Pasar Menyusut...?


Kemarin di Singapore waktu makan siang dengan banker, beliau sempat bilang bahwa pasar eceran domestik Singapore bukan hanya jatuh tapi mendekati ajal. Dulu Mall banyak di bangkit sebab singapore sebagai kota nirwana belanja. Sejak tahun 2013 terjadi perubahan yang sangat cepat sekali. Penjualan eceran drop mencapai titik terendah. Dampaknya menekan harga jual dan sewa property. Menurutnya penyebabnya ialah Ekonomi regional memang lagi lesu. Ditambah lagi Warga Singapura merupakan pembelanja paling tech savvy di Asia, dengan jumlah pembelanja online lebih banyak dibanding konsumen di Hong Kong dan Malaysia.

Menurut saya bahwa perubahan pasar yang ada kini tidak terjadi dengan begitu saja tapi sudah berproses semenjak tahun 80an, dan belanja online bukanlah penyebab utama pasar menyusut tapi hanya perubahan cara orang belanja saja. Yang terjadi sebetulnya ialah market adjustment atau terjadinyaproses usul dan penawaran menuju titik keseimbangan baru. Mengapa ? Sejak tahun 80an telah terjadi penambahan kapasitas produksi yang tiada henti. Pada selesai 1990-an angka-angka indikator tampak sangat mencolok. Industri komputer di AS meningkat 40% per tahun, jauh di atas proyeksi demand tahunannya. Sektor eceran juga mengalami hal yang sama. Raksasa-raksasa eceran menyerupai K-Mart dan Wal-Mart mengalami kekurangan kawasan untuk barang-barang mereka. Ketika  produksi tidak lagi dapat di serap pasar, orang bukannya menghentikan investasi tapi terus memacu produksi. Terjadilah suatu fenomena, ‘kelebihan pasokan’ hampir di semua hal.

Tahun 90an terjadi deregulasi pasar finansial besar-besaran, lengkap dengan dihilangkannya batas-batas perpindahan kapital antar negara dan antar sektor usaha. Salah satu misalnya ialah dihapuskannya peraturan Glass-Steagal AS yang melarang forum keuangan terlibat eksklusif dalam aktivitas perbankan investasi dan perbankan komersial. Dampaknya terjadi kreatifitas produk investasi. Pada tahun 1980-an dan 1990-an muncullah bentuk-bentuk instrumen finansial yang lebih canggih, menyerupai futures, swap, dan option-derivatives. itu semua demi mendorong pasar uang berperan membiayai produksi yang terus melimpah dan pasar semakin sesak oleh barang. Juga mendorong orang berbelanja dengan kredit konsumsi yang longgar. Proses ini tidak ada yang menghentikan. Bahkan Pemerintah sengaja membiarkan dengan alasan neoliberal. Akibatnya aktivitas bisnis bukan lagi atas dasar rasional tapi emosional sebab sifat rakus.

Pada akhirnya, ekonomi delusi ada batasnya. Alam kasatmata menunjukkan kegagahannya dan mengintervensi dunia perjuangan pada tahun 1998 terjadi gelombang krisis di ASIA. Indonesia terkena efek parah. Tahun 2000 menimbulkan koreksi dan hilangnya kekayaan investor sebesar 4,6 trilyun dollar AS di Wall Street. Jumlah ini, berdasarkan Business Week ialah separuh dari Produk Domestik bruto AS, dan 4 kali jumlah kehilangan pada crash tahun 1987. Dengan di perparah oleh wabah dot.com, maka ekonomi AS mengalami resesi akut pada tahun 2001. Tahun 2008 kembali terjadi goncangan moneter dengan jatuhnya Lehman brothers yang menyeret terjadinya krisis financial di AS. Dua tahun kemudian atau tahun 2010 dunia memasuk krisis global dengan ditandai banyak negara yang tergabung dalam Uni Eropa mengalami kesulitan membayar hutang. Jepang masuk dalam putara spiral krisis, sebab terjadinya deplasi. Korea, Taiwan sebagai satelit AS juga tumbang. Krisis berlanjut dengan melambungnya harga pangan yang berdampak terjadinya gelombang demokratisasi di Timur Tengah. Bukan hanya sistem kapitalis yang terpuruk, negara yang menerapkan sosialis juga oleng menyerupai perkara hancurnya mata uang Venezueala dan penutupan ribuan pabrik di China.

Apakah pertumbuhan ekonomi dan investasi sebab keuntungan yang terus meningkat ? tidak juga. 500 perusahaan fortune global termasuk konglomerat Indonesia , mereka tidak kaya dari keuntungan tapi sebab seni berhutang baik melalui perbankan mapun pasar uang. Penjualan rumah dan apartemen meningkat bukan sebab orang berlebih uang tapi sebab hutang. 90% barang konsumsi rumah tangga didanai oleh hutang. Peningkatan kapasitas industri dan ekonomi di CHina, Korea, Taiwan, Eropa , AS bukan sebab akumulasi keuntungan real tapi sebab aktivitas berhutang. Makara selama ini negara maupun korporate memang membuat pertumbuhan ekonomi palsu atau fake. Hasilnya ya paradox dalam bentuk economic bubble. Ketika krisis gres semua melihat fakta bahwa yang katanya kaya dan hebat itu ternyata memang hampa.

Tapi apa yang menarik dari krisis global kini ini ialah tidak adalagi ruang solusi yang too good to be true. Mengapa ? Rasio hutang negara maju sudah diatas pagu kesehatan financial. Menambah hutang terperinci bukan solusi bahkan akan menumbangkan rezim kapitalisme secara struktural. Makara apa solusinya ? Harus menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi sekian decade belakangan ini memang over capacity, dan itu dipicu oleh longgarnya pasar uang. Tidak dapat lagi mengandalkan kekuatan financial untuk mengatasinya, tapi lebih kepada perubahan mental. Saat kini yang terbaik bagi pelaku dunia perjuangan ialah bertindak realistis. Tidak usah berharap pasar akan meningkat tapi berusahalah menyesuaikan kapasitas produksi dan bisnis sesuai pasar yang ada. Disamping itu gaya hidup juga harus diubah untuk hidup sederhana. Earth provides enough to satisfy every man's needs, but not every man's greed.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait