Pernah ada sebuah zaman ketika agama, zina, kekuasaan, uang, nepotisme, jual beli jabatan, perang, pembunuhan, dan moralitas campur baur. Itulah kurun ke 16 di Italia, ketika Paus Aleksander VI naik Takhta Suci. Ketika Kardinal Rodrigo Borgia dipilih dengan bunyi bundar dalam pertemuan para uskup tanggal 10 Agustus 1492, Paus gres ini menentukan nama ”Aleksander”—tokoh sejarah ”yang tak terkalahkan”, katanya, mengacu ke sebuah nama penakluk yang tak pernah mengenal Yesus. Upacara penobatannya meriah. Roma menyaksikan dengan penuh kegembiraan barisan panjang kuda putih, 700 pastor dan kardinal berpakaian warna warni, formasi ksatria dan pasukan panah, parade permadani dan lukisan. Di ujung prosesi itu Aleksander lalu tampak: dalam usia 61 ia tetap gagah, tubuhnya tinggi, penuh energi, dengan sikap percaya diri yang mengesankan. Di masa itu, tak banyak yang berkeberatan dengan kemewahan itu. Juga tak ada yang mengungkit kehidupan pribadi Sri Paus: ia naik jenjang karier hingga jadi kardinal dalam usia 25 tahun. Tentu saja jalur cepat itu alasannya yaitu Paus Calixtus III yaitu pamannya. Yang tak bisa dilupakan yaitu bahwa Kardinal Borgia yang pintar memimpin Kuria itu, yang unggul dalam manajemen dan politik, juga ganteng, hangat, bijak bestari, dan memikat hati para perempuan. Pada umur 29 tahun, sang kardinal punya anak gelap pertama. Enam tahun kemudian, seorang wanita lain jadi ibu dari empat anak yang baru, antara lain Cesare.
Itu memang zaman ketika kehidupan seksual para petinggi Gereja berlangsung tanpa diributkan. Itu juga zaman ketika kedudukan kepausan bisa dimanfaatkan untuk mengumpulkan dana dan memberi kawasan bagi sanak keluarga. Paus Aleksander memperoleh 30 ribu dukat uang untuk memberi izin perceraian seorang raja Hungaria, mendapatkan bayaran 120 ribu dukat dari 12 kardinal yang dipromosikannya. Sebuah sajak satire pernah ditulis wacana itu: ”Aleksander menjual kunci, altar, dan Kristus.…” Sang Paus tak peduli. Ia tak mendengarkan apa yang dikatakan orang ramai wacana dirinya. Ia mengukuhkan takhta kepausan, dan untuk itu segala cara ditempuh. Ia beruntung. Ia mendapatkan proteksi dari putranya, Caesar Borgia, sang penakluk yang berhasil memperluas wilayah kepuasan—terutama sesudah anak muda itu, dalam usia 22 tahun, melepaskan jabatannya sebagai kardinal dan terjun memimpin peperangan. Cesare, yang tak kalah rupawan ketimbang ayahnya, bertubuh jangkung dan berambut pirang, yaitu lelaki perkasa yang konon bisa membengkokkan sepatu kuda dengan tangan telanjang. Ia bisa merobohkan seekor banteng dengan sekali tebas. Ia tak mengenal takut. Ia periang dan cerdik. Perempuan mengaguminya tapi tahu bahwa mereka hanya akan dipergunakan sebentar. Nafsu utama lelaki ini hanya satu: kekuasaan. Ia bisa brutal dan keji, ia bisa akil dan culas. Tapi ia bisa menenangkan rakyat di bawahnya.
Ia hidup menyendiri di Roma, setengah tersembunyi, hingga begitu banyak desas desus beredar bagaimana ia meracun musuh politiknya, atau memenjarakan orang penting untuk lalu dilepaskan sesudah membayar ribuan dukat. Tak pernah terperinci tercatat dalam sejarah, benarkah semua itu dilakukannya. Bagaimanapun juga, ia memang penguasa yang tegas dan efektif, dalam menipu, menjebak, dan membinasakan mereka yang menghambat jalannya. Tapi juga dalam memerintah, ia bisa mengambil hati mereka yang hidup di bawah. Sejarah kekuasaannya, sebagaimana kekuasaan ayahnya, menimbulkan perdebatan hingga hari ini, dan tak hanya di Italia: tak adakah dorongan lain dalam dinamika kekuasaan politik, selain mendapatkan dan menggunakan kekuasaan politik? Machiavelli, yang menulis Il Principe, menggambarkan sikap Cesare Borgia dengan penuh pujian: ”Ia dianggap kejam… tapi kekejamannya bisa menggabungkan kembali Roamagna, menyatukannya, dan memulihkannya ke dalam suasana tenang dan setia….” Cesare bisa menyebabkan rasa takut, tapi juga rasa cinta, dari orang lain. Bagi Machiavelli, seorang penguasa yang harus menentukan antara dicintai atau ditakuti, lebih baik menentukan yang terakhir. Ia harus bisa mengorbankan cinta.
Salahkah Machiavelli? Hegel memuji pemikir politik Italia dari kurun ke 16 itu dalam hal ”kesadarannya yang tinggi wacana hal hal yang pasti dalam membentuk sebuah negara”. Semuanya harus bisa diperalat, juga agama. Machiavelli mengambil contoh dari Numa Pompilius yang memimpin Roma: untuk menjinakkan sebuah masyarakat yang ganas dengan cara yang damai, Numa menggunakan agama sebagai ”penopang yang paling perlu dan pasti bagi tiap masyarakat yang beradab”. Tapi tampak, bagi Machiavelli dorongan pertama bukanlah dorongan religius, bukan untuk mendekatkan diri kepada Kebaikan yang Kekal, melainkan dorongan politik: berkuasa dan melahirkan ketertiban. Nilai nilai yang dianjurkan Tuhan tak penting kecuali untuk itu. Tak mengherankan kalau seorang pengagumnya menyebut ia irrisor et atheos, ”seorang atheis yang membawakan satire” dalam filsafatnya wacana kekuasaan. Machiavelli tak salah: ia membongkar apa yang faktual dalam kehidupan politik, bukan apa yang seharusnya. Sebab apa yang seharusnya (yang menurut sesuatu yang transendental) pada balasannya ditentukan tafsirnya oleh siapa yang di dunia ini menang atau ingin menang.
Tapi kita dengan gampang bisa menunjukkan, Machiavelli tak lengkap. Hidup tak hanya tumbuh dalam ketertiban dan kekuasaan. Pengalaman menunjukkan, hidup juga punya momen yang transendental. Ada yang menggugah entah kenapa dari ketika yang ”ethikal”: ketika kita merasa bertanggung jawab untuk adil, terutama kepada orang lain, terutama kepada yang menderita.@
Sumber https://culas.blogspot.com/