Utang Kala Joko Widodo ?

Benarkah utang kurun Jokowi mengalahkan utang presiden sebelumnya. Demikian kata teman saya. Saya maklum teman ini lantaran pemahamannya terbatas dan informasi yang didapatnya ialah informasi instant dari sosmed. Sebelum saya jawab pertanyaannya maka saya luruskan dulu soal siapa yang berutang. Yang berutang ialah Negara Indonesia. Bukan pemerintah. Karena semenjak reformasi maka tidak ada lagi utang pemerintah yang seenaknya di putuskan oleh seorang presiden menyerupai kurun Soeharto. Tapi utang Negara dimana hak dewan perwakilan rakyat memutuskan besaran utang yang boleh pemerintah ambil. Untuk itupun dewan perwakilan rakyat melaksanakan hak nya berdasarkan UU mengenai pagu utang yang bisa di tambah. Kaprikornus terang kan. Kembali kepada pertanyaan ,apakah benar Jokowi menarik utang lebih besar dari rezim sebelumnya. Baiklah kita lihat data. Utang di kurun pemerintahan Presiden Jokowi sampai selesai 2015 mencapai Rp 3.089 triliun setara 223,2 miliar dollar AS dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) 27 persen. Sebesar nilai ini bukanlah utang semua di lakukan oleh pemerintahan Jokowi tapi ini merupakan akumulasi dari pemerintah sebelumnya. Siapa saja ?

Ketika Soekarno wafat ia meninggalkan warisan utang sebesar USD 6,3 miliar. Itu utang selama Soekarno berkuasa selama 21 tahun. Data dari Kemenkeu Era Soeharto, selama 32 tahun berkuasa, menggali hutang sebesar USD 68,7 miliar. Soeharto jatuh, di gantikan ole Habibie.  Akumulasi hutang menjadi USD 132,2 miliar. Ada penambahan utang sebesar USD 63,5 Miliar sebagai konsekwensi penyelesaian BLBI kurun Soeharto. Habibie jatuh digantikan oleh Gus Dur. Akumulasi utang menjadi USD 122,3 Miliar atau turun sebesar USD 9,9 Miliar. Gus Dur di gantikan oleh Megawati yang selesai masa jabatannya akumulasi hutang mencapai USD 139,7 Miliar atau terjadi penambahan utang sebesar USD 17,4 Miliar. SBY berkuasa selama 10 tahun telah melaksanakan utang gres mencapai USD 136,6 miliar. Akumulasi utang ketika selesai masa kekuasaanya SBY atau pada kwartal juni 2014 menjadi sebesar US$ 276,3 Milyar. Nah pada selesai tahun 2015 total utang Indonesia sebesar USD 223,2 miliar. Atau kalau di bandingkan dengan masa selesai kekuasaan SBY, telah terjadi pengurangan utang sebesar USD 53 miliar. Ini terjadi lantaran restruktur utang yang dilakukan secara hati hati. Dengan kondisi ini Jokowi berhasil bertahan dengan memperkuat fiscal melalui pengetatan anggaran belanja rutin untuk di alihkan ke sector infrastruktur dan penambahan modal bruto pemerintah di bidang peningkatan saham di BUMN dan sarana umum.

Kalau di kurs-kan ke rupiah memang terjadi peningkatan significant namun harus di catat bahwa kurs selalu  berhubungan dengan cash in and cash out. Selagi keseimbangan terus di jaga dan transaksi berjalan di jaga tidak terlalu besar defisit atau kalau bisa surplus maka pelemahan kurs tidak berdampak kepada penurunan grafik mendasar ekonomi nasional. Karena ketika kurs melemah impor akan turun dan ekspor akan meningkat. Daya saing dalam negeri meningkat terhadap barang impor. Ini akan memicu produksi dan menekan konsumsi. Apakah tingkat utang Indonesia kini berbahaya ? Secara akuntasi kenegaraan kondisi utang itu belum berbahaya bahkan di nilai sangat exciting di pasar uang. Mengapa saya jadikan indikasikan pasar uang lantaran yang paling objectif menilai ekonomi suatu Negara ialah pasar uang. Mereka punya standar ketat terhadap evaluasi resiko dan yield dari setiap Negara. Apa alasannya ? berdasarkan data Bareksa ,Pertama , Naiknya peringkat kredit Indonesia ke kategori layak investasi (investment grade). Tidak sanggup dipungkiri, kenaikan peringkat kredit ini sangat besar lengan berkuasa terhadap arus masuk dana abnormal ke dalam negeri. Hal ini tercermin dari peningkatan volume dana masuk ke pasar obligasi mulai pertengahan tahun 2015, dibandingkan periode sebelum Indonesia mendapatkan peringkat itu. Tidak tanggung-tanggung, lebih dari tiga forum pemeringkat dunia telah menawarkan stempel 'layak investasi' dengan outlook 'stabil' terhadap Indonesia. Bahkan, Moody's dan Fitch Ratings memberikan peringkat 'layak investasi' pada waktu hampir bersamaan. Hanya Standard & Poor's (S&P) yang masih mempertahankan peringkat Indonesia pada level BB+ atau outlook positif.

Alasan kedua, turunnya risiko investasi di pasar obligasi Indonesia. Kondisi ini tercermin dari turunnya nilai Credit Default Swap (CDS) Indonesia. CDS merupakan kontrak swap di mana pembeli melaksanakan pembayaran ke penjual sementara pembeli mendapatkan hak untuk memperoleh pembayaran bila kredit mengalami default atau insiden lain yang tercantum dalam credit event, contohnya kebangkrutan atau restrukturisasi. Dengan kata lain, CDS ialah sejenis pertolongan atas risiko kredit. Nilai CDS 5 dan 10 tahun pada tiga bulan terakhir mengalami penurunan. Penurunan ini sanggup disebabkan beberapa faktor, menyerupai membaiknya kondisi ekonomi. Ini termasuk menyempitnya defisit transaksi berjalan Indonesia, rendahnya inflasi tahunan, serta pertumbuhan ekonomi yang masih terjada di level 5 persen. Selain itu, CDS Indonesia baik yang periode 5 ataupun 10 tahun ketika ini bergerak relatif stabil jikalau dibandingkan periode tahun 2008 dan 2011. Pada kedua tahun itu, CDS Indonesia bergerak dengan volatilitas yang sangat tinggi, lantaran bekerjasama dengan ekspektasi akan kemampuan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi.

Ketiga, yield obligasi yang ditawarkan lebih menarik dibandingkan negara sejenis. Yield yang ditawarkan obligasi Indonesia masih menarik dibandingkan negara-negara 'fragile five' Artikel Babo, kecuali China. Berdasarkan data, yield obligasi Indonesia mengalami penurunan paling kencang yang kemudian disusul oleh Afrika Selatan. Hal ini memperlihatkan bahwa investasi surat utang di Indonesia jauh lebih menjanjikan dibandingkan tiga negara Artikel Babo, yakni Afrika Selatan, India, dan Brasil. Ketiga hal di atas memicu berbondong-bondongnya investor abnormal masuk ke instrumen utang Indonesia.
Adapun ke empat, adanya hukum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mewajibkan peningkatan dana investasi asuransi dan dana pensiun pada instrumen obligasi. Lembaga jasa keuangan non-bank diwajibkan Peraturan OJK No.1/POJK.05/2016 untuk meng-investasikan sekitar 20-30 persen dana mereka di surat utang negara, baik obligasi konvensional ataupun obligasi syariah (sukuk) yang diterbitkan pemerintah. Perusahaan asuransi jiwa diharuskan menempatkan dana pada Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 30 persen dari keseluruhan nilai investasi. Sementara itu, perusahaan asuransi umum dan reasuransi, minimal 20 persen. Adapun Dana Pensiun diwajibkan sedikitnya 30 persen di SBN. Menurut data, porsi kepemilikan obligasi oleh perusahaan asuransi meningkat menjadi 12,36 persen pada tanggal 18 April 2016 dari sebelumnya hanya 11,74 persen pada selesai tahun lalu. Kepemilikan obligasi oleh Dana Pensiun juga mengalami kenaikan pada periode yang sama menjadi 3,55 persen dari sebelumnya 3,41 persen. Selain kedua forum tersebut, porsi kepemilikan obligasi dari perusahaan pengelola reksa dana juga mengalami kenaikan, menjadi 4,49 persen dari sebelumnya 4,21 persen.

Dengan demikian maka apa yang luar biasa di kurun joko widodo ialah kemampuan pemerintah melaksanakan restruktur utang supaya lebih besar pasar dalam negeri menyerapnya. Agar dalam jangka panjang porsi utang kepada rakyat lebih besar di bandingkan utang ke luar negeri. Dengan begitu kemandirian di bidang eknomi akan semakin kokoh dan ancaman hantaman krisis yang secara regular tiba sanggup di atasi. Kaprikornus secara ekonomi dan moneter pemerintah telah bekerja dengan cara cara smart dengan langkah berani untuk berubah dari kesalahan masa kemudian untuk menjadi lebih baik di masa depan…



Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait