Mengapa Orang Padang Benci Jokowi?



Kekuatan Indonesia itu ada pada pancasila yang menjadi mukadimah ( pembukaan ) atas Undang-Undang Dasar 45. Prof. Notonagoro menyatakan bahwa “kebaikan aturan positif Indonesia, termasuk (tubuh) UUD, harus diukur dari asas-asas yang tercantum dalam Pembukaan. Dan lantaran itu, Pembukaan Undang-Undang Dasar 45 harus dipergunakan sebagai pedoman bagi penyelesaian soal-soal pokok kenegaraan dan tertib aturan Indonesia”. Makara walau Undang-Undang Dasar 45 di buat dengan terburu namun para pendiri negara setuju bahwa jikalau nanti ada pasal dalam Undang-Undang Dasar 45 tidak sesuai dengan Pancasila akan diberbaiki kemudian. Yang penting batang tubuhnya sudah ada. Atas dasar itulah negeri ini tegak. Itulah buah konsesus para pendiri negara ini.

Namun apakah semua tokoh setuju ? tidak. Ada dua kekuatan yang tidak bisa mendapatkan Pancasila secara utuh, Yaitu Komunis dan Islam. Masing masing punya agenda berbeda , namun tujuan sama yaitu menguasai negeri ini dengan platform usaha mereka.  Dua tahun sesudah negeri ini merdeka, terjadi pemberontakan Madiun , dimana Muso bersama PKI menyatakan tidak setia kepada Sokarno Hatta. Saat itulah Soekarno memerintahkan Tentara Nasional Indonesia untuk memadamkan pemberontakan. Kemudian dua tahun kemudian atau tahun 1950, diterbitkannya Perda No. 50 ihwal pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang meliputi wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau yang kala itu masih meliputi wilayah Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Ini cikal bakal kelak terjadinya pemberontakan PRRI yang dimotori oleh gerakan ingin mendirikan negara Islam.

Tokoh Masyumi,  Isa Anshary, pada tahun 1951, dalam majalah Hikmah, menulis, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, dogma dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”. Tahun 1955, Pemilu pertama semenjak proklamasi di gelar. Partai Masyumi mendapatkan nomor tiga partai pemenang Pemilu. Hasil Pemilu itu bertugas menyusun perbaikan Undang-Undang Dasar yang ada. Dari tahun 1956 hingga 1959, perdebatan berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh masing-masing pendukungnya. Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu,

”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara. [Tapi] jikalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih tepat dari Islam, lebih universal dari Islam, jikalau saudara-saudara beropini pemikiran dan aturan Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah beliau dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….

Sampai tahun 1959, Konstituante belum berhasil membentuk Undang-Undang Dasar baru. Pada ketika bersamaan, Presiden Soekarno memberikan konsepsinya ihwal Demokrasi Terpimpin. Sejak itu diadakanlah pemungutan bunyi untuk menentukan Indonesia kembali ke UUD 1945. Dari 3 pemungutan bunyi yang dilakukan, bahwasanya dominan anggota menginginkan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, namun terbentur dengan jumlah yang tidak mencapai 2/3 bunyi keseluruhan. Keadaan gawat inilah yang menjadikan Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat forum ini. Tentu yang paling meradang atas dekrit Soekarno ini ialah kelompok Masyumi. Mengapa ? Cita cita mereka mengubah Undang-Undang Dasar sesuai dengan Islam gagal. 

Itu sebabnya para tokoh Masyumi menyerupai Natsir, Safrudin Prawiranegara. Dan Soemtro Djoyohadikusumo dari PSI dan lain lain bergabung dengan gerakaan PRRI, yang sebelumnya pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein berhasil merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Nuljohardjo. Dalihnya Gubernur yang ditunjuk Pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan Daerah. Gerakan  ini memicu terbentuk dewan kekuasaan di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara. NKRI berderak. Pemerintah Soekarno berusaha mengajak mereka bermusyawah  namun gagal. Pada tanggal 15 Februari 1958 Letkol Ahmad Husein mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia di Padang. Pemerintah tersebut membentuk Kabinet dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya.

Soekarno tidak punya pilihan kecuali memerintahkan Tentara Nasional Indonesia untuk menghentikan gerakan separatis tersebut. Namun apa hendak dikata, Kekuatan milter dari PRRI bisa dengan simpel memukul mundur Pasukan yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani yang berkekuatan dari Divisi Diponegoro - Jawa Tengah. Mengapa? Karena peralatan militer PRRI lebih canggih. Ini berkat pemberian dari AS melalui operasi CIA. Akhirnya Soekarno memerintahkan pasukan Siliwangi  bersama RPKAD. Pemberontakan itu berhasil di tumpas, Karena ,para prajurik Siliwangi umumnya religius, sehingga simpel merebut hati orang padang yang agamais.  Beberapa tokoh di balik gerakan itu ditangkap dan ada juga yang melarikan diri menyerupai Soemitro Djoyohadikusumo ( ayahanda Prabowo). Adik Hamka melarikan diri ke AS, sementara Hamka sendiri ditangkap.

Setelah itu, Soekarno memecah mecah Sumatera Tengah menjadi tiga provisi yaitu, Sumbar, Riau dan Jambi. Orang Padang sangat murka dan dendam dengan Soekarno. Apalagi jauh sebelum merdeka, gerakan mendirikan Khilafah itu sudah ada di MInang dengan munculnya gerakan wahabi. Bagi orang padang, Soekarno ialah penanggung jawab hancurnya gerakan NKRI bersyariah atau Negara Islam. Makanya ketika ada momentum menjatuhkan Soekano, susukan kepada AS yang sudah dimiliki tokoh pendukung PRRI dulu menyerupai Soemitro dipakai semoga sanggup memudahkan agresi Soeharto merebut kekuasaan secara konstitusi. Dan PKI yang merupakan pendukung utama Soekarno jadi korban paska kejatuhan Soekarno.

Makanya di era Soeharto, tidak ada gerakan dari orang Padang yang anti Soeharto. Begitupula ketika SBY berkuasa , orang Padang sangat mendukung, bahkan Gubernur Sumbar diangkat jadi Menteri Dalam Negeri. Artinya dendam orang padang kepada Tentara Nasional Indonesia yang terlibat eksklusif dalam operasi penumpasan tidak ada. Yang ada ialah dendam kepada Soekarno. Makanya jangan kaget bila sebagian orang Padang masih membenci Jokowi. Mereka sebetulnya tidak membenci Jokowi tetapi membenci PDIP sebagai pendukung Jokowi. Dan jikalau mereka membenci PDIP Itu lantaran ketua umumnya ialah Putri Soekarno, yaitu Megawati. Stigma politi menyerupai ini sengaja di ciptakan oleh lawan Politik PDIP semoga bisa mengalahkan PDIP di Sumatera Barat.

Seharusnya Orang padang membaca sejarah dengan baik. Bahwa para Tokoh masyumi akibatnya menyadari kesalahan mereka mendukung PRRI. Makanya undangan Soekarno kembali kepangkuan ibu pertiwi mereka terima begitu saja. Dan mereka tulus dipenjara. Karena mereka memang salah. Mengapa ? lantaran gerakan mereka ditunggangi oleh Asing, yaitu AS, Dan mereka sadar bahwa apa yang mereka perjuangkan ialah kemerdekaan dari efek asing. Dan Soekarno telah bersikap terang sesuai dengan konsesus berdirinya Negara ini berdasarkan Pancasila, yang tadinya mereka ikut menyetujui. 

Makara jikalau kini masih ada gerakan islam bersama Partai berbasis islam yang ada di sumatera barat menyudutkan Jokowi, itu hasil rekayasa politik yang sengaja membuat stigma negatif terhadap PDIP dan Jokowi. Logika politik berkaitan dengan fakta sejarah masa kemudian punya daerah sebagai bentuk balas dendam atas perilaku Soekarno yang membubarkan Masyumi. Dan ini dimanfaatkan oleh AS untuk menggoyang Jokowi semoga bisa menggantinya dengan presiden Pro AS. Yakinlah, sesudah presiden pro AS terpilih orang padang engga akan sanggup apa apa. Kehadiran Jokowi ke Padang dengan memperlihatkan dukungan penuh atas pembangunan sumatera barat ialah cara cerdas yang seakan menyampaikan kepada rakyat sumbar : Kita bersaudara. Musuh kita orang luar. Mengapa kita tidak bersatu dalam jalinan NKRI dan Pancasila. Lupakan masa kemudian dan kita songsong masa depan dengan keinginan melalui kerja keras pada hari ini. Jokowi sadar bahwa secara budaya orang minang itu tidak pendendam dan tidak anti pluralisme.  Rakyat hanyalah korban politik. 

MINANG

Sejarah moral dan Agama.
Saya ingin menjelaskan budaya Minang. Mengapa saya menyampaikan Minang? lantaran dalam kebudayaan Orang padang belum tentu orang Minang. Tetapi orang Minang niscaya orang padang. Ini harus saya jelaskan terlebih dahulu sebelum masuk kepembahasan lain. Orang Minang itu dasarnya ialah moral besandi syara, syara bersandikan kitabullah. Makara orang minang niscaya islam. Tetapi bukan islam menyerupai kaum pedatang dari Arab yang sudah berbaur dengan budaya Arab. Islam di Minang ialah islam yang menerapkan moral atau tradisi.Jadi sama dengan islam di Jawa yang menerapka tradisi budaya. Mengapa hingga orang padang terbelah dengan Minang? itu lantaran politik adudomba yang di create oleh Belanda dengan memperlihatkan dukungan secara tidak eksklusif kepada Tuanku Nan Tua dari Kota Tua di wilayah Agam membawa aliran Wahabi di penghujung tahun 1700. Setelah aliran itu meluas, Belanda membantu kaum moral memerangi kaun Padri itu.

Sewaktu saya kecil, yang saya baca hanyalah dongeng ihwal Imam Bonjol yang melawan para pendukung moral yang dibela Belanda. Setelah mulai tua, saya baca kisah ihwal Tuanku Nan Rinceh, yang kurus tapi dengan matamenyala bagai api. Ia muncul dalam arena konflik sosial yang melanda Minangkabau semenjak awal kala ke 19. Karena beliau memaksakan bagaimana islam mesti ditaati tanpa ditawar, konon ia membunuh saudara ibu kandungnya. Wanita itu seorang pengunyah tembakau. Masyarakat yang ingin ditegakkan Tuanku Nan Rinceh memang masyarakat yang ideal: tak ada orang memakan sirih. Pakaian putih-putih haru dikenakan, dan kaum laki-laki harus berjanggut. Wanita haru bertutup muka, tak boleh menggunakan perhiasan. Kain sutera harus dijauhi. Syariat Islam harus dijalankan, dan siapa yang tak taat dihukum.

Mengapa hingga aliran Wahabi bisa diterima oleh sebagian orang padang. Christine Dobbin, Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, sebuah studi ihwal masa riuh 1784-1847 sanggup menjawab dengan objectif. Seperti tampak dari judulnya, Dobbin mencoba memperlihatkan maraknya api keagamaan di Minangkabau itu sebagai tanggapan sosial atas perubahan ekonomi yang terjadi. Kaum saudagar umumnya lebih kaya dibandingkan petani yang hidup dari kebun kopi dan pala. Para saudagar Minang ini, umunya mereka ialah patron, menyerupai kakek saya sudah mengenal ekspor ketika itu dan bermitra dengan orang abnormal menyerupai Europa dan China. Makara gap kaya miskin sangat lebar sehingga simpel di provokasi menjadi kekacauan sosial, dengan membawa emosi agama. Belanda menggunakan kaum wahabi untuk menghancurkan kaum adat, yang akibatnya terpaksa kaum moral minta tolong ke Belanda.

Baru pada 1821 kekuasaan kolonial Belanda masuk ke kancah sengketa. Tapi konflik bersenjata itu masih panjang, dan barus habis sesudah 27 tahun. Apa bahwasanya yang didapat? Kerusakan, tentu, tapi juga satu titik, ketika orang menyadari bahwa tiap tatanan sosial dibuat oleh kekurangannya sendiri. Kaum Padri bisa menyampaikan bahwa Islam ialah sebuah jalan lurus. Tapi jalan yang paling lurus sekali pun tetap sebuah jalan: daerah orang tiba dari penjuru yang jauh dan dekat, berpapasan, tak menetap. Yang menentukan pada akibatnya bukanlah bentuk jalan itu, melainkan orang-orang yang menempuhnya. Islam jalan lurus, tapi Minangkabau akibatnya tak menyerupai yang dikehendaki kaum Padri. Apalagi pada 1832 utusan Tuanku Imam Bondjol kembali dari Makkah: kaum Wahabi telah jatuh dan pemikiran yang dibawa Haji Miskin dinyatakan tak sahih.

Maka Imam Bonjol pun berubah. Ia mengundang rapat akbar para tuanku, hakim, dan penghulu. Ia mengumumkan perdamaian. Ia kembalikan semua hasil jarahan perang. Ia berjanji tak akan mengganggu kerja para kepada adat. Sebuah kompromi besar berlaku. Di tahun 1837, administratior Belanda mencatat bagaimana masyarakat luas mendapatkan formula yang lahir dari keputusan Imam Bonjol itu: “Adat barsandi Sarak dan Sarak barsandi Adat”. Tetapi reinkarsi wahabi itu hingga kini masih ada di Sumatera Barat, dan menjadi virus merusak sendi sendi budaya orisinil orang padang.

Makanya orang Minang terang mustahil bisa terpengaruh politik ala wahabi. Kecuali orang padang yang tidak mengakui moral Minang. Orang padang yang ada di perantauan umumnya ialah orang minang, yang engga simpel di provokasi oleh orang berjubah dan berjanggut. Karena orang minang itu sangat berdikari dan tidak simpel di provokasi. Orang minang itu cerdas. Kalau engga cerdas mana mungkin bisa survive di rantau, hingga ke mancangera. jikalau mereka menentukan Jokowi lantaran mereka cerdas. Adat mengajarkan itu.!

HIdup cendekia mati beriman
Orang minang itu ada prinsip hidup yang berdasarkan saya sangat membumi, yaitu “ hidup cendekia mati beriman.” Perhatikan pemikiran itu, tidak ada pituanmengatakan “ hidup beragama mati beriman. Mengapa ? lantaran landasan orang minang itu beragama lantaran budaya. Dan budaya itu bertumpu kepada akal, namun logika itu menuntun orang minang menuju Tuhannya. Mengapa orang Minang, para pemudanya di haruskan untuk merantau “ Karatau madang di hulu, Babuah, babungo balun, Marantau bujang dahulu, Di rumah baguno balun. Artinya apa ? orang minang yang tidak merantau itu tidak berkhasiat dirumahnya. Selagi beliau masih kampung beliau tidak akan apa itu Lain lubuk, lain ikannya. Tidak akan bisa menghargai pluralisme. Adat minang itu percaya bahwa alam terkembang jadi guru. Artinya buka mata lebar lebar, jangan menyerupai katak dalam tempurung.

Ketika saya pergi merantau, orang renta saya mengingatkan saya bahwa saya putra minang dan sudah menjadi tradisi laki-laki minang itu merantau. Ada istilah bagi anak muda minang “ Jangan merantau sepanjang nasi bungkus. Artinya jikalau bekal habism pulang! Jangan. Itu laki laki gadang sarawa ( pengecut ). Merantulah menyerupai marantah China. Engga pulang jikalau gagal. Ini motivasi andal bagi setiap laki-laki minang. Bahwa merantau menguji logika dewasanya untuk pantas disebut mamak rumah. Di rantau laki-laki minang melihat fakta bahwa kehidupan itu penuh warna. Ada yang kaya dan ada yang miskin. Ada bermacam-macam suku menghuni bumi ini. Sikap mental anti pluralisme, bukanlah yang diajarkan moral minang. 

Orang minang itu mengutamakan induk semang ( boss ) daripada keluarga jauh. Mereka pintar merebut hati boss , lantaran memang diajarkan oleh adat. Kebayang engga jikalau orang minang itu terjebak dengan pemikiran ekslusifitas agama, niscaya mereka gagal berkembang di rantau. Dan jikalau beliau gagal, orang renta akan bilang” tidak berakal. “ Bahkan jikalau hidupnya berengsekpun disebut “ tidak berakal” Mengapa tidak disebut “tidak beragama? lantaran orang minang tahu bahwa abjad orang itu andal lantaran akalnya bekerja baik. Walau agamanya andal tapi akalnya tumpul tetap aja jadi lalar  hijau ( pembuat duduk masalah ).

Karena didikan moral minang itu mengharuskan setiap laki-laki mandiri. Dari kecil laki-laki minang udah dilatih oleh pamannya bagaimana survival menyerupai diajarkan jadi koki semoga bisa buka restoran, perbaiki jam, semoga bisa buka service jam, menjahit, semoga bisa hidup dari jasa menjahit, dan palsafah dagang diajarkan oleh paman. Seperti jangan makan sebelum penglaris. Disiplin utamakan pendapatan daripada belanja. Jangan kalah dengan ayam bangkit tidur.  Agar lebih banyak kerja dan ikhtiar daripada tidur. Jangan pulang sebelum pergi. Artinya jangan takut dengan resiko, yang sehingga membuat kau tidak pernah melangkah. Masih banyak lagi.

Dalam hal politik , orang Minang diajarkan kecerdasan politik, iyakan apa kata orang, kita tetap dengan perilaku kita. Artinya, jikalau ada yang provokasi orang minang, tidak akan bisa mengubah cara beliau berpikir yang bebas. Mereka dilatih tidak jadi follower buta. Kenapa ? semoga hidup cendekia mati beriman. Kalau hidup beragama tanpa akal,  mati niscaya bego.!






Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait