Sebatas Angan Angan Saja.

“ Tiap idealisme memang sepatutnya dicemoohkan. Orang yang terlalu banyak berteori dan mimpi tampa berbuat memang cenderung idealis.. Kata petugas ICF yang mendampingi saya selama kunjungan ke Pyongyang. Saya tahu itu satire. Tetapi akibatnya saya tertawa alasannya yaitu melihat wajah cantiknya  memerah alasannya yaitu dia menyampaikan itu dengan nada takut.
“ Ya makanya perlu Raja Utopus. Ia berhasil membangun negeri satu azas. Kehidupan sosial yang sejahtera alasannya yaitu semua sanggup subsidi air, tanah, dan api. Jaminan sosial dari bebas rasa lapar dan miskin. Negeri yang sibuk berdoa alasannya yaitu mencari rezeki gampang dan beribadah aman. Negeri yang menutup semua tempat maksiat dan isu sesat. Ya kan “ Kata saya. Dia tersenyum sambil menuangkan teh untuk saya.
“ Pada akibatnya semua tahu, kesempurnaan hanya bisa terjadi dalam isolasi pikiran, dan isolasi hanya bisa dengan paksa. Dan itu selalu idiologi totaliter, termasuk politisasi agama.” kata saya lagi.
“ Benar. Sebelum Kim Il-sung dan anaknya di Korea Utara, Raja Utopus tahu akan hal itu. “

Cuaca desember itu berkabut. Dingin menusuk bersama salju menghias Pyongyang. Dari jendela kamar hotel, dikejauhan pandangan berkabut nampak orang berjalan dengan setengah membungkuk menahan masbodoh dengan jacket kualitas rendah, bagaikan seluet kekalahan dan pasrah.

" Negeri ini dibangun dengan politik Utopia. Tahun berganti tahun, pikiran insan hanya hidup dengan utopia walau ironi. “ Katanya. “ Telah berabad kala lamanya orang suka berfantasi perihal utupia. Namun terbukti pelbagai angan-angan itu telah gagal untuk menciptakan insan bahagia.“ sambungnya.

Saya menghadap jendela kamar. Pikiran saya jauh. ironi gampang mati. Sampai kini di China, tiap hari banyak orang mati ditembak di lapangan umum. Derap langkah mereka yang marah, yang penuh keluh dan protes kepada koruptor , di beri ruang dalam UU China. Tapi korupsi tidak pernah habis. ISIS membunuh perempuan alasannya yaitu pergi keluar rumah tampa muhrim, hanya bisa menawarkan janji sorga tapi memciptakan neraka didunia.
“ Benar, tiap gagasan luhur betaut dengan doa, itu sesungguhnya cara gampang memperolok diri sendiri. Karena kelemahan diri” Kata saya menguatkannya. Dia tersenyum seraya mendekati saya menghadap jendela. Saya termenung.

HTI bermimpi berdirinya kembali khilafah di dunia Islam, dan sekaligus menolak demokrasi. Begitu yakinnya mereka seyakin mereka kepada sorga yang dijanjikan Tuhan. cemooh di dibiarkan mengganggu. Tampaknya tak dibutuhkan segera renungan dan jawaban: Bagaimana sang ”khalifah” di pucuk pimpinan ditentukan? Oleh siapa? Bagaimana membentuk kekuatan yang bisa menghapus dan mengatasi kedaulatan nasional yang terbangun selama ini?

Ironi bukan kenakalan. Ia menandai sebuah kearifan. Sebenarnya kearifan itu bisa tiba dari sejarah dunia muslim sendiri. Tapi dengan perilaku resah terhadap dunia yang brengsek, para ideolog Islamisme hanya melihat masa kemudian ibarat langit jernih penuh bintang. Seakan-akan di sana tak pernah ada prahara, bahkan hujan darah. Seakan-akan tak pernah ada Murad III (1574-95) yang punya 103 anak dari sederet istri, sebuah keadaan yang menyulitkan soal kekuasaan dalam khilafah Usmani. Anaknya, Muhammad III (1595-1603), memulai bertakhta dengan membunuh 19 orang saudaranya sendiri. Murad IV (1623-40) melaksanakan hal yang sama, dan hanya membiarkan seorang adik hidup hanya alasannya yaitu si adik lemah mental.

Singkatnya, sejarah, yang selamanya penuh dengan ketidakpastian, tak diantisipasi dengan sebuah sistem yang sanggup mengelola ketidakpastian secara teratur, tanpa kekerasan, tanpa darah. Islamisme gagal berguru dari kondisi itu. Yang dijalankannya adalah politik kesempurnaan: alasannya yaitu Islam dianggap sebagai jawaban yang tepat untuk membangun sebuah masyarakat yang sempurna, ada perjuangan menghapus wajah hidup yang tragis dan cela. Yang tragis, yang kurang, yang negatif, dianggap tak punya kiprah dalam politik. Tak mengherankan bila Hizbut Tahrir, didirikan oleh Taqiuddin al-Nabhani, seorang qadi dari Yerusalem, pada tahun 1953, menampik demokrasi. Demokrasi berdiri dari kesadaran akan kondisi yang tragis: luruhnya marka-marka kepastian, ibarat dikatakan Claude Lefort. Dengan catatan: la dissolution des repères de la certitude itu tak hanya disadari semenjak Revolusi Prancis. Masa kemudian Islam telah memaparkan itu.

Setelah Rasul wafat, para sahabat bingung. Karena tidak ada wasiat siapa yang akan menggantikan beliau. Saling tatap diantara mereka, di ruang kosong yang tersedia, sebuah kekuasaan yang harus di isi. Tapi untuk mengisinya tak seorang pun yang akan setara Rasulullah. Tak seorang pun, tak satu golongan Islam pun, yang sanggup mengartikulasikan ke-Islam-an secara sempurna. Penggantinya harus bersedia diganti, atau akan terpaksa diganti. Sejarah membuktikan semua khalifah tidak diganti lewat proses suksesi yang soft tapi terbunuh lawan politiknya.

“ Hidup memang tak cocok buat politik kesempurnaan. Hidup yaitu tempat politik kedaifan. Politik yang lebih rendah hati dan santun. Manusia berubah tapi keterbatasan menyertainya. Ia makhluk yang dilahirkan tidak sempurna. Peradaban justru lahir dari keadaan ketidak sempurnaan yang tragis itu. Ya kan sayang” katanya. ” Orang china berkata , semut tahu formula bukit semut mereka, lebah punya formula sarang mereka…. Tapi insan tak punya formulanya sendiri. Kalau ada merasa punya formula, itu yaitu ironi. “ Lanjutnya.

“ Sebuah formula memang ditawarkan Raja Utopus. Tapi ia makhluk khayal yang tak mungkin kita bisa mencicipi sorga bahu-membahu tanpa bersedekat dan bersedakap “ Kata saya.

Di Pyongyang, ada utopia, bunyi sirena akan terdengar pada jam-jam tertentu, kemudian ada bunyi toa memekak , propaganda dari sang utopus yang menjajikan kemakmuran dan kejayaan bagi bangsa korea utara. Di TV nampak putra Kim bersama 30 keluarga miskin bersantap bersama-sama dalam sebuah kesehajaan dan keakraban. Dunia privat mudah hilang. Keseragaman memerintah. Rumah dan kota semua tampak mirip. ”Kalau kau sudah melihat satu, kau sudah melihat semuanya. Percaya dengan KIM yaitu utopia. Kita geli. Tapi bukankah di awal dan di akhir, ironi tak bisa diabaikan, dan cemooh kepada mereka yaitu suatu kebijakan membuktikan kebenaran. Ya tertawa cara Rusia juga engga buruk, walau kadang disikapi dengan amarah “ Katanya.

Pyongyang masih masbodoh mengikuti malam yang mendekap bumi. Kami berpisah untuk bertemu kembali suatu saat. Tapi belakangan saya dengar kabar dia masuk perguruan tinggi pencucian kebudayaan, kerja paksa di daerah pertanian. Saya menemuinya dalam perjalanan yang sulit alasannya yaitu harus memakai semua jaringan politik saya biar sanggup kanal menemukannya. Ketika saya temui, saya terharu, dia nampak kumuh namun senyumnya masih tegar “ Look at me. I'm in Utopian country, my dear. I'll be fine " Ya untuk utopia orang yang memperolok seharusnya dibungkam, bila perlu dihabisi akalnya. Karena hanya orang dungu yang bisa hidup dalam dunia utopia. Seperti halnya 58 % warga DKI yang terperangkap janji utopia sang Gubernur  yang hingga kini hanya angan angan berongkos mahal untuk para badut politik.

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait