Suara Kebencian

Teriakan “ Kafir “ itu ibarat mengapung di udara. Menyelesup ke rumah-rumah kampung kumuh. Karena hampir setiap hari mendengar orang teriak “ kafir “ dengan nada kebencian maka para warga pun tak terlalu peduli.
Tapi ketika hingga setiap ada kegiatan keagamaan ucapan Kafir kebencian itu terus terdengar, sebagai warga Somad pun menjadi mulai terganggu. Tiba-tiba saja teriakan itu ibarat mengingatkan pada banyak ketidak adilan yang ingin mereka perangi. Teriakan itu jadi ibarat cakar kucing yang menggaruk-garuk dinding rumah. Bagai mimpi jelek yang menggerayangi syaraf dan minta diperhatikan. Somad yang jengkel eksklusif mendatangi pos ronda.
”Sakit pendengaran saya mendengar ceramah di masjid itu. Apalagi pakai Toa?!”
”Apa beliau tak lagi punya urusan yang harus dikerjakan selain bilang orang lain kafir dengan kebencian. Ini sudah keterlaluan!”
”Sebaiknya diingatkan jangan terus ceramah dengan hujatan. Dulu kita kondusif aman saja kok,” sergah warga Artikel Babo.
”Ah paling juga itu ceramah menjelang Pilkada. Maklum banyak ustad bayaran,” ujar seorang peronda. ”Ia murka sebab calon yang didukungnya kalah pada putaran pertama.”

Orang-orang terdiam. Mendadak saja mereka teringat Udin yang orang tuanya meninggal dihentikan di sholatkan di Masjid, kemudian di hujat ramai ramai sebab mendukung paslon petahana yang kafir. Belum puas menghujat dengan sebutan kafir, mereka minta semoga Paslon itu segera di penjarakan tanpa menunggu proses Pilkada. Apalagi yang harus di tunggu? bukankah sudah terang sebagai tersangka? Adakah yang lebih mengerikan dari aroma kebencian yang tak ada simpulan ini?

Somad segera menuju masjid. Kebetulan hanya ada penjaga masjid. Tak ada teriakan kebencian dari dalamnya. Namun bunyi kebencian itu mengambang di udara entah berasal dari mana. Seperti menggenang dan mengepung. Somad sudah sambangi tokoh masyarakat semoga bunyi kebencian dari pengeras bunyi masjid di hentikan. Ini sudah tidak sehat. Apa kita mau perang ibarat di Suriah? Dari dulu orang betawi itu hidup tenang berdekatan dengan orang china, arab, india, bahkan bule sekalipun. Budaya betawi juga kebanyakan mengadobsi budaya dari banyak sekali bangsa termasuk Arab dan China. Kenapa kini bunyi kebencian itu selalu sebab perbedaan agama dan etnis? 

Berhari-hari bunyi kebencian itu terdengar timbul-tenggelam meniupkan amarah  yang menyeramkan bagi warga non muslim. Hidup sudah sedemikian penuh ruwet kenapa pula mesti ditambah-tambahi mendengarkan bunyi kebencian yang begitu menyeramkan sepanjang hari ibarat itu?

”Ini sudah tidak sehat. Demokrasi sudah tercemar. Engga ada lagi pesta ceria demokrasi!” geram Somad. ”Bukannya saya melarang orang berdakwah, tapi ya tahu diri dong. Masak murka dan benci nggak berhenti-henti begitu.” Lalu Somad mengadu pada Pak RT.
”Kami harap Pak RT segera bicara dengan pengurus masjid semoga kurangi orang yang ceramah mengajak kepada kebencian…”
”Lho, apa salahnya ustadz ceramah. Kadang kebencian itu perlu di sampaikan secara vulgar semoga umat tahu mana yang salah dan mana benar,” ujar Pak RT.
”Kalau ceramahnya sekali sekali sih nggak papa. Kalau terus-terusan kan saya  jadi terganggu.”
”Terus terang, warga lain juga jadi ikut-ikutan terpengaruh karenanya.”
”Jadi kebawa pingin revolusi mampusi semua orang kafir…”
”Itu namanya mengganggu ketertiban!”
”Pokoknya mereka itu harus segera diamankan!”

Pak RT segera menghubungi Ketua RW, sebab barangkali yang terus-terusan memperabukan emosi kebencian itu dari kampung sebelah. Seminggu kemudian memang ada warga kampung akrab pembuangan sampah yang hampir bonyok di kroyok massa sebab menolak rumahnya di pasang stiker anti paslon kafir.  Namun Ketua RW menjelaskan bila bunyi kebencian itu memang terdengar di seluruh kampung.
”Warga seberang rel juga cerita, bila mereka siang malam mendengar bunyi kebencian itu,” kata Ketua RW. ”Makanya, bila hingga nanti ba’da Isya bunyi teriakan benci itu terus terdengar, saya mau lapor Pak Lurah.”

***
Pada hari ke-3, bunyi kebencian itu terdengar makin panjang dan menakutkan. Suara kebencian itu terdengar begitu dekat, dan itu tiba dari masjid yang seharusnya menyuarakan kedamaian dan cinta. kebencian itu ibarat air banjir yang meluber ke mana-mana. Orang-orang mendengar kebencian itu makin usang makin sarat hujatan dan amarah. Kebencian yang mengingatkan siapa pun pada kesiapan untuk berjihad dalang perang basi anyir darah.  Siapakah yang menggerakan semoga kebencian itu terus diperdengarkan di setiap kotbah di masjid masjid.  Bila orang itu membenci sebab ketidak adilan, pastilah itu sebab kebencian yang benar-benar tak bisa lagi di maafkan. Tapi justru cara mereka bersikap itu membuat ketidak adilan bagi orang yang berbeda paham.  

Pada hari ke-17 seluruh kota sudah digelisahkan bunyi kebencian itu. Para Lurah segera melapor Pak Camat. Tapi sebab tak juga menemukan gerangan siapakah otak dibalik  bunyi kebencian ini, Pak Camat pun segera melapor pada Walikota, yang rupanya juga sudah mencicipi kegelisahan warganya sebab bunyi kebencian yang terus-menerus terdengar di masjid. Suara kebencian itu telah benar-benar mengganggu sebab orang-orang jadi tak lagi nyaman. Kebencian itu makin terdengar ganjil ketika menyelusup di antara bising lalu-lintas. Suara kebencian itu telah menjadi teror yang menyebalkan. Radio dan koran-koran ramai memberitakan. Mencoba mencari tahu siapakah otak yang terus- menerus meniupkan kebencian itu.

Orang-orang hanya bisa menduga dari manakah asal bunyi kebencian itu. Siapakah yang tahan terus- saluran mendengar bunyi kebencian ibarat itu.
”Mungkin itu repliksi bunyi rakyat  yang selama ini membisu dimiskinkan”
”Mungkin itu suatu ujud kemarahan rakyat kepada petahana yang menggusur rumah mereka.”
”Mungkin itu repliksi dari rakyat yang ingin masuk sorga semua sebab merasa bela agama…”
”Barangkali itu cara membuat rakyat melupakan hidup yang tak ramah…”
”Barangkali itu bunyi pedagang kaki lima yang digusur”
”Atau bisa jadi itu teriakan kemarahan para mucikari sebab lapaknya di digusur dan ditutup…”
”Mungkin teriakan kemarahan para pengusaha real estate yang gerah sebab di palakin petahana yang kafir…”

Hingga hari ke-65 bunyi kebencian itu makin terdengar penuh amarah dan membuat Walikota segera menghadap Gubernur. Ternyata Gubernur memang sudah mendengar ihwal kebencian yang terdengar hingga ke seluruh kota. Kebecian itu bagai mengalir sepanjang jalan sepanjang sungai sepanjang hari sepanjang malam, melintasi gang gang kumuh perkotaan. 

Pada hari ke-92 para menteri berkumpul membahas laporan Gubernur perihal kebencian yang telah terdengar ke seluruh kota. Kebencian itu bahkan terdengar begitu menyeramkan ketika melintasi gang-gang becek di Ibu Kota. Terdengar aroma anyir darah di gemerlap cahaya lampu gedung- gedung menjulang hingga setiap orang yang mendengar seakan amuk massa Mey 1998 akan terjadi lagi.

”Apakah kita mesti melaporkan hal ini pada Presiden?” kata seorang Menteri. Menteri yang lain hanya diam.
***
Pada hari ke-100, Kebencian itu bukan hanya terdengar sayup sayup tapi sudah bermetamorfosis menjadi gerombolan massa yang berduyun duyun tiba ke istana dengan  kendaraan komando yang dilengkapi toa.  Menteri menghadap presiden
”Ada apa?”
”Awalnya hanya bunyi kebencian di masjid dan kini kemarahan menuju istana”
” Itu bukan kebencian yang akan merobek bangsa ini. Itu hanya simponi indah mengingatkan kita bahwa masih banyak PR yang harus kita kerjakan. ingatlah bahwa setiap kebencian itu tiba sebab ada cinta dihati orang.  Hanya saja kita selama ini menganggap semua baik baik saja. Biarkan mereka tiba ke Istana. Biarkan semua oran tahu. Biarkan dunia tahu. Biarkan bunyi itu tersiar keseantero dunia. Ini revolusi mental. Benar benar perang urat saraf. Bahwa demokrasi kita sedang diuji kedewasaannya.”
”Jadi solusinya …”
”Kita akan menguji sejauh mana aturan bekerja. Apakah sistem kita udah berpengaruh menjaga pihak intolerance ataukah aturan kita terlalu lemah menjaga NKRI. Sehingga kita tahu apa yang kurang kita perbaiki dan yang baik kita tingkatkan. Mereka hanya ingin di dengar dan diperhatikan.”
“ Tapi itu sudah tidak adil. Bisa membuat petahana di rugikan secara politik”
“ Kekalahan petahana juga ialah cuilan dari solusi walau pahit. Ya namanya politik, ya begitu. Tapi itu akan jadi pelajaran semoga besok besok tidak akan terjadi lagi. Negeri ini tidak akan jatuh sebab perbedaan paham tapi akan gampang hancur sebab ekonomi salah urus.  Focus aja kepada kegiatan pembangunan ekonomi dan pastikan rakyat merasakannya. Semua akan baik baik saja.. “
“ jadi bagaimana dengan mereka yang tiba ramai ramai itu”
“ Ya biarkan saja. Saya terus kerja. Hari ini saya akan meninjau proyek ekspansi Bandara. Sore gres kembali ke istana. Aparat sudah tahu apa yang harus dilakukan untuk mengamankan negeri ini. “
“ Kita udah tahu siapa otaknya ?
“ Mereka juga hanya berusaha survival dengan perjuangannya dalam politik. Makara biasa saja. Engga usah di kawatirkan. Besok juga mereka akan tiba dan minta maaf. Semua akan indah saatnya.



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait