Pendidikan Mental ?


Dulu waktu masih ABG , jikalau nonton TV lawak Bagio, saya tertawa terpingkal pingkal. Apalagi jikalau Bagio malakonkan orang kurang berakal dan jadi korban lawakan. Papa saya hanya tersenyum. Namun sesudah program lawak selesai, papa saya menasehati saya yang hingga sekarang saya tidak bisa lupa “ Kamu tertawa lantaran melihat kekonyolan komedian itu. Tapi kau engga sadar bahwa apa yang dilakukan komedian itu semata mata cari uang untuk keluarganya. Dia tidak peduli jadi materi olokan dan ketawaan orang se Indonesia. Yang penting di bisa menghibur orang dan beliau sanggup uang lantaran itu. Itulah kehidupan. Kamu harus bisa menjadi diri kau sendiri dan tak peduli seburuk apapun anggapan orang atas profesi kau selagi itu halal, jalankan. Tanpa ragu. Merdekakan diri kau tanpa harus jadi pengekor orang lain.

Pernah jikalau sholat berjamaah dimana kakek ( Babo ) saya sebagai imam dan saya , nenek, juga tante saya sebagai makmum. Setelah usai sholat , kakek saya hanya wirid dan lalu berdiri. Biasanya sesudah itu, nenek saya akan ngomel ke kakek, bahwa beliau mengajarkan saya sombong kepada ALlah, dengan tak mau berdoa. Tapi kakek saya hanya tersenyum. Ketika saya tanya kepada kakek atas sikapnya itu, maka inilah jawabanya yang tak pernah saya lupa “ Kakek setiap waktu berdoa dan lagi sholat itu sendiri ialah doa. Tapi doa yang paling baik ialah saat kau berbuat baik. Contoh saat kau ada kelebihan rezeki kau bersedekah, berdoalah saat itu, Ya Tuhan, engkau beri saya rezeki dan saya menyayangi Engkau lantaran itu saya memberi kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan. Contoh lain, saat orang menzolimi kau atau menghina kamu, maka segeralah berdoa “ Ya Tuhan beri saya kekuatan dalam kesabaran biar saya tidak jatuh dalam kehinaan dihadapanmu lantaran murka dan benci.”

Itu sebabnya saat saya gagal masuk PTN, yang dikawatirkan oleh kedua orang renta saya , bukanlah gagal jadi sarjana tapi saya gagal menjadi diri sendiri. Karena jikalau saya gagal menjadi diri saya sendiri maka itu artinya mereka gagal mendidik saya dan saya memang tak pantas dilahirkan. Dan itu tanggung jawab mereka kepada Allah. Teringat surat dari kampung kepada saya di rantau “ Kamu tidak gagal. Papa tidak mendidik kau pengecut dan bergantung kepada titel proteksi orang. Kamu putra kami, jadilah sebaik baiknya diri kau saja. Jangan pikirkan soal kegagalan kamu. Kamu tetap pujian papa“ Dan ibu saya memberi motivasi saya “ Jangan lantaran kau gagal kau menjauh dari Allah. Selagi kau akrab kepada Allah, kau akan baik baik saja. Tuhan tidak aniaya, anakku. Kamu sebaik baik makhluk ciptaaNya. Makara teruslah melangkah tanpa ragu.” Ketika kali pertama saya bisa keluar negeri berbisnis dengan orang asing, saya menangis ingat kedua orang renta saya yang telah mendidik mental saya dalam kesabaran dan penuh cinta.

Dari papa , saya mendapat nilai nilai budaya Minang untuk berdikari dari segi pikiran maupun perasaan dalam menghadapi realitas kehidupan, Kelak ini mengakibatkan mental saya tidak pernah merendahkan profesi orang lain dan menaruh hormat setiap effort orang untuk mencapai sukes dan bermitra dengan siapapun tanpa melihat suku dan agama orang lain. Dari kakek , saya mendapat pendidikan nilai nilai agama bahwa agama itu bukan yang diketahui dan dipelajari tapi di praktekan. Agama itu bukan hafalan tapi perbuatan untuk hanya beribadah kepada Tuhan. Saya tidak akan menyampaikan kepada orang lain agama saya lebih baik jikalau saya tidak berdikari secara ekonomi dan sosial. Karena agama saya mendidik saya untuk menjadi insan berdikari dan pemberi, bukan meminta, apalagi pengeluh. No way.

Walau kedua orang renta saya tidak berpendidikan tinggi namun mereka menghadirkan secara positif pendidikan huruf di dalam keluarga. Walau mereka bukan sarjana tapi 7 orang anaknya satu orang Phd, empat orang S2. Tapi tetap dengan prinsip berdikari entah itu jadi Professional, pengusaha, dosen, PNS. Karena semua kami dididik untuk berAgama dan berbudaya dalam bentuk perbuatan bukan retorika. Kami penganut yang taat tapi juga taat terhadap sunattulah. Bahwa menjadi diri sendiri ialah usaha untuk meraih ridho Allah. Makara wahai anakku dan saudaraku dimana saja berada. didiklah anak dan keluargamu jadi mahluk merdeka. Ingat kemerdekaan negara kita tidak otomatis menciptakan kita merdeka secara mental . Yang menjajah kita bukan orang abnormal atau orang lain tapi diri kita sendiri..mindset kita yang menjajah kita. Merdekakan putra putri kita biar unggul dalam persaingan global..

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait