Calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto mengkritik rendahnya kemampuan pemerintah dalam memungut pajak. Rasio pajak ketika ini disebutnya lebih rendah daripada pada kala Orde Baru.
Pengamat perpajakan, Yustinus Prastowo mengatakan, rasio pajak memang sering digunakan untuk mengukur kinerja pemungutan pajak meski bukan satu-satunya indikator. Dia menyebut, rasio pajak RI pada 2017 justru lebih baik daripada rezim Soeharto meski termasuk rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pada 2017, rasio pajak Indonesia dalam arti sempit alias hanya pajak saja sebesar 8,47 persen. Sementara dalam arti luas termasuk bea cukai dan PNBP SDA mencapai 10,58 persen. Dalam arti sempit, kata Prastowo, rasio pajak Indonesia dalam lima tahun terakhir ialah 9,70 persen (2012), 9,65 persen (2013), 9,32 persen (2014), 9,19 persen (2015), dan 8,91 persen (2016).
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, lanjut Prastowo, rasio pajak sepanjang 1990-1998 berturut-turut: 6,19 persen (1990), 6,72 persen (1991), 7,31 persen (1992), 7,30 persen (1993), 7,68 persen (1994), 8,20 persen (1995), 7,86 persen (1996), 8,03 persen (1997), dan 6,05 persen (1998). Ditarik mundur ke belakang, rasio pajak 7,33 persen (1972), 6,70 persen (1980), 5,25 persen (1984).
"Data menunjukkan, kala Orde Baru (kurun 1990-1998) dan sebelumnya, tax ratio kita tidak pernah ebih tinggi daripada tax ratio selama kala Reformasi, bahkan lebih rendah dibanding tax ratio 2017," kata Prastowo melalui keterangan tertulis, dikutip Sabtu (24/11/2018).
Menurut dia, impian Prabowo untuk meningkatkan rasio pajak Indonesia menjadi 16 persen sah-sah saja dan justru baik. Namun, beliau berharap Mantan Danjen Kopassus itu mempunyai peta jalan dan seni administrasi yang tepat, alasannya kalau tidak berpotensi membuat ketidakadilan baru.
Prastowo mengkritik janji kampanye tim kampanye Prabowo-Sandi soal pajak. Dalam beberapa kesempatan, Prabowo-Sandi berjanji memangkas banyak pajak. Langkah ini dinilai justru kontraproduktif dengan rencana meningkatkan penerimaan pajak.
Beberapa pajak yang akan dipangkas Prabowo-Sandi menurut catatan Prastowo antara lain tarif pajak penghasilan (PPh) Badan menjadi menyerupai Singapura sekitar 6-7 persen bahkan 0 persen, penurunan PPh pasal 21 dari mulai karyawan level staf sampai direktur, kenaikan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang dinilai ketika ini sudah terlalu tinggi yakni Rp54 juta per tahun, dan peniadaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
"Masih cukup waktu buat Tim Prabowo-Sandi untuk memperlihatkan kebijakan pajak yang lebih masuk akal, masuk ke persoalan empirik secara detail dan mendalam, tidak sekadar populis, memainkan sentimen, dan asal beda! Juga bagi Tim Jokowi-Ma’ruf Amin ditantang untuk mengirimkan sinyal berpengaruh ke pelaku perjuangan bahwa rezim perpajakan mereka akan lebih adil dan fair," ujar Prastowo. [inews.id]