“ Uni, ada Bang Man?.”
“ Dia ke masjid sholat Maghrib. Ada apa Li?
“ Bang Amsar masuk rumah sakit. Keliatannya gawat”
“ Ya Allah. Sakit apa. ?
“ Belum tahu sakitnya apa. Ini Li sedang menuju rumah sakit."
“ Ya ya nanti uni kabarkan ke Bang Man.”
“ Assalmualaikum “ Kataku bersegera akhiri telp.
“ Waalaikum salam." Kata Uni.
Benarlah tak berapa usang telp selularku bergetar “ Li, Ada apa dengan bang Amsar?
“ Tadi sehabis sholat Lohor terjatuh di toko nya. “
“ Sekarang bagaimana keadaannya ?
“ Masih di rumah sakit, bang. Abang cepatlah datang. Ini Li sedang di jalan sama Uda.”
“ Ya tapi Bang Man ada acara di Masjid sehabis Isya. “
“ Abang..dulukanlah tiba ke rumah sakit. Mandeh sudah Li kabarin. Sekarang sudah di bandara untuk terbang ke Jakarta. “
“ Tapi engga semudah itu meninggalkan jamaah Li.”
“ Ah Abang. Ya udahlah suka suka kakak ajalah.”
“ Nanti sehabis program di masjid Bang Man akan tiba ke Rumah sakit.”
“ Ya udah.”
Aku hanya menghela nafas panjang. Nampak di sebelah Uda ADi, memandang keluar jendela kendaraan. Nampak dia paham betul kelakuan Bang Man.
“ Sudah kau hubungi, si Tias ?
“ Malas saya telp dia. “
“ Telp lah. Dia adik laki laki kau. “
Kalaulah bukan suami yang suruh tak mau saya telp Tias.
“ Hallo “ Terdengar bunyi di seberang
“ Aku hanya mau kabarin Bang Amsar sakit keras. Sekarang di rumah sakit.Datang lah.”
“ Ya Allah, sakit apa ?
“ Tak tahu aku. Cepatlah kau datang”
“ Ya Uni. Tapi saya sudah di Bandara mau ke luar negeri.“
“ Tak bisa kau tunda pergi ke Luar negeri.”
“ Tak bisa Uni. Ini sudah di jadwalkan dari ahad lalu. Minggu depan saya sudah pulang. Aku segera ke rumah sakit. Aku doakan semoga Bang Amsar sehat sehat saja.”
Sesampai di Rumah Sakit , nampak semua putra putri Bang Amsar sudah kumpul. Uni Mar tambak tabah mendampingi Bang Amsar yang belum juga sadarkan diri. Menurut Uni Mar, keadaan bang Amsar tak menentu. Penyakitnya alasannya gula darahnya tinggi sekali dan alasannya itu penyebab stroke. Selepas Isya, Bunda sudah tiba di rumah sakit bersama Paman Datuk. Nampak tak sekalipun Bunda melepaskan tanganya menggenggam jemari Bang Amsar. Aku tahu Bunda berdoa kepada Allah untuk bang Amsar. Kadang nampak Bunda sedang membisikan sesuatu ke indera pendengaran Bang Amsar. Paman bangun di unjuran daerah tidur sambil memperhatikan keadaan Bang Amsar. Paman bersedih. Selang beberapa usang sesudah kedatangan Bunda, telah berlaku takdir untuk Bang Amsar. Dia di panggil pulang oleh Allah. Bunda berlinang air mata namun tak terdengar maratap. Putra putri Bang Amsar nampak tabah walau tak bisa menyembunyikan sedih mereka.
Paman bersegera memeluk Putri Bang Amsar yang nampak terkulai lemah “ Upik tabah ya sayang. ini sudah kehendak Allah. Mulai kini , Upi akan jadi tanggung jawab Babo”. Kata Paman.
Putra bang Amsar kupeluk biar dia tetap hening walau saya sendiri tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan kakak tersayangku. Kakak yang bertanggung jawab terhadap ku semenjak Abak meninggal. Dia tanggung biaya pendidikanku hingga jadi sarjana. Dia pula yang mengurus perkawinanku. Setiap ada masalah, Bang Amsar selalu ada untukku. Beda sekali dengan Bang Man dan Tias.
Putra bang Amsar kupeluk biar dia tetap hening walau saya sendiri tak bisa menyembunyikan rasa kehilangan kakak tersayangku. Kakak yang bertanggung jawab terhadap ku semenjak Abak meninggal. Dia tanggung biaya pendidikanku hingga jadi sarjana. Dia pula yang mengurus perkawinanku. Setiap ada masalah, Bang Amsar selalu ada untukku. Beda sekali dengan Bang Man dan Tias.
***
Seusai Sholat Maghrib, kami berkumpul di ruang tamu. Bang Man tiba bersama anak dan istrinya. Tias juga tiba bersama istri dan anak anaknya. Aku tiba bersama Uda Adi dan anak anaku. Putra putri Almarhum Bang Amsar duduk di samping Bunda. Uni Mar masih belum bisa menghilangkan dukanya walau telah seminggu kepergiaan Bang Amsar. Seakan airmatanya tak pernah kering. Selalu berlinang airmatanya bila ingat Bang Amsar. Aku memeluk pundak Uni Mar biar tetap kuat. Hari ini kami berkumpul untuk membicarakan soal masa depan ponakan kami.
“ Paman kumpulkan kalian alasannya ini menyangkut ponakan kalian. Abang kalian tidak meninggalkan warisan berlebih kecuali hanya toko di pasar tradisional itu. Si Yudi kini masih kuliah. Si Murni tahun depan akan kuliah. Sekarang di keluarga besar kita kau , Herman yang tertua. Bagaimana pendapat kau ? “ Kata paman sambil pandangan ke pada kami semua.
“ Paman, Kehidupan ekonomi ku tak bisa menanggung biaya mereka. Penghidupanku hanya dari guru mengaji dan pengurus Masjid. Ekonomi keluagaku ditopan oleh istriku yang berdagang buku buku agama di halaman Masjid. Kaprikornus maafkan saya paman. “ Kata Bang Man.
Paman menatap seksama Bang Man yang berusaha menyembunyikan wajahnya dengan menunduk.
“ Baiklah. Paman paham. Bagaimana dengan kau Tias.”
Tias bergotong-royong ingin mengucapkan sesuatu namun mata takutnya terpancar ketika menatap wajah istrinya. Akhirnya dia tertunduk wajah juga.
“ Maaf paman. “ Kata istri Tias. “ Bukankah Almarhum Bang Amsar punya warisan rumah dan toko. Kami rasa itu lebih dari cukup. Nanti jika ada kurang, kami akan bantu sebisanya. “
Paman seakan tak pedulikan kata kata istri Tias “ Bicaralah kau Tias. Sudah hilang sifat laki laki minang kau ? Berubah gadang sarawa kau ? Kata paman tegas.
Tias hanya diam.
Paman mengalihkan pandangan ke arah Bunda. Seakan minta Bunda bicara.
“ Anakku. Dari kecil Mandeh dan Abak kalian membesarkan kalian dengan cinta. Kami bukan orang kaya. Abak kalian hanya pengawai rendahan di kabupaten. Namun dari kecil kami tanamkan kepada kalian untuk saling mengasihi. Yang renta menjaga yang kecil, Yang kecil menaruh hormat kepada kakaknya. Tapi entahlah alasannya zaman keadaan berubah. Melihat kehidupan kau Tias, Herman, mandeh sedih. Kalian di besarkan oleh didikan agama dan moral yang kental. Tapi kini kalian bukan lagi putra minang dan bukan orang beragama yang beradat. “ Kata Bunda dengan bunyi datar.
“ Mandeh..” Kata Bang Herman. “ Saya berhenti bekerja di Bank alasannya ingin mewakafkan ilmu agama yang ku pelajari dari guru. HIdupku tak sekaya Bang Amsar dan Tias. Tapi saya berjihad alasannya Allah. Kita harus berjuang biar tegaknya syariah di negeri ini “ Sambung Bang Herman.
“ Herman. Mandeh tidak melarang kau berguru ilmu Agama. Mandeh senang. Tapi sebaik baiknya jihad yakni apabila yang wajib telah kau penuhi. Pastikan rumah tangga mu kondusif secara bahan terlebih dahulu. Jangan kau bebani istrimu dengan pekerjaan yang seharusnya itu menjadi tanggung jawabmu. Apalagi kau bisa berbuat lebih dengan tenaga dan pendidikanmu. Setelah kondusif keluargamu, maka bantulah orang terdekatmu dengan hartamu, dengan ilmu yang kau punya. Bantu mereka bangun dan melangkah dan tercerahkan. Kalau masih ada lebih harta itu, bantulah tetanggamu, anak yatim dan piatu. Bantu mereka sebisa kau lakukan. Tapi ini, kau mengaku berjihad tapi hidupmu di topang oleh istrimu dan berharap orang lain menyumbang setiap dakwah mu. Kau berjuang ingin mengubah negeri ini bersyariah tapi menimbulkan dirimu lebih baik saja tidak mampu. Kau menumbang hidup dari gerakan dakwah mu. Seharusnya Nak, besar besarkanlah syiar islam tapi jangan kau mencari makan dari syiar Islam. Yang kau lakukan benar benar bukan sifat laki-laki minang. Kau beragama tapi tak beradat. “
“ Aku sadar Mandeh. Tapi untuk bisa menyerupai yang mandeh sampaikan itu, perlu harta tidak sedikit. Perlu waktu banyak, kapan lagi ada waktu saya mengurus umat ?
“ Kau tak perlu berlaku menyerupai Allah. Seakan tanpa kau , urusan umat terbengkelai, Yang urus umat itu, ya Allah. Hidayah itu dari Allah, bukan alasannya kau orang bertambah baik dan sholeh. Negeri ini sudah merdeka dan sebagian besar pendiri negara yakni Ulama besar di zamannya. Mengapa pula kau mau ubah? Kalaulah memang kehendak Allah negeri ini bersyariah, mengapa tidak dari awal saja negeri ini negara Islam ? Bukannya Pancasila. Jangan kau menggantang asap,anakku. Hidup dalam angan angan yakni dosa besar. Itu budi bulus iblis, anakku. Tirulah Bang Amsar. Dia tidak kaya menyerupai Tias, tapi dia pekerja keras. Dia taat beragama. Dia urus Uni kau si LIli hingga jadi sarjana dan menikahpun dia tanggung. Anakmu pun sekolah dia bantu, Tetangganya yang miskin di bantunya. Walau tak ada uang berlebih namun seminggu sekali dia sempatkan diri mendatangi setiap kios di pasar untuk mengambil tromol amal untuk anak Panti Asuhan. Walau Bang Amsar mu meninggal tak berharta berlebih, mandeh yakin Allah akan menjaga keselamatan Anak anaknya. Karena kebaikan yang ditebar akan berbuah kini atau besok, kepada kita atau kepada keturunan kita. Paham kau ?
“ Kau tak perlu berlaku menyerupai Allah. Seakan tanpa kau , urusan umat terbengkelai, Yang urus umat itu, ya Allah. Hidayah itu dari Allah, bukan alasannya kau orang bertambah baik dan sholeh. Negeri ini sudah merdeka dan sebagian besar pendiri negara yakni Ulama besar di zamannya. Mengapa pula kau mau ubah? Kalaulah memang kehendak Allah negeri ini bersyariah, mengapa tidak dari awal saja negeri ini negara Islam ? Bukannya Pancasila. Jangan kau menggantang asap,anakku. Hidup dalam angan angan yakni dosa besar. Itu budi bulus iblis, anakku. Tirulah Bang Amsar. Dia tidak kaya menyerupai Tias, tapi dia pekerja keras. Dia taat beragama. Dia urus Uni kau si LIli hingga jadi sarjana dan menikahpun dia tanggung. Anakmu pun sekolah dia bantu, Tetangganya yang miskin di bantunya. Walau tak ada uang berlebih namun seminggu sekali dia sempatkan diri mendatangi setiap kios di pasar untuk mengambil tromol amal untuk anak Panti Asuhan. Walau Bang Amsar mu meninggal tak berharta berlebih, mandeh yakin Allah akan menjaga keselamatan Anak anaknya. Karena kebaikan yang ditebar akan berbuah kini atau besok, kepada kita atau kepada keturunan kita. Paham kau ?
Bang Man terdiam. Tak sanggup dia memandang wajah Mandeh.
“ Kau, Tias ? Mata Mandeh di arahkan kepada Martias, adikku. “ Entahlah bagaimana mandeh harus katakan kepadamu Nak. Kau kejar harta dan tengggelamkan hidupmu hanya untuk keluargamu. Kau tak peduli dengan keluarga besarmu. Kalau kepada keluarga saja kau berhitung bagaimana kau bisa lapang dada membantu orang lain ? Tirulah Bang Amsar kau, Dia tidak kaya tapi dia tanggung biaya kau hingga jadi Sarjana. Tak pernah dia tinggalak sholat dan puasa. Itulah alasannya dia putra minang, yang paham bahwa anak di pangku , ponakan dibimbing, orang kampung di patenggangkan. Berkali kali Mandeh memohon biar kau jangan tinggalkan sholat tapi kau abaikan dengan alasan sibuk. Kau berdalih dengan akalmu bahwa Allah akan maklum akan kesibukanmu mengurus pabrik yang menampung ribuan pekerja. Itu bagimu juga amal ibadah. Bagaimana kau bisa mengakui Islam jika sholat tak kau lakukan. Harta telah membuatmu menjauh dari agama dan melupakan adat. Kau bukan lagi putra minang. Bukan.“
Tias hanya diam, Dia memang tak berdaya dengan istrinya alasannya posisinya diperusahaan hanya melanjutkan warisan dari mertuanya. Tapi benar kata bunda, Tias tak bisa menegakan agama di rumah tangganya bahwa istri harus patuh kepada suami. Itu semua alasannya lantaran takut melangkahi hak istrinya. Bang Man, tak bisa bersuara sama sekali. Dia sadar bahwa cara hidupnya selama ini lebih mementingkan darul abadi tanpi di bumi dia tidak berpijak. Dengan alasan dakwah dia tidak merasa aib mendapat uang dukungan dari umatnya. Dan bermimpi suatu ketika jadi ustad selebritis yang kaya dari berdakwah.. Bagiku mereka tidak pernah menyayangi siapapun, Mereka hanya menyayangi dirinya sendiri. Tias mengutamakan istri alasannya kawatir kehilangan posisi sebagai dirut perusahaan. Bang Man, mengutamakan dakwah nya alasannya berharap dukungan dan takut masuk nereka. ya benar kata paman dan Mandeh, mereka bukan laki-laki minang.
“ Baiklah..” terdengar bunyi paman dengan bergetar. “ Paman akan ambil alih tanggung jawab kedua anak kakak Amsar kalian. Dan Paman juga akan ambil alih menjaga ibu kalian. Ini bukan soal apa. Tapi hanya menegakan agama kita. Adat bersandi sara, sara bersendikan kitabullah.. Agama berkata , moral mamemakai. “ Kata paman sambil berdiri. Segera kupeluk Mandeh yang hingga menitikan airmata ketika pama usai berbicara. Di peluk Mande kedua cucunya dengan mengusap kepala mereka satu persatu. Penuh cinta dan penuh kasih menyerupai dulu ia membesarkan kami…
“ Entahlah anakku…Mungkin zaman telah mengubah jalan kalian. Adat di hapus alasannya agama dan agama terhapus alasannya harta. Itu alasannya kalian akil tapi tak beriman atau beriman tapi tak berakal. Seharusnya hiduplah akil biar mati beriman. Semoga ALlah membukakan jalan kebenaran untuk kalian. Agar hidup kalian paling banyak manafaatnya bagi orang lain. Doa mandeh akan selalu untuk kalian…”