Showing posts sorted by date for query cara-membuat-laporan-keuangan. Sort by relevance Show all posts
Showing posts sorted by date for query cara-membuat-laporan-keuangan. Sort by relevance Show all posts

Myob Akuntansi



Pengertian MYOB Accounting



Program aplikasi akuntansi yang digunakan untuk mengotomatisasikan pembukuan secara lengkap, cepat dan akurat

MYOB Accounting adalah sebuah software akuntansi yang diperuntukkan bagi usaha kecil menengah ( UKM ) yang dibuat secara terpadu (integrated software )

Manfaat – manfaat dari MYOB.
MYOB bermanfaat untuk mempermudah untuk menyusun laporan keuangan perusahaan dengan efisien dan cepat. Kuntungannya menggunakan software ini adalah kecepatan dalam mengelola information dan terkadang information sudah dilakukan secara otomatis oleh komputer bila dibandingkan menggunakan cara manual. Dan juga perlu di ingat myob hanya bisa menggunakan metode rata-rata saja untuk perhitungan persediaan. Penggunaan komputer juga memiliki ketepatan tinggi. Aplikasi komputer akuntansi juga mampu menghasilkan dan menampilkan information yang mudah dan cepat.
Software ini sebagai tool yang membantu proses pekerjaan akuntansi ada supaya menjadi lebih cepat dan tepat adlah sebagai berikut:
1. Mudah digunakan
Dengan tampilan card dan aliran transaksi yang sederhana dan mudah di ingat,MYOB mudah dimengerti oleh orang awam yang tidak mempunyai pengetahuan mendalam tentang komputer dan akuntansi.
2. Tingkat keamanan yang cukup valid untuk setiap pemakai ( user ).
3. Kemampuan eksplorasi semua laporan ke plan excel tanpa melalui proses ekspor/impor file yang merepotkan.
4. Dapat diaplikasiakn untuk 105 jenis perusahaan yang telah direkomendasikan.
5. Menampilkan laporan keuangan komparasi ( perbandingan ) serta menampilkan analisis dalam bentuk grafik.
Langkah-langkah mengoprasikan MYOB dan memmbuat information perusahaan:
Klik tombol start
Pilih all program> MYOB Accounting addition v xviii > MYOB Accounting addition v 18.



Untuk Mempermudah pemahaman sobat silahkan kunjungi  


Didalam kotak dialog yang terbuka terdapat five tombol akses
• Open, untukmembuka information MYOB yang telah ada
• Create, untuk membuat information perusahaan baru
• Explore, untuk menampilkan information contoh yang telah disediakan
• What’s New, untuk menampilkan file.html yang terhubung dengan internet, yang berisi berita terbaru dalam versi xviii  ini
• Exit, untuk mengakhiri plan MYOB



Klik tombol practise novel companionship file
Klik companionship information lalu masukkan information perusahaan. Setelah itu klik next
Lalu masukkan periode akuntansi, dan klik adjacent bila sudah selesai
Klik tombol save. Klik next
Selanjutnya akan tampil informasi proses telah selesaiMengakhiri Program MYOB Accounting addition v 18



Langkah-langkah untuk mengakhiri progam MYOB:
Klik file > Exit
Kotak dialog konfirmasi akan tmapil, klik tombol yes
MYOB akan menampilkan kotak informasi lagi, kemudian tandai pick backup all information dan cheque companionship file for errors, klik tombol continue
Kotak konfirmasi MYOB accounting ditampilkan, yang memberitahukan bahwa tidak terjadi kesalahan dalam information anda. Klik ok
Kotak dialog backup ditampilkan, ketik nama file absolute pada kotak file name, klik save
Proses backup dilakukan setelah selesai aplikasi MYOB accounting akan langsung tertutup.

kalo ini materi buat ngisi neracasaldonya gan : 


nah kalo ini cara men-setting linked trace of piece of job concern human relationship di MYOB Accounting Plus v xviii   


eh kalo mau belajar mengentry bukti transaksi di MYOB Accounting Plus v xviii lihat ajh di sini :



Memburu Harta (23).


Hanya butuh satu jam perjalanan dengan pesawat untuk hingga di Guangzhou. Aku beserta Team Chang di jadwalkan akan mengikuti rapat di CITIC Plaza. Sebuah gedung pencakar langit di sentra kota Guangzhou, dengan delapanpuluh lantai. Tamu dari Beijing yang di maksud ternyata hanya dua orang. Keduanya di perkirakan berusia di atas enam puluh.
Salah satu tamu itu menatapku dengan seksama. “Kami harap inilah simpulan dari perjalanan panjang. Di tangan Anda, kami semua menaruh harap,” katanya kepadaku dalam bahasa Inggris yang fasih.
Tamu yang satunya berdiri. Menyerahkan dokumen dari tangannya kepadaku. “Ini kuserahkan dokumen yang bisa Anda gunakan untuk menuntaskan transaksi di Swiss.”
Aku berdiri, membungkukkan tubuhku sedikit, sambil berkata, “Terima kasih. Akan kupegang amanah ini dengan baik.”
Dokumen yang gres saja kuterima yaitu Safe Keeping Receipt Bullion Aset. Dokumen bukti tanda terima penitipan aset di beberapa bank di Eropa.
Kedua tamu itu saling berpandangan. Kemudian nampak air mata mereka berlinang. Drama itu disaksikan oleh semua anggota Team Chang.
“Apa yang akan kau lakukan dengan dokumen itu, Jak?” Lien bertanya dengan mimik serius.
“Aku akan memanggil lawyerku masuk ke Hong Kong untuk membahas langkah aturan yang harus kulakukan. Kemudian saya akan masuk ke salah satu bank Eropa di Hong Kong untuk membuka rekening custody. 
“Rekening custody?” Huang mengangkat alis.
“Aku akan menempatkan dokumen Fund Confirmation di sana.”
“Fund Confirmation? Evident transaksi di Swiss?” Chang bertanya dengan mimik terkejut. “Bukankah kau bilang, otoritas Amerika menolak untuk mengakui transaksi ini?” sambungnya.
“Seseorang telah memberikannya kepadaku.”
“Siapa dia?”
“Madam Lyan.”
“Lyan Piory?!” seru Huang.
“Mungkin,” jawabku sambil mengerutkan kening. “Aku tidak tahu niscaya nama lengkapnya.”
“Ya, Lyan Piory. Dia yaitu salah satu pejabat senior US Treasury. Di mana kau bertemu dengannya?” Aku terdiam. Ragu untuk menjelaskannya. “Ok, baiklah. Selanjutnya apa yang akan kau lakukan dengan evident itu?” tanya Yu mengacuhkan perilaku diamku. Seakan mengerti, tentangku yang tidak ingin menyebarkan warta wacana Lyan Piory.
“Setelah rekening custody kubuka, maka pihak bank akan melaksanakan verifikasi atas fund confirmation yang kutempatkan itu.”
“Untuk apa?”
“Verifikasi itu akan mengharuskan The Fed menyerahkan evident asset itu kepada bank Custody. Selanjutnya, secara sistem keberadaan, decade asset itu akan berada di bawah kendalik, sebagai pihak yang diberi kuasa oleh kalian.”
“Apa jadinya bila sesudah verifikasi ternyata ditolak oleh The Fed?”
“Bank custody akan menuduhku melaksanakan pemalsuan dan penipuan dalam transakasi keuangan. Tentu kalian sudah tahu eksekusi apa yang akan kuterima di Hong Kong,” Aku melirik Lien yang nampak tegang. “Aku butuh kuasa khusus dari Anda untuk melaksanakan ini,” lanjutku mantab.
“Kami sudah siapkan surat kuasa untuk melangkapi proses verifikasi berdasarkan dokumen yang kami serahkan,” kata Yu. “Sebaiknya kita lakukan di hadapan lawyermu, Jak.”
Saat ini, sama sekali saya tidak lagi diliputi keraguan dalam setiap langkah. Karena saya hanya melaksanakan protokol ini ibarat apa yang pernah disampaikan lawyer-ku. Aku sadar benar telah berada dalam posisi yang tidak mudah. Walau aturan pasar uang begitu ketat namun tangan-tangan kekuasaan yang tak terlihat, bisa ikut bermain untuk membuatku menjadi pencundang. Ini memang hal yang biasa terjadi di dunia yang serba kapitalis, di mana uang yang jadi penguasa. 
Dan, hal yang kedaluwarsa lagi culas, sanggup berjalan mulus bila the invisible power ikut bermain. Aku teringat bagaimana proses pelepasan aset yang dilakukan BPPN. Semuanya hasil konspirasi dan rekayasa! Dengan data laporan yang ku terima dari Amir, saya tahu betul semua kebusukan sebuah konspirasi di negeriku tercinta.
Garibaldi Venture Fund Ltd, mengambil alih PT. Gajah Tunggal melalui BPPN. Menurut data dari Bloomberg dan PWC, saya tahu bahwa perusahaan ini berdomisili di Singapura. Tapi ternyata perusahaan ini tidaklah terdaftar di Singapura, alias fiktif. Juga Farallon, perusahaan ini dinyatakan sebagai pemenang tender pengambil alihan BCA melalui divestasi.  Menurut Securities and Exchange Commision (SEC), Farallon Capital Management LLC merupakan perusahan go-public  dengan nomor 0000909661. Namun di situs SEC dan di 20-F FCM,  daftar subsidiaries  tidak terdapat nama FarIndo maupun BCA sebagai anak perusahaan. Dan dari business registry-nya di Mauritius juga tidak ada nama FarIndo sebagai perusahaan berdomisili di Mauritius. Aset BCA senilai Rp. 104 triliun, dijual sangat murah. Hanya senilai Rp. 5,3 triliun.
Hal yang sama juga terjadi pada Swissasia Global, pengakuisisi Lippo Bank. Juga Uni Bank Tbk yang terdeteksi sebagai penerbit NCD  bodong, yang diambil-alih oleh 21 pemegang saham SPV  dari Samoa Island. Indosat juga dijual ke STT Singapura. Sales and Purchase Agreement-nya untuk Indonesian Communication Limited (ICL) Mauritius, yang katanya subsidiary dari STT Singapura, ternyata tidak ada nama ICL sebagai anak perusahaan STT Singapura. Di Business Registry negara Mauritius juga tidak ada nama ICL terdaftar di sana.
Sampai kebijakan sistem akuntasi BI yang ditetapkan oleh IMF pun direkayasa. Pada tahun 2000, BI mengumumkan perubahan pencatatan devisa dari Gross Foreign Asets  ke International Reserves and Foreign Currency Liquidity (IRFCL).  Sebagai dampaknya, terjadi penyusutan devisa sebesar USD 3 milliar. IRFCL ini sendiri diperkenalkan oleh IMF. 
IRFCL merupakan hasil dari off-balance-sheet-components, dikurangi predetermined dan contingent short-term drains.  Anehnya, hanya Indonesia yang mengalami penyusutan ketika migrasi sistem ini, sementara negara lain tidak terjadi apa-apa.
Dari situs BPK, saya juga tahu bahwa anak perusahaan Bank Indonesia yang berkedudukan di Negeri Belanda, Indover BV, melaksanakan write off  sebesar 385,27 Juta US dollar. Dengan mengalihkannya ke Indo Plus BV yang efektif per tanggal 23 November 2003. Artinya Negara RI qq Bank Indonesia dirugikan sejumlah nilai tersebut.
Itulah sedikit pola yang kuketahui dan kini semakin yakin bahwa kekuatan Group Fidelity memang bisa berbuat apa saja, termasuk merampok aset negara lewat cara-cara sistematis dan legal. Hebatnya tidak satupun politisi di dewan perwakilan rakyat atau pegawanegeri aturan yang mempersoalkan duduk kasus ini. Kasus ini tidak pernah dipersoalkan secara hukum. Mungkin sudah dipeti-eskan.
Aku tahu itu. Mereka sama ibarat Amir yang begitu loyal kepada Robert. Mereka yang ada di ring kekuasaan itu tak berdaya menghadapi kekuatan Group Fidelity. Sehingga, negara terjebak dalam cengkraman gerombolan insan berwajah iblis yang rakus menghisap darah rakyat yang lemah. 
Akankah saya bisa melawan kekuatan group raksasa ini? Sungguh, apa yang bisa kulakukan hanya berserah diri kepada Tuhan. Yakin bahwa Team Madam Lyan dan Naga Kuning juga menyadari kekuatan Group Fidelity ini. Karenanya, mereka tentu sudah mempersiapkan diri dengan sangat baik. Semoga saja!
***
John Low, bekali-kali kuhubungi lewat sambungan telepon internasional, tapi tetap saja tidak bisa. Dari sekretarisnya, saya tahu bahwa John sedang berada di New York. Jadwal kembali ke Swiss gres satu ahad lagi. Karenanya saya belum bisa memastikan jadwal untuk transakasi di Hong Kong. Team Chang menentukan menunggu di Shenzhen yang lebih erat dari Hong Kong.
Di Shenzhen, saya menginap di Hotel Shangrila yang berlokasi tidak jauh dari Lo Wu, central station Shenzhen. Shenzhen yaitu kota yang didirikan di awal tahun 1980. Awalnya hanya sebuah desa nelayan, tapi kini telah bermetamorfosis menjadi kota kosmopolitan. Inilah salah satu kota yang dominan penduduknya berusia muda. Kota ini dirancang dengan sangat modern. Memang hampir semua kota di Cina tumbuh pesat. Seolah saling bersaing mencapai kemakmuran.
Chang mendatangi kamarku sebelum breakfast, “Jak, saya berusaha menghubungi otoritas Hong Kong supaya bersedia untuk menjagamu dari kemungkinan jelek pada dikala verifikasi. Tapi,” Chang terhenti dan menatap keluar jendela. Aku mengerutkan kening, “Katakan, kenapa?”
“Mereka tidak bisa banyak membantu. Resikonya sangat besar bila mereka melindungimu. Ini yaitu transaksi off-shore di bawah yuridiksi Amerika. Perlakuan istimewa untukmu akan merusak reputasi Hong Kong sebagai financial center dunia,” kata Chang yang segera terdiam. Tak berani menatapku.
Aku berdiri dari tempat duduk dan menghampiri Chang. Kutepuk bahunya dua kali dan kukatakan, “Bukankah kita sahabat? Aku percaya pada nilai-nilai persahabatan itu. Tidak ada duduk kasus dan tidak usah merasa bersalah bila balasannya saya harus di penjara di Hong Kong. Ini yaitu pilihanku dalam menjemput takdir.”
“Ya! Tapi, terlalu berat bagimu,” kata Chang menghela napas.
“Tidak ada masalah. Semua akan baik-baik saja,” jawabku berusaha menguatkan Chang untuk tetap tegar.
“Baiklah. Tapi kau perlu tahu, bahwa kami akan selalu di belakangmu. Serumit apapun situasinya.”
“Terima kasih.” Lalu kami saling merangkul untuk beberapa saat. “Nah, kini mari kita breakfast.”
Pada dikala sarapan, semua anggota team hadir dalam keadaan membisu seribu bahasa. Mereka tahu situasi sulit yang akan kuhadapi. Sementara saya berusaha sesantai mungkin. Bersikap seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. “Mengapa kau hening sekali?” tanya Wu heran. Dia yang selalu membisu tiba-tiba ikut bicara. Tak bisa menahan rasa penasarannya.
“Untuk kalian semua tahu, ada pengalaman miris ketika saya pergi ke kebun sawit milik seorang teman. Kebun itu sangat luas tapi terpaksa harus dijual kepada orang asing. Di sana saya menyaksikan sendiri pekerja kebunnya yang terpaksa pergi ke negeri orang untuk bekerja. Karena di negeri kami, penghasilan sebagai buruh tani tidak cukup untuk hidup layak. Anak gadisnya terpaksa dijual untuk menjadi pelacur. Tahukah kalian, bahwa anak yaitu cermin kehormatan bagi seorang ayah dan permata bagi seorang ibu? Kalau hingga mereka mengorbankan anaknya, itu artinya tidak ada lagi yang sanggup mereka jual demi bertahan hidup. Sepotong mutiara dan kehormatan yang tersisa, pun harus mereka jual. Itulah cermin nasib bangsa kami. Sementara segelintir orang Artikel Babo, hidup bermewahan seakan tidak pernah tahu arti kesulitan hidup. Inilah yang membuat saya terpanggil untuk sebuah perubahan. Peristiwa demi insiden yang kulalui yaitu sebuah ‘mukjizat’ bahkan lebih itu, menyadarkan saya untuk menghargai hidup orang lain. Itulah makna usaha pendiri negara kami. Perjuangan mencari kemuliaan di hadapan Tuhan, bukan semata mencari gambaran di hadapan manusia. Kalaupun ada sesuatu yang jelek yang harus terjadi untuk usaha ini, tidak akan pernah saya sesali. Inilah jalan hidup dan takdir yang harus kulalui.”
Mereka semua terdiam.
“Dan lagi,” lanjutku. “Tahukah kalian bahwa hasil tambang kami memasok 25% timah, 2% kerikil bara, 7% emas dan 6% nikel bagi kebutuhan seluruh dunia? Karunia Allah kepada negeri kami sangat besar. Sumber daya energi yang kami punya sangat lengkap. Dari minyak, gas bumi, kerikil bara hingga energi terbarukan ibarat tenaga air, angin, surya, geothermal hingga bio massa. Hutan yang terbentang dari Sabang hingga Merauke, setara dari London ke Siberia yang luasnya kurang lebih 72 juta hektar. Keanekaragaman hayatinya tiada tara, berada di urutan nomor 2 dunia. Lebih dari setengah 200 juta penduduk Indonesia yaitu tenaga kerja produktif. Tapi kenyataannya, kekayaan dan potensi besar itu tidak ada artinya sama sekali. Terbuang sia-sia, digadaikan liberalisasi dan privatisasi. Penjajahan model gres terjadi lewat Undang-Undang dan peraturan hasil konspirasi rezim yang berkuasa. Ambil contoh, dampak liberalisasi di sektor migas. Saat ini, 85% konsesi migas dikuasai oleh asing, hanya sisanya saja yang dikuasai Pertamina. Ada lebih dari 300 blok migas di tangan asing, yang jikalau ditandai titik-titik pada peta Indonesia, maka tampak sekali, bahwa Indonesia sudah digadaikan. Luas lahan konsesi migas yang diberikan pemerintah kepada investor asing mencapai hampir setengah dari seluruh daratan Indonesia. Semua itu terjadi berkat lobi korporasi raksasa asing yang memaksa pemerintah untuk tunduk menerima.” Aku menghela nafas. Menahan gelisah yang tak tertahankan.
“Dan kini, jawaban sistem moneter global. Kami harus mencicipi derita krisis moneter gara-gara permainan culas pasar uang dunia. Kami dilanda krisis anggaran dan sudah masuk ke dalam perangkap mematikan yang hampir mustahil diselesaikan tanpa revolusi. Sementara revolusi yaitu hal yang angker dan dihentikan terjadi. Lalu apa yang harus dilakukan?”
Aku kembali terdiam, kehilangan kata-kata. Aku  merasa, kalau ada kesempatan untuk berkorban demi perubahan yang lebih baik, tentu bukan hal yang berlebihan untuk kutempuh. Meski kecil kemungkinannya untuk berhasil. Seperti situasi dikala ini, ketika berhadapan dengan group Fidelity. Bagiku, pilihan ini yaitu suatu keharusan, daripada hanya bisa kesal dan merutuk keadaan, tanpa berbuat apapun.
“Jak,” seru Huang. “Keadaan negerimu sekarang, tidak jauh berbeda dengan keadaan Cina di masa rezim komunis Mao dan kelompok empatnya. Bahkan boleh dibilang, keadaan rakyat Cina dikala itu lebih jelek dibanding kondisi negeri Anda. Ketika itu, para petani dipaksa bekerja keras untuk memuaskan partai. Sementara semua kehidupan dikontrol ketat oleh pemerintah dengan banyak aturan yang menyulitkan rakyat untuk bergerak bebas.”
“Lantas, apa yang diperbuat rakyat hingga bisa menyadarkan pemerintah untuk berbuat ibarat kini ini?” tanyaku.
“Prosesnya memang tidak mudah. Tapi budaya kami mengajarkan untuk selalu berjuang melawan kesulitan. Nah, dari sinilah awal munculnya perlawanan atau revolusi rahasia atau silent revolution, di Provinsi Zhejiang. Pada masa sebelum liberalisasi ekonomi, Zhejiang yaitu pola kemampuan pemerintah lokal melawan sistem komunis. Namun perlawanan ini tidak begitu diperhatikan oleh pemerintah sentra alasannya yaitu letak wilayahnya yang terlalu jauh, berada di perbatasan Taiwan. Kota ini awalnya tidak dirancang sebagai sentra industri oleh pemerintah pusat. Tapi sebagai sentra pertahanan militer alasannya yaitu berbatasan dengan Taiwan. Hanya selat yang membatasi keduanya. Daerah ini sangat sedikit sekali mendapatkan anggaran dari Pusat dan hampir mustahil membuat pertumbuhan. Namun rakyat Zhejiang berdiri dengan modal kemampuan kemandirian. Pembangunan dilakukan oleh masyarakat dengan proteksi pendanaan dari budaya arisan. Kebiasaan masyarakat Cina yang suka berkelompok berdasarkan pertemanan, hobi hidup ekonomis dan gemar menabung telah mengakibatkan sistem arisan sebagai amunisi utama menuju kemakmuran.
Ketika sistem arisan ini memperlihatkan keberhasilannya, maka patut kita ambil pelajaran. Bahwa mereka pun bisa berbuat jenius, meski tanpa proteksi penasehat keuangan Wall Street dan pengacara di London. Larangan mendapatkan dana dari sistem perbankan telah mendorong terbentuknya sistem perusahaan keluarga kolektif (koperasi). Lalu melobi perusahaan Negara untuk mengakibatkan mereka sebagai anak angkat. Lewat perjanjian dengan administrasi perusahaan Negara tersebut, koperasi itu akan membungkus dirinya dengan nama, dokumen-dokumen dan nomor rekening di bank, di mana perusahaan Negara itu tercatat sebagai nasabah utama. Kolaborasi tersamar ini berhasil dengan sukses alasannya yaitu didukung jaminan dari sistem arisan, sehingga bisa memperkuat likuiditas bank. 
