Kenaikan Harga


Harga naik alasannya ialah faktor usul dan penawaran. Apabila Permintaan tinggi penawaran rendah maka harga akan naik. Dalam ekonomi kenaikan harga ini disebut dengan inflasi. Orang akan terpacu berproduksi bila kenaikan harga lebih cepat daripada kenaikan upah. Mengapa ? Ya motif produksi kan harus mencari keuntungan sebesar mungkin. Semua pemerintah didunia modern paham ini. Tetapi jikalau kenaikan harga terlalu cepat naiknya juga engga sehat. Makanya inflasi itu sanggup terjadi alasannya ialah faktor demand and supply secara natural , bisa juga karana adanya intervensi pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter.

Mengapa pemerintah harus intervensi pasar lewat pengendalian inflasi ? Karena sifat pasar itu ialah kompetisi. Tidak semua orang bisa dan siap berkompetisi secara fair dalam kehidupan. Contohnya kelompok kampret yang selalu teriak harga naik. Itu wajar. Karena memang mereka terlahir sebagai loser. Kasihani mereka ya. Tugas pemerintah menjaga inflasi tidak hingga dua digit. Atau istilah dalam Ilmu ekonomi namanya inflasi ringan. Inflasi ringan itu jikalau dianalogikan semacan candu. Itu diharapkan oleh produsen biar mereka terpacu untuk berproduksi. Indonesia di kala Jokowi inflasi berkisar 4-5 %. Ini sangat fair. Mengapa ? Karena inflasi itu masih dibawah pendapatan real Rakyat yang tumbuh diatas 5% ( economy growth ).

Artinya inflasi boleh saja tetapi pemerintah harus memastikan pendapatan real diatas itu. Dan itulah yang terjadi di kala Jokowi. Hebatnya di kala Jokowi pendapatan real ini tidak dipicu melalui subsidi tetapi melalui ekspansi perjuangan yang sehingga ekonomi rumah tangga meningkat. Peningkatan itu alasannya ialah faktor system dan intervensi. Melalui intervensi, pemerintah memakai instrumen fiskal ( APBN ) dan moneter berupa kebijakan suku bunga. Sementara peningkatan system sengaja di ciptakan oleh pemerintah lewat deregulasi investasi dan efisiensi logistik nasional. Makanya jalan, bandara , pelabuhan dikebut dibangunnya. Agar orang terpacu berproduksi dan berkompetisi secara sehat.

Contoh kenaikan harga BBM, listrik tidak lain biar Pertamina dan PLN secara system ekonomi berada di zona feasible untuk terus meningkatkan produksinya. Kalau harga BBM dan listrik tidak naik maka kreditur dan investor tidak akan mau keluar uang. Peningkatan BBM dan listrik tidak terjadi. Danpaknya ialah ketidak adilan. Ini dihentikan terjadi. Bukankah negara harus hadir membuat keadilan ekonomi. Perhatikan hasilnya bagaimana pemerintah Jokowi bisa melakukan pembangunan kilang minyak. Padahal sehabis kala Soeharto tidak ada penambahan kapasitas kilang. Lihat juga covered listrik yang sudah diatas 90% rumah tangga secara nasional. Itu engga gampang membalik telapak tangan atau omdo.

Bagaimana kinerja pemerintah Jokowi mengelola inflasi, pertumbuhan ekonomi. Perhatikan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang merilis hasil pertumbuhan ekonomi kuartal I 2018 sebesar 5,06 persen. Angka ini tumbuh lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi kuartal I 2017 (year on year) sebesar 5,01 persen. Selain itu, sepanjang kuartal I 2018 tingkat inflasi masih terjaga di angka 3,40 persen (year on year) dibanding Maret 2017. Juga didapati peningkatan pada realisasi pelaksanaan APBN, di antaranya realisasi belanja pemerintah sebesar Rp 419,06 triliun atau tumbuh 18,87 persen dari pagu 2018 sebesar Rp 2.220,70 triliun. Sistematis kan. Semua data itu mengindikasika kebijakan ekonomi Jokowi kredibel dimata investor.

Membangun itu membutuhkan kecerdasan bersikap atas dasar akurasi rencana yang prima. Dengan demikian akan terjadi proses keseimbangan ekonomi untuk terjadi pertumbuhan yang berkelanjutan. Kalau hanya bicara populis dengan komitmen harga tidak naik semua serba murah maka lihatlah pola Venezuela yang balasannya melarat walau SDA melimpah. Rakyat bego dan loser lebih percaya kepada komitmen populis. Akal sehat mati yang anda mimpi utopia dan masturbasi tanpa henti.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait