Memburu Harta (25)


Tidak terhitung berapa kali Ester mengirim email, namun tapi tidak pernah kubalas. Aku bahkan tidak pernah sempat membacanya. Pikiranku masih fokus dengan masalah yang kuhadapi. Aku tidak mau menyeret Ester dalam perang yang sedang berlangsung. Walau ini semua berawal dari idenya bertemu dengan Tomasi, untuk memberikan  solusi bagiku  menuntaskan masalah Budiman, dari bahaya pengambil alihan oleh otoritas akhir gagal bayar utang.
Email Ester yang terakhir hanya berisi pesan singkat, Jak, saya kangen kamu. Kapan ada waktu untuk kita bertemu lagi? Apakah kau baik-baik saja? Telpon saya ya, Sayang?
 Ada 148 email dalam setahun. Semua dengan pesan yang sama. Sebuah ungkapan cinta yang tulus, yang tentunya harus dibalas dengan ketulusan pula. Aku rasa saatnya kini membuka komunikasi dengan Ester. Bukankah transaksi di Swiss sudah selesai?  Namun saya tetap akan merahasikan apa yang sedang kukerjakan.
Aku membalas email tersebut dengan singkat. You were always in my mind. Sekarang saya ada di Hong Kong. Hotel Mandarin Oriental. Datanglah kapan pun kau sempat.
Hanya butuh waktu sepuluh menit semenjak saya mengirim email, telepon kamarku sudah berdering. Itu niscaya Ester!
“Hai, Honey,” terdengar bunyi Ester mesra. “Long time no see.”
“Ya. Apa kabar?”
“Aku kangen kamu, Jaka. Boleh saya tiba sekarang?”
“Ok. Datanglah?”
“Thanks, Honey.”
Aku yakin bahwa Ester akan segera tiba. Kantornya berada tepat di belakang hotelku menginap. Benar sekali. Tidak berapa lama, sebuah pesan singkat masuk, “Aku sudah di kafe.” Aku segera turun menjumput Esther di cafe dan membawanya ke kamar ku.
Ester memelukku erat. “Aku kangen kamu, Jaka,” bisiknya.
“Aku juga,” kataku tersenyum dan mencicipi getaran jantung Ester. Terasa ada ribuan megawat listrik menjalar keseluruh ruang hatiku. Cahaya banyak sekali warna mengitari sekeliling ku. Angin buritan mendorong kapal bergerak kedepan mengikuti irama ombak yang nampak ganas. Ada kekuatan yang penuh pesona ketika angin puting-beliung tiba silih berganti menghempaskan kapal anak rantau. Tak terbilang kapal oleng dalam ayunan penuh sensasi menaikan hasrat tak bertepi, bahwa betapa indahnya sepasang mata yang tertutup dengan pesan love concerto. Akhirnya angin puting-beliung terhenti seiring langit cerah bersama angin yang mengantarkan pesan tak terungkapkan dalam kata kata..
“Aku senang ketika mendapat kabar dari sobat di Singapore bahwa kau berhasil menyelamatkan perjuangan sahabatmu dan  menghindarkan Tomasi dari resiko atas SBLC yang ia sediakan untuk menjamin hutang sahabatmu. Selamat ya..” Kata Esther dengan mata masih terpejam..
“Itu semua berkat doa dan saranmu untuk bertemu dengan Tomasi.”
Ester melamun dan akhirnya, airmata jatuh menganak sungai di tubir matanya. “Ada apa Ester?” kataku lembut sambil mengusap air matanya dengan tissue. Ester memegang jemariku seraya bekata, “Kamu tahu Jaka, setahun tidak mendengar kabarmu, terasa seabad. Aku menghubungi Budiman tapi ia tidak tahu dimana kau berada. Setiap ahad saya mengirim  email sedikitnya tiga kali. Ratusan kali sudah kukirim SMS namun undelivered.  Aku mengkawatirkanmu! Aku tidak peduli kau sudah meninggalkan dan melupakanku. Aku hanya ingin pastikan, kau baik baik saja. Mengapa Jaka? Mengapa kau biarkan saya menderita? Apa salahku?
“Maafkan aku, Ester. Percayalah bila kau selalu dalam pikiranku. Mana mungkin aku  melupakanmu? Aku mencintaimu! Soal kenapa saya menjauh darimu, itu lantaran alasan yang sama, bahwa saya mencintaimu!” 
“Tapi mengapa?”
“Sulit untuk menjelaskannya, Honey. Tapi, suatu ketika nanti saya niscaya akan jelaskan. Paham kan, Sayang?”
“Tapi saya tak pernah lagi bisa menghubungi Tomasi. Mengapa semua  sahabat laki-laki terbaikku menjauh dariku?”
“Ya. Dia sudah meninggal.”
“Oh!” Ester terkejut. “Sakit apa dia?”
“Seseorang telah membunuhnya di Rusia.”
“Oh, malang sekali.” Mata Ester nampak berkaca-kaca. “Tapi, mengapa?”
Aku hanya melamun dan memandang keluar. Tapi tak lama, Ester sudah terlihat ceria seakan begitu cepat melupakan informasi sedih ini. Memang bagi Ester, Tomasi hanya sahabat yang tidak begitu bersahabat dibanding denganku. Pertemuan denganku, lebih berarti baginya.
“Apa bisnis kau sekarang?”
“Aku sedang berguru menjadi, David.”
“Private  equity?”
“Ya.Tapi memulai dari skala kecil. Ada sobat dari China yang bantu kasih sumber keuangan.” Kataku berbohong. Berharap biar tidak ada lagi pertanyaan dari Ester soal ini. Setidaknya, saya ingin menegaskan padanya bahwa ia saya baik baik saja.
“Aku senang mendengarnya. Aku yakin kau niscaya bisa.” Ester tersenyum cerah. “Oh ya, Ja. Minggu kemudian saya bertemu dengan sobat dari New York. Waktu itu, ada seorang laki-laki Negro. Dia menyebut-nyebut namamu. Katanya, kedatangannya ke Hong Kong untuk bertemu denganmu.”
“Siapa orang itu?” saya mengernyit, mencoba mengingat ciri-ciri fisik seseorang menyerupai yang Ester bilang.
“Boy Steward, namanya.” Ester kemudian menyerahkan business card laki-laki itu kepadaku. Jabatannya ialah konsultan keuangan yang bergerak dalam proyek kemanusiaan.
“Mengapa ia ingin bertemu denganku?”
“Aku tidak tahu,” jawab Ester mengangkat bahu. “Tapi bila kau penasaran, saya bisa atur pertemuan dengannya,” lanjut Ester.
Ada firasat bahwa ini berkaitan dengan transaksi yang sedang kulakukan. Aku butuh beberapa detik untuk memikirkan saran Ester atas orang itu. Sampai akibatnya saya memutuskan, “Baiklah. Atur pertemuanku dengannya!”
Ester eksklusif membuka telepon selularnya. “Hi Boy. Di depanku kini ada Jaka, orang yang Anda maksud ahad lalu. Dia bersedia untuk bertemu dengan Anda.” Ester berhenti berbicara, melirik padaku. “Oh ok. Pukul tuju di Hong Kong Club. Bye.” Ester tersenyum sambil menutup teleponnya.
“Pukul tuju malam nanti, kita dinner di Hong Kong Club.”
“Ok. Bolehkah saya membawa seorang teman?” saya membayangkan Lien.
“Wanita?”
“Eh, iya.”
Ester merengut.
“Ada apa, Honey?”
“Bolehkah, hanya saya saja perempuan dalam pertemuan nanti?”
“Baiklah, bila itu maumu.” Aku mengiyakan.
“Tentu ia elok dan muda, ya?” Ester merajuk.
“Kamu juga cantik.”
“Tapi tidak muda lagi!”
“Apa bedanya? Kamu ialah sahabatku dan itu tidak akan pernah berubah,” kataku sambil menggenggam jemarinya.
“Tapi kau menghilang dariku setahun.”
“Aku sibuk, Honey,” saya geli melihat tingkah Ester yang manja.
“Sibuk dengan perempuan itu?” Ester kembali merengut. Aku kembali tersenyum, menyadari bahwa begitulah wanita. Mereka kadang tidak bisa membedakan antara persahabatan dan cinta. Antara persahabatan dan kekasih memang kadang sulit dibedakan, kecuali hanya dalam status. Selebihnya ialah sama. Sama-sama mempunyai rasa menghormati, melindungi dan menyayangi. Ada yang bilang bahwa persahabatan itu begitu indah, lantaran tidak ada yang harus tersakiti lantaran emosi kondisional. Kesalahan akan selalu termaafkan. Kekurangan akan selalu ditutupi dan kebahagiaan akan selalu dibagi. Hidup menjadi penuh warna bagi orang yang bisa menghargai nilai persahabatan.
 “Melamunkan perempuan itu, ya?”
“Tidak.”
“Lalu?”
 “Membayangkan kecantikanmu,” lanjutku sambil tergelak.
Wajah Ester seketika merona. “Aku harus kembali ke kantor,” kata Ester seraya berdiri. “Janji ya, nanti malam hanya saya perempuan yang disampingmu?!” Ester kembali mengingatkan dengan mata melotot. Aku mencubit dagunya tanda setuju.
***
Ketika hingga di kamar hotel, terdengar bunyi telepon berdering. Aku mengangkat telepon, dan terdengar sebuah suara, “Jaka, kemana saja kamu? Kenapa HP-nya off?” 
“Oh. Maaf saya tadi ke bawah, ketemu sobat lama. Kebetulan  tidak bawa HP.”
“Tentu sobat wanita, kan?” kata Lien. Dan lagi-lagi begitulah wanita. Selalu tidak ingin di duakan. Selalu ingin menjadi nomer satu.
“Iya.”
“Boleh ke kamarmu sekarang?”
“Datanglah.”
Lien menempati kamar di depan kamarku. Kaprikornus tak butuh waktu usang untuk hingga ke. Lien berdiri di depanku dengan muka masam. “Beijing meminta kau datang. Itu informasi yang tadi saya terima dari Chang.” 
“Ada apa?”
“Aku tidak tahu?”
“Kapan kita ke Beijing?”
“Dijadwalkan ahad depan. Tiga hari lagi.”
“Oh?!”
Aku melangkah ke arah meja, menghapiri komputer yang masih menyala. Sementara Lien sedang membuat teh di mini bar. “Malam ini saya ada dinner dengan sobat di Hong Kong Club.”
“Dengan perempuan itu?”
Aku melirik ke arah Lien, “Ya.”
“Tentu ia elok sekali.”
“Dia ingin memperkenalkanku dengan seseorang,” sahutku mengabaikan komentar kewanitaan Lien.
“Siapa?”
“Boy Steward.”
“Oh,” Lien mengerutkan kening. “Sepertinya saya kenal dia,” Lien mendekatiku.
“Oh ya?”
“Ya. Kalau tidak salah ia ialah lulusan Harvard Law School.”
“Bagaimana kau bisa kenal dia?”
“Kami sama-sama kuliah di Harvard Law School. Waktu kelulusan, ia mendapat rangking satu dan saya nomor dua.”
“Hebat.”
“Baiknya saya ikut pertemuan nanti malam. Aku ingin bertemu dengan sobat lama,” Lien memegang dan menggoyang-goyang lenganku. “Boleh, kan?”
Aku diam, teringat pesan Ester. Berfikir keras, bagaimana  caranya untuk keluar dari situasi ini. “Boleh kan, Ja?” kembali Lien menggoyang lenganku dengan manja. Aku masih tak menyahut. “Baiklah. Aku ngerti kok. Kamu memang enggak mau diganggu ketika bersama perempuan itu. Iya kan?”
“Bukan begitu, Lien,” saya meraih tangan Lien yang luruh dari lenganku.
“Ok. Aku tunggu di kamar saja,” Lien merengut sambil melangkah keluar kamar.
Boy Steward berperawakan tinggi. Berbadan tegap dan atletis dan murah senyum. Dia tiba dengan setelan jas mahal. Aku menyalami Boy sehabis diperkenalkan oleh Ester.
Pertemuan yang penuh keakraban. Boy orang yang humble dan yummy diajak bicara. Humoris dan berwawasan luas. Tidak ada pembicaraan penting malam itu. Tapi, ketika saya pergi ke toilet, Boy segera mengikutiku dari belakang.
“Jak, Madam Lyan memintaku untuk membantumu. Besok kita meeting di Intercontinental Hotel Kow Loon. Kamar 1903, pukul sepuluh pagi, ya? saya tunggu di sana. Ingat! hanya kau dan saya saja, ok?!”
Aku masih shock dengan apa yang ia sampaikan ketika Boy, eksklusif keluar tanpa menunggu jawaban. Setelah itu, Boy minta izin untuk kembali ke hotel lantaran ada janji lain dengan tamunya. Tinggalah saya dan Ester berdua. Tak berapa usang Ester membayar bill dan meminta kumengantarnya pulang.
***
Esoknya, saya bangkit lebih pagi. Teringat janji untuk bertemu dengan Boy. Aku tidak ingin pertemuanku diketahui Lien. Maka malam sebelumnya, saya memberitahu Lien, bahwa pagi-pagi saya akan pergi ke Kow Loon, membeli pesanan jam untuk putraku.
Boy Steward menjabat tanganku dengan erat. Lalu membawaku ke sofa di ruang sweet room hotel itu. Boy menatapku sambil tersenyum. “Ternyata kau lebih muda dari yang kuduga, Jak,” kata Boy.
“Oh ya?”
“Ya.” 
Boy kemudian berdiri mengambil dokumen di atas meja kerjanya. “Ada yang perlu kau ketahui.” Sebuah kopi dokumen confirmation fund diperlihatkan kepadaku. Dari sini, saya sadar bahwa Boy ialah orang Madam Lyan yang tiba membawa kiprah untuk membantuku. “Mulai hari ini, saya akan berkeja untukmu,” kata Boy.
“Mengapa?”
“Kami punya kepentingan yang sangat besar dengan decade asset ini. Aku rasa kau sudah tahu itu.”
“Lalu, apa yang coba Anda lakukan?”
“Membantumu.”
“Dalam hal?”
“Apa pun yang sanggup memastikan keamanan posisimu.”
“Aman?”
“Ya. Gugatanmu di pengadilan New York hingga hari ini belum bisa di gelar. Asosiasi lawyer telah mem-black list namamu, Jak.”
“Jadi?”
“Tugask hanya mengarahkanmu biar tetap berada pada posisi yang benar.”
“Lantas apa undangan Anda?”
“Aku tidak ada undangan kecuali kau punya masalah.”
“Saat ini tidak ada.”
“Ok. Ini nomor telepon yang bisa kau hubungi. Dua puluh empat jam telepon ini akan selalu siap untukmu,” kata Boy sambil menyerahkan secarik kertas kepadaku 
“Tolong jangan pernah beritahu nomor telepon ini kepada siapapun. Nomor ini terhubung eksklusif dengan markas Madam Lyan,” sambungnya.
“Baiklah,” kataku.
“Apa ada sesuatu yang perlu ditanyakan?” Boy meyandarkan tubuhnya ke kursi.
“Apakah Madam telah menemukan isyarat aksesnya?”
“Sampai hari ini belum.”
“Apa yang sanggup dilakukan tanpa isyarat ases itu?”
Boy menatapku dengan seksama, “Aku pun tidak tahu pasti.”
Hening.  Aku menatap Boy lekat-lekat. “Ok, Jelaskan padaku wacana aturan trustee?” tanyaku. Kemudian, Boy mengambil minuman dari kulkas dan menyerahkan sebotol air mineral kepadaku. 
“Trustee ialah aturan tertua di dunia, yang hingga kini masih diakui. Ini lantaran keberadaannya yang menyatu dengan gereja. Hukum ini sendiri dibuat semenjak 600 tahun lalu. Atau tepatnya pada masa ke 14-15 ketika terjadi perang salib. Hukum ini disusun menurut impian para ksatria untuk melindungi hartanya dari penguasaan orang lain ketika mereka pergi berperang. Karena biasanya kepergian mereka itu bertahun-tahun lamanya. Hukum trustee itulah  yang menjamin kepemilikan harta mereka.”
“Jadi itulah dasar aturan penempatan decade asset ini ke dalam The Fed system?”
“Tepat sekali,” jawab Boy sumringah. “Karena itu, pihak Eropa tidak berani menyangkal keberadaan Hilton Memorial, yang melegimitasi penggunaan aset itu sebagai combine collateral untuk mencetak dolar.”
“Jadi sebelumnya, keberadaan decade asset itu dipakai bangsa Eropa untuk mencetak mata uangnya?”
“Ya. Dan keadaan dunia menjadi tidak stabil lantaran Group Fidelity yang selalu berbuat culas terhadap sistem mata uang. Mereka selalu ada di balik duduk kasus mata uang dunia. Akibatnya negara-negara Eropa dan kami mengalami kebingungan dengan sistem mata uang yang penuh dengan catatan kegagalan.
Kami dan Eropa bolak-balik berubah antara uang fiat murni, fractional reserve  dan gold standard.  Apabila kekayaan atau cadangan emas kami dan Eropa berkurang lantaran perang misalnya, kami akan gunakan uang fiat atau fractional reserve. Kemudian kembali lagi ke gold standard pada ketika uang fiat atau fractional reserve sudah berlebihan dan terjadi hiper-inflasi. 
Kamu bisa lihat, contohnya pada Perang Dunia I. Negara yang terlibat perang, menghabiskan cadangan emasnya untuk membeli persenjataan dan membiayai perang. Beberapa tahun selepas Perang Dunia I, Jerman kembali ke gold standard pada tahun 1924, yang diikuti Inggris tahun 1925 dan Perancis 1926. 
Namun gold standard ini tidak bertahan lama. Godaan ekonomi membuat dunia perbankan kembali termakan untuk mengeluarkan uang lebih banyak dari cadangan emas yang mereka miliki. Hal ini mengakibatkan krisis berikutnya dan mencapai puncaknya, yang disebut sebagai the Great Depression selama beberapa tahun di awal tahun 1930-an. Begitu buruknya ekonomi ketika itu, hingga pada tahun 1934, kami yang ketika itu menjadi kekuatan ekonomi terkuat di dunia, terpaksa melaksanakan devaluasi  mata uang hingga 75 % terhadap emas. Dari US$ 20 per troy ounce  emas menjadi US$ 35 per troy ounce.
Kekacauan mata uang terus berlanjut bersamaan dengan terjadinya Perang Dunia ke II. Pada pertengahan tahun 1944, ketika kami merasa telah memenangi sebagian besar Perang Dunia II, kami memprakarsai konferensi Bretton Woods. Hasil kesepakatan Bretton Woods ini tentu sangat menguntungkan kami sebagai pemrakarsa. 
Sebetulnya konferensi itu mempunyai tujuan yang sangat mulia, yaitu membuat tatanan dunia gres yang lebih damai. Di mana kami berjanji mendukung mata uang kami secara penuh dengan emas yang nilainya setara. Kesetaraan ini mengikuti konversi harga emas yang ditentukan tahun 1934 oleh Presiden Roosevelt yaitu US$ 35 untuk 1 troy ons emas. Negara-negara lain yang mengikuti kesepakatan tersebut awalnya di ijinkan untuk menyetarakan uangnya terhadap emas ataupun terhadap dolar. Dengan kesepakatan ini, siapapun yang memegang dolar sanggup dengan gampang menukarnya dengan emas yang nilainya setara.”
Aku mengerutkan kening. “Namun, kesepakatan Bretton Wood yang digagas oleh Amerika ternyata malah diingkari sendiri. Secara perlahan tetapi pasti, Amerika mencetak uang yang melebihi cadangan emasnya. Bahkan secara sepihak Amerika tidak lagi mengijinkan mata uang lain disetarakan terhadap emas, tapi harus dengan dolar. Pemegang dolar juga tidak bisa serta merta menukarnya dengan emas yang setara. Tentu ini lantaran Amerika Serikat memang tidak lagi mempunyai jumlah cadangan emas yang sesuai,” sambungku cepat.
Boy tersenyum. “Ya. Walaupun fisik aset terbesar ada pada kami, tapi kami tidak pernah meniru emas itu untuk mencetak uang. Uang dicetak sesuai dengan nilai emas yang ada. Tapi Eropa tanpa keberadaan fisik aset terus saja mencetak uang untuk menggerakan roda ekonominya. Mereka tidak peduli dengan nilai fisiknya. Mereka hanya melihat dari dokumen yang menempel pada aturan trustee. Amerika tidak bisa berbuat banyak, sesuai dengan kesepakatan Bretton Woods .
Tidak ada yang membayangkan kesepakatan itu akan menjadikan krisis ekonomi dunia di tahun 1951. Atas dasar itulah Kennedy mengambil alih decade asset itu ke dalam sistem Amerika dan mencetak dolar lebih banyak untuk membayar nilai produksi yang melimpah ketika itu.”
“Itukah awal pertarungan ini?” selaku.
“Ya. Tapi itu tidak berlangsung lama. Hanya dua bulan sehabis kebijakan itu diteken, Kennedy terbunuh. Tekanan dan ketidak-percayaan terhadap dolar kian memuncak. Negara-negara sekutu kami terus menerus menukar dolarnya dengan emas. Saat itu hanya Jerman yang tetap mendukung dolar dan tidak menukarnya dengan emas. Puncak dari ketidak-berdayaan dolar Amerika terjadi pada tahun 1971, ketika secara sepihak kami memutuskan untuk tidak lagi mengaitkan dolar dengan cadangan emas yang kami miliki, lantaran memang kami tidak bisa lagi. Kejadian yang disebut dengan istilah Nixon Shock ini tentu mengguncang dunia lantaran semenjak ketika itu, sebetulnya mata uang kami tidak bisa lagi dipercaya nilainya hingga sekarang. Kami kalah sebagai bangsa, dan terjajah, tunduk kepada group Fidelity.”
“Oh!” kulihat raut wajah Boy berubah mendung. Emosinya larut ketika bercerita betapa sistematisnya group Fidelity menggiring bangsa Amerika menjadi budak. Perang Vietnam yang berlarut-larut ialah rekayasa group Fidelity hingga menelan uang pajak tak ternilai. Membuat moneter Amerika jadi sedemikian lemah.
“Mereka berkuasa penuh atas lembaga-lembaga multilateral. Seperti IMF, World Bank serta Bank for International Settlement. Mereka juga pemilik the Fed, mengontrol Cleartream, Euroclear, dan DTCC untuk melegimate trading kegiatan decade asset lewat forfaiting aset yang sangat rahasia. Sejak legimitasi itu, decade aset dimanfaatkan untuk membuat kami sangat bergantung kepada sistem yang mereka ciptakan itu,” Boy menarik nafas dalam-dalam. Coba menahan gemuruh di dadanya.
“Jadi, sebetulnya merekalah penguasa dunia. Bukan Amerika,” kataku menyimpulkan.
Boy beranjak dari daerah duduknya dan melangkah ke jendela, menatap keluar, membelakangiku. “Bangsa kami hidup di atas bara api. Ada sebuncah impian untuk melawan tapi kami tidak berdaya. Kami sudah terlanjur dimanjakan dengan segala fasilitas dari sistem yang culas ini.”
“Benar-benar paradoks.” Aku mendekati Boy dan berdiri di sampingnya.
Boy menatapku. “Kamu benar. Ini hanya masalah waktu. Cepat atau lambat mereka akan menghancurkan kami. Tanda-tandanya sudah nampak. Mereka sudah tidak lagi memanjakan kami. Mereka sudah hingga pada fase menguasai dunia dengan menjadikan globalisasi alias WTO, sebagai alat. Arus investasi group Fidelity tidak pernah diarahkan untuk kesejahteraan sosial rakyat kami. Kami dilanda krisis anggaran dengan beban hutang tertinggi di dunia. Defisit perdagangan yang besar. Pengangguran meningkat dan menyebar di mana-mana akhir gelombang PHK. Benar-benar masa depan yang jelek bagi anak cucu kami. Makanya saya tidak habis pikir ketika negara lain justru sangat membenci bangsa kami. Padahal kamilah korban utama dari kerakusan Group Fidelity. Banyak kebijakan negara kami yang tak bermoral, itu semua lantaran tekanan dari Group Fidelity. Jumlah mereka mungkin sedikit, tapi pengaruhnya berada di semua jajaran kekuasaan negeri kami.”
Aku melamun sambil terus memandang ke luar jendela yang menghadap eksklusif harbour Hong Kong. Boy kembali ke daerah duduknya untuk minum. Sebuah jeda yang usang tanpa ada suara.
Aku kembali ke daerah duduk dan berkata, “Boy,” seruku. “Naga Kuning akan mencabut posisiku sebagai mandatory.”
“Benarkah?” Boy memiringkan kepalanya, menyandar ke sofa.
“Ya.”
“Lalu, apa rencanamu sekarang?”
“Mendukung Naga Kuning melawan group Fidelity.”
“Caranya?”
Aku melamun dan menatap Boy cukup lama. Lalu berdiri dan melangkah menuju jendela. 
“Aku tidak tahu apakah saya bisa berbuat dengan benar. Aku juga tidak tahu...” Aku tak bisa meneruskan kata-kata, disergap keraguan.
“Apa maksudmu?” Boy berdiri mendekatiku. “Katakan?”
“Tapi saya harus percaya dengan segala kemungkinan di luar pengetahuan. Naga Kuning menganggapku sebagai orang terpilih untuk menuntaskan masalah ini. Madam Lyan juga sangat percaya itu,” kataku pelan, kemudian terdiam.
“Terus?”
“Pemegang isyarat saluran itu ialah aku,” kata-kata itu keluar begitu saja. Aku tidak tahu apakah ini benar, lantaran kepemilikan itu hanya menurut keyakinan terhadap dunia lain.
“Kamu serius?”
“Ya.”
“Siapa saja yang mengetahui ini?”
“Hanya kamu.”
“Oh Tuhan!” seru Boy sambil memegang kedua bahuku. Menatap mataku tajam. “Madam Lyan yakin, bahwa ada sesuatu pada dirimu dan ia memintaku membantumu.”
Aku melepaskan tangan Boy dari bahuku, kembali ke daerah duduk. “Entah mengapa saya juga percaya denganmu, semenjak awal pertemuan kita di Hong Kong Club. Aku tidak mengerti.”
Boy tersenyum. “Allah yang mempertemukan kita. Aku muslim, Jaka.”
“Oh ya?”
“Ya. Nenek moyangku berasal dari Afrika. Kami keluarga muslim.”
“Oh. Itu alasan Madam Lyan menugaskan kamu?”
“Mungkin itu salah satu alasannya.” 
“Apakah Madam Lyan perlu tahu wacana ini?”
“Terserah kamu.  Tapi saya pribadi, belum bisa yakin sebelum dibuktikan. Bisakah code itu dipakai untuk mengakses sistem atau tidak.”
“Oh, iya. Ok!” Boy memegang dan mengguncang bahuku lagi dengan mantab.
***
Dari Huang saya mendapat kabar bahwa Washington memerintahkan Robert, terbang ke Beijing untuk bertemu dengan seorang mitra dari UNDP  Asia Pasifik. Pria itu masih satu anggota dengannya dalam bundar group. Mereka mempunyai misi sama untuk kepentingan group, meski masing-masing bekerja secara formal di forum multilateral. UNDP ketika ini mendapat kehormatan besar dari Cina lantaran keterlibatan luas mereka, membantu kegiatan pembangunan untuk rakyat miskin. Tak terbilang miliaran dolar dana telah disalurkan. 
Suatu cara yang lazim dipakai sebuah forum multilateral untuk mendapat imbas politik di negara target. Tapi Cina, bukanlah negara yang gampang dipengaruhi dengan uang bila sudah menyangkut ideologi. Cina ialah salah satu negara terkuat dalam mengawal ideologinya dari imbas asing.
Menurut Huang, pejabat UNDP telah berbicara dengan pejabat Cina, yang mengklaim transaksi decade asset memakai collateral Naga Kuning. Fund Confirmation sebagai bukti transaksi di Swiss, kini ada di tangan Naga kuning. Mereka sangat terguncang dengan adanya bukti fund confirmation itu. Awalnya mereka tidak percaya. Namun dengan melihat bukti yang diberikan pejabat Cina, mereka benar-benar shock. Nampaknya mereka meragukan ada kelompok lain yang bisa menembus sistem The Fed selain group mereka.
Menurut Huang, Washington telah membentuk team dan kini sudah menempati posnya di Shanghai. Mereka harus pastikan tidak terjadi perubahan mandatory. Posisiku harus dipertahankan. Mereka akan hubungi team di Jakarta untuk memastikan saya tidak melaksanakan deal dengan team Naga Kuning. Namun lagi-lagi mereka kecewa lantaran mereka tidak menemukanku di Jakarta. Walau tercatat tidak ada namaku di imigrasi sedang bepergian keluar negeri.
Namun Huang agak kawatir lantaran mereka berhasil melacak keberadaanku dari webmail terakhir yang ku kirimkan kepada Ester. Mereka kenal akseptor email itu. Ester bekerja di bank, group mereka. Tentu mereka akan terbang ke Hong Kong untuk menemukanku. Tapi Huang sudah siap dengan segala kemungkinan terburuk. Teamnya sudah mengetahui semua langkah yang akan di lakukan mereka.
***
Malam itu Ester menelponku, meminta untuk kembali bertemu dan saya menyanggupi untuk makan malam. Ester memesan di daerah biasa kami bertemu. Satu jam kemudian, bel kamarku berbunyi. Aku segera berlari dengan dasi yang masih belum tepat dililit. Aku yakin, itu ialah Ester yang datang. Ketika pintu kamar terbuka, seseorang bertubuh tegap dan mata sipit berdiri di ambang pintu. Pria itu dengan cepat mendorongku masuk sambil menodongkan pistol.
“Dengar baik-baik,” kata laki-laki itu dengan sorot mata dingin. “Ikuti perintahku dan jangan membantah atau bertanya! Sekarang segera keluar dari kamar,” laki-laki itu kemudian mendorongku keluar dari kamar.
“Kamu siapa?” kataku sambil melirik laki-laki itu dengan verbal gemetar.
“Kita akan turun lewat lift. Jangan coba bertindak, bodoh! Pistol berperedam ini tidak terkunci. Hanya butuh sekian detik untuk membuat nyawamu melayang,” lanjut laki-laki itu tanpa menjawab pertanyaanku.
Keringat cuek membanjir di kening dan jantungku berdetak cepat. Tanpa banyak suara, saya mengikuti perintahnya. Aku di paksa berjalan dengan tenang seakan tidak terjadi apa-apa. Ternyata laki-laki itu tidak sendirian. Ada laki-laki lain berjaga di luar kamar. Standar penculik profesional. Mereka juga terlihat sangat tenang dan terlatih.
Mereka berjalan beriringan menuju lift. Aku berada di posisi tengah. Beberapa langkah sebelum hingga di pintu lift, saya mendengar laki-laki di belakangku melenguh dan tersungkur. Pria yang ada di depanku menoleh ke belakang sambil berusaha menarik tanganku dengan berpengaruh dan cepat. Namun akibatnya laki-laki itu terjerembab ke belakang dan roboh dengan mata melotot. Dia kalah cepat. semua tragedi hanya satu detik berselang sehabis laki-laki pertama roboh.
kulihat Lien dalam posisi setengah membungkuk dan merapat ke dinding koridor kamar hotel dengan pistol Beretta  di tangan. Lien berdiri sambil tersenyum, kemudian melangkah mendekatiku. “Kamu tidak apa-apa?” kata Lien sambil melirik dua jenazah yang bersimbah darah.
“Iyyy…ya!” saya gemetar.  Shock dengan dua tragedi beruntun yang tak terduga ini.
“Ok, tenang saja,” kata Lien tersenyum dengan pistol masih siaga di tangan. “Kita harus keluar dari hotel ini sekarang.”
Namun, tiba-tiba kedua bola mata Lien bergerak-gerak ketika mendengar bunyi lift. Lien mendorongku ke samping hingga punggungku membentur dinding hotel. Dua orang laki-laki keluar dari lift dengan wajah cuek menatap kearah kami. Salah satu laki-laki menggerakan tangannya ke belakang ingin mengambil sesuatu dan Lien eksklusif melepaskan tembakan namun meleset. Posisi Lien terlalu menyamping dari lift. 
Pria itu membalas tembakan Lien. Namun Lien sudah berada dalam posisi berguling di lantai sambil melepaskan tembakan. Dua laki-laki itu tersungkur di dalam lift dengan dada berlubang. Lien  berdiri dan menarik dua jenazah laki-laki itu keluar dari lift.
Lien mundur selangkah dan menatapku yang bertambah shock. “Kita tidak bisa turun dari lift ini. Mereka tentu sudah menunggu kita di bawah,” kata Lien dengan ekor mata menyusuri kuridor lantai hotel. 
“Lewat pintu darurat!” kata Lien sigap. Lalu berjalan cepat menarik tanganku menuju pintu darurat.
Kembali terdengar sayup bunyi tanda lift terbuka dari belakang. Lien tak menghiraukan dan tetap berjalan cepat menuju tangga darurat di ujung kuridor. Dari arah belakang terdengar bunyi memanggil-manggilku. Rupanya Boy. Dia segera berlari ke arahku.
“Itu Boy,” seruku kepada Lien.
“Kamu Lien?” tanya Boy sambil memasukan senjatanya ke balik jas. Boy menatap Lien yang segera tersenyum begitu mendengar namanya disebut.
“Kita ke helipad lewat lift di lantai berikut. Dalam lima menit sebuah heli akan tiba menjemput kita,” lanjut Boy sambil berjalan cepat menaiki tangga darurat.  Kami mengikuti dari belakang.
Tepat ketika kami hingga di lantai atap hotel, dari jauh nampak sebuah heli terbang mendekati gedung. Dua menit kemudian heli itu sudah merendah hingga tinggal beberapa centi saja di atas helipad. Boy menaikan saya lebih dulu dan diikuti Lien. Pilot heli tersenyum kepada kami berdua, memberi sambutan hangat.
“Kita ke Macau. Hotel Lisboa,” kata Boy kepada sang pilot.
Aku masih gemetaran dan berusaha menenangkan diri atas tragedi yang gres saja kualami. Aku melirik Lien dan Boy yang nampak tenang di sampingku. Tidak ada kesan sama sekali, bahwa mereka gres saja bertarung dengan kematian.
“Maaf saya terlambat. Untung kau bersama perempuan juara taekwondo universitas kami,” kata Boy memecah keheningan. Mencoba mencairkan suasana sambil menatap Lien penuh arti.
“Bagaimana kau tahu ada orang yang akan membunuhku?” tanyaku. 
Boy tidak menjawab. Hanya tersenyum sambil melirik Lien, yang juga terlihat acuh. Lien terlihat lebih asyik mengirim pesan singkat lewat telepon selular. Heli turun di helipad Lisboa Hotel. Di sana, sudah menanti tiga orang laki-laki bermata sipit. 
“Itu team saya, Boy,” kata Lien sambil menunjuk tiga orang laki-laki yang berjalan mendekati kami.
“Terima kasih, Boy. Aku akan membawa Jaka ke Beijing dengan jet pribadi,” kata Lien sambil menjabat erat tangan Boy. “Aku senang, Uncle Sam rupanya ikut terlibat dengan mengirim orang sepertimu untuk masuk ke dalam operasi ini,” lanjut Lien. 
Boy merangkul Lien erat. “Jaga Jaka, ya? Aku akan ada di Hong Kong untuk sementara waktu,” kata Boy.
Di dalam pesawat jet pribadi, Lien duduk tepat di depanku dengan posisi berhadapan. “Apakah kau ingin minum sesuatu?” tanya Lien membuka percakapan.
“Ya. Mungkin, wine. Red wine, please..” Lien berdiri menuju mini kafe dalam pesawat dan segera kembali dengan  segelas wine untukku.
“Setelah minum, saya akan berusaha tidur,” kataku. “Oh, ya, kelihatannya kau tidak terkejut dengan kehadiran Boy?”
“Pimpinan kami memberi kabar soal kehadiran team Lady Rose di Hong Kong. Kita akan bersama mereka menghadapi lawan,” jawab Lien.
“Lady Rose?” saya teringat pertemuan bersama Huang dengan seorang perempuan yang menyebut nama Lady rose.
“Ya. Itu team yang diketuai Boy,” lanjut Lien sambil memperbaiki duduk dengan menyilangkan kaki. “Nah sekarang, berusahalah untuk tidur,” kata Lien sambil tersenyum manis.
Aku memperhatikan sekilas wajah perempuan di hadapanku. Dia terlihat sangat tegar menghadapi segala kemungkinan. Baru saja saya menyaksikan perempuan ini menunjukkan kelasnya sebagai penjaga profesional. Dengan sangat tenang, Lien menghadapi pertarungan maut. Menunjukkan kekuatan mental yang tinggi menghadapi resiko dalam bertugas. Tampak sekali bahwa ia sangat terlatih dengan baik untuk menjadi petarung dalam kondisi apapun. Inilah pola pengabdian prajurit sipil ketika melaksanakan kiprah demi tugas
Bayanganku kembali tertuju pada Catty yang juga berjuang demi misi keluarga menebus kesalahan masa lalu. Walau ia menyadari resiko maut menyerupai maut suaminya, Ramon. Namun Catty tetap tegar  untuk melangkah tanpa kenal takut bahaya kematian. Ancaman itu pun berakhir menjadi kenyataan. Catty memberiku pelajaran wacana keberanian seseorang menjemput takdir, yaitu mati dengan keyakinan sebagai petarung melawan ketidakadilan.
Jauh ribuan mil di sana, saya juga membayangkan perempuan yang lain, istriku. Bertahun-tahun mendampingi dengan penuh kesetiaan. Sejak saya terlibat dalam urusan ini, mudah saya tidak pernah bisa memenuhi kewajibanku sebagai seorang suami secara utuh. Tapi istriku tidak pernah bertanya apa yang sedang ku kerjakan. Juga tidak pernah tahu obsesiku yang begitu tinggi. Karena istriku hanyalah perempuan sederhana yang bahkan tidak pernah mempunyai passport. 
Aku sering tertekan dengan obsesiku dan kadang mengeluh, tapi istriku tidak pernah mengeluh bagaimana lelahnya mengurus anak dan rumah tangga tanpa saya disampingnya. Dulu ketika awal menikah, istriku tidak kenal bagaimana memasak di dapur lantaran terlahir dari keluarga berada dan hidup selalu dimanja. Tapi, bertahun-tahun sehabis berumah tangga, ia bahkan sangat cekatan memperbaiki genteng bocor ketika hujan lebat. Mengganti lampu kamar mandi yang padam. Saat saya seringkali memanjakan anak-anak, istriku justru tak kenal lelah menanamkan kebijakan pada buah hati kami.
Boleh di bilang, dalam hidup, saya sering membuat keputusan yang salah. Bahkan hingga hari ini, saya pun tidak pernah tahu apakah keputusanku wacana decade asset ini benar. Dan bila pun ada keputusan yang benar yang pernah kulakukan dalam hidup, itu ialah ketika saya melamar perempuan yang kini menjadi istriku. Kini saya sadar bahwa istriku ialah seorang yang begitu nrimo menjalani takdir dan sangat berbakti kepada suami. 
Ester ialah perempuan cerdas, elok dan berhati lembut. Entah apa alasannya hingga ia mengagumiku dan selalu  merasa nyaman bersama dengaku. Dia memberiku keyakinan bahwa saya bisa sukses menyerupai yang ia harapkan. Karenanya, tanpa lelah ia terus mendorongku untuk melangkah tanpa ragu dan ia selalu ada disampingku. Kami menyadari dan memahami kekerabatan kami dengan bijak. Ester tidak ingin merusak rumah tanggaku dan menjadi sahabatku ialah berkah yang harus disyukurinya.
Itulah citra perempuan ketika sudah memilih sikap. Tugas, cinta dan kesetiaan ialah tiga hal yang selalu dibela perempuan hingga mati. Berbeda sekali dengan laki-laki yang gampang berpaling lantaran kepongahan nalar mereka. Aku kembali tak kuasa menyembunyikan kekaguman pada sosok wanita-wanita di sekelilingku. Aku menutup mata rapat-rapat walau tidak tertidur. Anganku melambung, mengenang semua kebaikan empat perempuan yang mewarnai kehidupanku.
“Jaka,” Lien menyentuh tanganku. “Kita sudah hampir sampai.”
“Oh ya?”
“Kamu tidak tidur ya?” tanya Lien lembut.
“Aku tidur, kok.”
“Mata kau terpejam tapi kau tidak tidur!”
“Bagaimana kau tahu?”
“Dari kening kamu.”
“Kening? Kenapa?”
“Orang yang tidur pulas, keningnya agak berkeringat. Karena oksigen di otaknya membawa hawa panas.”
“Oh. Kamu bisa saja!” saya tertawa kecil, menyembunyikan kebenaran yang di ungkap oleh Lien. Dari sini saya berguru satu hal, jangan pernah berusaha berbohong di hadapan seorang perempuan cerdas. Kalau tidak mau aib sendiri! 
“Tenang saja. Tidak usah terlalu banyak pikiran,” kata Lien tersenyum seakan tahu apa yang saya pikirkan.
“Tentu saja saya tenang. Karena di sampingku, ada seorang perempuan elok yang andal memakai senjata.”
“Ester lebih cantik. Catty juga.”
Aku tersenyum, “kamu juga cantik.” 
Wajah Lien merona. Dia menoleh ke arah jendela untuk menyembunyikan rona wajahnya dariku. “Chang menanti kita di bandara. Dia sudah tahu tragedi tadi.”
Aku mengangguk. Lien terlihat sibuk berbicara lewat telepon satelit pesawat. Kelihatannya serius sekali. Aku melangkah ke dalam kokpit pesawat. Dari dalam kokpit nampak pemandangan begitu indah di bawah. Aku termenung dalam takjub melihat pemandangan kota Beijing dari udara.
Setelah mendarat di landasan, saya keluar dari pesawat diikuti Lien dari belakang. Di bawah, sudah menanti sebuah kendaraan. “Kita akan menuju ke suatu tempat,” kata Lien ketika duduk di mobil.
“Tidak ke hotel?” saya mengangkat alis, bertanya serius.
“Tidak. Seseorang sudah menunggumu di daerah itu.”
“Ok.”
“Jaka,” seru Lien. “Hari ini, lawyer kami akan tiba dalam pertemuan nanti. Surat pencabutan mandatory akan ditandatangani hari ini. Besok, Yu, Wu, Hwang dan saya akan terbang ke Amerika untuk mempersiapakan pembentukan Private Investment Company.”
“Lalu?”
“Minggu depannya kau kembali ke Hong Kong untuk bergabung denganku dan Boy.”
“Minggu depan?”
“Ya, ahad depan. Kamu lebih kondusif di sini hingga somasi aturan kami olok-olokan atas nama Private Investment Company itu. Setelah itu, posisi kau tidak lagi diperhitungkan dan kau kondusif dari kejaran mereka.”
Aku mengangkat bahu. “Ok! Aku tetap di sini. Tidak ada pilihan lain, kan?” sambungku tersenyum.
“Maaf, Jaka.” Lien berubah murung. “Kadang saya sedih bila memikirkan kau harus melewati ini semua.”
“Aku baik-baik saja, kok.”
“Kamu yakin?”
“Ya. Seyakin saya menjemput takdir,” jawabku tegar.
Lien merangkulku. “Aku akan selalu ada di samping mu, Jaka..”. Di wajah Lien ada pelangi yang membawaku kepada keindahan tersendiri. Matanya tertutup. "Beri saya ruang untuk sekali ini saja..." Kata Lien dengan bunyi tertahan dalam desahan..


Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait