Value Persahabatan...

Aku sendiri, ketika itu sedang berada dalam salah satu fase yang sangat genting dalam hidupku. Boleh kubilang ketika itu hidupku tak punya arah sama sekali. Benar bahwa saya gres saja memulai bisnis di zuhai. Sesuatu yang gres dari dunia yang gres sama sekali. Dunia yang dulu kutekunin berakhir alasannya yakni krismon akhir negara salah urus moneter. Ku tinggalkan semua keinginan di Indonesia dan mencoba nasip di negeri dengan 1,8 miliar penduduk. Aneh dan beresiko. 

Satu demi satu sahabat pergi meninggalkanku. Hanya istri yang menawarkan semangat untuk berani hijrah. Meyakinkanku bahwa semua hal dirumah akan baik baik saja selama saya berjuang dirantau. “ Jangan ragu melangkah. Anak anak butuh hero. Dan itu hanya kamu. “ Singkat pesan istriku namun pesan itu menciptakan saya punya prinsip sekali melangkah no way return. Kemungkinan gagal lebih besar daripa sukses. Apalagi dengan bekal uang tak seberapa. Hanya cukup untuk bertahan hidup tak lebih 3 bulan. Itupun saya harus bersiasat biar tidak kena overstay visa dinegeri orang. Aku tahu banyak lelaki berlari dari masalahnya. Dan tidak bagiku. Aku harus mencari jalan untuk menuntaskan dilema walau itu hanya setitik noktah yang tak bermakna. Melangkah keluar yakni takdir bagi seorang laki laki. 

Masih segar dalam ingatanku pertemuan kita yang pertama di Wanchai tempat dimana banyak orang asing sama menyerupai ku menenggelamkan dirinya dengan minuman dan harapan. Dibalik Gedung cafe itu , ada Financial Center tempat keinginan menang dan tentu kalah di gelar oleh bursa yang bukan 24 jam. Di sebuah cafe itulah kita bertemu. Aku harus berterima kasih kepada Mark sahabatku orang Swiss itu. Karena jikalau tidak dari ia manapula saya tahu cara efektif mendapatkan network di kota kosmopolitan Hong kong ini.  Aku tidak merasa asing di lingkungan itu.Karena di Jakarta saya sudah terbiasa. Namun melihat perempuan di cafe yang tak terang mana hoker dan tidak. Itu yang menciptakan saya bingung. Aku lebih menentukan untuk focus dengan sahabat sahabat Mark yang dikenalkan kepadaku. Kamu tiba ke table ku. Alasannya hanya alasannya yakni saya orang asia ditengah para bule sahabatku. Kamu tertarik kenalan. 

Aku masih ingat, kau menjerit histeria dan memelukku ketika pertama kali tahu bahwa saya dari Indonesia. Ya, Indonesia, kau sangat mengasihi negeri itu. Entah mengapa, banyak orang yang pernah ke Indonesia, akan jatuh cinta dengan negeri itu. Dan bukan cinta sembarang cinta, tetapi cinta mati yang sangat mendalam. ”I love Indonesia so much,” katamu.

Dan semenjak itu kita jadi sering bertemu. Aku tahu kau berkarir di sebuah perusahaan investasi yang khusus mengelola dana private. Mungkin alasannya yakni kesamaan pengetahuan kita jadi akrab. Kuhormati kau alasannya yakni tidak minum alkhol alasannya yakni saya juga tidak, Tapi apa peduli ku. Mungkin saja kau sedang berusaha ramah terhadapku. Hidup ini, katamu, yang diharapkan yakni semangat untuk memulai dan tahu dari mana memulainya dan tahu pula kapan harus keluar. Itu orang cerdas. Aku bersimpati akan perilaku hidupmu. Dalam dunia keuangan, katamu orang kadang tidak butuh terlalu cerdik tapi kehebatan merebut hati orang lain untuk dipercaya, itulah yang penting. Selanjutnya banyak hal sanggup sinergikan dalam posisi equal. 

Sejak itu kita semakin sering bersama. Sekadar minum bir. Nonton film. Main bowling. Sekadar menyapa MSN messenger. Atau saling mendengarkan keluhan masing-masing. Aku takkan pernah lupa ketika suatu malam kau tiba mengetok kamarku dengan wajah yang amburadul menyerupai kemudian lintas Jakarta dan mengajakku keluar.

Sepanjang perjalanan ke tempat Central , oh ya kita selalu jalan kaki dari Time Square Hong Kong, kecuali pernah satu kali kita nongkrong di Wanchai  ketika saya membawamu pakai taksi dari Exelso hotel pada malam menjelang subuh itu, kau bercerita perihal tasmu yang hilang. Kartu-kartumu yang ada di dalamnya. Kartu kredit, kacamata, serta HP-mu dengan stiker gambar yang sangat kau sayangi. Beberapa hari kemudian kita mencoba mencarinya. Karena ada orang yang mengirim e-mail padamu dan menyampaikan bahwa ia menemukan Tas mu. Kita ke sana, sebuah apartemen di tempat Aberdeen. Agak kaget pada awalnya. Karena kau berjanji dengan seorang perempuan, tetapi yang mendapatkan kita malam itu yakni seorang lelaki yang mengaku sebagai pacarnya. ”I don’t believe that man,” katamu begitu kita meninggalkan rumah itu. Agak abnormal memang alasannya yakni orang itu tidak menyebutkan di mana ia menemukan tasmu. Dia bilang ia lupa alasannya yakni ketika itu lagi mabuk. Apa boleh buat, kita sama-sama tidak percaya pada orang itu. Tetapi, tidak ada alasan yang cukup untuk menyatakan kecurigaan padanya.

Entah berapa kafe yang sudah kita singgahi di seputaran Wanchai, saya sudah tidak ingat. Atau Bar Spicy. Aku suka suasana di sana. Senang alasannya yakni tidak sebesar bar-bar di seputaran Wanchai, ada ruang bebas merokok sepuasnya diteras , dan tentu saja tertawa. Aku senang jikalau kau senang, katamu suatu ketika. Dan saya pun demikian. Tak masalah, meski saya yakin jikalau ada orang yang mendengarkan kita, kadang kala niscaya akan merasa janggal. Bagaimana tidak janggal, ketika saya tanya kau bagaimana rasa bir gratis pada gelas besar yang kau sanggup dari bartender sebagai hadiah ulang tahunmu itu, kau menjawabnya dengan sendawa dan menyambungnya sesaat kemudian, ”That’s all my answer”. Ha-ha-ha… orang-orang bule tidak suka dengan sendawa. Mereka menganggap itu tidak sopan. Tetapi, kita tertawa sambil salah satu telapak tangan kita beradu di udara.

Kamu suka sekali musik dan berdansa. Aku, sebetulnya tidak terlalu familiar dengan suasana itu. Tetapi, kau begitu sabar. Menata gerakanku yang menurutku tidak selaras sama sekali. Atau, persisnya saya mengikuti iramamu saja. Aku sanggup bilang begitu alasannya yakni ketika kau memegang tanganku, saya hanya membiarkanmu saja menariknya ke sana kemari.
”I’m a cow,” kataku suatu ketika soal selera musik dan dansaku.
”No, do not say that, you are not a cow,” balasmu
“”Yeah.., following another cow.”
”What? Ha-ha-ha….”

Harus kuakui memang, untuk urusan berdansa dan bernyanyi, saya memang idiot dan hampir-hampir tak punya inspirasi soal gerakan apa yang akan kulakukan. Mungkin saya harus ngambil kursus salsa suatu saat. Sementara ini tidak masalah, semuanya berjalan lancar pada malam itu. Kita bergoyang hingga larut. Meskipun sebetulnya beberapa kali saya hanya duduk dengan birku dan merokok sambil tersenyum-senyum melihatmu yang bergoyang lepas mengikuti irama musik.

”I’m a girl baby, I’m a girl baby,” katamu salah tingkah ketika saya memergokimu sedang berkaca di dinding kafe sambil mengibas-ngibaskan rambutmu. Aha.., saya tambah tersenyum melihatmu begitu. Itu momen belum tentu tiba seratus tahun sekali. Sayang sekali saya tak sanggup melihat rona wajahmu ketika itu alasannya yakni lampu kafe yang remang-remang. Kaprikornus saya cuma sanggup menebak-nebak saja. Dan tentu saja saya takkan menceritakan menyerupai apa wajahmu dalam tebakanku. Yang jelas, malam itu aura perempuanmu benar-benar keluar. Jauh dari penampilanmu di hari-hari biasa yang sedikit tomboi.

Malam semakin larut. Dan kita merasa lapar. Seperti biasa, titik berikutnya yakni penjual masakan  India, kebab yang buka 24 jam. Biasanya kita makan lebih banyak diam. Tetapi, malam itu kau terus mengoceh. Sementara saya tak banyak bicara. Mungkin alasannya yakni saya lapar, atau juga mungkin alasannya yakni saya memang serius makan. Dari sana kita pindah ke East Tsim Sham Shui dikawasan Kowloon. Aku pikir waktu itu sudah sekitar pukul 3 pagi. Sebatang rokok di bangku panjang. Begitu rapat kita duduk alasannya yakni memang pagi semakin cuek di pinggir dermaga. Apalagi jikalau tiba-tiba ada angin. Meski tak kencang, tapi bagiku itu sangat menyiksa. Dinginnya terasa hingga ke tulang.

Perjalanan pulang ke Causeway bay penuh dengan tawa. Tidak ada hujan, tidak ada badai, tetapi kita bersedekat. Satu dua orang melihat dan mendengarkan teriakan kita, kemudian sambil tersenyum mereka berlalu. Beberapa orang yang kita teriaki pagi itu sama sekali tidak menoleh, mungkin mereka sudah sering melihat pemandangan menyerupai kita Ketika kita melihat dua orang pria hitam berdansa di tengah jalan mengikuti gerakan cahaya lampu bergerak yang tiba dari salah satu puncak bangunan di sekitarnya. Barangkali kata-kata bermakna sama diucapkan belakang layar oleh orang-orang yang kita teriaki pagi itu. Tidak ada urusan. Kita tetap tertawa. Apalagi sehabis kau bilang bahwa kau hampir percaya bahwa matahari sedang mengintip. Aku menghentikan taksi untuk kembali ke Exelsior hotel. Kamu melambaikan tangan. Besok sorenya kita bertemu kembali. Kamu mendengarkan semua rencanaku. Dengan dukungan network yang kau punyai membuka jalan bagiku mendapatkan harapan.

Berawal ketika saya mendapatkan kontrak ekspor Garmen atas pesanan dari Mondial group di Spanyol. Kamu yang memperkenalkan saya dengan jaringan supply chain di Shenzhen  untuk saya sanggup melakuan proses produksi melalui pabrikan yang kubayar sesuai jumlah produksi. Engga sanggup dibayangkan itu terjadi di Indonesia. Bagaimana mungkin, tanpa pabrik tapi saya sanggup memanfaatkan semua sumber daya bisnis di China untuk bertidak sebagai eksportir pabrikan. Berbulan bulan berlalu, usahaku berkembang. Bukan hanya garmen tapi juga hingga kepada electronic. Dengan cara yang sama. Hanya modal market dan kontrak saya sanggup memanfaatkan semua suplai chain China. Tahun kedua saya sudah merencanakan membangun pabrik Garmen dan Electronic. Kemudian tahun tahun berikutnya saya masuk dalam bisnis private equity dengan specialis LBO. Itu semua tidak akan terjadi tanpa dukunganmu yang luar biasa. Dari membantuku mendirikan perusahaan, mendapatkan network, hingga mendapatkan dana untuk biaya operasional.

***
2004
Datang SMS “When the world is ready to fall on your little shoulders, And when you're feeling lonely and small, You need somebody there ..” Aku tersenyum. Kamu selalu begitu bila ingin bertemu denganku. Petikan lagu you are only lonely adalah ciri khasmu untuk mengingatkanku bahwa saya tidak sendirian. Setelah kesibukan dalam bisnis ku, kita  tidak sering bertemu. Namun blla bertemu ,kamu pendengar yang baik dan tahu menempatkan diri secara pantas dihadapanku. Karenanya saya juga menjaganya dengan baik. Persahabatan kita terjalin dengan baik walau tanpa sex. Kamu selalu ada untuk ku dalam situasi apapun walau saya sendiri kadang tidak punya waktu cukup banyak untuk kebersamaan denganmu.”I realize between us.. I understand you my dear brother…Bagaimanapun saya berusaha selalu untukmu.

Suatu hari kau menghubungiku via telp. Kebetulan saya lagi di Bankok. Dengan terisak kau mengabarkan bahwa kau terjebak dengan shark loan alasannya yakni harus menolong orang tuamu sakit. Selama ini kau berusaha tidak menceritakan keadaanmu alasannya yakni kawatir saya mengkawirkanmu. Namun sekarang kamu  tidak sanggup lagi mengatasinya. Hidup sebagai single parent bertahun tahun tidak gampang tentunya. Kamu berniat menjual Ginjalmu sebagai solusi. Dengan lembut saya katakan bahwa kamu  akan baik baik saja. Kita akan mengatasinya sama sama.

Kamu sudah tidak lagi bekerja alasannya yakni memikirkan hutang yang mustahil kau bayar dengan gajimu. Kamu memikirkan anakmu. Aku menunggu sikapmu meminta namun kau tetap tidak pernah meminta. Ingin saya menolongmu seketika. Namun tak satupun kata kau meminta ku mengasihanimu. Kamu berusaha nampak tegar. Menurutmu kebersamaan denganku lebih dari cukup untuk kau merasa nyaman bahwa kau tidak sendirian. Kamu  akan baik baik saja, demikian kesan yang kau sampaikannya ketika bertemu.

Teringat awal saya merintis usaha, pengorbananmu membantuku menghadapi peliknya berhadapan dengan forum keuangan di Hong Kong dan tanpa lelah kamu  berusaha meyakinkan banyak pihak biar mendukungku. Menurutmu apa yang kau lakukan semua itu nrimo sebagai sahabat. Tapi kini, saya tidak mengerti mengapa kau terkesan tidak menginginkan saya menolongngmu.Apakah persahabatan selama ini tidak memungkinkan saya peduli denganmu. Apalagi sekarang kau tidak punya penghasilan dengan beban anak yang harus ditanggung.  Belum lagi hutang yang harus dibayar.

Akhirnya saya sanggup berdamai dengan diriku sendiri. Bagaimanapun prnsipmu sanggup saya hargai. Bahwa sudah sifatmu tidak ingin meminta, kecuali memberi. Dan itu sudah dibuktikan selama bersahabat denganku. Aku mengundangmu makan malam untuk sebuah solusi. Dengan hati hati saya katakan bahwa saya punya peluang bisnis untuk trade financing transaksi Batu bara. Bahwa ada sebagian buyer China tidak selalu accepted beli batubara dari Indonesia dengan LC.Mereka hanya mau bayar lewat TT sehabis barang hingga dipelabuhan pembeli. Sementara sebagian seller dari Indonesia tidak nyaman menjual batubara tanpa LC. Nah tugasmu yakni sebagai payment gate way dan settlement agent. Busines nya solution provider. Menawarkan solusi keterbatasan dan kendala antara pembeli dan penjual. Aku tahu bahwa kau punya pengalaman dan network dengan forum keuangan di Hong Kong.

Dengan airmata berlinang kau menatapku .Aku  tahu kau terharu dengan tawaranku. Secepatnya saya remas jemarimu untuk menentramkan batinmu bahwa saya peduli denganmu dan berharap kau mengerti sikapku. Sehingga kamu  tidak perlu sungkan lagi terhadapku.. Keesokannya saya membantumu mendirikan perusahaan dan dengan setengah manja kamu  minta saya bersama sama denganmu sebagai pemegang saham. Aku menyetor modal awal biar kamu  sanggup menjalankan planning bisnismu. Kamu  berjanji akan bekerja keras dan tidak akan mengecewakanku..

Selama tahun tahun usaha berbagi bisnis itu kau sudah jarang bertemu denganku  kecuali kirim email atau bicara lewat skype. BIla betemu kadang kau nampak duka alasannya yakni tidak punya waktu cukup kebersamaan denganku.Dengan tegas saya katakan bahwa saya akan baik baik saja. Kamu  tidak perlu merasa bersalah.Kebahagiaanku  yakni bila kau sanggup berhasil melewati hidup yang tidak ramah ini. Berkat kerja keras, kamu  sudah sanggup membayar hutangmu.Dua tahun kemudian kamu  berhasil mengirim putramu melanjutkan pendidikan ke Universitas di Canada. Hidupmu sudah mapan. 

Satu dikala pada makan makan malam , dengan airmata berlinang kau berkata bahwa saya telah melaksanakan banyak hal untukmu. Sementara kau merasa tidak pernah melaksanakan apapun untukku. Rasanya kau tidak pantas mendapatkan kehormatan ini. Dengan tersenyum saya katakan bahwa kau yakni sahabatku yang harus kujaga, dan kau sudah membuktikannya bagaimana kau selalu menjagaku. Bukan soal siapa memanfaatkan siapa, tapi memang persahabatan ini berkah yang sangat luar biasa bagiku. Di negeri orang saya seorang diri. Tidak ada keluarga dan tidak sahabat. Hanya kau sahabat yang dikirim Tuhan ujntuk menuntunku dalam hijrah menerima rezeki Tuhan. Usai makam malam kita keluar dari restoran menyusuri jalan. Aku membuka jas biar kau kenakan untuk menahan cuek malam di animo semi itu dan kau merapatkan tubuhmu biar saya merasa hangat. Selalu dalam setiap moment kita saling menjaga dan memberi tanpa perlu bertanya ...itulah sahabat..



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait