Ketimpangan Kepemilikan Lahan

Hidup ini tidak adil memang. Disaat kita menguasai sepetak tanah, niscaya ada orang yang tidak punya atau kehilangan haknya. Tanah yaitu harta yang paling hazasi bagi insan yang hidup di planet bumi ini. Bayangkanlah kehidupan tanpa rumah. Hidup dari menyewa diatas tanah hak orang lain. Apalagi hidup dari tanah namun hak tanah ada pada orang lain. Berproduksi berpeluh namun nikmatnya untuk orang lain. Tetapi dari dulu setiap negara berdiri diatas dasar isme, dan setiap isme berangkat dari semangat kaum terpelajar yang sebaian besar punya mimpi besar, tentu besar untuk dirinya lebih dulu, bukan besar untuk orang lain , apalagi untuk rakyat jelata. Itulah kehidupan sosial yang terjebak dengan keangkuhan politik yang menciptakan lahir kelas feodal dan jelata.

Makanya jangan kaget bahwa 71 persen hutan Indonesia dikuasai perusahaan. Sebanyak 22 juta hektare tanah perkebunan dikuasai pihak swasta serta negara. Dimana rakyat ? Sementara, menurut data BPS 2017, sekitar 17 juta penduduk miskin hidup di desa dan mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Kondisi ini menciptakan kerentanan timbulnya konflik masyarakat melawan pemodal. Benarkah ? Konplik agraria terjadi secara massive dari tahun ketahun semenjak negeri ini merdeka. Tahun 2005, SBY mencanagkan sosialisasi Reformasi Agraria kepada banyak sekali pihak, baik di kalangan pemerintahan, akademisi, pegiat agraria dan para pemangku kepentingan Artikel Babo. Tetapi hingga final jabatan periode ke dua SBY, Pasalnya, SBY hingga memasuki periode kedua masa kepemimpinan belum jua merealisasikan janjinya untuk membagikan tanah kepada rakyat. Termasuk, janji menuntaskan konflik tanah yang ada.

Di era Jokowi, aktivitas reformasi agraria dilaksanakan dengan cepat dan berani. Jokowi telah menempatkan reforma agraria sebagai prioritas nasional yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, dan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2016 wacana Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2017. Tanah seluas 9 juta hektar menjadi rencana redistribusi tanah dan akreditasi aset di bawah payung reforma agraria. Sumber tanahnya berasal dari daerah hutan maupun di luar daerah hutan (perkebunan). Sedangkan dalam rangka memperluas wilayah kelola masyarakat di daerah hutan, sasaran 12,7 juta hektar hendak dialokasikan untuk sanggup diberikan ijin kelolanya kepada masyarakat.

Walau reforma agraria terkesan lambat namun ada upaya serius dari Jokowi untuk mempercepat realisasi pembagian lahan tersebut. Memang tidak mudah, Karena kendala politik yang bersumber begitu besarnya kekuatan modal pada lahan sehingga tidak gampang bagi Jokowi untuk bergerak cepat. Namun dengan dialogh dengan semua stakeholder kendala itu lambat laun sanggup diatasi dan proses pembagian lahan dari tahun ke tahun terus meningkat. Dan bukan hanya pembagian lahan tetapi juga akan dibentuknya kelembagaan sebagai pendamping petani untuk meningkatkan nilai produksi dari lahannya. Makara memang tidak ada yang bohong soal pembagian lahan kepada rakyat. Itu sudah jadi aktivitas nasional dan setiap tahun sasaran terus meningkat. 

***
Tahukah anda bahwa Gini rasio pertanahan ketika ini ( 2017) sudah 0,58. Artinya, hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 58 persen sumber daya agraria, tanah, dan ruang. Mengacu data Badan Pertanahan Nasional, 56 persen aset berupa properti, tanah, dan perkebunan dikuasai hanya 0,2 persen penduduk Indonesia. Data dari Publikasi Perkumpulan Transformasi Untuk Keadilan (TUK) Indonesia menyebutkan, 25 grup perjuangan besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia. Luas tersebut hampir setara dengan luas setengah Pulau Jawa. Dari luasan tersebut, gres 3,1 juta hektar yang sudah ditanami, sisanya belum digarap.

Di sisi lain, Sensus Pertanian 2013 menunjukkan, 26,14 juta rumah tangga tani menguasai lahan rata-rata 0,89 hektar per keluarga. Sekitar 14,25 juta rumah tangga tani lain hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 hektar per keluarga. Padahal, skala ekonomi untuk satu keluarga minimal 2 hektar. Makara penguasaan lahan itu sudah terjadi puluhan tahun sebelum Jokowi jadi presiden. Semua mereka yang menguasai lahan itu punya legitimasi dari Pemerintah Daerah dan pusat. Semua alasannya yaitu perlunya arus investasi supaya ekonomi bergerak dengan donasi faktual lewat penerimaan negara berupa pajak dan retribusi, yang memang dibutuhkan guna melaksanakan fungsi sosial APBN.

Ketika Jokowi berkuasa , beliau mendapatkan fakta yang ada itu. Dimana sebagian besar tanah berada di tangan segelintir orang. Bukan lagi tuan tanah, melainkan pemilik bisnis (kapitalis) besar yang hidup di sektor agrobisnis. Kedua, pemilikan tanah oleh petani, yang merupakan soko-guru dari produksi pangan nasional, justru mengecil. Sebagian besar petani Indonesia yaitu petani gurem dengan pemilikan lahan rata-rata 0,3 hektar. Bahkan, ada 28 juta petani yaitu petani tak bertanah. Kondisi itu tentu saja tidak sesuai dengan semangat Pancasila dan impian Konstitusi (pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945). Juga memunggungi visi pemerintahan Joko Widodo untuk mewujudkan keadilan agraria dan kedaulatan pangan. Kalau ini tidak segera diatasi maka hanya duduk kasus waktu akan terjadi chaos sosial, dan bukan mustahil Indonesia akan masuk kurun kegelapan. Makara sangat mengkawatirkan situasi ketidak adilan lahan ini.

Nah bagaimana solusinya? Ada lima langkah yang sedang dikerjakan Jokowi , yaitu : 1) Penguatan Kerangka Regulasi dan Penyelesaian Konflik Agraria ; 2) Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah Obyek Reforma Agraria ; 3) Kepastian Hukum dan Legalisasi atas Tanah Obyek Reforma Agraria ; 4) Pemberdayaan Masyarakat dalam Penggunaan, Pemanfaatan dan Produksi atas Tanah Obyek Reforma Agraria ; dan 5) Kelembagaan Pelaksanaan Reforma Agraria Pusat dan Daerah. Kelima hal itu dituangkan dalam Perpres No 45/2016 pada 16 Mei 2016. Namun kelima hal itu berjalan terseok seok. Karena terdapat kendala serius dibidang regulasi yang bersinggungan dengan penanaman modal dan investasi.

Apa itu ? Pertama, adanya liberalisasi investasi. Dengan demikian mengalami kesulitan untuk hal kedua yaitu melaksanakan pembatasan pemilikan lahan individu dan membatasi luasan penguasaan tanah (HGU) untuk sektor bisnis, baik di sektor pertanian, kehutanan, pertambangan, dan lain-lain. Hambatan tersebut telah diupayakan diatasi dengan langkah berani yaitu pertama melaksanakan moratorium perkebunan sawit. Juga memperlihatkan kebijakan tarif supaya pengusaha perkebunan lebih focus kepada pengolahan downstream perkebunan. Kedua, menerapkan pajak progresive individu yang mengusai lahan lebih dari luas yang ditentukan.

Bagaimanapun ini sedang berproses terus. Yang penting bagaimana lahan yang sudah terlanjur dikuasai korporat itu sanggup memperlihatkan manfaat sebesar besarnya bagi rakyat dalam bentuk industri downstream dan menampung angkatan kerja. Serta hentikan semua izin ekspansi kebun besar. Sudah saatnya reformasi agraria meluas dan rakyat berhak mendapakan haknya sesuai dengan UU PA tahun 1960 bahwa tanah itu yaitu berfungsi sosial.

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait