Saya sudah berjanji tidak akan mengulas atau komentar pengamat atau seleb facebook tentangga sebelah. Saya akan focus saja untuk meng counter serangan dari kontestan Pipres dari kubu Prabowo-Sandi. Karena itu lebih efektif daripada sibuk membahas celoteh pengamat yang memang dibayar untuk mempolitisi issue apa saja yang menjatuhkan reputasi Jokowi. Namun saya akan tetap pada jalur data formal dengan pejelasan secara literal. Mohon dimaklumi kalau cara saya menganalisa kadang dalam bahasa kampungan atau terlalu milenial. Saya menulis ditujukan kepada publik yang tidak paham politik tapi peduli politik, Yang tidak paham ekonomi tapi tau cari duit. Yang engga paham agama tapi punya nilai kemanusiaan.
Ada tiga hal yang hari ini disampaikan oleh Pak Probowo dalam pidato politiknya. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak mengalami kenaikan. Sehingga menurutnya, Indonesia terancam menjadi negara yang miskin selamanya. Kedua, ketimpangan GINI yang lebar. Ketiga, satu dari tiga anak disebut Bank Dunia mengalami stunting. Demikian kesimpulan pidatonya. Saya akan menjawab satu persatu atas pidato politik Prabowo tersebut. Agar publik tahu. Saya persilahkan untuk melaksanakan crosss check data yang saya tampilkan dalam narasi saya.
Pertama. Pertumbuhan ekonomi Indonesia memang tidak mengalami kenaikan significant. Benar namun tingkat inflasi berada di level satu digit. Bandingkan dengan Turky yang tumbuh 7% namun inflasi 15%. Dalam konteks situasi ekonomi global yang sedang lesu maka pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu nomor tiga terbaik di antara Negara G20. Indonesia masih diatas 17 negara maju ibarat Eropa, Jepang, Korea Selatan, Singapore, Australia, Swiss, Rusia, Arab Saudi dan Artikel Babo. Semua negara itu menurun ekonominya ditengah situasi global. Sementara Indonesia masih sanggup tumbuh, walau komoditas utama kita jatuh harganya dipasar dunia. Apakah negara tersebut akan miskin selamanya? tentu tidak. Pertumbuhan ekonomi bukanlah bahaya kemiskinan. Paham ya Pak Probowo bahwa anda bicara tidak punya dasar yang jelas.
Kedua , ketimpangan GINI. Ketimpangan gini itu sudah terjadi bukan hanya di masa Jokowi tetapi sudah berproses semenjak masa Soeharto. Mari kita liat data terjadinya ketimpangan GINI tersebut. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2004 gini rasio gres mecapai 0,32, yang manunjukkan bahwa ketimpangan distribusi pendapatan masih tergolong rendah. Namun, pada 2013, gini rasio telah menyentuh angka 0,41. Artinya, ketimpangan sudah memasuki skala medium dan tentu saja mengkhawatirkan. Angka gini rasio sebesar 0,41 memperlihatkan bahwa sekitar 49 persen pendapatan nasional terkonsentrasi pada 20 persen penduduk dengan pendapatan tertinggi (terkaya). Sementara itu,hanya sekitar 17 persen dari pendapatan nasional yang dinikmati oleh 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah.
Gambaran ketimpangan distribusi pendapatan juga terkonfirmasi dari laporan mengenai distribusi kekayaan penduduk Indonesia yang dirilis oleh Credit Suisse belum usang ini. Laporan tersebut menyebutkan bahwa sekitar 88 persen penduduk Indonesia mempunyai kekayaan kurang dari 10.000 dolar AS. Sementara itu, sekitar 77,2 persen dari total kekayaan nasional pada 2014 ternyata hanya dikuasai oleh 10 persen penduduk terkaya (The Jakarta Post, 17 Oktober). Itulah yang diwarisi oleh Jokowi selama 10 tahun kekuasaan SBY. Tentu mustahil sanggup diubah dalam satu periode kekuasaanya. Tetapi upaya Jokowi untuk menekan gini rasio sudah terbukti sukses.
Perhatikan data berikut. Walau ekonomi tidak tumbuh ibarat Era SBY namun Jokowi berhasil menekan rasio GINI. Badan Pusat Statistik merilis angka ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan indikator Gini Ratio Pada Maret 2018, adaalh sebesar 0,389. Angka ini menurun sebesar 0,002 poin kalau dibandingkan dengan Gini Ratio September 2017 yang sebesar 0,391. Sementara itu, kalau dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2017 yang sebesar 0,393 turun sebesar 0,004 poin. Penurunan Gini Ratio ini merupakan yang keenam kalinya secara beruntun semenjak September 2014. Dia selesai kekuasaan Jokowi diperkirakan rasio GINI kita sudah sama ibarat tahun 2004. Bapak Prabowo tentu tahu fakta ini bahwa selama Jokowi berkuasa ketimpangan mengecil alasannya distribusi pendapatan lebih adil dan business rente dipangkas.
Ketiga, satu dari tiga anak disebut Bank Dunia mengalami stunting. Data yang bapak Prabowo sampaikan itu merupakan Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2013 yang jadi pola Bank Dunia. Itu yang diwarisi oleh Jokowi dari SBY. Era Jokowi, pemerintah menggelontorkan dana sebesar Rp 46 triliun untuk mengatasi kurang gizi pada balita ( stunting). Karena keseriusan indonesia yang begitu besar mengatasi persoalan stunting itu maka Indonesia dijadikan proyek percontohan Bank Dunia bagi negara lain dalam rangka Human Development Worker (HDW). Karena itu bank dunia menawarkan pinjaman kepada indonesia sebesar USD 400 juta. Kalaulah Jokowi dinilai tidak terbukti sukes mengatasi soal stunting ini mana pula bank dunia mau mengeluarkan uang USD 400 juta.
Pak Prabowo, sebagai anak bangsa, saya bersyukur punya elite politik ibarat bapak yang begitu peduli kepada rakyat miskin. Tetapi mengapa Hutan Tanaman Industri yang ratusan ribu hektar yang bapak kuasai lewat PT KIANI akibatnya bapak serahkan kepada Asing. Rasio GINI yang paling jelek yaitu soal ketimpangan lahan yang dikuasai asing. Dan itu tejadi pada bapak sendiri sebagai pelaku. Apakah visi bapak soal peduli kepada kemiskinan yaitu fakta atau retorika. Kalau fakta tolong tunjukan satu saja butki komunitas yang sukses bapak bina. Kalau hanya retorika, tolong sampaikan solusi tekhnis yang sanggup menciptakan rakyat cerdas bahwa bapak sanggup menyalahkan alasannya bapak punya konsep lebih baik. Kalau fakta dan retorika tidak ada,sebaiknya tidak perlu membuatkan rasa takut rakyat akan masa depan. Karena faktanya hari ini orang bekerja keras untuk hari esok yang lebih baik, bukan hanya omong doang.
***
Sumber https://culas.blogspot.com/***
Prabowo menyampaikan dalam pidatonya bahwa setiap hari utang bertambah Rp. 1 triliun. Saya tidak membantah itu. Karena memang terjadi penambahan utang selama masa Jokowi. Berdasarkan data Biro Komunikasi dan Layanan Informasi (KLI) Kementerian Keuangan, embel-embel utang pemerintah selama periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencapai Rp 1.166 triliun Per Mey 2018. Artinya selama Jokowi berkuasa hingga dengan Mey 2018 atau selama 1200 hari ( rata rata 30 hari/perbulan) maka bila sehari Rp 1 triliun , jumlah utang bertambah sebesar Rp. 1200 triliun. Makara tidak jauh dari data Pak Prabowo. Benar. Bukan Hoax. Yang jadi persoalan yaitu kesan atas utang itu suatu kegagalan dari Jokowi. Mari kita lihat data berikutnya.
Utang memang bertambah tetapi juga asset negara bertambah. Mari kita lihat dari penambahan asset BUMN selama Jokowi berkuasa. Sejak Indonesia merdeka hingga dengan tahun 2014 , Asset BUMN sebesar Rp. 4.387 Triliun. Tahun 2017 ( laporan tahun buku ) asset meningkat menjadi Rp. 7.212. Itu artinya dalam 3,5 tahun terjadi penambahan sebesar Rp. 2.825 Triliun. Apa artinya? Nah bandingkan dengan utang sebesar Rp. 1.166 Triliun itu. Terjadi penambahan sebesar 2,5 kali. Andaikan tidak ada utang, tidak akan ada penambahan asset. Karena kita dalam kondisi defisit primer. Bukankah BUMN juga berhutang? benar, Itu hutang berkaitan dengan proyek B2B. Bagaimanapun asset itu secara UU menjadi asset negara walau pembiayaan konsesinya didapat melalui utang. TIdak ada resiko fiskal.
Sekarang kita lihat dari sisi penambahan GDP. Tahun 2015 GDP kita sebesar USD 892 Miliar. Tahun 2018 ( estimated) USD 1.075. Artinya terjadi peningkatan sebesar Rp. 2.650 Triliun. Bandingkan dengan utang yang digali oleh Jokowi sebesar Rp 1.166 triliun. Terjadi peningkatan GDP sebesar 2,5 kali lipat dari utang yang digali. Dengan tembusnya GDP kita USD 1 triliun maka kita masuk kelompok negara dengan GNP onetrillion dollar. Artinya dengan utang kita bukannya tambah miskin tetapi tambah kaya. Untuk menjelaskan ini tidak sulit. Karena pedagang nasi goreng juga tahu kalau ia utang Rp. 1 juta penghasilannya meningkat Rp 2,5 juta. Itu terjadi berkat utang.
Sekarang kita lihat dari sisi pengeluaran Jokowi. Menurut data Kementerian Keuangan, total utang jatuh tempo dari 2014 hingga 2018 yang dibayarkan Jokowi mencapai Rp 1.628 triliun yang terdiri dari pinjaman dan surat berharga negara (SBN). Bandingkan dengan jumlah utang yang digali Jokowi. Jauh lebih besar bayar utang daripada utang itu sendiri. Masih belum paham?. Bandingkan lagi dengan alokasi anggaran pendidikan dan kesehatan selama periode 2015-2017. Anggaran Pendidikan mencapai Rp 1.167,1 triliun dan kesehatan sebesar Rp 249,8 triliun. , belanja infrastruktur dalam kas negara selama periode 2015-2017 mencapai Rp 904,6 triliun. Untuk proteksi sosial 2015-2017 mencapai Rp 299,6 triliun. Dana Alokasi Khusus fisik dan Dana Desa mencapai Rp 315 triliun. Hitung aja itu semua. Makara simpel utang yang digali Jokowi tidak ada arti dengan apa yang ia capai dan apa yang telah ia keluarkan untuk kesejahteraan rakyat. Jauuuh lebih besar dari utang itu sendiri.
Semoga pak Prabowo sanggup memahami ini. Dalam satu hal bapak benar atas kritik tersebut tetapi bapak tidak jujur memberikan bagaimana utang Rp. 1200 triliun atau Rp 1 triliun sehari itu ternyata sanggup meningkatkan GNP 2,5 kali lipat, Peningkatan Asset BUMN 2,5 kali lipat dan bayar utang lebih besar dari narik utang. Mungkin bapak lupa atau sanggup juga bapak sedang guyon. Semakin usang saya semakin maklum wacana bapak..
Semoga pak Prabowo sanggup memahami ini. Dalam satu hal bapak benar atas kritik tersebut tetapi bapak tidak jujur memberikan bagaimana utang Rp. 1200 triliun atau Rp 1 triliun sehari itu ternyata sanggup meningkatkan GNP 2,5 kali lipat, Peningkatan Asset BUMN 2,5 kali lipat dan bayar utang lebih besar dari narik utang. Mungkin bapak lupa atau sanggup juga bapak sedang guyon. Semakin usang saya semakin maklum wacana bapak..