Petugas business center mengirim guide untuk saya berkunjung ke Mao monumen. Guide itu seorang perempuan dengan tinggi di perkirakan diatas 170 cm. Kamu Mengenakan Baju putih, kerah berenda dan dipadu dengan rok diatas lutut warna merah. Kamu kenalkan namamu, Lyly. Kalau saja matahari animo panas sedang berbaik hati, rok tipismu tentu menerawang pula. Bagiku kau tidak lebih wajah lain dari China sekarang. Kalah dan menang. Komunisme memang telah terkubur secara culture kesehariaan di China. Ia hanya tinggal simbol menyerupai patung Mao itu dari sekian banyak monumen yang dibangun di China. Walau bahwasanya maut Mao, komunis juga ikut mati. Namun para elite politik tak ingin komunis kehilangam simbol. Bagiku, pesan yang disampaikannya oleh monumen itu bukanlah simbol keagungan Komunisme. Tapi simbol yang pernah menciptakan pemimpin china memperlihatkan kebohongan berongkos mahal. Seolah menyediakan anak tangga untuk naik menggapai kejayaan, tapi sejatinya yaitu parade prosesi maut kemanusiaan.
Sepekan menyusuri Changsa cukup untuk menemukan betapa masa lalu, termasuk yang gres saja lewat, beroleh daerah penting. Monumen, mural, artefak museum, teater mutakhir, seni rupa beramai-ramai mengabadikannya dengan saksama. Sepertinya, ada kerja kolektif untuk menjaga ingatan. Semacam saling mengajak waspada. Jakarta yaitu lain cerita. Uang dihamburkan untuk lampu-lampu hias, air mancur, patung-patung pendekar palsu dan monumen-monumen nirmakna. Ketika Changsa dikepung ingatan, Jakarta terkubur kepalsuan dan lupa. Kau tetap mematung menerawang di sana. Di pelataran monumen yang luas dan memanjang sungai Xiang , jarak kita, mau tak mau, dekat belaka.
”Apakah orang inni semua menyerupai kau ?” Katanya. Orang china menyebut indonesia dengan sebutan Inni. Entah mengapa. Mungkin pengecap mereka tidak bisa melafalkan secara utuh Indonesia.
” Mengapa kau tanyakan itu.?”
”Mengherankan juga. Ada yang suka monumen ini, apalagi dari Indonesia.” Batas antara seringai dan senyummu menyembul dari balik payung jingga. Gigimu putih berkilau.
”Memang buruk secara artistik dan arsitektural. Tapi saya suka pesan yang dibawanya. Ajakan waspada pada kembalinya kebrutalan masa lalu. Menjaga ingatan. Melawan lupa.”
”Hmmm….”
”Ada apa dengan orang Indonesia ?”
”Saya suka orang Indonesia alasannya yaitu mereka punya logika sehat dan berani melawan komunis.”
”Wow! Tahu dari mana kau ? pernah ke Indonesia.
“ Itu yang saya tahu dari buku bacaan dan saya menyimpukan rakyat Indonesia cukup cerdas dan berani bersikap. Suatu dikala saya ingin berkunjung ke Indonesia.
”Sekarang giliranku yang mesti heran jikalau begitu. Kenapa kau harus bekerja sebagai Guide. Kamu bagus dan tentu tidak sulit dapatkan kerjaan lebih baik ?” Aku menyergah, mengubah posisi.
”Di China orang hidup berkompetisi dan mengambil resiko. Kami tidak ada waktu berpikir dan bertanya mengapa. Kalau ada kesempatan hari ini ya gunakan. Aku butuh kerjaan dan makan.”
Senyap menyergap senja Changsa. Gerimis mulai mereda. Langit merah di sungai Xiang memanggil-manggil malam.
***
Perjumpaan kedua kita yaitu pada senja bergerimis berikutnya. Angin tak mau mengajak berkawan. Udara animo panas Changsa pun sedikit mendingin.
”Boleh saya sedikit mendekatimu?”
Permintaanmu tiba-tiba. Dan tidak mungkin kutolak.
”Aku ingin bunuh diri.” Kau pecah sunyi dengan cara yang sama sekali tak kuduga.
”Hah!? Maksudmu?”
”Kurang jelaskah itu? Atau bahasa Inggrisku kurang bagus di telingamu?
