Cinta Itu Memberi...


Cinta ? Dimanakah cinta itu kini ? Lelah saya bertanya pada diriku sendiri. Kamu mungkin bertanya pula padaku, bagaimana mungkin seorang ibu, seorang istri bertanya dimana cinta ? Bukankah cinta itu sudah berkembang menjadi menjadi sebuah forum yang dirahmati Allah. Yang berjulukan Rumah tangga. Rumah yang ada tangganya. Tangganya itu yaitu kekuatan hati untuk masuk kedalam. Kedalam mana ? Ya, dalam hati. Rumah yaitu simbol sebuah ruang didalam hati. Di dalamnya ada mahligai untuk saling menyebarkan dalam susah maupun senang. Ah, bukan itu yang kumaksud. ! Kaprikornus apa ? Itu , yang kumaksud , saya ingin Bang Udin ada di sampingku dikala beliau melangkah. Aku ingin beliau mengerti saya dikala saya tidak memahami. Kuingin beliau menyediakan pundaknya dikala saya menangis dalam dekapannya. Kuingin beliau ada menyerupai apa yang kumau. Itu aja.

Tapi itu yang tidak kudapatkan. Bukankah cita-cita ku sangat sederhana. Kalau cita-cita ku itu yaitu ujud cinta yang kuharapkan, seharusnya saya mendapatkannya. Tidak perlu sulit atau memohon darinya. Ya. Kan. Aku mulai berpikir Bang Udin hanya mempermainkanku, mempermainkan saya sebagai ibu dari anaknya dan juga istri yang di nikahinya secara syah dihadapan Tuhan. Betapa tidak ? Setiap hari yang kurasakan, tidak ada lagi respect. Bila beliau pergi , beliau akan pergi begitu saja. Beli beliau ada kesepakatan untuk pulang cepat , semudahnya beliau melupakan. Bila saya ingin pergi keluar dan berharap di antarnya, seenaknya beliau bilang sibuk. Ketika saya sakit perut, seenaknya beliau bilang, cepat kedokter sambil melotot. Ketika saya lelah dengan anak anak di rumah, beliau malah minta di pijit sepulang kerja dari Kantor. Bah, bukankah ini penjajahan periode gres dari sebuah forum berjulukan Rumah tangga.

Kemarin , hari ini, dan mungkin besok saya akan tetap menyerupai ini. Selalu merasa kalah dan di kalahkan olehnya. Ingin saya murka tapi kepada siapa?. Tidak ada yang salah dari bang Udin. Dia setia dan tidak pernah selingkuh. Aku yakin betul itu. Karena saya tidak terlalu tolol untuk mengetahui beliau menduakan atau tidak. Selama pra nikah, saya mengenal Bang Udin dengan baik. Setelah menikah , saya hapal setiap gerak tubuhnya dan bahasa tubuhnya. Juga bahasa matanya. Aku tahu segala galanya untuk mengetahui niscaya apa yang tidak terungkapkan dengan kata kata. Yang jadi masalah, Bang Udin terlalu kurang bakir mungkin. Ya bodoh, itu yang kumaksud. Dia tidak tahu bagaimana bersikap untuk sebuah cinta dan memahami arti di balik cinta itu. Dan menganggap cinta simpulan dikala diucapkan dikala melamarku sebagai istrinya. Setelah itu , yang ada hanya rutinitas yang membosankan.

Bahwa saya ingin Bang Udin bersikap layaknya Romeo yang berhati lembut memahami aku. Membiarkan tangan kokohnya kupeluk. Membiarkan tubuhnya ku dekap manja dihadapan setiap orang. Membiarkan waktu sibuknya terluangkan untuk bersamaku pergi belanja dihari libur. Pergi kedokter untuk mengusut kehamilanku. Mendengarkan keluhanku , kelelahanku dirumah, Tapi memang itu terlalu mahal baginya. Kini, sekarang, saya harus memilih sikap. Aku harus menuntut hakku. Hak sebagai  orang yang katanya di cintainya. Hak untuk diperlakukan layak sebagai istri, sebagai kawan dan juga saebagai kekasih. Harus. Suka tidak suka harus beliau hadapi sikapku ini. Agar saya tidak merasa kalah dan dikalahkan.Agar saya merasa ada equality.

Malam itu menyerupai biasa sehabis Bang Udin lelah dengan kerjaanya yang di bawanya dari kantor. Setelah bercengkrama di depan Notebooknya. Bang Udin eksklusif ketempat tidur. Aku memunggunginya. Dalam beberapa detik ” Mah, urut dong” Bah, benarkan, Kebiasaan buruk penjajah tiba lagi.

” Ogah. Aku capek ” Jawabku ketus sambil tetap memunggunginya.

” Tolong dong, ”

” Ogah.”

” Eh, kenapa sih. Ketus amat. ” Katanya sambil berusaha membalikan tubuhku menghadap kearahnya. Aku tetap bersikeras untuk memunggunginya. Tapi tangan kokohnya memang perkasa dibandingkan tubuhku yang mungil.

” Loh..kenapa ? mah ” Katanya dengan terkejut alasannya melihat airmataku berlinang. ” Kamu ada apa ?”

” Aku bosan, Bosan. ” Suaraku agak keras. Aku berdiri dari tidurku. Aku duduk menghadap kearahnya yang tetap rebahan dan kebingungan ” Setiap hari kau perlakukan saya dengan seenaknya. Aku capek urus anak anak tadi siang, Aku capek urus rumah. Aku capek melayani Rini yang terus rewel. Aku capek antar pulang pergi Riki kesekolah dan kursus. Sementara kau yummy aja suruh saya mijit. Seenaknya sibuk dengan urusan kamu. ” Kataku dengan airmata berlinang.

Eh , Bang Udin malah gundah mendengar kata kataku. Kan benar, beliau memang bodoh. Engga paham perasaanku. ” Oh itu. Ya saya tahu kau capek. Ya udah. Kalau engga mau ngurut ya bilang aja. Aku mau tidur ah. ” Katanya sambil tengkurap. Benar benar ini orang tidak punya hati.

” Bangun ! Kataku sambil menarik tubuhnya dari telungkup paus. Tapi tubuhnya memang kokoh, Tak berdaya saya membalikan tubuhnya. ” Aku mau tidur, mah, Besok pagi saya harus tiba lebih awal di kantor untuk persiapan rapat. ”

” Aku mau bicara ! Sentakku.

” Besok aja ya bicaranya. ”

” Sekarang ! Kataku berusaha membalikan tubuhnya

” Ya, Ya.. ” Dia kembali telentang. Rasanya saya ingin murka dan memukul tubunya sekencang kencangnya. Tapi senyumnya menciptakan saya luluh,. Oh Tuhan, ya senyum inilah yang menciptakan saya jatuh cinta. Senyum yang ringan tanpa beban apapun. Kadang terkesan manja di hadapanku. ’ Mau bicara yaaaa. Apaan sih ” katanya sambil berusaha menciumku. Tapi saya cepat mengelak. Bibirnya terus di mancungkan kearahku dengan mata terpejam. Terkesan lucu bagiku. Aku tak sanggup meneruskan kata kataku. Tak terasa , entah kenapa akupun tersenyum sambil memeluknya. ” Eh udahan ya marahnya.” Katanya sambil membalas pelukanku. Dengan lembut beliau berkata :

” Aku tahu kau lelah dengan segala keseharian kamu. Aku tahu kau inginkan kelembutan menyerupai dikala kita pacaran dulu. Aku tahu kau inginkan kehangatan menyerupai dikala kita bulan madu dulu. Aku tahu itu. Tapi berjalannya waktu, bagi ku cinta bukan hanya sekedar kata kata, tapi perbuatan. Setiap hari saya bekerja keras, Itulah caraku mengungkapkan cinta itu. Bahwa saya tidak pernah berhenti mencintaimu. Marriage is not a noun. it's a verb. It isn't something I get. It's something I do. It's the way i love you every day

Aku tersentak...

Di hadapanku kini ada laki-laki yang kokoh sebagai pelindungku, sebagai imamku dan juga potongan jiwaku. Tentu tidak gampang baginya untuk menciptakan rumah tangga utuh di tengah situasi dunia menyerupai sekarang. Aku tersenyum di hadapannya. Memberikan senyum terindah baginya, sebagai ujud keikhlasanku mendampinginya untuk menjaga amanahnya, menjaga hartanya, menjaga anak anak yang lahir dari rahimku. Itulah harus kulakukan kini dan besok. Cinta yang dulu kumaknai dikala awal bertemu dengannya harus ku defenisi ulang supaya saya tak perlu lagi kecewa dan merasa kalah. Aku ingin menjadi pemenang dalam diriku dan untuk itu harus kuperjuangkan dengan segala susah payah sebagaimana suamiku berjuang memenuhi kebutuhan hidup yang tak ada lagi yang gratis…

Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait