Damai Dibumi


Nama Rohingya mengambil nama kuno dari sebuah tempat berjulukan Arakan pada paruh masa ke 9 dikala Islam diperkenalkan disana oleh para pedagang Muslim. Daerah Arakan secara georgraphis terpisah dengan  Burma oleh sejumlah pegunungan Arakan Yoma, tempat ini sekitar 20.000 mil/persegi dengan kota Akyab sebagai ibukotanya. Penduduknya ada sekitar 4 juta jiwa, sekitar setengah populasi yakni Muslim, sisanya Budha dan 5% ada kristen dan hindu.  Sejak dua bulan kemudian isu soal konplik di tempat Arakan ini menciptakan saya bertanya tanya. Mengapa tempat yang dihuni oleh masyarakat religius namun berseteru hingga menjadikan korban begitu besar dikedua belah pihak. Dan mengapa Pemerintah Myanmar tak peduli dan atau terkesan terjadi pembiaran atas upaya pencucian entis Rohingya? Bahkan lebih jelek lagi yakni Pemerintah Junta Militer Myanmar tidak mengakui keberadaan Etnis Ruhingya, dan sekarang ketika kekacauan terjadi mereka menyelamatkan diri keluar negeri lewat maritim dengan kapal ala kadarnya namun tidak ada Negara yang mau mendapatkan etnis ini. Mereka terlunta lunta di bumi Allah tanpa ada tempat untuk hinggap.

Ketika bertemu dengan sobat di Hong Kong yang punya business di Myanmar, hal ini saya tanyakan.  Menurutnya problem etnis Rohingya di Burma yakni problem usang yang tak pernah tuntas  diselesaikan oleh sejarah. Tapi konplik yang sekarang terjadi yakni akhir dari pertarungan kepentingan politik Negara besar yang ingin menguasai Myanmar secara tidak langsung. Apa pasal? Menurutnya Myanmar memang dikenal sebagai Negara kaya SDA, mencakup emas, berlian dan migas. Terutama ketika tahun  2004 ditemukan gas bumi di  Shwe (emas) Blok A1-Teluk Bengal. Prakiraan deposit gas mencapai 5,6 triliun kubik yang tidak akan habis dieksploitasi hingga 30  tahun, maka sejak itulah bentangan pantai sepanjang 1.500 km antara Teluk Bengal - batas maritim Andaman, Thailand menjadi incaran Negara Negara menyerupai  Cina, Jepang, India, Perancis, Singapura, Malaysia, Thailand, Korsel dan Rusia. Negara Negara terserbut bertarung mendapatkan konsesi untuk eksplorasi serta eksploitasi kecuali AS agak belakangan melalui  Chevron (AS) dan Total, Perancis.

Tapi berdasarkan sobat saya, yang paling  agresip menguasai Myanmar yakni China dan kemudian Rusia. Kedua Negara ini bukan hanya menguasai konsesi minyak dan gas tapi juga terlibat aktif menawarkan pemberian peralatan militer kepada junta militer di Myamar, juga menawarkan pemberian dana tidak sedikit untuk pembangunan insfrastruktur ekonomi. Saat sekarang china sedang berambisi menuntaskan pembangunan pipa minyak sepanjang 2.300 km dari pelabuhan Sittwe, Teluk Bengal hingga Kunming, Cina Selatan. Depat dibayangkan cengkaram China akan Myanmar sangat kuat. Bila project ini selesai maka pasti seluruh impor minyak dari Timur Tengah dan Afrika cukup dipompa melalui Sittwe ke salah satu kilangnya di Kunming. Apabila proyek itu selesai maka geopolitik di Asia Tenggara bakal berubah, terutama dalam hal distribusi minyak. Ibarat memangkas jarak pelayaran sejauh 1.820 mil maritim ,  bahkan lebih dari sekedar memangkas jarak, modal transportasi import minyak Cina dalam jalur sangat kondusif dan lebih murah.

Amerika dan Barat memang hanya penerima pasif ditengah hegemoni China dan Rusia  terhadap Myanmar namun bukan berarti AS dan Barat berikhlas hati terhadap itu semua. AS dan Barat paham betul bahwa ada saatnya mereka bergerak untuk menjadi pemenang. Kesalahan paling besar bagi Rusia dan China yang punya susukan kepada Junta Militer Myanmar yakni gagal meyakinkan pemerintah Myanmar untuk menuntaskan problem Rohingya. Padahal ini potensi konplik terpendam yang gampang diledakan oleh siapapun yang tidak menginginkan stabilitas di Myanmar. Memang etnis Rohingya tidak pernah diakui sebagai pecahan dari Burma. Tidak menyerupai etnis Bamar, Karken, Kayah, Chin, Arakan (disebut Rakhine), Mon, Kachin yang mendapatkan hak layaknya warga Negara syah. Mengapa hingga etnis Rohingya tidak diakui. Menurutnya ini sebab factor sejarah yang menjadikan dendam berkepanjangan. Bermula ketika pada tahun 1658, akhir konflik internal di Kekaisaran Mogul, pada 7 feb 1661 pangeran India Shah Shuja tiba berlindung ke Arakan tapi ia dibunuh oleh raja yang beragama islam . Akibatnya terjadi perang saudara di Arakan antara etnis Rohingya yang beragama islam dengan Arakan budha. Perang berkelanjutan ini menciptakan Arakan lemah dan balasannya direbut oleh Raja Burma. Padahal sebelumnya Raja  Burma pernah  dikalahkan oleh Arakan ketika dipimpin oleh Suleiman Shah dari etnis Rohingya  yang menerima dukungan dari Sultan Bengal, Nasiruddin Shah.

AS dan Barat paham sekali akan factor sejarah yang menyimpan potensi konplik itu. Ketika inggris keluar dari Birma dan membiarkan birma merdeka,  memang sengaja menanamkan bomb waktu ke Burma dengan membiarkan Arakan masuk pecahan Burma yang mereka tahu bahwa Arakan tak ingin menjadi pecahan dari Burma.  Maka sanggup ditebak keributan dan kekacauan di Arakan dengan korban etnis Rohingya tidaklah tiba dengan sendirinya. Kejadian itu hasil sebuah grand design dengan scenario yang andal . Bermula dari problem krimininal biasa dimana etnis Rohingya memperkosa perempuan Arakan Budha, yang memancing kerusuhan besar. Sebentar sanggup diredamkan namun berikutnya muncul lagi keributan kecil  dari Arakan Budha kepada etnis Rohingya dan benturan terjadi lagi. Begitu seterusnya. Keadaan ini menciptakan Junta Militer di Myanmar menjadi bertindak keras untuk menjaga stabilitas. Kekerasan pemerintah kepada komunitas Arakan bukan hanya kepada Rohingya yang muslim tapi juga kepada Arakan Budha. Disamping itu memang Arakan tidak pernah berikhlas hati mendapatkan kekuasaan Junta Militer. Konplik ini akan digiring menjadi issue international.

BIla kekacauan ini terus terjadi dan perhatian dunia terarah penuh kepada Myanmar khususnya korban kemanusiaan atas Etnis Rohingya maka menyerupai biasanya akan mengundang turut campur PBB dengan mengirim pasukan perdamaian untuk memilih nasip Arakan. Bila ini terjadi maka akan menciptakan Pemerintahan junta Militer tersudut untuk duduk dalam meja perundingan. Senjata demokrasi akan digunakan oleh AS dan sebagaimana biasanya AS akan muncul sebagai pemenang mengontrol Myanmar , mengontrol asia tenggara.  Bila scenario tersebut diatas terjadi maka dikala itulah kontrak konsesi minyak yang sudah ditanda tangani Junta Militer Myanmar akan dievaluasi ulang. Uncle Sum akan mendapatkan porsi paling besar tanpa harus berkorban banyak menyerupai China dan Rusia.  Yang jadi pertanyaan yakni apakah China dan Rusia akan tinggal membisu hingga membiarkan scenario AS berjalan mulus? lihatlah faktanya sekarang , kekacauan dengan korban kemanusiaan luar biasa terhadap Etnis Rohingya tak menciptakan PBB bersuara keras atas nama HAM, dan tak menciptakan Malaysia dan Indonesia yang lebih banyak didominasi muslim bersuara keras atas nama tetangga.

Sebagaimana konplik di Timur Tengah  dimana tugas AS dan Barat  sangat memilih akan nasip bangsa Palestina. Hanya Amerika dan Barat yang sanggup mendikte elite politik Israel biar bersikap lunak terhadap rakyat palestina. Begitupula  di Arakan, tugas China dan Rusia sangat memilih untuk terjadinya keamanan di Arakan dan penentuan nasip etnis Rohingya. Hanya China dan Rusia yang sanggup menekan elite penguasa Myanmar  biar bersikap bijak atas Arakan khususnya kepada etnis Rohingya. Ya, hening dibumi akan gampang terjelma  asalkan China dan Rusia bergandengan tangan dengan AS dan Barat untuk cinta dan kasih sayang bagi semua…

Sumber https://culas.blogspot.com/

Artikel Terkait