”No. No. Inggrismu sempurna. Aku mendengar. Tapi….”
”Ya. Aku sedang berpikir untuk bunuh diri….”
”Bagiku tak masuk akal.”
”Maksudmu?”
”Kau begitu muda. Ranum. Cantik. Cerdas. Dunia membentang luas di depanmu. Di sekelilingmu, perubahan berdentum-dentum. China-mu begitu bergairah. Kau hidup persis di tengah pola sukses Asia da barat yang terpuruk. Masa depan menunggumu. Tinggal kau jemput. Kau dikepung animo semi daya hidup. Bagaimana mungkin kau justru ingin melangkah ke arah sebaliknya.”
”Oh… Begitukah kami dari kejauhan? Kau terlalu romantis. Kau pikir maut komunisme yaitu isu baik seluruhnya? Setelah komunisme mati, perubahan menghasilkan para penikmat sekaligus korban. Celakanya, saya menjadi yang kedua, korban! ”
”OK. Sorry untuk kenaifanku. Aku siap menjadi pendengar.”
”Ceritaku akan panjang. Ayo kita ke hotelmu saja. Keberatan kutemani dengan dongeng panjangku?”
”No. Sama sekali tak keberatan.” Tentu saya menggeleng. Begitu baikkah Tuhan padaku senja ini?
***
Di luar, para pelancong hiruk-pikuk kemudian lalang. Suara-suara bermacam-macam bahasa dunia menerobos masuk melalui jendela kamar hotel yang kita biarkan lebar terbuka. Seperti bunyi ribuan lebah yang pandai berganti dendang.
Ceritamu panjang. Lirih. Dan kelabu.
”Aku anak bungsu dari 4 bersaudara. Dulu di bawah kekuasaan komunis Mao, hidup menjadi begitu rutin. Ayah dan Ibuku mengakibatkan kegiatan menciptakan anak sebagai selingan menantang. Anak demi anak lahir begitu saja. Setiap tahun satu. Berderet-deret menyerupai pagar. Komunisme memang memanjakan. Negara menyediakan apa saja, mulai sabun mandi hingga roti, dengan tak ada lebih pada seseorang dibanding yang lain. Di bawah komunisme, orangtuaku dan siapa pun tak dibiasakan apalagi didesak untuk berkompetisi. Segalanya tersedia tanpa perlu upaya berlebih. Tapi itulah, hidup kami menjadi manja. Tidak menjadi kaya, tapi dalam kesehajaan yang terpelihara. Hidup terasa gampang belaka hingga kemudian Mao wafat dan seakan komunis juga ikut terkubur bersamanya. Keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Reformasi Deng memaksa kami untuk berkompetisi. Negara tak lagi jadi penyantun, tapi membiarkan kami saling sikut untuk bertahan dan saling berebut hidup yang lebih baik.”
Suara-suara bising bermacam-macam bahasa dunia yang menyelinap dari balik jendela terbuka mulai perlahan menyenyap. Malam makin sepuh. Kubayangkan, para turis yang mulai letih telah memenjarakan dirinya di kamar-kamar hotel atau menyerbu panti-panti pijat dan klub-klub malam untuk menukarkan penat dengan keletihan yang lebih menyenangkan. Suaramu masih benderang, ceritamu seolah tak berujung, sementara ujung malam beringsut mendekat.
”Ibuku yang terlampau renta di hadapan kapitalisme, tersingkir dan tak lagi terpakai sebagai pejabat di kecamatan. Ayahku terkena kegiatan rasionalisasi Deng, yang memangkas lebih separuh PNS tanpa diberi uang pensiun. Di berhentikan begitu saja. Kakak-kakakku sibuk dengan urusan masing-masing. Hidup yang keras membikin mereka tak lagi saling peduli satu sama lain. Aku terjepit dalam ketiadaan pilihan hingga sebuah anjuran yang begitu manis tiba begitu saja dua tahun lalu. Sebuah biro penyalur tenaga kerja menawariku bekerja sebagai pramusaji di Malayasia.”
Kau terdiam. Menunduk. Matamu segera menjadi telaga. Dua sudut bendungan di sisi luar pangkal hidungmu makin tak bisa menahan air telagamu yang membanjir. Air matamu berjatuhan tanpa tercegah. Lalu suaramu menyendat pada pangkal dongeng yang rupanya segera tiba.
”Aku ditipu. Aku dijual ke sebuah daerah prostitusi di Bukit Bintan dan Genting. Garis nasib yang kelam mesti kuterima tanpa daya. Badanku remuk dihantam kerja jahanam itu. Kemanusiaanku terbunuh oleh rutinitas itu. Membuka pintu kamar, membiarkan diperlakukan sebagai binatang, memunguti uang yang dilempar begitu saja ke atas daerah tidur sambil mendengar pintu ditutup dan bunyi sepatu lelaki di lantai menjauh hingga hilang ditelan lobi berkarpet. Badanku hancur, tapi hatiku lebih hancur. Kemanusiaanku makin hari makin tak bersisa. Benar-benar binasa.”
Air matamu membasahi bahuku. Dingin. Kita diterkam senyap yang tiba-tiba menjadi asing.
”Untunglah saya jadinya bisa melepaskan diri dari enam bulan terpanjang dalam hidupku itu. Kabur dari Kualalumpur, kembali pulang. Tapi hidup tetap tak bersahabat. Akhirnya kuulang pekerjaan yang sama di sini. Kali ini atas kemauanku. Persisnya, alasannya yaitu saya tak punya pilihan lain. Hingga sampailah saya menjadi guide dari biro tour. Ya… saya ingin bunuh diri. Rasanya saya mampu menghadapi hidup yang berat dan keras, tapi tidak hidup yang terasa hambar menyerupai ini….” Sesenggukanmu mengeras. Sebuah cara pilu mengakhiri dongeng panjangmu.***
Senja bergerimis. Langit di atas Bandara Internasional Changsa tersapu terlalu banyak kelabu. Birunya menyerupai malu-malu. Enggan memperlihatkan diri. Kau mematung menopang dua matamu yang nanar. Lagi-lagi bertelaga. Aku nyaris kaku ketika kau bisikkan kata-kata itu….
”Terima kasih banyak Bro. Untuk pertama kali dalam waktu yang sangat panjang, saya mampu mengembangkan dan menangis. Kupikir air mataku sudah habis di Malaysia.” Suaramu parau. Aku mengusap-usap lembut punggungmu.
”Keep in touch ya...” Kataku seraya berjalan menuju ruang tunggu pesawat yang akan membawaku ke Hong Kong, seperti memasuki lorong panjang yang asing. Kita menjauh, tapi suaramu menyerupai makin keras memanggil-manggil. Sosokmu hilang tertelan kelokan menuju ruang tunggu pesawat. Seorang laki-laki bule tersenyum duduk di sampingku.
“ Tahun 1998 saya tiba ke China" kata laki-laki bule itu. "Saya tidak suka orang china. Mereka kasar. Tidak tertip. Sikap yang tertutup. Tapi kini mereka ambil hampir semua asset kami.” sambungnya, entah apa maksudnya. Wajahnya nampak muram. Sambil menggeleng gelengkan kepala “ Bagaimana mungkin, masyarakat yang tertutup akhinrya bisa jadi kekuatan ekonomi dunia. Dari bank, telekomunikasi , property, dan lain lain orang china kuasai. Itu hanya dua puluh tahun gres kami sadari. Kini negeri kami berhutang lebih dari separuh anggaran kami. “ Kata Bule touris dar Amerika. Saya hanya tersenyum dan tak berangasan untuk menemaninya ngobrol hingga nunggu boarding
Ruang tunggu yang ramai tiba-tiba terasa begitu senyap. Di belakangku, terhalang berlapis-lapis dinding, di bawah gerimis senja Changsa seorang perempuan China sedang menangisi nasipnya. Nun di depanku, dipeluk malam Jakarta, orang orang masih sibuk bicara soal anti china, anti komunis, bersatu alasannya yaitu Sunnah. Masih sibuk dengan politik populis. Masih sibuk membangun mimpi utopia. Padahal bukan idiologi atau etnis atau agama penyebab kemakmuran dan kemiskinan. Bukan. Tapi alasannya yaitu mental andal yang bisa menciptakan orang bisa berkhasiat bagi orang lain. Karena mental buruk yang menciptakan orang jadi beban sosial. Karena mental juga orang bisa bertahan dari kehidupan yang memang apa boleh buat tidak ramah, dan cacat atau tersingkir begitu saja dalam amarah dan mimpi utopia. So Change your attitude and success will follow you.
Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/