Muhammad bin Abdul Wahhab |
Tersebutlah dua orang sobat yang saling melengkapi. Satu berjulukan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ia dikenal sebagai ulama hebat. Satu lagi berjulukan Muhammad bin Saud. ia seorang politisi dan juga pemimpin dari Al-Diriyah. Kedua orang ini membangun gerakan politik berjulukan Wahabi Salafi atau Wahabi di tempat Najed di semenanjung jazirah Arab pada final kala ke-12 hijriah. Secara politik, wahabi memang bertujuan menghilangkan persepsi umat bahwa kekuasaan tidak berasal dari keluarga nabi. Apapun yang mengkultuskan keluarga Nabi Muhammad dianggap sesat.Tentu tujuan politik yakni melegitimasi Ibnu Saud sebagai khalifah untuk Arab. Maka berdirilah negara Arab Saudi pada tahun 1744 (1157 H).
Muhammad bin Saud |
Makanya engga kaget kalau pada tahun 1801 dan 1802, golongan Wahhabi Saudi di bawah Abdul-Aziz bin Muhammad menyerang dan merebut kota suci Syiah Karbala dan Najaf di Irak, dan menghancurkan makam Husain bin Ali, cucu Muhammad, dan Ali bin Abu Thalib, menantu Muhammad. Cukup hingga disitu. Tidak. Pada tahun 1803 dan 1804 orang-orang Saudi merebut Makkah dan Madinah dan menghancurkan aneka macam makam Ahlul Bait dan para Sahabat, monumen kuno, situs dan reruntuhan Islam. Menurut Wahhabi, mereka "menghapus sejumlah dari apa yang mereka pandang sebagai sumber atau gerbang menuju perbuatan syirik - menyerupai makam Fatimah, putri Muhammad. Hal ini menyebabkan kemarahan kesultanan Utsmaniyah, yang telah menguasai kota suci semenjak tahun 1517, dan menciptakan Utsmaniyah bergerak. Tugas untuk menghancurkan Wahhabi diberikan oleh Utsmaniyah pada raja muda berpengaruh Mesir, Muhammad Ali Pasya.
Muhammad Ali mengirim pasukannya ke Hejaz melalui bahari dan merebutnya kembali. Anaknya, Ibrahim Pasha, kemudian memimpin pasukan Utsmaniyah ke jantung Nejd, merebut kota ke kota, dan menciptakan pasukannya menghancurkan desa yang melawan dengan sedikit belas kasihan, tragedi yang masih diingat di Nejd hingga ketika ini. Akhirnya, Ibrahim mencapai ibukota Saudi, Diriyah dan menyerangnya untuk beberapa bulan hingga kota itu mengalah pada trend hambar tahun 1818. Ibrahim kemudian membawa banyak anggota klan Alu Saud dan Ibn Abd Al-Wahhab ke Mesir dan ibukota Utsmaniyah, Istanbul, dan memerintahkan penghancuran Diriyah, yang reruntuhannya kini tidak pernah disentuh kembali. Imam Saudi terakhir, Abdullah bin Saud dihukum di ibukota Utsmaniyah, dan kepalanya dilempar ke selat Bosphorus. Sejarah Negara Saudi Pertama berakhir.
Namun, Wahhabi dan klan Al Saud hidup terus dan mendirikan Negara Saudi Kedua yang berdiri tahun 1891. Kemudian digagalkan oleh Kesultanan Ustamaniah. Namun komplotan kedua pendiri wahabi ini terus dilanjutkan oleh anak cucu mereka bahkan sehabis cicit Ibnu Saud yang berjulukan lengkap Abdulaziz bin Abdul Rahman bin Faisal bin Turki bin Abdullah ibn Muhammad Al Saud (1876-1953 M) yang juga dikenal sebagai Ibnu Saud berhasil mendirikan kerajaan Arab Saudi (Al-Arabiyah Al-Saudiyah) pada tahun 1932. Itu berkat keluarga Saud melakuan konspirasi dan aliansi dengan Inggeris dan Prancis menjatuhkan kesultanan ustmaniah di Turki yang berkuasa atas jazirah Arab. Pendirian negara Arab Saudi ketiga kali ini hingga kini masih bertahan. Namun kekuasaan Arab sudah dipreteli oleh Prancis dan Inggeris dengan menanamkan paham nasionalisme. Maka jazirah Arab menjadi beberapa negara menyerupai Irak, Iran, Suriah, kwait, Qatar, Jordan, Libanon. Khusus Israel yang mendapatkan legitimasi tanah palestina dari transaksi jual beli tempat hunian antara Baron Rothschild dengan inggeris sebagai pemilik tanah Palestina.
Walau Khilafiah Ustmaniah telah runtuh namun imbas idiologi khilafiah tidak hilang dikalangan elite politik di timur tengah. Mereka para elite itu yakin sanggup menguasai kembali Jazirah Arab bersatu dalam khilafah islamiah. Apalagi mereka tahu lahirnya Kerajaan Arab pada ketiga kalinya ini tidak dalam arti kehendak rakyat Arab. Itu berkat hadiah dari Prancis dan Inggeris sebagai pemenang perang dunia pertama menjatuhkan Dinasti Usmaniah yang berkuasa di jazirah Arab. Maklum para kepala Suku yang tergabung dibawah bendera Al Saud ikut terlibat membantu Prancis dan Inggris perang melawan pasukan Ustmaniah. Ada gerakan politik yang ada di Mesir yang tidak mendapatkan campur tangan absurd di Arab dan lebih menginginkan persatuan Arab.
Hasan Al Banna |
Gerakan itu yakni Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini berdiri pada 1928. Pendirinya yakni Syaikh Hasan Al-Banna. Sebetulnya anutan Syaikh Hasan Al-Banna ini moderat. Dia berusaha mengakomodasi kelompok salafy yang wahabi, merangkul kelompok tradisional yang mungkin sikap keagamaannya sama dengan NU dan juga merangkul kelompok pembaharu yang dipengaruhi oleh Muhammad Abduh. Syaikh Al-Banna menyatakan bahwa Ikhwanul Muslimin itu harkah islamiyah, sunniyah, salafiyah, jadi diakomodasi semua, sehingga ikhwanul muslimin menjadi besar. Dalam Ikhwanul Muslimin ada forum berjulukan Tandhimul Jihad. Yaitu institusi jihad dalam struktur Ikhwanul Muslimin yang sangat rahasia. Kader yang berada dalam Tandhimul Jihad ini dilatih militer betul, doktrinnya pakai kesetiaan menyerupai tarikat kepada mursyid. Ini dibawah komando pribadi Ikhwanul Muslimin. Para militer atau milisi ini menarik kelompok-kelompok sekuler yang ingin berguru wacana disiplin militer. Mereka penggalan dari militernya, bukan dari ideologi Ikhwanul Muslimin. Kaprikornus mereka berguru aspek militernya.
Taqiuddin Nabhani |
Ketika pada 1948 Israel mempermaklumkan sebagai negara maka terjadi perang. Nah, Tandhimul Jihad ini ikut perang, dan kelompok ini yang punya prakarsa-prakarsa. Waktu itu Mesir kan masih dibawah kerajaan Raja Faruk dan sistemnya masih perdana menteri, Nugrasi. Tapi jadinya Arab kalah dan Israel berdiri. Nah, dalam kelompok ini ada Taqiuddin Nabhani yang kemudian mendirikan Hizbut Tahrir. Kaprikornus Taqiuddin itu awalnya penggalan dari Ikhwanul Muslimin. Namun antara Hasan Al-Banna dan Taqiuddin ini kemudian terjadi perbedaan. Hasan Al-Banna berprinsip kita terus melaksanakan usaha dan memperbaiki sumber daya manusia. Sedang Taqiuddin bersikukuh biar terus melaksanakan usaha bersenjata, militer. Taqiuddin beropini kekalahan Arab atau Islam lantaran dijajah oleh sistem politik demokrasi dan nasionalisme. Sedang Hasan Al-Banna beropini sebaliknya. Menurut dia, tidak problem umat Islam mendapatkan sistem demokrasi dan nasionalisme, yang penting kehidupan syariat Islam berjalan dalam suatu negara.
Pada 1949 Hasan Al-Banna meninggal lantaran ditembak biro pemerintah dan dianggap syahid. Sedang Taqiuddin terus berkampanye di kelompoknya di Syria, Libanon dan Yordania. Kemudian Tandhimul Jihad diambil alih Sayid Qutub, ideologinya Ikhwanul Muslimin. Ia dikenal sebagai sastrawan dan penulis produktif, termasuk tafsir yang banyak dibaca oleh kita di Indonesia. Sayid Qutub mendatangi Taqiuddin biar secara ideologi tetap di Ikhwanul Muslimin. Tapi Taqiuddin tidak mau lantaran ia beranggapan bahwa Ikhwanul Muslimin sudah masuk bulat jahiliyah. Ya, itu berdasarkan Taqiuddin hanya gara-gara Ikhwanul Muslimin mendapatkan nasionalisme. Akhirnya Taqiuddin mendirikan Hizbut Tahrir ( partai pembebasan). Maksudnya, pembebasan kaum muslimin dari cengkraman Barat dan dalam jangka pendek membebaskan Palestina dari Israel. Itu pada mulanya. Ia mengonsep ideologi khilafah Islamiyah. Ini menjadi bahaya bagi kerajaan yang ada di Timur Tengah yang sudah nyaman dengan sistem monarki.
Makanya di Jordania yang merupakan basis utama gerakan ini, semenjak pertama kali mendaftar pada 1952 sebagai partai politik, Hizbut Tahrir pribadi ditolak oleh pemerintah Jordania. Saat itu Hizbut Tahrir tidak mendaftar sebagai organisasi sosial kemasyarakatan, tetapi mendaftarkan diri sebagai partai politik. Namun langkah yang diambil Hizbut Tahrir pribadi ditolak lantaran dianggap bertentangan dengan konstitusi Jordania. Salah satunya, Hizbut Tahrir menentang nasionalisme yang sudah menjadi common platform seluruh warga negara. Di samping itu, Hizbut Tahrir menentang sistem dinasti yang sudah mapan. Ada beberapa hal Artikel Babo yang dianggap sanggup menerabas konstitusi yang sudah disepakati oleh aneka macam faksi politik dan masyarakat.
Kemudian Hizbut Tahrir menerima peluang untuk berbagi gerakannya di beberapa tempat Palestina yang kekuasaannya berada di bawah otoritas Jordania, lantaran situasi objektif Palestina yang menawarkan ruang bagi kelompok apapun untuk tumbuh. Pada mulanya Hizbut Tahrir hanya sebagai kelompok pengajian sehabis Salat Jumat. Lalu kemudian membuka cabang di beberapa daerah di Tepi Barat, terutama di tempat pedalaman. Pada 1951, Taqiyuddin Nabhani mengikuti pemilu legislatif di Palestina. Tetapi ia kalah dari wakil Partai Ba'ast. Semua kandidat Hizbut Tahrir kalah, kecuali Ahmad Da'ur dari Tulkarem lolos ke DPR sehabis berkoalisi dengan Ikhwanul Muslimin. Kekalahan tersebut disebut-sebut menjadi titik-balik untuk meninggalkan gelanggang politik dan menentukan jalur dakwah kultural. Mereka kembali menggariskan acara untuk menguasai mimbar-mimbar masjid dan forum pendidikan keagamaan.
Selain itu, konflik internal yang terjadi di dalam Hizbut Tahrir menyebabkan eksistensi mereka di Palestina semakin tenggelam, yang menyebabkan beberapa pengurus terasnya mengundurkan diri, menyusul hijrahnya Taqiyuddin al-Nabhani ke Beirut. Pada 1956, beberapa penggagas Hizbut Tahrir diusir dari Jordania sehingga kegiatan mereka mati total pada ketika itu. Kondisi objektif yang terjadi di Jordania menjalar ke seantero negara di Timur-Tengah. Hampir tidak ada negara di Timur-Tengah yang kemudian menawarkan ruang yang leluasa terhadap Hizbut Tahrir. Mengapa ? Ada dua alasan utama yang menjadi landasan kenapa Hizbut Tahrir dihentikan di Timur-Tengah. Pertama, Hizbut Tahrir memiliki ideologi khilafah, yang secara kasatmata bertentangan dengan realitas politik kontemporer. Di masa lalu, sebelum jatuhnya Dinasti Ottoman di Turki pada 1923, khilafah masih menjadi sistem politik. Tetapi sehabis itu, dunia Islam khususnya Timur-Tengah mengalami stress berat politik yang sangat akut perihal kembalinya sistem khilafah. Namun Hizbut Tahrir tetap pada pendiriannya untuk menegakkan khilafah. Negara-negara Timur-Tengah Artikel Babo pun memiliki argumen berbeda. Karena sehabis jatuhnya Dinasti Ottoman sudah mustahil lagi diterapkan sistem khilafah.
Kedua, Hizbut Tahrir ditengarai terlibat dalam beberapa perebutan kekuasaan di Timur-Tengah. Menurut Musa Kaylani (2014), pada dekade 60-an penggagas Hizbut Tahrir terlibat dalam perebutan kekuasaan di Jordania dan dekade 70-an di Tunisia. Pada 1974 juga para penggagas Hizbut Tahrir terlibat dalam perebutan kekuasaan di Mesir. Dua alasan menonjol tersebut telah menyebabkan Hizbut Tahrir memiliki posisi yang sangat tidak menguntungkan. Mereka tidak gampang mengepakkan sayapnya, lantaran adanya benturan yang sangat serius dengan realitas politik di Timur-Tengah. Apalagi negara-negara Teluk yang memiliki sistem monarki, yang secara diametral akan bertabrakan dengan sistem khilafah yang diusung Hizbut Tahrir. Maka dari itu, pengalaman di Jordania telah menyadarkan para penggagas Hizbut Tahrir untuk mengambil langkah strategis yang jauh lebih jitu dengan cara bergerak di bawah tanah. Mereka memaksimalkan penyadaran personal, berinteraksi secara luas dengan banyak kalangan, serta menghipnotis para tokoh politik dengan gagasan khilafah. Ya HT menempuh jalur silent revolution di beberapa negara,termasuk di Indonesia.
Kerajaan Arab sangat paham bahwa HT yakni bahaya serius bagi eksistensi dinasti Al Saud. Niat HT untuk menghabisi kerajaan Saudi bukan hal gres tetapi sudah semenjak lama. Dua kali kerajaan Arab berdiri dua kali di hancurkan oleh Khilafah Usmani. Tentu Saudi tidak mau hancur untuk ketiga kalinya lantaran ulah Khilafah. Aksi HT sangat dipahami oleh kepetangan Saudi. Sekecil apapun riak yang mengarah ke HT pribadi di habisi dan di aturan pancung. Itu sebabnya HRS sanggup problem di Makkah hanya lantaran mengibarkan bendera HT. Ini problem seriues. Karena mengancam posisi Raja. Bukan paranoid tetapi kerajaan Arab tidak mau ambil resiko sekecil apapun soal kekuasaan.
Kerajaan Arab sangat paham bahwa HT yakni bahaya serius bagi eksistensi dinasti Al Saud. Niat HT untuk menghabisi kerajaan Saudi bukan hal gres tetapi sudah semenjak lama. Dua kali kerajaan Arab berdiri dua kali di hancurkan oleh Khilafah Usmani. Tentu Saudi tidak mau hancur untuk ketiga kalinya lantaran ulah Khilafah. Aksi HT sangat dipahami oleh kepetangan Saudi. Sekecil apapun riak yang mengarah ke HT pribadi di habisi dan di aturan pancung. Itu sebabnya HRS sanggup problem di Makkah hanya lantaran mengibarkan bendera HT. Ini problem seriues. Karena mengancam posisi Raja. Bukan paranoid tetapi kerajaan Arab tidak mau ambil resiko sekecil apapun soal kekuasaan.