Langkah ini tidak hanya membuat usaha mereka halal mendapatkan kredit dari bank, tetapi juga membebaskannya dari keharusan membayar pajak. Para petani, melalui sistem pertanian kolektif yang ditetapkan pemerintah juga berhasil mengelabui pemerintah dengan cara yang sama. Tentu cara ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa proteksi tidak langsung, baik dari penguasa partai lokal maupun intelektual kaum muda yang tersadarkan oleh ambisi rakyat untuk mandiri. Dukungannya bersifat tidak langsung, alasannya yaitu melawan secara pribadi kekuatan sentra yaitu tidak mungkin. Maka tidak ajaib bila banyak pemimpin usaha kolektif (koperasi) dimotori oleh pejabat partai lokal, gigih menawarkan pendidikan untuk semangat kemandirian. Para perjaka lulusan universitas Zhejiang melalui jadwal kebudayaan, secara belakang layar pergi ke penjuru Cina untuk memasarkan produk dan melobi pedagang Hong Kong untuk menjadi mediator mereka masuk ke pasar internasional.
Keberhasilan Zhejiang telah menyadarkan Pemerintah Pusat. Deng mengakibatkan ini sebagai momentum yang sempurna untuk melaksanakan reformasi ekonomi. Zhejiang pun dijadikan model pembangunan bagi seluruh provinsi. Partai Komunis mulai bersedia memperbaiki kesalahan ideologi radikal pada masa lalu, termasuk kesalahan Mao dan kelompok Empat Maois. Perubahan ini membuktikan kala kepemimpian yang lebih praktis. 
Di bawah komando Deng, reformasi ekonomi dipantau dari erat oleh Partai Komunis. Pemberatasan korupsi dilakukan dengan cara mudah dan sistematis sebagai belahan tak terpisahkan dari sistem pengawasan kala reformasi. Hasilnya, hampir 40 ribu industri milik Negara yang tidak efisien telah ditutup. Sejak tahun 1996 hingga dengan 2001 sebanyak 53 juta orang yang bekerja di sektor pemerintahan diberhentikan. Jumlah ini sama dengan seperempat penduduk Indonesia.
Kini provinsi Zhejiang telah bermetamorfosis menjadi kekuatan ekonomi raksasa yang melahap sebagian besar lahan pertanian menjadi sentra industri bagi segala jenis produk. Di provinsi Zhejiang, 90% usaha dan penyedia infrastruktur ibarat tenaga listrik, jalan tol,dan lain-lain, dikelola oleh masyarakat atau swasta. Persentase tertinggi dibanding provinsi Artikel Babo. Dalam perjalanan dari bandara ke sentra kota, terlihat terang iklan aneka macam produk. Mulai dari kamera digital, telepon genggam hingga aneka macam alat permesinan. Semuanya yaitu produk lokal, tapi begitu diminati oleh pedagang besar dari Eropa dan Amerika. Masyarakat Zhejiang dan hampir semua provinsi di Cina telah menjadi momok angker bagi pencinta paham kapitalis wacana teori penguasaan modal. Teori mereka ternyata berhasil dijungkir-balikkan oleh kekuatan sistem komunitas yang bergerak bagaikan roket. Sebuah kekuatan yang hampir tidak bisa ditemukan dalam teori ekonomi kepitalis, yang menempatkan kekuatan konglomerisasi individu sebagai pendorong pertumbuhan.”
Wu tiba-tiba ikut menimpali, “Pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat dan pencapaian kemakmuran di semua kota dan desa sangat mengejutkan kami. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Ini bukanlah hasil kerja dari pemerintah pusat. Semua itu lahir dari antusias masyarakat yang sadar untuk memperjuangkan kehormatan keluarga dan negaranya, berdasarkan cara-cara, tradisi dan budaya yang kami yakini. Bukan dengan menjiplak cara Amerika, Eropa atau Negara Artikel Babo.”
Aku terpukau. Benarlah apa kata orang bijak: Belajarlah hingga ke Negeri Cina!
“Sepertinya, kami di Indonesia yang terus menerus dilanda kebingungan, tak ada salahnya mempelajari resep kemajuan Cina. Pun tidak perlu malu untuk mengakibatkan Cina sebagai role model akselerasi pembangunan nasional.”
“Kita akan selalu bersama, tapi bagaimanapun itu tergantung garis politik negeri Anda. Sepertinya mereka masih menganggap komunis yaitu bahaya umat beragama. Padahal kami tidak pernah membenci agama. Kami hanya tidak ingin agama ditunggangi untuk kepentingan golongan. Itu saja,” kata Chang mantab. Obrolan asik kami terhenti ketika tiba-tiba teleponku berdering.
“Pak Jaka!” Terdengar bunyi yang sudah sangat kukenal.
“Ya, John?”
“Maaf, saya terpaksa mundur dari posisi sebagai lawyer Bapak,” bunyi John terdengar berat.
“Mengapa?”
“Aku tidak mengerti, Pak. Segera sesudah seseorang mengancamku, hampir sebagian besar klienku menarik diri. Kelihatannya bahaya dari orang itu benar-benar serius.”
“Apa yang kau maksud dengan ancaman?”
“Seseorang telah mintaku mengundurkan diri dari posisi sebagai lawyer Bapak.”
“Oh?!” Aku mengerutkan kening. “Baiklah, terima kasih.”
“Maaf, Pak Jaka.”
“Tak apa. Tidak ada masalah. Terima kasih.” Aku menundukkan kepala. Seakan tak mempercayai kabar yang gres kuterima. Tiba-tiba semua menjadi begitu kacau dan rumit.
“Ada apa, Jak?” Lien memegang bahuku.
“Lawyerku mengundurkan diri.”
Mereka semua terkejut. Langkah kami rupanya sudah terlacak Group Fidelity. Langkah strategis yang sudah matang di depan mata, dengan gampang dipatahkan group itu. Memang ini bukanlah usaha yang mudah. Group Fidelity tentu sanggup melaksanakan apa saja, termasuk memaksa orang lain untuk menuruti kemauannya.
“Oh, tidak ada masalah. Kita bisa cari lawyer lain, kan?” kata Yu.
“Aku tidak yakin akan ada lawyer lain yang bersedia. Namaku niscaya sudah di black-list oleh asosiasi lawyer.”
Kembali mereka semua terdiam. “Untuk sementara, tampaknya tidak ada yang sanggup kita lakukan,” kataku pasrah.
“Aku ada ide.” Wu berdiri.
“Apa itu?” kataku.
“Kami akan mencabut mandat. Surat pencabutan ini akan kami sampaikan kepada Global Asset Management dan kepada bank yang terkait dengan transaksi ini. Dengan demikian, kami bisa menunjuk lawyer sendiri untuk mendampingimu,” lanjut Wu.
“Posisimu tetap penentu dalam transaksi ini. Kita akan membentuk sebuah Private Investment Company yang terdaftar di Delaware, US sebagai mandataris. Di dalam perusahan itu, kau akan bertindak sebagai chairman,” sambung Lien.
“Tapi sebaiknya, Jaka tidak tercatat dalam kepemilikan saham atau jabatan apapun di perusahaan itu. Mulai dikala ini mereka harus tahu bahwa team kita yang akan bergerak untuk menghadapi mereka secara langsung. Kita tidak bisa terus-terusan bersembunyi di balik layar,” saran Huang berapi-api.
“Baiklah, kalau itu yang kalian mau.” Aku menatap mereka satu persatu, “Kalianlah pemiliknya dan kalian juga yang menentukan.”
“Jaka, kau akan tetap jadi penentu dalam transaksi ini. Karena kau yaitu orang yang terpilih. Kami yakini sepenuhnya, bahwa Anda-lah yang bisa menuntaskan decade asset ini,” kata Lien.
Mereka tersenyum dan mengangguk kepadaku. Sekarang saya sadar,  bahwa keberadaanku dalam decade asset ini telah menampakkan posisi yang sebenarnya. Yaitu sebagai pemegang kunci gerbang penguasaan aset dari sebuah sistem yang belum pernah sanggup ditembus. 
Aku teringat instruksi yang dulu kucatat dikala melihat harta itu di dalam gudang penyimpanan. Tapi, itu kan hanya di dunia mimpi. Apakah masuk akal berharap kebenaran dari sebuah mimpi untuk menghadapi duduk kasus di dunia nyata? 
Tapi pertemuanku dengan orang bau tanah di Hobey, dan foto Darsa yang bersanding erat dengan orang bau tanah itu, telah membuatku yakin. Bahwa instruksi itu berasal dari kekuatan dunia lain. Sebagai orang beragama, harus mempercayai ini. Hal ghaib yaitu hal utama yang harus dipercayai umat islam. 
Begitupula dengan team Chang. Walaupun hingga kini mereka tidak mengetahui posisiku sebagai pemilik acces code, namun perilaku mereka yang patuh dengan budaya takdir di balik kata, ‘orang terpilih’, sudah cukup menjadi bukti. Bahwa ada suatu kekuatan yang ada padaku. 
Itulah mengapa, saya masih ditempatkan sebagai penentu dari semua upaya yang mereka lakukan untuk menguasai decade asset. Bagaimanapun, saya hanya menentukan mengikuti takdir yang sesungguhnya sudah diatur oleh sang Maha Kuasa.
“Beijing harus mengetahui seni administrasi kita ini,” kata Chang. “Sebaiknya besok kita segera terbang ke Beijing.”
“Tapi tidak akan cepat prosesnya. Beijing sangat birokratis,” sambung Huang.
“Kalau begitu, saya akan kembali ke rumah dan menunggu kabar selanjutnya dari kalian,” kataku.
“Sebaiknya kau tetap di Hong Kong, Jak. Kami akan sediakan kemudahan di sana. Itu lebih kondusif bagimu,” saran Chang.
“Ya. Kupikir, itu juga lebih baik,” kata Lien menimpali.



Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Memburu Harta (2)


Di sebuah areal perkebunan yang amat luas, saya menginap di pesangrahan karyawan. Usai sholat Subuh saya keluar dari kamar, berjalan kaki menuju sebuah desa. Aku berjalan kurang lebih selama setengah jam. Cukup jauh untuk ukuran jalan kaki. Aku ingin melihat-lihat pemandangan. Juga bercengkrama dan memperhatikan kehidupan mereka, para warga yang berada di desa di luar area perkebunan.
Desa masih berkabut walau azan Subuh sudah lama berlalu. Langkah para buruh perkebunan, belum juga terdengar. Mungkin mereka masih bermalas-malasan di balik selimut. Mengurung diri di dalam rumahnya masing-masing. Sama menyerupai mentari yang  malu-malu, mengintip dari balik timbunan kabut. Alam dan geliat kehidupan warga, seolah pernah berikrar, memundurkan mentari untuk memulai hari. Aku termenung menikmati segala keheningan yang lengang. Sambil beberapa kali menghirup udara segar  pegunungan, sebagai sarana detox untuk paru-paruku yang selama ini penuh oleh polusi di Jakarta.
Ada perasaan ganjil yang saya rasakan. Sepertinya ada yang asing di desa ini. Tak henti saya bertanya dalam hati, ada apa gerangan dengan desa ini? Kehidupan sebuah desa yang seharusnya ramai, bersemangat dan penuh wajah sumringah, kini nampak murung. Mentari, kabut bahkan dedaunan perkebunan seolah ikut bermuram durja. Sepertinya mereka sedang berempati pada para petani. Inilah potret sebuah desa yang sengaja diciptakan untuk menampung warga kelas teri dari Jawa. Kumpulan insan malas yang tersingkir dari kampung halamannya sendiri. Tergerus dan terpaksa menyingkir demi percepatan pembangunan. Mereka harus rela di kirim ke pulau lain untuk mengukuti jadwal transmigrasi. Sebuah kata yang tampak modern namun menjerumuskan. Tujuannya untuk mengurangi penduduk dari wilayah padat ke wilayah jarang. Solusi instan dan cerdas. Namun rujukan pikir instan ini yang membuat segalanya jadi kacau.
Alih-alih memberdayakan wilayah mati, yang terjadi justru penyebaran semangat kemiskinan dan genetika pecundang ke wilayah lain. Pemalaskah mereka? Tidak! Mereka bukan pemalas. Buktinya mereka rela pergi dari kampung halaman. Mereka juga pekerja yang cerdas. Sekali lagi, mereka cerdas! Buktinya mereka  menolak bertani alasannya ialah hasilnya tidak lebih baik dari pada menjadi kuli. “Kalau benar pemerintah ingin mereka ulet bertani, sudah seharusnya pemerintah juga menjamin harga jual panen mereka, bukan?” Kata sebagian orang mencoba mematahkan teori kemiskinan mainstream. 
Perlahan-lahan pagi bergulir, merangkak menjemput siang. Aku masih berjalan seorang diri menyusuri jalan-jalan setaapak. Dari kejauhan nampak sebuah warung kopi yang penuh oleh pengunjung. Mereka ialah kumpulan para kuli dan buruh tani. Warung kopi ialah kawasan mereka bergabung membunuh hari. Masa ndeso dengan waktu. Di warung kopi mereka asik main domino, berkelakar dan bertukar kisah dengan bermacam-macam obrolan kosong. Ada juga yang hanya diam, larut menyaksikan keasikan orang-orang pinggiran. Khusyuk menikmati kopi hangat. Para kuli dan buruh tani itu membuat nirwana sendiri, di warung kopi!
Memangnya ada surga  lain, selain warung kopi? Tempat di mana kami menemukan sebuah keluarga yang di bangun atas dasar kesamaan nasib. Tempat kami kembali bertemu untuk mengumpulkan kisah perihal kejenuhan hidup. Bukankah nirwana sanggup di bangun di mana saja dan di huni oleh siapa saja? Pikir mereka praktis.
Mereka menentukan jadi kuli sama menyerupai nenek moyang mereka dulu yang terjajah. Memilih nasib menjadi wong cilik ialah lebih baik, lebih nyaman dan kondusif dari pada membebani pikiran dengan hal-hal rumit. Menjadi kuli dan buruh tani juga pilihan untuk menjauhkan diri dari godaan berbuat buruk. Setidaknya menjadi kuli atau buruh tani jauh lebih baik daripada menjadi  pencuri atau koruptor. Mereka percaya itu. Meski mereka juga sadar, bahwa status mereka sangat rendah dibandingkan yang lain. Hanya sedikit lebih baik di atas budak. Itu pun alasannya ialah perbudakan sudah dihapuskan secara nama. Meski prakteknya masih sering terlihat dan terasa. 
Pun mereka tak peduli dan tak perlu tahu soal menyoal perbudakan itu. Waktu mereka terlalu berharga untuk memahami dan mengerti perihal status juga perihal kedudukan. Sebutan kuli atau buruh sudah sangat cukup memberi mereka kepercayaan diri. Bukankah kuli dan buruh tani jauh lebih baik daripada seorang gelandangan atau pengangguran? Jadi, tidak ada alasan apa pun untuk merasa rendah diri.
Ini ialah negeri kuli. Di setiap sudut kota, di kampung-kampung, di mana pun, jabatan kuli menyesaki rumah penduduk di sana-sini. Tidak percaya? Ribuan kuli kita di negeri jiran  ialah akhir melimpah ruahnya jumlah kuli di negeri ini. Dan mereka, yang kini duduk di warung kopi, tidak sudi jadi kuli di negeri orang. Mereka seolah tak menghiraukan kawannya yang dengan semangat membara bersusah payah untuk bisa jadi kuli di negeri orang. Sesekali mereka hanya mencibir, "kalian tak aib jadi kuli di negeri orang?" 
Masa kemudian telah membuang mereka. Kini mereka tak punya pilihan. Dengan hati lapang mereka berusaha untuk  terlihat masuk akal dan mendapatkan masa kemudian sebagai sebuah keputusan yang tak salah. Di telikung nasib, ditransmigrasikan dan akirnya kini menjadi kuli perkebunan. Mereka sengaja membuang jauh ingatan masa lampau. Seperti seseorang yang membuang sauh ke dasar laut. Bahkan kalau perlu, melarung dan membiarkannya hilang ditelan ombak. Orang tua, kakak, adik, abang, saudara-mara ialah wajah-wajah yang tak seharusnya hidup dalam ingatan mereka ketika ini. Sebab kehadiran wajah-wajah itu hanya akan membuat kebebasan hidup mereka jadi terkekang dan penuh beban. Hanya akan menegaskan kembali rasa kehilangan dan kekalahan. Ini memuakkan!
Sama memuakkannya dengan wajah kampung-kampung kawasan kelahiran mereka di tanah Jawa. Kampung yang membuat penghuninya merasa terbuang. Merasa tak punya nilai. Anak-anak yang terlahir dari sana ialah belum dewasa yang menderita, ketakutan dan stress berat akan masa depan. Anak-anak yang setiap subuh bertelanjang dada, bermain congkak  di bawah asuhan beruk-beruk  di hutan karet. Anak-anak yang pintar memanjat batang kelapa melebihi tupai. Anak-anak yang tahan berendam dalam lumpur gambut di akar-akar bakau untuk berburu ketam  atau siput. Anak-anak yang tiba-tiba tumbuh oleh seleksi alam dan kini siap dipekerjakan sebagai kuli. Atau menjadi anak buah tongkang yang berlayar dalam gelap ke negeri orang.
Hal-hal memuakkan inilah yang kini harus mereka tanggung. Mereka tertawa terbahak-bahak menertewakan kekalahan. Menertawakan segerombolan masyarakat yang tak punya masa depan. Masa ndeso dengan pecundang! Pekik mereka berusaha melepaskan masa lalu. Dan mereka pun terkekeh, menyerupai seseorang yang gres saja mencebur ke sungai dan meninggalkan karung berat di punggungnya. Lalu berendam dan bermandi air kebahagiaan.
Aku masih duduk di warung kopi memperhatikan dengan seksama keadaan sekitar. Sebuah warung kopi  yang sebetulnya terlalu jauh untuk layak disebut sebuah warung. Abu rokok bertebaran di sekeliling lantai. Bercampur ludah di sana-sini. Ludah yang di keluarkan bersama umpatan memuakkan yang mereka buang di tanah itu. 
Satu per satu para kuli tiba ke sini. Mereka menyerupai mempunyai waktu khusus untuk setuju bertemu, berkumpul di warung kopi. Dengan sigap dan terlatih, mereka menggelar pesta judi kelas kampung. Membanting angka-angka keberuntungan. Beragam jenis minuman alkohol murahan pun jadi taruhan. Kata-kata yang membaur ialah lintasan-lintasan pikiran yang tak santun. Ruwet. Seronok. Jorok. Jauh dari norma dan tata krama.
Bagi para kuli, hari-hari begitu gampang terlewati dan kehilangan makna. Warung kopi di pinggir kebun sawit ini seolah menjadi pereguk kegalauan dan harapan.  Dan membiarkan sesuatu yang jelek itu berlalu begitu saja. 
Hidup seorang kuli ialah hidup yang terbatas. Mereka tak terlalu berkeinginan untuk merespons sesuatu yang sedang bergerak di luar mereka. BBM, korupsi, asap hutan, demonstrasi, amuk massa, tawuran antar suku, penculikan, pembunuhan, kemiskinan dan segala macamnya sudah terlampau dekat di indera pendengaran mereka. Mereka tak ambil pusing dengan permasalahan dunia alasannya ialah hidup sudah teramat pusing. Dan kini tak ada urusan selain menghitung keberuntungan dari meja judi. Urusan di luar diri mereka ialah urusan di dunia lain. Mencampurinya hanya akan membuat mereka tak bisa bebas berpikir perihal bagaimana memenangkan taruhan ketika bermain di meja judi. Dan tentu, tak bisa membuat mereka bebas tertawa.
Kemudian saya melangkah keluar. Meninggalkan kedai kopi dan meneruskan perjalanan ke kawasan lain. Dalam dandanan yang tidak formal, tentu tak ada satu pun dari mereka yang mengenalku. Aku pun bebas menyusuri kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehidupan yang tak pernah ditemukan dalam seminar atau laporan dari para hebat ekonomi.
Di suatu rumah yang kulewati terdengar bunyi berteriak. Keterkejutan memaksaku untuk mendekat. Lelaki penghuni rumah tak mempedulikan kehadiranku. Begitu pula dengan perempuan yang berusaha melepaskan pukulan dengan  kayu besar di tangan.
“Bangsat ya, kamu! Udah miskin, engga tahu diri. Gaji mingguan yang tak seberapa, kau habiskan di meja judi dan melacur. Ini anak yang akan lahir mau diapain?!” Teriak perempuan itu sambil mengarahkan kayu  kepada seorang laki-laki di depannya. 
Dengan tangkas lelaki itu menangkis kemudian melepaskan kepalan tangan hitamnya ke dagu si wanita. Pukulan telak mengenai dagunya dan perempuan itu jatuh terjerembab. Dengan santai, laki-laki legam itu berlalu  tanpa mepedulikan wanita  yang mungkin saja tengah pingsan.
Sekelompok cowok kekar menghadang langkah laki-laki itu di ujung jalan. Aku tak begitu paham apa yang selanjutnya terjadi. Yang pasti, sekilas kemudian laki-laki itu sudah menjadi bulan-bulanan dan tersungkur ke tanah sehabis para cowok kekar selesai menghajarnya.
“Awas, ya! Kalau hingga ahad depan kau masih menempati rumah itu, maka nyawamu sebagai gantinya. Segera lunasi hutangmu!” Kata salah seorang cowok yang nampak parlente. Berwajah khas orang kota.
Aku tak ingin terlalu lama menyaksikan insiden demi peristiwa. Sebaiknya saya terus melangkah dan menjauh dari kawasan itu. Aku pun hingga di rumah lain di pinggir kebun, yang sebetulnya tak layak disebut rumah. Bagiku gubuk yang ada di hadapanku ini  tak lebih dari sangkar kambing. Namun disinilah sebuah keluarga tinggal. Mereka ialah sepasang suami istri dan dua orang anak gadisnya. Keduanya masih terlalu muda dengan wajah yang nampak dipaksa dewasa. Inilah potret kehidupan lain yang juga sulit kumengerti. 
Dengan ramah, mereka  mempersilahkan saya masuk. Di dalam saya tak melihat perabot apa pun kecuali sebuah dipan reot dan suasana rumah yang kotor. Ketika mereka menghidangkan minuman, ada perasaan sungkan untuk meminumnya. Aku mencium masih ada aroma sabun yang menempel pada gelas. Mungkin mereka tidak mencuci dengan bersih. Maklum, air higienis memang tidak gampang di sini.
“Saya akan pindah kerja. Penghasilan sebagai kuli kebun di sini tak banyak yang bisa diharapkan,” kata sang suami.
“Mau kerja di mana?” Tanyaku.
“Saya akan melamar jadi TKI ke tanah Jiran. Katanya penghasilan di sana cukup baik. Banyak sobat yang kembali membawa uang banyak dan bahkan sanggup membeli kebun. Sementara di sini, tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Kita bekerja alasannya ialah tidak ada pekerjaan lain dan terpaksa mendapatkan honor sedikit yang tidak cukup untuk menutup kebutuhan harian. Terpaksa hidup kekurangan tanpa masa depan. Semua kami lakukan dengan terpaksa walau juga tidak ada yang memaksa. Mungkin nasib yang memaksa kami untuk mendapatkan kenyataan, tidak dimanusiakan oleh bangsa sendiri. Untuk itu saya berkeinginan merantau saja. Gaji sebagai kuli di negeri orang cukup membuat kita dihargai sebagai manusia,” kata laki-laki kurus itu bersemangat.
Sementara sang istri hanya membisu dan menunduk pasrah. Dia tak kuasa menahan mimpi sang suami yang menggebu. Raut wajahnya terlihat sangat tertekan. Seakan ia ingin cepat-cepat keluar dari kasus yang melilit keluarganya. Kukira ia terlalu risau alasannya ialah sebentar lagi suaminya akan pergi jauh dan mereka tidak akan berjumpa untuk beberapa lama. Tapi kenapa harus risau bila kepergian suaminya akan membawa perubahan besar bagi keluarga? Ternyata dugaanku keliru. Dan kekeliruanku terjawab ketika beberapa ketika kemudian, ada bunyi kendaraan beroda empat mendekat dan berhenti sempurna di depan rumah. 
Seorang laki-laki keluar dari dalam kendaraan beroda empat yang pribadi di sambut dengan antusias oleh sang suami. Sedang sang istri hanya bisa menggigit bibirnya  dan segera masuk ke dalam kamar, meninggalkan suami yang asyik bicara di luar dengan laki-laki kota itu. Tak berapa lama istrinya keluar lagi bersama dua orang anak gadisnya. Pria itu kemudian menuntun kedua gadis,  masuk ke dalam kendaraan beroda empat sambil di iringi senyum srigala. Senyum yang licik dan culas. Sang suami hanya menyipitkan mata ketika kendaraan beroda empat itu bergerak menjauh, membawa kedua putrinya dari kawasan tinggal mereka.
“Suami saya butuh uang untuk mengurus segala sesuatunya demi bekerja di tanah Jiran. Pria itulah yang memberi pemberian uang kepada suami saya. Kedua anak gadis kami akan berkerja dengan laki-laki itu untuk membayar hutang kami,” hanya itu yang keluar dari verbal sang istri ketika kembali masuk dan menemuiku. 
Aku mengerti betul arti ‘bekerja’ di sini. Namun apa yang bisa dilakukan oleh sepasang suami istri itu? Tak ada yang bisa dijadikan jaminan oleh keluarga yang tak punya kejelasan masa depan, kecuali anak gadisnya. 
Besok sang suami akan pergi meninggalkan dirinya dalam kesendirian. Habis sudah harapan perempuan paruh baya itu. Dia harus merelakan kepergian suaminya untuk menjadi kuli di negeri orang dan anak gadisnya menjadi pelacur di negerinya sendiri. Tragis!
Aku kembali ke wisma perkebunan menjelang sore dengan perasaan kacau. Budiman sahabatku, pemilik perkebunan ini menyambut kehadiranku dengan senyum lebar dan bertanya, “dari mana saja kamu?” Aku ingin menjawab pertanyaanya namun lidahku terasa kelu.

***
Musim penghujan terlambat tiba tahun ini. Setiap hari, hujan  dinanti dalam doa. Di malam hari, hanya ada petir melintas tanpa suara. Harapan membuncah menunggu ketika hujan tiba. Namun kembali mentari pagi terbit dengan terik. Petir semalam hanya mengejek, tertawa sinis mempermainkan desa ini dan penduduknya. Hari-hari merayap tak terkira panasnya. Bahkan setiap tarikan napas ialah sebuah kerja keras. Setiap gerakan ialah sebuah perjuangan. Setiap malam penuh cucuran keringat membanjiri badan. Hingga malam dan siang hanya berbeda pada warna alam. Selebihnya panas, kering dan gersang.
Subuh mulai menjelang. Di masjid, sang muazin memanggil setiap orang yang beriman untuk lebih baik sholat dari pada tidur. Suaranya mengalun merdu menembus telinga, membuatku terjaga. Usai sholat Subuh saya mencoba mengintip dari balik jendela kamar. Kulihat beberapa orang berseliweran tanpa tenaga pada jalanan sepi. Melangkah gontai penuh keterpaksaan. Semata hanya alasannya ialah alasan perut, mereka keluar menuju kiprah rutin dan nrimo  menjadi kuli berupah murah. Baru kali ini saya bangun tidur dengan perasaan bersalah. Merasa tak pernah berbuat apapun dalam hidupku. Padahal di depan mataku, begitu luas Tuhan membentangkan ladang ibadah untuk siapa saja yang beriman dan mau berjihad meninggikan kalimat Allah.
Berulang kali rezim berganti namun keadaan tak pernah berubah. Pertanyaan ini mungkin hampir lelah digaungkan jutaan orang. Pertanyaan yang selalu di ungkap dalam desahan napas memohon belas kasihan. Tapi Tuhan tak pernah tiba untuk memperlihatkan mukjizat. Hanya peristiwa yang tiba silih berganti dikirim-Nya. Banyak orang kemudian bertanya di manakah Tuhan, sang Maha Adil itu? Mengapa derita tiba silih berganti dan kezaliman terus berlanjut? Sebuah pertanyaan bertalu-talu dalam kepala insan yang semakin terjepit dalam keadaan serba susah. Sebuah pertanyaan yang seakan tak pernah menemukan jawaban. Hanya menyisakan perasaan ambigu yang tak berkesudahan.
Aku sanggup memahami  semua situasi dan keresahan ini. Segala rententan pertanyaan yang semakin lama semakin menjadi lama tak terjawab. Sebagaimana saya pun terus bertanya tanpa henti. Namun saya terus mencoba berpikir untuk menemukan balasan sederhana. Dalam hati saya berujar, seharusnya ini bukan pertanyaan yang di tujukan kepada Tuhan. Tapi lebih kepada budaya insan Indonesia sendiri. Tuhan tidak pernah dan tidak layak dipertanyakan. Bukankah Dia ialah Tuhan, yang tak pernah henti mengalirkan rahmat dan nikmat-Nya lewat napas kita? Dalam gerakan detak jantung kita? Dan dalam semburat listrik di otak kita? Tapi manusia. Ya, manusialah yang seharusnya ditanya. Mengapa kau tolak dan terus menolak rahmat dari Tuhanmu? Beginilah seharusnya kita bertanya.

Agama ialah sebuah dogma dan aliran yang mengatur segala hal perihal kehidupan. Tentu tak ada yang perlu diragukan sebagai sebuah keyakinan spiritual. Hanya yang dipahami olehku, bahwa sejarah masuknya Islam ke Indonesia memang dekat dengan budaya gaib Hindu yang masih lekat dalam keseharian. Budaya gaib itu menjadi adat turun-temurun. 

Ketika Barat mulai berangsur menikmati terang benderangnya hidup dengan ilmu pengetahuan, umat Islam justru terbuai  dengan sufisme berlebihan dan segala hal yang berbau mistik.  Larut dalam romantisme nirwana yang hidup di tengah rakyat miskin. Akibatnya hilang fakta, realita, budi sehat, kerja keras dan kemajuan. Kini yang terbentuk ialah masyarakat yang nrimo dengan nasib dan merasa cukup dengan nirwana di akhirat. Etos kerja dan kewirausahaan menjadi luntur. Yang tersisa ialah budaya jongos yang lemah dan mendapatkan nasib untuk terus diperbudak. Mangan ora mangan sing penting kumpul, makan tidak makan yang penting kumpul! Begitu falsafah hidup mereka. 
Para santri menghabiskan hari-hari mereka dengan sebanyak mungkin duduk berzikir. Tentu saja tujuannya semoga semakin banyak pahala di dapat. Tapi pada waktu bersamaan, mereka juga membiarkan kolonialisme memperbudak dan menguras sumber daya alam mereka. Terbuai dengan ibadah formal dan melupakan dunia sebagai kawasan mereka berjuang dan bekerja. Sejarah dan budaya menggiring umat berhenti pada satu titik. Hingga kesannya identitas Islam dan umatnya sebagai biro pembaharu peradaban tak kunjung terwujud. Umat Islam di Indonesia hanyalah kumpulan insan tanpa nilai alasannya ialah akidahnya sudah terkotori dan terbuai dalam hiruk pikuk keseharian dunia mereka.
Realitanya, saya pun tak bisa menyalahkan Budiman yang terpaksa membayar buruh dengan upah murah. Karena sistem yang terbangun memang tak menyisakan ruang untuk kesejahteraan rakyat, khususnya kaum buruh dan tani. Berharap pada kesolidan umat pun jauh panggang dari api. Sejarah mencatat, pergerakan umat Islam dari semenjak dahulu hanya dimanfaatkan kaum intelektual untuk memperindah legitimasi kekuasaan mereka. Tidak kurang dan tidak lebih! Tak satu pun dari mereka yang benar-benar menggunakan Islam sebagai inti pembangun peradaban. Itulah yang selama ini kupahami.
Padahal begitu jelas, bahwa komunitas Islam ketika ini ialah hidden power yang setiap ketika bisa bangkit. Pertanyaan sederhana, adakah kekuatan spiritual agama atau ideologi di bumi ini yang bisa menggiring jutaan orang ke satu tempat, tanpa bisa dimengerti keuntungannya secara pribadi oleh akal? Jumlah segitu pun sedikit alasannya ialah masih dibatasi oleh kuota dan ragam problem Artikel Babo. Andaikan di hitung dari niat semata, maka dipastikan hampir 100% umatnya, bertekad untuk bisa tiba ke kawasan tersebut. Itulah potensi luar biasa ideologi ini: Islam. Itulah Islam dalam simbol-simbol spektakuler di tengah lautan insan yang tiba dari segala penjuru dunia, dalam menunaikan ibadah haji. 
Bagi orang yang hidup dalam paham materialistis dan sekular, tentu akan merasa sangat sulit memahami ini. Datang ke sana, mengorbankan tidak sedikit uang. Meninggalkan sanak saudara. Berdesak-desakan, bahkan ada resiko selesai hidup yang lebih besar. Tanpa manfaat, tanpa keuntungan materi. Dan tanpa acara yang masuk akal. Mengapa? Yang tersisa hanya pertanyaan yang semakin lama semakin panjang untuk bisa dijawab. Tapi satu yang tak sanggup di sangkal adalah: bahwa di sana ada sebuah kekuatan. Hidden power yang luar biasa besar! 
Mungkin yang sanggup menandingi hanyalah partai komunis dalam jadwal peringatan revolusi kebudayaan. Namun itu pun tiba bukan alasannya ialah kesadaran untuk berbaris rapi, tapi alasannya ialah paksaan system dan kediktatoran penguasa.
Andai saja kekuatan spiritual tadi sanggup bangun dalam konteks barisan komunitas ekonomi, maka sanggup dipastikan umat Islam akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar dan terkuat di dunia. Tidak salah lagi. Seharusnya, pun tidak membutuhkan waktu lama bagi mereka untuk bangkit. Islam mempunyai konsep yang terang perihal ekonomi. Konsep ini mengharamkan riba.  Artinya Islam melarang keras acara mendapatkan keuntungan dengan orang lain yang justru mengambil resiko dari ketidak pastian masa depan. Adapun yang dibenarkan dalam Islam adalah: keuntungan dan hasil harus diperoleh dari proses kerja keras dan kebersamaan menghadapi ketidak-pastian masa depan. Inilah makna yang tersirat dari konsep ekonomi islami.
Islam melarang orang menanamkan modalnya untuk suatu acara investasi  yang tidak ada produknya namun menjanjikan keuntungan di masa depan. Artinya acara spekulasi  mata uang, derivative business  surat berharga, future trading dan  index  ialah tidak dibenarkan. Dengan demikian mustahil akan terjadi akumulasi modal berputar untuk tujuan yang mubazir. Yaitu tujuan yang tidak berproduksi dan tidak menghasilkan barang atau jasa.
Selain itu, Islam juga menghendaki adanya perputaran dan pemerataan sejahtera. Kekayaan harus terdistribusi dalam sistem kolektif. Ada keharusan setiap orang berakal balig cukup akal yang mempunyai penghasilan melebihi batas yang ditentukan, harus menyerahkan sebagian kekayaannya untuk mereka yang kurang beruntung.
Dengan konsep ini, terang bahwa misi Islam ialah produktifitas oleh komunitas yang menerima kanal sama untuk mendapatkan kemakmuran. Hal ini juga diamini oleh Pemerintah Cina dengan partai komunisnya. Mereka menjiplak konsep ini secara utuh dan bahkan lebih radikal. Orang kaya di Cina mustahil mengharapkan uangnya bertambah lewat tabungan atau deposito. Atau mendapatkan keuntungan dari usaha spekulasi dari perubahan kurs atau suku bunga. Karena bunga dipatok sangat rendah. 
Dengan demikian maka orang kaya harus terus membuatkan dananya melalui acara riil yang melibatkan angkatan kerja. Tugas pemerintah sebagai titik sentral kekuasaan bertugas mendorong semua potensi melalui penyediaan infrastruktur dan suprastruktur di segala bidang. Demi terjaminnya distribusi keadilan di bidang ekonomi. Tanpa adanya perbedaan antara pemodal kakap dengan rakyat biasa. 
Selama ini, pemodal cukup dengan memainkan modal uang yang ia miliki. Tanpa berproduksi pun,  ia bisa bertambah kaya. Sementara rakyat biasa yang tidak punya kanal modal dan pasar, akan terus sengsara. Kerja keras dan kerja cerdasnya tidak pernah bisa dibayar pasar dengan semestinya. Karena adanya ketimpangan sistem yang lebih menguntungkan pemodal, tak peduli walau tanpa menghasilkan produk atau jasa sekalipun.
Lantas bagaimana membangkitkan kembali umat Islam dari tidur panjangnya di Republik ini? Aku kembali berpikir. Tentu harus ada satu gerakan yang terorganisir dengan baik semoga komunitas secara umum dikuasai di Indonesia ini bisa menjadi kekuatan real. Khususnya dalam memerangi kemiskinan. Ditanamkan kepada semua umat Islam bahwa agama harus dimaknai sebagai spirit dalam hidup keseharian. Dan dalam spirit agama, orang miskin ialah korban ketidak adilan sistem dan dosa sosial yang harus dilawan. 
Hmm… ya… ya… ya…, gumamku sekali lagi.
Relasi agama dengan materi dalam pergulatan hidup keseharian tidak berarti mengadopsi pendekatan fungsional atau mereduksi agama hanya pada fungsi ekonomi belaka. Karena intinya insan ialah makhluk simbolik. Maka untuk bertahan hidup dan melawan kemiskinan tak cukup dengan ekonomi atau fisik, tetapi juga budaya. Ini membutuhkan tidak hanya artefak, bentuk atau materi budaya. Tetapi juga motivasi dan makna. Sebagai sumber makna, kiprah agama amat mendasar dalam kehidupan sehari-hari. Pengaruh agama dalam melawan kemiskinan juga melibatkan dimensi lain menyerupai simbolik, motivasi,  kognitif  dan normatif. Agama berkata, adat memakai. Begitu seharusnya! Pekikku dalam hati.
Benar bahwa Islam harus ditempatkan sebagai dogma dan ajaran, tapi juga harus dengan rujukan pikir yang realistis dan dinamis. Harus! Islam bersifat melangit, suci dan tidak bisa diubah seenaknya dalam tataran konsep, tetapi juga selalu membumi dalam terapan ide-idenya. Itulah yang disebut berdialog dengan zaman dan realita. Berijtihad.  Ijtihad dalam Islam ialah sebuah jembatan, antara agama dengan fenomena dan realitas manusia. Dalam Islam keselarasan antara budi atau rasionalitas yang berpuncak pada sains, selalu dijaga keseimbangannya dengan bunyi hati yang merupakan manifestasi dari iman. Pun tidak menimbulkan atheisme alasannya ialah budi yang mengingkari iman. Kitab Suci selalu menekankan keseimbangan antara keduanya: antara iman dan akal. Banyak nash-nash  yang memperlihatkan hal itu.
Aku begitu bersemangat. Di dalam pikiranku, berlarian segala ide-ide yang selama ini kupendam, kini membuncah. Aku gelisah hingga kesannya terlontar rentetan rencana menyerupai senapan otomatis. Kritikan dan kegalauanku belum berhenti ketika ketika itu pula, saya sedikit tersenyum. Atau mungkin geram. Ah, entahlah! Yang terang saya sedikit berekspresi, entah perwajahan apa. Lalu melamun dan kembali larut dalam kemelut gagasan-gagasan. Kutarik napas dalam-dalam untuk melepas sedikit gemuruh di dadaku sebelum saya melanjutkan perenungan.
Kemudian, semoga tak disebut puritan  alasannya ialah mengusung Islam sebagai konsep membangun peradaban, harus diluruskan dan ditegaskan bahwa Islam bukanlah budaya mundur. Justru sejarah telah mencatat dengan tinta emas, kunggulan peradaban yang telah Islam bangun di masa lalu. Dan itu bukan sebuah kebetulan alasannya ialah apa yang dibawa oleh Islam ialah budaya, gaya hidup dan energi positif masyarakat madani. Sebuah masyarakat beradab yang dibangun di atas pondasi ilmu dan budpekerti yang mulia.
Aku kembali mengenang sejarah peradaban masa lalu. Tak satu pun menyangkal bahwa peradaban Islam di Bagdad dan Andalusia ialah alasan pertama bagi kebangkitan bangsa Eropa. Lewat para ilmuwan muslim ketika itu, masyarakat Eropa mulai mengenal apa itu ilmu pengetahuan. Bahkan lebih mendasar, mereka berguru bagaimana sih, berpikir itu? Mereka buta budi dan tidak terbiasa menggunakan logika. Tak lain alasannya ialah sebelumnya, dicekoki habis-habisan oleh doktrin gereja. Termasuk bahaya inkuisisi  bila menentang doktrin. Dari Andalusia mereka di ajari, khususnya oleh Ibn Rusyd, bahwa jalan lain untuk menerima kebenaran ialah dengan berpikir ilmiah dan logis. Mempergunakan akal. Tidak semata hanya dengan doktrin agama atau peraturan Paus, sebagaimana keyakinan mereka perihal ‘kebenaran’ Gereja.
Peradaban muslim ketika itu berhasil menjembatani dan menjadi filter dari peradaban Yunani ke masa Romawi di Eropa. Bahkan berlanjut hingga peradaban Barat ketika ini. Eropa pada kurun pertengahan berada dalam masa kegelapan. Sebuah masa ketika ilmu pengetahuan dan berpikir logis ialah perbuatan melanggar hukum. Yaitu pada masa skolastik Nasrani berkuasa. Di mana dominasi dogma mengalahkan akal. 
Di belahan dunia lain, justru ketika itulah Baghdad berada dalam puncak kejayaannya. Menjadi pusat pengetahuan di dunia, kawasan singgah dan transfer ilmu pengetahuan ke Eropa secara besar-besaran. Zaman emas kekhalifahan Islam ini dipelopori oleh kaum Mu'tazilah.  Sekelompok kaum yang menggunakan mazhab atau aliran berfikir logis-dialektis. Dari merekalah, khazanah keilmuan Islam semakin kaya dengan pembagian terstruktur mengenai mereka terkait konsep ketuhanan yang diselaraskan dengan rasio. Dengan alasan utama, untuk melawan kaum hebat kitab dari Yahudi dan Nasrani, yang mengajak berdebat logika.
Dunia ini harus di ubah. Hanya lewat evolusi peradaban, semua itu bisa terjadi. Sebuah peradaban yang di bangun di atas pondasi ilmu pengetahuan dan budpekerti yang mulia. Demi masa depan dunia yang lebih adil dan menentramkan. Pungkasku mengakhiri selancar impian.
Aku tergeragap. Sekonyong-konyong saya bangun dari dunia mimpi yang begitu indah. Ku lihat benda-benda kasatmata di sekitar. Aku tersadar, dan dunia impianku pun hilang tak berbekas di telan realita.  Aku menelan ludah getir. Inilah dunia real yang harus ku hadapi, masih sama menyerupai sebelum saya bermimpi. Aku menghela napas panjang, kemudian keluar  kamar dan mencoba menghirup dalam-dalam udara pagi. 
Budiman sudah menanti di ruang makan. “Kelihatannya kau tidur lelap sekali?” sapa Budiman sambil menyeruput kopi panasnya.
“Mereka sangat miskin, Man,” kataku pelan. Tak menghiraukan sapaan Budiman sebelumnya. 
“Iya. Sistem yang membuat mereka miskin.” Budiman tahu yang kumaksud dengan mereka, yaitu para kuli yang bekerja di perkebunannya dan orang-orang di desa sekitar.
”Lihatlah keadaan kita sekarang. Terjebak dalam situasi yang salah gara-gara kebijakan publik pemerintah yang tidak membumi,” keluh Budiman mengawali cerita.
“Banyak di antara kami yang terpaksa merumahkan karyawan. Dan tidak tahu lagi bagaimana nasib mereka sehabis kehilangan pekerjaan. Terseok-seoknya dunia usaha tidak hanya dialami oleh kami yang tergolong besar di sektor agrobisnis.  Tapi juga usaha manufaktur  besar di sektor pakaian jadi. Pengusaha sepatu nasional pun mengeluhkan kesulitan yang harus mereka hadapi semenjak tahun 2001 untuk sekedar bertahan hidup. Serbuan sepatu impor (ilegal) dari Cina dijadikan ‘terdakwa’ atas keterpurukan industri sepatu dalam negeri. Kapasitas produksi industri yang masih bertahan tinggal 75 persen. Nilai ekspor dari sektor manufaktur dari tahun ke tahun semakin menurun.” Budiman menghela napas, mencoba menahan emosi yang mulai menyulitkan susunan kata-katanya.
“Industri tekstil, pakaian jadi, sepatu, elektronik, dan beberapa industri manufaktur Artikel Babo perlahan tapi niscaya terus meredup. Ini bukan tiba-tiba terjadi, tetapi lewat sebuah rangkaian perjalanan yang tidak cepat di antisipasi. Kelemahan pada industri di Indonesia bukan hanya pada basis industrinya, tetapi juga pada struktur industri yang dibangun.” Seru Budiman mengakhiri cerita. Dia begitu menggebu mengungkapkan kekesalannya. Kesal alasannya ialah sistem yang menjebaknya. Dan lebih kesal lagi alasannya ialah tak sanggup berbuat apa-apa.
Memang kusadari, bahwa Negeri ini membangun industrinya hanya pada industri berteknologi rendah dan jenis perakitan. Tidak pernah bergerak menuju teknologi menengah apalagi tinggi. Industri yang dikembangkan pemerintah Indonesia lebih berkonsentrasi pada sektor-sektor yang semakin kurang signifikan dengan pasar yang terbatas. 
Ekspor Indonesia misalnya, hanya  konsentrasi di sejumlah sektor saja. Hampir separuh dari ekspor manufaktur hanya di isi lima jenis komoditas, yaitu: kayu lapis, tekstil, pakaian jadi, elektronik, dan bantalan kaki. 
Padahal untuk tekstil, pakaian jadi dan bantalan kaki persaingannya sangat ketat. Banyak negara menjadi produsen barang-barang itu alasannya ialah serapan tenaga kerjanya yang sangat tinggi. Cina, Vietnam, Thailand, dan India, berlomba menguasai pasar. 
Sedang industri kayu lapis juga tak lepas dari kasus produksi, alasannya ialah kesulitan materi baku seiring dengan semakin rusaknya hutan alam Indonesia. Begitu pula tekstil dan produknya. Hampir 99 persen kapas yang merupakan materi baku produksinya, ialah barang impor dengan nilai mendekati 1 miliar dollar AS. 
Proporsi penggunaan input impor pada industri nasional sangat tinggi. Tekstil misalnya, proporsi input yang berasal dari impor mencapai 32%. Sedangkan produk elektro dan mesin mencapai 65%. Ketergantungan pada input yang berasal dari impor ini tidak berkurang meskipun teknologi yang digunakan beranjak maju.
Aku pun menghela napas, mencoba berhenti sejenak dan menahan luapan kekesalan. Meski tetap saya tak bisa berhenti membayangkan nasib industri Artikel Babo di negeri tercinta. Kali ini perihal industri kecil.
UKM yang mempekerjakan dua pertiga tenaga kerja di sektor manufaktur juga tidak memberi donasi yang memadai dari total nilai industri manufaktur nasional. UKM terkonsentrasi pada manufaktur padat karya, bukan penyediaan input intermediate  bagi industri besar. Belum lagi sempitnya kanal modal untuk UKM  dari perbankan. 
Sementara industri besar menyerupai mesin, sepeda motor dan elektronik, 90 persen komponennya malah membeli dari luar negeri. Maka tak heran bila di lihat secara keseluruhan, sumbangan netto FDI terhadap neraca pembayaran selalu negatif. Itu alasannya ialah keuntungan yang dihasilkan dari investasinya dikirim kembali ke negara asal. Dari pengamatan The United Nations Support Facility for Indonesian Recovery tidak ada bukti kuat yang menyatakan FDI besar lengan berkuasa positif terhadap perkembangan ekonomi negara yang menjadi kawasan investasinya. Well, pernyataan tersebut kian memperjelas fakta yang ada.
Ranah tenaga kerja juga tak luput dari tumpahan kekesalan. Aku tak kalah geram. Faktor tenaga kerja yang selama ini menjadi keunggulan industri Indonesia tidak lagi sanggup dipertahankan. Rating produktifitas tenaga kerja Indonesia relatif lebih jelek dibanding dengan Malaysia dan Thailand. Ini akhir kurangnya perhatian negeri ini terhadap dunia pendidikan dan peningkatan kemampuan sumber daya manusia. Akibatnya, sumber daya insan Indonesia semakin sulit bersaing di tengah gencarnya serbuan tenaga kerja asing. Perusahaan-perusahaan sulit mencari pekerja yang mempunyai keterampilan memadai. Sementara untuk penelitian, pengembangan, pembinaan dan anggaran yang di bikin pemerintah sangat kecil dibandingkan dengan PDB.
 “Seharusnya pemerintah kembali menyadari bahwa membangun itu tidak usah melihat ke luar tapi lihatlah ke dalam. Data geografis menyebutkan bahwa 40,7 % lahan yang layak di tanami di planet bumi ini ada di Indonesia. Sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal, bahwa sesungguhnya Tuhan telah memperlihatkan kita segala-galanya untuk menjadi bangsa pemasok kebutuhan pangan dan produk turunannya bagi umat insan sedunia.” Timpal Budiman sedih.
“Mengapa ini tidak dijadikan keunggulan kita untuk bersaing? Mengapa masih enggan melaksanakan transformasi menjadi Negara yang kuat dan cerdas memanfaatkan sumber daya alam yang diberi? Hanya dengan cara inilah pemerintah bisa membantu rakyatnya, yang secara umum dikuasai ialah petani, nelayan dan pengrajin menjadi kekuatan raksasa menghadapi era globalisasi pasar,” keluh Budiman menahan rasa kesal yang sama. “Kita ini negeri yang tidak pintar bersyukur, plus tidak amanah!” tambahnya. Aku melihat kekecewaan di mata sahabatku itu. Betapa ia telah memendam kegalauanya atas negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
Kami bedua melamun dan memandang keluar hamparan tanah yang begitu luas. Budiman telah membuat uraian fakta betapa salahnya kebijakan yang tidak membumi. Hamparan hijau ini dilupakan oleh pengambil kebijakan. Tapi apa hendak dikata, apa yang telah terjadi, maka terjadilah. Meski itu kecut dan bahkan melukai hati nurani. Melihat insan menjadi budak oleh system. Sitem dimana kami berdua berada di dalamnya.
Para pemimpin terang-terangan memberi ruang lebar terjadinya perbudakan antara pemodal dengan rakyat jelata. Ya, perbudakan! Proses pembangunan ketika ini telah melahirkan perbedaan kelas. Yang kuat menekan yang lemah. Yang punya modal memeras mereka yang tak punya dana. 
“Ja,” panggil Budiman lembut. Sorot matanya pasrah dan tak berdaya. “Bantulah saya sebisamu. Usahaku terancam di lelang negara bila tidak sanggup melunasi hutang. Bagiku tidak kasus bila usahaku ini diambil alih. Tapi yang saya khawatirkan ialah bila usaha ini di kuasai asing. Ini akan membuat kita tidak jauh beda dengan situasi zaman penjajahan dulu,” pinta Budiman penuh harap. 
“Aku akan berusaha sebisaku. Ada sobat yang kini bekerja di forum keuangan raksasa di Hong Kong. Mungkin ia sanggup membantu mencarikan solusi pendanaan untuk mengatasi masalahmu,” kataku coba menenangkan. Betapa saya menyayangi Budiman, sahabatku. 
“Terimakasih, Ja.” Budiman tersenyum penuh arti, “apapun hasilnya, kita berserah diri kepada Tuhan.” 
“Ya, kita memang harus mengakui bahwa Tuhan-lah pemilik segala kehidupan.” Kata Jaka.

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/