kau selain mendidik anak anak jalanan?

“ Saya sering menulis di facebook wacana spiritual dengan menyitir ayat atau firman Allah , ternyata kurang yang like. Padahal semua pesan dalam goresan pena itu saya sanggup dari firman Allah dan hadith Nabi. Tapi saya tidak menyerah. Ini dakwah kok."

" Coba kau ubah cara penyampaian pikiran kau tanpa perlu menyebut sumbernya dari firman Allah dan hadith. Mungkin akan lain hasilnya"

“ OH gitu. ?

" Pesan spiritual sosial yakni korelasi horizontal antara insan dengan manusia. Ini bahasa universal , apalagi di sampaikan berdasarkan agama maka ia bukan hanya universal tapi semesta ,lintas waktu. Tentu di terima oleh semua orang.  Tapi jika sudah bicara korelasi vertikal atau korelasi antara kita dengan Allah maka keadaannya lain. Bukan hanya dengan non muslim yang tidak akan sanggup like tapi juga banyak dari kalangan islam juga tidak sependapat. Bahkan jika kita mencoba membangun teori dengan ajaran bebas terhadap firman Allah dan hadith maka orang islam akan cap kita islam leberal karena ajaran kita tidak sesuai dengan ulama yang di imaninya. Kalau kita ladenin maka korelasi kemanusiaan kita dengan mereka akan rusak. 

“ Mengapa ? 

“ alasannya yakni itu akan jadi ajang pertengkaran. Apapun bertengkar itu buruk.”

“ Memang asing dalam beragama. Kalau bicara korelasi dengan Allah akan selalu saja menjadi medan perang dalil. Seakan kebebasan berpikir di haramkan. “ Katanya.

“ Ya. Padahal Allah sendiri dengan terperinci menyampaikan bahwa gunakan akalmu. “Sesungguhnya didalamnya terdapat gejala bagi orang-orang yang memakai aqlnya . Tidak sedikit Al Alquran dalam ayat-ayatnya menganjurkan dan mendorong insan supaya banyak berfikir dan mempergunakan akalnya. Banyak variasi kata dalam al Alquran yang menggambarkan aktifitas berfikir, bukan hanya aql tetapi juga kata-kata seperti, Nadzara; melihat secara abstrak, dalam artian berfikir dan merenungkan, Tadabbara; merenungkan, Tafakkara; berfikir, Faqaha; mengerti, faham, Tadzkkara; mengingat, memperoleh peringatan, memperhatikan, Fahima; memahami, Selain itu juga terdapat alam al Alquran sebutan-sebutan yang memberi sifat berfikir bagi seorang muslim yaitu : Ulul Albab ; orang berfikiran, Ulul Ilmi; orang yang berilmu, Ulun Nuha; orang bijaksana. Berkaitan dengan filsafat Islam, Integralitas wahyu dan Akal yakni sebuah keniscayaan, dimana posisi nalar sanggup berdampingan dengan wahyu yang transendental untuk ‘melihat’ kehadiran Tuhan dalam relitas kehidupan.” 

“ Lantas bagaimana bedanya korelasi antara konsep berpikir korelasi antar insan dengan korelasi dengan Allah?  

“ Kalau kita bekerjasama dengan insan tanpa dasar Tauhid maka itu hanya akan jadi korelasi transaksional. Kita  berbuat baik alasannya yakni berharap orang lain juga berbuat baik.  Kita inginkan tenang semoga orang lain juga tidak menyerang kita Tapi jika keinginan tidak bersua dengan kenyataan , kita pasti kecewa. Artinya ketika kita berbuat sesuatu  tidak ada kesan positip pada jiwa kecuali rasa kawatir jika keinginan tidak  bersua kenyataan. Dan bila benar jelek yang didapat , kita kecewa. Kalau baik yang di sanggup , kita senang. Artinya dalam proses kehidupan kita sangat tergantung dengan situasi dan kondisi di masa depan. Hidup kita renta.”

“ Bagaimana dengan perbuatan yang di dasarkan kepada Tauhid ? 

“ Kita berbuat baik  tidak tergantung kepada manusia. Tidak berharap kepada manusia. Kita berbuat baik dan bergantung hanya alasannya yakni Tuhan. Apa yang terjadi dengan jiwa kita ? Ketika kita berbuat,  jiwa kita merasa senang dan bila yang jelek yang terjadi kita sudah siap alasannya yakni kita percaya bahwa setiap keimanan yang di dasarkan  niat baik serta perbuatan baik akan selalu di uji oleh Allah. Mengapa ? semoga kita semakin matang secara kejiwaan. Kaprikornus baik dan jelek yang kita sanggup dari perbuatan baik kita , selalu baik untuk perkembangan jiwa kita. Kita sehat lahir dan batin alasannya yakni situasi dan kondisi yang ada. Kini atau besok sama saja. Indah kan.”

“ Luar biasa. Lantas  kalau benar bahwa cara berpikir berdasarkan Tauhid itu menentramkan, lantas bagaimana caranya? Bukankah banyak orang beragama tapi justru spiritual sosialnya miskin sekali. “

“ Kembali lagi persepsi kita tentag Allah harus di perbaiki dulu.  Persepsi wacana agama itu juga harus di perbaiki.  Kalau kita anggap cara bekerjasama dengan Allah itu rumit maka agama akan menjadi cara yang rumit di laksanakan sehingga tidak semua orang bisa memahaminya. Ini salah. Allah itu tidak rumit didekati. Agama bukan hal yang sulit di laksanakan dan dipahami. Yang rumit yakni cara umatnya yang berpikir ekslusif alasannya yakni akalnya dipenjara. Kita harus melaksanakan ritual yang diajarkan oleh Agama. Ritual ini keliatannya menyerupai sulit dipahami oleh akal. Tapi gampang di pahami. Mengapa ? Karena kita tinggal di dunia dan terikat dengan agresi dan reaksi. Hubungan kita dengan Tuhan yang transendental  itu tidak akan menyatu tanpa ritual menyerupai  contoh dalam islam melaksanakan syahadat ,  sholat , puasa, zakat dan haji. Kalau aktivitas ritual ini kita lakukan secara rutin dengan disiplin tinggi maka secara kejiwaan akan menempel menjadi kekuatan bawah sadar terhadap realita yang ada. Tapi jika kita tidak melaksanakan ritual maka isu wacana Tuhan hanya akan berputar putar di dalam pikiran kita tanpa bisa menjadi sebuah keyakinan. “

“ Mengapa ? 

“ Karena memahami Tauhid tidak bisa hanya di selesaikan dengan nalar tapi juga harus melalu prosesi ritual. Bahwa melaksanakan ritual dalam agama yakni korelasi antara kita dengan Allah. Hanya Allah yang berhak menilai dan jika kita lalai maka hanya Allah yang berhak mengampuninya. Apabila ritual kita baik maka secara ke jiwaan kita kuat. Hubungan dengan insan di sikapi sebagai cara kita beribadah kepada Allah tanpa berharap kepada insan kecuali kepada Allah semata. Tapi jika persepsi kita secara ritual salah maka korelasi dengan insan menjadi transaksional ,tak ada bedanya dengan orang yang tak ber-Tauhid. Kita melaksanakan ritual alasannya yakni berharap sorga dari Allah. Kita berdoa semoga sanggup berkah dari Allah. Dan ketika doa tidak bersua dengan keinginan maka keberadaan Allah di pertanyakan. Keadilan Allah di ragukan. Secara ke jiwaan, agama tidak menciptakan kita besar lengan berkuasa malah renta , baik secara realita maupun secara kejiwaan. KIta akan gampang murka dan mengeluh suka marah. Kecewa bila orang tidak menyerupai yang kita suka. Mudah berprasangka  buruk. Saya terus berjuang memperbaiki konsepsi berpikir secara Tauhid untuk meninggikan kalimah Allah melalui korelasi dengan sesama insan yang menentramkan bagi siapa saja. Ingat bahwa perbuatan dosa kepada orang lain tidak akan di ampuni Allah bila tidak mendapatkan maaf dari orang yang anda zolimi walau ia bukan seiman dengan kita.”

" Terimakasih Pak Akan selalu saya ingat. Berarti saya harus lebih banyak membaca dan mencar ilmu soal sosial, psiko sosial, budaya dan ekonomi. Dengan demikian saya bisa menempatkan pemahaman agama secara bijak dalam setiap penomena yang terjadi berkaitan dengan sosial, budaya, dan ekonomi. Tentu narasi saya akan lintas budaya, agama dan sosial" 

" Tepat sekali, maka misi dakwah tercapai. Mengingatkan kepada yang lupa, melunakan hati orang yang keras hati, dengan cara cara terpelajar tanpa terkesan menggurui. Soal hidayah itu urusan Tuhan. Tugas kita hanya memberikan apa yang baik berdasarkan Tuhan dan jalan apa yang harus ditempuh sesuai jalan Tuhan. Itu aja." 

Seberapa paham saya wacana agama namun saya tetap merasa kecil dihadapan perempuan itu. Wanita muslimah berhijab dengan wajah bercahaya akan keikhlasan. Tak takut dengan segala resiko menyerupai seramnya kisah kehidupan tunawisma.  Dia bukan pimpinan LSM, bukan pula aktifis berkelas nasional yang pintar bicara di lembaga seminar wacana pembelaan orang miskin. Ketika sebagian anak muda menghabiskan waktu luangnya bersama notebook dan blackberry, beliau , juga bersama sama temannya mewakafkan waktu luangnya untuk menebarkan cinta kepada mereka yang lemah dan terlupakan oleh kepongahan penguasa.

Sebulan lalu.

Seseorang menegur saya ketika di Mall. Dia menyebut nama panggilan saya di facebook. Maka tahulah saya bahwa perempuan ini yakni sahabat saya di facebook. “ Sejak kali pertama bertemu empat tahun lalu, saya ingin bertemu lagi dengan bapak tapi saya tidak tahu bagaimana menghubungi bapak. Suatu ketika sahabat share goresan pena seseorang. Tulisan itu mengingatkan pertemuan saya dengan bapak. Saya perhatikan profile seseorang itu, ternyata seorang bapak yang pernah bertemu dengan saya. Sejak itu saya suka goresan pena bapak di Facebook. Masih ingat saya kah ?
“ Terimakasih. Tapi saya lupa? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya ?
“ Ingat engga empat tahun lalu, kita bertemu di bawah jembatan layang grogol ?
Saya agak usang mencoba mengingat “ Ah ya kau mahasiswi yang jadi volantir membantu anak jalanan belajar” 
“ Ya betul.”
“ Gimana kabarnya. Kenapa engga inbox saya ?“
“ Kabar baik. Saya sungkan inbox bapak. Apalagi jika ingat nasehat bapak semoga saya memperkaya pengetahuan semoga sanggup memberikan narasi spiritual untuk bisa diterima oleh siapapun. Saya berusaha mencoba tapi selalu gagal. Tapi lewat goresan pena bapak saya semakin merasa punya ayah yang terus mendidik saya cerdas beragama”
‘ Sudah tamat kuliahnya ?
“ Sudah dua tahun lalu.”
“ Kerja apa kini ?
“ Saya bekerja di UNHCR Hong Kong. “
“ Wah andal kau ?
“ Alhamdulilah. Saya niatkan dalam hati dan saya besar lengan berkuasa pikiran saya untuk memberi kepada siapa saja sebisa saya. Berkar komunikasi dengan sahabat sahabat blogger , saya sanggup jalan masuk untuk ikut dalam aktivitas kemanusiaan, bukan hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri. Dari sanalah saya mengenal banyak orang dari segala bangsa, dan lintas agama. Setamat kuliah, sanggup beasiswa ke Inggeris, dan kemudian bekerja di UNHCR. Itu juga berkat rekomendasi dari sahabat sahabat yang telah lebih dulu bergiat sebagai volantir. “
“ Sudah menikah ?
“ Insya Allah tahun ini menikah. “
“ Dapat orang mana?
“ Francis.”
“ Tentu beliau orang hebat?
“ Biasa saja. Dia muslim yang taat. Itu saja yang penting dan juga seorang dokter bedah”
“ Ternyata kalian memang dipertemukan. Sama sama suka kiprah kemanusiaan. Orang baik akan bertemu orang baik dan tentu nasip baik senantiasa menghampir kalian. “
“ Amin Ya Allah. “
“ Tidak ada orang yang tidak berkhasiat bagi orang lain selagi beliau mau meringankan beban orang lain, memaafkan orang lain, dan mendoakan kebaikan orang lain. Bukan berapa banyak yang kita beri tapi seberapa besar cinta yang kita beri. Dan kau telah melaksanakan dakwah nyata, bukan hanya lewat kata kata tapi perbuatan untuk cinta. Kamu lebih andal dari saya."

***



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait