Cinta Yang Kuberi , Volume 1


Namanya Sobari. Singkat saja nama itu. Padahal, banyak orang punya nama yang panjang atau setidaknya dua suku kata dengan pemanis nama orang renta atau famili atau marga. Orang bilang nama itu lambang harapan. Banyak orang renta memberi nama anaknya nama tokoh sejarah , panglima perang, raja, intelektual, artis. Tentu ada pujian dikala orang renta melahirkan anak dan sekaligus bermimpi kelak anaknya sanggup menggandakan idolahnya atau sesuai apa yang mereka inginkan.
Tapi Sobari ialah Sobari. Mungkin orang tuanya memberi nama itu hanya mengharapkan Sobari menjadi orang sabar. Tak penting mau jadi apa, yang penting Sabar. Cukup.
Aku mengenal Sobari sebagai seorang sahabat. Kami tak begitu erat lantaran mungkin berbeda langkah yang sulit seirama. Namun arah kami sama: menuju satu titik lantaran sholat kami ke kiblat yang sama. Entah doa atau memang keinginan orang tuanya semoga Sobari menjadi orang yang sabar, maka jadilah sobari orang yang menuntaskan kesehariannya dengan sabar dan kesabaran.
Sebetulnya saya bosan membahas wacana Sobari. Apalagi banyak hal selama pergaulan dengannya menciptakan saya pening. Banyak logika saya masuk lubang sumur. Tapi pertemuan kemarin dengan Sobari menciptakan saya harus kembali melihat Sobari tak lagi Sobari sebagai sahabat. Tapi Sobari sebagai Tao hidup.
Udah berapa anakmu?” tanyanya dikala kami bertemu. Maklum saja sudah hampir lima tahun tak bertemu.
“Dua.”
“ Oh….”
“Kamu gimana?”
“Dua ratus, barangkali,” jawabnya singakt sambil tersenyum.
“Yang seriuslah .”
“Kapan saya becanda dengan kamu?”
“Benarkah itu?” saya bertanya menyerupai orang bodoh.
“Kapan saya bohong kepadamu?”
Aku garuk-garuk kepala. Penampilan Sobari cukup necis. Safari warna hitam. Beda dengan penampilannya yang dulu kukenal. Wah, sudah makmur kini Sobari. Padahal, lima tahun kemudian beliau masih berkeliaran di Tanjung Priok sebagai calo barang di pelabuhan.
“Datanglah ke rumahku.” Sobari mengatakan kartu namanya. Tertera namanya SOBARI. Tak ada jabatan tertera di bawah namannya.Tentu tak ada pula titel lantaran Sobari hanya menamatkan sekolah SLA. Padahal jaman kini banyak orang membeli gelar untuk mendapatkan status semoga dipercaya.
“Bagaimana dengan dua ratus anakmu itu?” Aku menampakan wajah setengah memperolok lantaran saya tetap yakin Sobari tidak serius dengan kata-katanya. Apalagi lima tahun kemudian saya tahu Sobari belum punyak anak walau sudah 20 tahun berumah-tangga.
“Datanglah kerumahku,” jawabnya lagi dengan tersenyum. “Tentu kau masih tidak yakin, tapi tak ada salahnya untuk tiba kerumahku,” sambungya seakan menangkap kesan di wajah saya.
Di hari Minggu yang cerah, saya tiba berkunjung ke rumah Sobari. Itupun tidak ada niat untuk tiba khusus ke rumahnya. Kalaulah relasi saya yang di Pluit tidak mungkir dengan janjinya, maka hari Minggu ini tak mungkin bertemu Sobari. Tak sulit mencari alamatnya yang baru. Ternyata semua orang di komplek itu mengenalnya. Rumahnya ternyata yang terbesar di antara rumah yang ada di komplek itu. Bahkan berdasarkan ukuran saya rumahnya layak disebut gedung, bukan rumah. Ukurannya 20 kapling yang masing masing berukuran 100 meter dijadikannya satu. Besar, kan?
Sobari menyambut saya dengan tersenyum dengan jabatan tangan yang lembut. Dia menuntun saya masuk ke dalam rumah. Diruang tamu itu tak ada tampak satupun anak anak yang dua ratus itu. Juga tak tampak sepatu bawah umur di teras rumah. Sobari memang bohong atau becanda. Saya tak mau lagi membahas soal dua ratus anak. Saya hanya ingin bertemu dengannya dan sedikit ingin tahu kisah suksesnya.
“Luar biasa!” kataku menatap ke seluruh ruangan yang ada di ruang tengah rumahnya. “Apa bisnis kau ?”
“Bangun jalan.” katanya seraya tersenyum.
“Kontraktor?”
“Ya.”
“Proyeknya di mana?”
“Di bumi.”
Saya tertawa. “ Seriuslah, setidaknya saya ingin kau ajari saya bagaimana dapatkan uang dengan cepat. Lima tahun terlalu cepat untuk mendapatkan semua ini,” kataku.
“Saya serius. Dari dulu kau kan tahu saya selalu serius. Kamu melihat waktu lima tahun terlalu cepat untuk menghasilkan sukses. Bagiku bukan soal waktu lima tahun atau apa lantaran saya tak pernah menghitung waktu.”
“Tapi kau sukses sekarang.”
“Belum dan belum,” jawabnya tegas.
“Apakah kau punya sasaran untuk dicapai?”
“Tentu, tentu ada target. Selagi saya hidup sasaran itu belum akan tercapai.”
“Wah, kau ambisi ya. Beda dengan dulu kau yang saya kenal. Ada ada ?”
“Bukan soal ambisi, tapi tak ada pilihan. Dari dulu hingga kini saya tidak berubah.Tidak ada ambisi apapun. Kecuali menjalani hidup apa adanya.”
“Lantas bagaimana kau mendapatkan ini semua?”
Sobari kembali tersenyum. Mungkin beliau menangkap rasa keingintahuanku.
“Kamu kan tahu. Dari dulu saya membenci orang mengemis. Bukan lantaran saya tak suka dengan orang yang lemah. Bukan. Aku sangat mengasihi semua hamba ciptaan Allah.Tapi, soal mengemis itu saya sangat benci. Dulu jikalau saya menjual barang yang ada di gudang. Aku tak pernah membuka tawaran harga berapa akan kujual. Tak pernah. Kamu tahu itu. Orang melihat barang dan saya membuka semua keterangan soal harga itu dari gudang. Mereka tertarik, mereka membayar kepada pemilik barang. Selesai. Kalau mereka memberi saya untung lantaran jasaku, maka saya terima. Kalau mereka pribadi ngoloyor ya saya tak akan mengejar untuk mereka membayar komisiku.”
“Ya, itu saya tahu. Itu konyol namanya.”
“Dan saya tetap hidup dengan caraku. Selalu ada saja cara saya mendapatkan uang tanpa harus meminta. Kamu juga tahu itu.”
“Orang kasihan melihat kau yang berlelah di pelabuhan mencari pembeli barang tapi tak ada uang. Orang memberi kau uang lantaran prihatin dan itu semua tiba dari sahabat-sahabat kamu,” kataku sinis.
“Rasa kasihan itu ialah nilai spiritual yang menjadi hakku. Mereka memberi hanya menunaikan hakku yang dititipkan Allah kepada mereka. Dan mereka tak bisa berkelit bila Allah berkehendak.”
“Ya, tapi bentuk lain dari caramu mengemis?”
“Aku tidak pernah mengemis dalam bentuk apapun.”
“Ok lah…” kataku mengakiri perdebatan ini. “Beritahu padaku bagaimana kau mendapatkan ini semua.”
“Karena orang memberi tanpa saya meminta. Sama menyerupai dulu.”
“Dengan semua yang ada kini kau miliki?”
“Ya!”
“Yang benarlah, Sobari. Manapula ada di zaman kini orang memberi. Apalagi dalam jumlah besar.” Kepalaku mulai pening.
“Itu pikiran kamu. Kenyataannya ada!”
“Ok lah. Lantas, apa yang diperlukan orang memberi itu kepadamu?”
“Dia tidak berharap apapun dariku. Tidak ada. Dia memberi lantaran keyakinannya kepada sesuatu.”
“Sesuatu ???” Aku bengong. “Apa itu?”
“Keselamatan,” jawabnya singkat. Tetap tersenyum dan “sabar “ meladeninku.
“Ceritakan padaku,” kataku. Aku tak ingin balasan singkat lagi sebelum saya terjebak dengan dilema yang bikin saya pening.
“Empat tahun kemudian ada orang tiba ke rumahku. Dia tiba lantaran petunjuk dari seseorang. Akupun tak tahu siapa itu orang. Hanya pintanya semoga saya mendapatkan semua uang yang ada di tangannya. Orang itu menyerahkan uang kepadaku dan berharap pemberian uang itu sanggup menyelamatkannya dari prahara.”
“Oh, ya?”
“Siapa orang yang memberi uang banyak itu?”
“Akupun tak tahu siapa namanya. Dia pribadi pergi tanpa meninggalkan alamat atau indentitas.”
“Kemudian?”
“Uang itu tidak saya tempatkan di bank tapi ku simpan di lemari rumah.”
“Mengapa?”
“Aku engga butuh uang untuk hidup dan saya takut dengan uang sebanyak itu.”
“Lantas?”
“Keesokannya ada lagi teman mengabarkan bahwa ada pabrik bata press yang akan ditutup oleh pemiliknya. Pemiliknya orang asing. Teman itu kasihan dengan nasib buruh. Asalkan ada uang sedikit, orang absurd itu mau menyerahkan pabriknya. Kemudian saya menemui orang absurd itu untuk menyanggupi membeli pabrik itu. Tak ada negosiasi. Aku hanya menyerahkan semua uang yang ada di tanganku kepada orang absurd itu. Tanpa menghitung jumlahnya. Orang absurd itu pribadi menyanggupi. Dan pabrik berpindah ke tanganku. Keesokannya lagi, ada kontraktor besar tiba ke pabrik memberi saya uang cukup besar untuk pesanan besar. Uang itu saya berikan kepada mandor pabrik. Mereka bekerja.”
Aku mulai tertarik. Dari matanya saya melihat Sobari tidak berdusta dan memang beliau tidak pernah berdusta. Itu saya tahu betul. Aku memperhatikan dengan seksama ceritanya.
“Pabrik itu membutuhkan kerikil bara cukup besar untuk memanaskan panggangan pabrik. Kemudian ada pengusaha dari Kalimantan memberiku sebagian saham pada konsesi kerikil baranya asalkan saya mau membeli kerikil baranya. Dia memperlihatkan kerjasama. Dia butuh kepastian penjualan tambangnya lantaran itu yang disyaratkan oleh bank yang akan memberinya kredit. Aku menerimanya. Setahun kemudian orang itu meninggal dan menitipkan wasiat semoga tambang itu saya teruskan pengelolaannya asalkan biaya hidup keluarganya saya tanggung.”
Aku terpesona.
“Entah kenapa ada orang China tiba memperlihatkan kerjasama untuk membeli kerikil bara itu dan menyanggupi mengeluarkan biaya untuk menambah kapasitas produksi. Aku menyanggupi. Tapi terhalang lantaran butuh angkutan kapal ke dermaga besar. Orang china itu memberi uang untuk membeli kapal tunda. Akhirnya akupun jadi eksportir dan juga pemilik kapal angkut. Dari satu kapal menjadi 10 kapal. Sebagian disewa pula oleh penambang Artikel Babo.”
Aku semakin terpesona…
“Pihak Pemerintah Daerah mengajukan tawaran kepadaku semoga membina penambang kecil. Mereka inginkan saya sebagai penyangga. Pemerintah Daerah memberiku lahan cukup luas untuk menciptakan kawasan penampungan kerikil bara. Kemudian bank memberiku kemudahan untuk membantu likuiditas sebagai sentra penyangga penambang kecil. Akupun menyanggupi. Akhirnya akupun mempunyai kawasan penyangga dan sekaligus sebagai trading house kerikil bara.”
“Karena uang berputar begitu cepatnya, pihak bank memperlihatkan kepadaku untuk membuka Bank Perkreditan Rakyat. Akupun menentukan BMI, BPR syariah. BPR itu ternyata bukan hanya melayani perjuangan tambang tapi juga perjuangan Artikel Babo.”
“Jadi sudah berapa perjuangan yang kau miliki kini ?”
“Pabrik bata, tambang kerikil bara, eksportir, BPR, Angkutan Kapal….”
“Kamu konglomerat kini dan itu hanya dalam jangka waktu lima tahun.”
“ Aku Sobari... bukan konglomerat. Aku kontraktor.”
“Kontraktor???”
“Siapapun kita di dunia ini, hidup sebagai kotraktor. Allahlah yang mengatakan kita pekerjaan. Kita hanya sebagai pelaksana dan membangun sesuai design yang sudah ditetapkan oleh Allah. Pemilik project tetaplah Allah."
“Projectnya apa?”
“Membangun jalan menuju kepada kemuliaan. Semua orang punya bidang kiprah masing- masing. Bukan soal besar atau kecil. Karena di hadapan Allah semua kiprah itu sama nilainya. Yang melebihkan ialah tingkat keihklasan kita berbuat lantaran Allah. Cinta di balik kiprah itulah intinya.”
Aku terhenyak dengan analoginya yang sangat dalam.
“Itu sebabnya dari dulu saya tidak pernah mengejar atau memita apapun baik kepada Allah maupun kepada manusia. Doa bagiku bukan meminta, tapi menyapa Allah. Bekerja bagiku bukanlah meminta tapi bersyariat. Tak ada istilah bagiku untuk bernegosiasi soal hak didunia ini. Apalagi harus menjual diri dengan segala atribut, kata-kata, proposal, kesepakatan dan lain sebagainya. Hidup ini, kata-kata tetaplah kata-kata. Janji tetaplah janji. Tapi kenyataan ialah segala- galanya. Kenyataan itu cinta besar di balik perbuatan kita. Itulah nilai kita.”
“Bagiku semuanya jelas. Aku hidup lantaran Allah. Tak ada keberanianku untuk mengemis lain apa yang saya suka. Kalau di depanku ada tanah luas saya mencangkul untuk bertani. Kalau di depanku ada tambang, saya gali. Kalau di depanku ada uang, saya bikin bank. Kalau di depanku ada barang, saya jual. Kalau di depanku ada sungai dan laut, saya bikin kapal. Kalau ada orang memintaku jadi pemimpin saya jalankan sesuai mandat.
Semua itu tiba bukan lantaran saya menginginkan, tapi tiba dengan sendirinya tanpa pernah saya minta apalagi mengemis. Karena kita terlalu rendah untuk menentukan apa yang kita mau. Apalagi menentukan masa depan yang kita mau. Wong kapan kita harus berhenti sedetik ke depan kita tidak pernah tahu kecuali hanya berandai andai.”
“Semua yang ada di dunia ini menuju ke satu titik. Kematian. Itu pasti. Manusia kadang selalu merasa bisa bernegosiasi soal banyak hal tapi kenyataanya tak ada orang yang bisa bernegosiasi soal kematian.”
“Manusia suka sekali meminta dan mengemis dalam bentuk apapun. Kekuasaan diburu. Mengemis di hadapan rakyat semoga memilihnya. Mengemis kepada bank semoga mendapatkan kredit. Mengemis kepada juragan semoga mendapatkan pemanis gaji. Mengemis kepada Allah semoga sanggup berkah. Mengemis kepada atasan semoga naik pangkat. Ini sangat memalukan. Budaya brengsek.”
“Tapi, kita kan harus berbuat sesuatu. Hidup ialah kompetisi. Orang butuh kemampuan skill menjual wangsit atau barangnya. Orang butuh skill untuk meyakinkan orang lain. Orang butuh kemampuan menguasai resource yang terbatas. Semua itu kan syariat yang semua orang tak bisa lari sebagai sunatullah,” kataku.
“ Cara berpikir menyerupai itulah menciptakan kita terjebak dalam budaya brengsek. Akibatnya ada istilah kalah dan menang. Ada pula istilah kaya dan miskin. Adapula istilah konglomerat dan kaki lima. Kedamaian tak lagi tampak. Kelas terbentuk dengan masing-masing kelas hidup dalam kecemasan. Yang kaya takut miskin, yang miskin takut mati kelaparan, yang berkuasa takut jatuh. Sebetulnya tak perlu ada kompetisi asalkan semua orang dalam posisi memberi. Tapi rasa memberi itulah yang semakin terkikis dari keseharian kita. Semua pamrih, termasuk beribadah pun pamrih.”
“Assalamu’alaikum…,” terdengar bunyi anak masuk ke dalam rumah. Aku menoleh ke arah pintu masuk. Mereka ada berempat. Satu-satu mereka menyalami kami. Kemudian masuk ke dalam rumah. Terus ke belakang. Sobari tersenyum. Saya galau melihat bawah umur itu yang tampak kumal. Mereka gembel namun masuk ke rumah glamor dengan tanpa risih. Tak berapa lama, tiba lagi rombongan anak kecil masuk ke rumah. Dan terus, terus. Hingga sore jumlahnya mencapai 200 anak.
“Siapa mereka? Bagaimana bisa begitu banyak jumlahnya?" tanyaku bingung. Karena yakin itu bukanlah anaknya.
 Awalnya hanya dua orang anak jalanan. Mereka melintasi rumahku yang besar ini. Mereka tidak mengemis kepadaku. Mereka hanya memandangi rumahku dari luar. Aku meminta mereka masuk ke rumahku. Kemudian mengizinkan mereka kapanpun tiba sesuka mereka. Mereka datang, mereka mendapatkan semua yang ada di dalam rumah ini. Aku makan maka merekapun makan. Kemudian dari hari kehari jumlah terus bertambah dan bertambah."
"Wah itu bagaimana jikalau jumlahnya semakin banyak. Apakah kau sanggup?"
"Bila nikmat Allah itu diperlihatkan kepada orang lain maka itu artinya kita harus siap untuk membagi nikmat itu kepada siapapun. Orang yang takut membuka nikmatnya kepada orang lain itu artinya kikir. Orang yang membuka nikmatnya kepada orang lain tapi tetap kikir maka itu namanya sombong. Tak jauh beda dengan iblis yang dilaknat Allah.
“Jadi inilah sebagian project yang diserahkan oleh Allah untuk kukerjakan. Sama menyerupai dua anak dan istrimu yang juga project dari Allah untukmu. Mereka anak jalanan yang mengakibatkan rumah ini sebagai kawasan singgah mereka.” Kemudian Sobari berdiri.
“Mari kebelakang ....”
Aku mengikuti langkahnya. Di ruang belakang terhampar formasi meja makan. Tampak bawah umur yang sedang menikmati makan dengan tertib. Di ruang lain ada pula ruang kelas untuk bawah umur belajar. Lengkap dengan guru dan alat peraga belajar. Di ruangan lain, ada pula formasi foto kegiatanya di pabrik dan di lokasi tambang serta di desa di mana beliau membuka BPR. Tampak di foto itu Sobari hadir di tengah mereka dengan senyum dan merekapun semua tersenyum tanpa kesan berjarak dengan Sobari. Semua kehangatan terpancar di antara mereka. Sebuah citra wacana ketulusan dari kebersamaan.
Sore telah menjemput. Akupun minta pamit untuk pulang. Pikiranku tetap kepada Sobari. Tak ada lain dari sosok Sobari kecuali kesabaran. Sabar melewati waktu tanpa pernah mengemis atau meminta kepada siapapun. Karena beliau menyadari bahwa dikala Allah menghidupkannya, alam berserta isinyapun sudah diberikan untuknya. Sebuah cara melewati kawasan persinggahan dengan rendah hati. Dia tinggal menjalani itu semua dengan sabar menuju satu titik dan selesai.

==
Cuplikan dari buku : Cinta yang Kuberi , Volume 1
Penulis : Erizeli Bandaro
Tebal  : 285 halaman.
Cetakan : Pertama, September 2015.
Pemesanan bisa pribadi hubungi ke WA / SMS 0811 33 1924
atau email : ebandaro@gmail.com




Sumber https://bukuerizelibandaro.blogspot.com/

Artikel Terkait