Pria Hidung Belang Tak Dipidana, Prof Eddy: Diskriminatif!

Pria Hidung Belang Tak Dipidana, Prof Eddy: Diskriminatif!Ilustrasi (Dok. detikcom)

Jakarta -KUHP yang berlaku merupakan warisan penjajah Belanda dan menganut budaya Barat. Salah satu cirinya ialah laki-laki hidung belang bukan kejahatan asusila dan tidak dipidana.

Sebagaimana dikutip dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 132/PUU-XIII/2015 dari situsnya, Senin (7/1/2019), keinginan laki-laki hidung belang sanggup dipenjara diutarakan oleh Robby Abbas. Robby merupakan terpidana masalah muncikari artis dengan eksekusi 16 bulan penjara. Ia dikenai Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana yang berbunyi:

Barang siapa yang mata pencahariannya atau kebiasaannya yaitu dengan sengaja mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain diancam dengan pidana penjara paling usang satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah.

Tidak terima masuk penjara sendirian, Robby menggugat Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana ke MK. Ia berharap para laki-laki hidung belang pemakai jasanya juga dipenjara.


"Ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana ini sanggup dikualifikasikan sebagai suatu rumusan delik yang bersifat diskriminatif," kata andal pidana UGM, Prof Dr Eddy O.S Hiariej, yang menjadi andal di permohonan Robby Abbas.

Mengapa demikian? Dasar argumentasinya ialah alasannya ialah pasal a quo hanya mempidanakan orang yang 'memudahkan' perbuatan cabul. Sedangkan terhadap orang yang 'melakukan' pencabulan itu sendiri tidak diancam dengan Pasal 296 KUHP. Sedangkan dalam kekerabatan tanpa perkawinan yang sah, yakni terjadi suatu kekerabatan intim di antara dua orang atau lebih, selama mereka (pelaku perbuatan kekerabatan intim tersebut) tidak terikat dalam suatu ikatan perkawinan (baik salah satu pelaku maupun seluruh pelaku kekerabatan intim tersebut), maka juga tidak sanggup diancam dengan pidana.

"Hal yang demikian mengatakan kebudayaan Barat sangat terlihat terperinci dalam Pasal 296 KUHP," cetus Eddy.


Berdasarkan interpretasi tradisional, yakni suatu interpreter menemukan aturan dengan cara melihat suatu sikap dalam tradisi aturan terkait pencabulan, perbuatan cabul yang dilakukan tanpa ikatan perkawinan yang sah intinya tidak sesuai dengan adat-adat ketimuran. Apalagi kalau dilihat dalam konteks bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan nilai-nilai adab setempat sebagai suatu aturan yang hidup dalam masyarakat.

"Oleh karenanya, ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana ini sanggup dikatakan sebagai ketentuan yang out of date atau tidak sesuai dengan perkembangan zaman, atau tidak sesuai lagi dengan tatanan kehidupan masyarakat setempat, alasannya ialah bahaya pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana ini hanya terhadap orang yang mempermudah perbuatan cabul itu saja, tidak termasuk terhadap pelaku pencabulan itu sendiri," ujar Eddy.

Tidak dimungkiri bahwa konsep perzinahan antara aturan Islam dan aturan Barat sungguh jauh berbeda secara prinsip. Dalam perspektif aturan Islam, orang yang melaksanakan suatu kekerabatan intim dengan orang lain yang bukan merupakan pasangannya yang terikat dalam suatu ikatan perkawinan yang sah, maka perbuatan yang demikian sudah sanggup dikualifikasikan sebagai suatu kejahatan.

"Dengan demikian, pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana dan ketentuan Pasal 506 KUHP), selain bersifat diskriminatif dan tidak menjamin kepastian hukum, bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat dan secara sosiologis bertentangan dengan adab ketimuran maupun norma-norma yang ada dalam agama-agama yang dianut di Indonesia, dan oleh hasilnya pasal-pasal a quo (ketentuan Pasal 296 kitab undang-undang hukum pidana dan ketentuan Pasal 506 KUHP) harus dinyatakan tidak berlaku atau dinyatakan tidak mempunyai kekuatan aturan mengikat," kata Eddy menyimpulkan analisanya.

Tonton video: Vanessa Angel dan Avrielli Shaqqila Bisa Makara Tersangka

[Gambas:Video 20detik]


Namun MK menyatakan tidak berwenang menciptakan jenis pidana baru. Menurut MK, yang berwenang mengkriminalisasi sebuah perbuatan ialah DPR.

"Persoalan aturan yang dipermasalahkan pemohon ialah kebijakan kriminal, dalam arti mengakibatkan suatu perbuatan yang sebelumnya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana, di mana kebijakan demikian ialah politik aturan pidana yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang," ujar Ketua MK Arief Hidayat dalam sidang yang terbuka untuk umum di gedung MK pada 5 April 2017.


Setahun berlalu, umpan lambung MK masih dibiarkan di DPR. Revisi kitab undang-undang hukum pidana sampai sekarang belum ada gejala akan disahkan. Alih-alih konsumen muncikari berkurang, malah muncul lagi masalah serupa, yaitu yang menyeret Vanessa Angel dan Avriellia Shaqqila.

Lalu, beranikah dewan perwakilan rakyat mempidanakan laki-laki hidung belang?

Sumber detik.com

Artikel Terkait