Waktu kunjungan ke Pyongyang, saya didampingi oleh sahabat yang juga pejabat China. Pejabat Korea utara dengan bangganya menceritakan bahwa Korut ialah negara berdaulat dimana semua sumber daya dikuasai oleh negara dan dipakai untuk seluas luasnya bagi kesejahteraan rakyat. Kami menutup diri dari dunia luar. Tidak ada orang absurd menguasai SDA menyerupai di Korea selatan, katanya. Dari kendaraan yang melaju ke Hotel, saya meliat dipinggir jalan orang berjalan dengan wajah tanpa harapan. Nampak miskin dengan senyum dipaksakan sambil membungkuk saat kendaran dengan plat nomor penguasa melintas. Usai kunjungan dan kembali ke Beijing ,teman saya meminta kesan saya terhadap Pyongyang. Saya hanya menyampaikan singkat bahwa di negeri itu tidak ada peradaban.Teman saya tersenyum. Menurutnya kesalahan terbesar dari Korea Utara ialah menjadikan satu gerombolan berkuasa penuh menentukan apa saja demi tegaknya sebuah kekuasaan termasuk menempatkan seseorang sebagai diktator, untuk itu mereka memakai komunisme sebagai Idiologi. China pernah mengalami kesalahan menyerupai itu saat kala Mao. Untuk membangun peradaban ada dua prinsip yang harus disadari bahwa pertama, Bumi ini milik Tuhan, katanya. Kita berbeda dan terpecah belah lantaran adanya paham nasionalisme. Alangkah buruknya jikalau lantaran sebuah anutan imajiner perihal nasionalisme menciptakan kita tertutup dari dunia luar. Kemitraan dengan dunia luar itu mutlak. Itu sebabnya Era Deng, China membuka diri dengan dunia luar. Saat itulah kita meyakinkan pada diri kita bahwa kita pecahan dari dunia luar. Banyak hal yang china miliki tapi juga banyak yang tidak dimiliki.Kemitraan dengan absurd ialah saling melengkapi semoga setiap bangsa bisa mendapat kemakmuran dari keterbatasannya.
Prinsip kedua ialah memastikan pembangunan itu lantaran adanya emansipasi dari rakyat. Proses pembangunan juga ialah proses emansipasi. Tugas negara menjaga proses emansipasi itu dengan cara yang benar dimana kebaikan diutamakan dan keadilan tegak. Itu sebabnya China menentukan jalan industrialiasasi sebagai visi. Semua sumber daya alam harus diolah didalam negeri. Tidak semua SDA itu dikelola oleh Negara , ada banyak yang dikelola oleh Private lokal maupun absurd namun dipastikan negara berkuasa atas kebijakan bagaimana SDA itu dikelola. Kebijakan dasarnya ialah memastikan transfer technology terjadi dan distribusi kesempatan meluas. Karenanya pemerintah China membangun infrastruktur ekonomi, jalan, pelabuhan, bandara, dan lain lain semoga koneksitas antara wilayah sanggup melahirkan sinergi dibidang ekonomi. Dalam perkembangan berikutnya, pemerintah juga tidak melarang jikalau lantaran pertumbuhan ekonomi itu, swasta lokal maupun absurd ingin mendapat laba dari peluang pengadaan sarana umum dengan bagan Public Private Partnership (PPP) menyerupai Jalan Toll, Kereta Api ekspress, bandara, dll. Namun negara membatasi konsesi bisnis PPP itu dengan aturan yang terperinci dan tegas. Sehingga ada kepastian aturan bagi investor dan juga bagi public yang diwajibkan membayar atas sarana umum itu. Kaprikornus membangun itu bukan duduk kasus apakah harus negara menguasai semua dan mengelolanya lalu dibagikan kepada rakyat menyerupai ala sosialis komunis. Bukan pula menyerahkan semua sumber daya kepada dunia perjuangan menyerupai ala kapitalis liberalisme. Bukan begitu!. Kita perlu kapitalisme demi terlaksananya emansipasi rakyat membangun namun kita butuh sosialisme semoga negara hadir disetiap ruang itu demi tegaknya keadilan sosial. Kaprikornus ya menyerupai sosial demokrat.
Apa yang dilakukan oleh china dalam membangun tidak jauh berbeda dengan Malaysia, yaitu visi industrialisasi. Sebagai ngara agraris, malaysia mengelola Perkebunan Sawit menerapkan tekhnologi dan padat modal. Hubungan antara petani dengan pengusaha besar diatur dalam sinergi yang kokoh.Sebagian besar perkebunan sawit dimiliki dan dikelola oleh petani dan negara bersama pengusaha besar sebagai pembina untuk tersedianya tekhnologi tanam yang bisa meningkatkan produksi dan lalu membangun industri hulu untuk mengolah CPO menjadi ethyl ester, Fatty acid, dan glycerine. 70% dari CPO ini diolah didalam negeri. Dari industri hulu CPO ini menjadikan terjadi arus investasi dari dalam dan luar negeri untuk membangun industri yang membutuhkan materi baku ethyl ester, Fatty acid, dan glycerine,seperti industri pangan (minyak goreng dan margarin), industry sabun (bahan penghasil busa), industri baja (bahan pelumas), industri tekstil, kosmetik, dan sebagai materi bakar alternatif (biodisel). Karena visinya industri , walau Indonesia mempunyai lahan sawit terbesar didunia, yaitu mencapai kurang lebih 18 juta hektar. Sementara Malaysia hanya 6 juta hektar.Tapi jumlah produksi kelapa sawit yang dihasilkan Malaysia per tahunnya, ternyata hampir dua kali lipat lebih besar dari Indonesia. Tapi Malaysia hanya menjual 30% saja dari total produksi CPO nya sementara Indonesia mengeksport 70% lebih CPO nya. Ketika harga export CPO jatuh , indonesia meradang nestapa namun malaysia tetap melaju lantaran 70% CPO diolah didalam negeri untuk menghasilkan produk bernilai tambah.
Sebetulnya Indonesia mempunyai aneka macam peluang untuk tumbuhnya industrialisasi. Zaman Soeharto , kekuasaan dikelola dengan cara totaliter dan semua SDA dikuasai negara. Namun tidak ada keadilan terhadap distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi lebih kepada kroni penguasa yang bersenggama dengan asing. Industri tumbuh tapi hanya sebagai tukang jahit yang memanfaatkan upah murah. Pihak absurd mendapat keistimewaan dari negara untuk mengelola SDA namun dieksport tanpa diolah didalam negeri. Ketika reformasi,kekuasaan dikelola dengan demokratis namun juga tidak ada keadilan distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi dikuasai oleh pasar sementara rakyat banyak hanya jadi konsumen yang dijejali barang import. Terjadilah deindustrialiasi. Saat kini itu ingin dirubah oleh Jokowi. Di Forum APEC Dalam investment expose dihadapan CEO APEC, joko widodo memperlihatkan investasi di Indonesia bukan lantaran pengurasan SDA untuk diangkut keluar tapi diolah didalam negeri dalam visi industrialisasi. Dengan prinsip negara akan menjadi leading untuk terjaminnya ketersediaan materi baku, sumber daya insan yang berkualitas, dan infrastrutur ekonomi yang meluas. Hanya dengan cara itu Indonesia bisa mengeskalasi pertumbuhan ekonominya yang setiap tahun berpacu dengan pertumbuhan angka kelahiran 3,5 juta, 1 juta angkatan kerja baru, harus membayar kesalahan rezim sebelumnya dengan angsuran hutang dan bunga sebesar Rp 154 trilun! setiap tahunnya. Ini bukan kerja gampang menyerupai mimpi sosialis dimana negara menguasai semua namun jadinya negara ( elite ) mengambil semua dengan membagi secuil kepada rakyat.
Ya, betul kata sahabat itu bahwa kita butuh pemimpin yang mengerti kapitalisme namun mempunyai hati sosialis. Bukan soal pilihan apa yang sempurna sebagai idiologi tapi siapa pemimpin dibalik idiologi itu. Baik buruknya peradaban tergantung dari watak pemimpin yang kita pilih. Semoga Jokowi ialah pilihan yang tepat. Kepada Allah kita berserah diri...
Sumber https://culas.blogspot.com/Sebetulnya Indonesia mempunyai aneka macam peluang untuk tumbuhnya industrialisasi. Zaman Soeharto , kekuasaan dikelola dengan cara totaliter dan semua SDA dikuasai negara. Namun tidak ada keadilan terhadap distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi lebih kepada kroni penguasa yang bersenggama dengan asing. Industri tumbuh tapi hanya sebagai tukang jahit yang memanfaatkan upah murah. Pihak absurd mendapat keistimewaan dari negara untuk mengelola SDA namun dieksport tanpa diolah didalam negeri. Ketika reformasi,kekuasaan dikelola dengan demokratis namun juga tidak ada keadilan distribusi barang dan modal. Penguasaan ekonomi dikuasai oleh pasar sementara rakyat banyak hanya jadi konsumen yang dijejali barang import. Terjadilah deindustrialiasi. Saat kini itu ingin dirubah oleh Jokowi. Di Forum APEC Dalam investment expose dihadapan CEO APEC, joko widodo memperlihatkan investasi di Indonesia bukan lantaran pengurasan SDA untuk diangkut keluar tapi diolah didalam negeri dalam visi industrialisasi. Dengan prinsip negara akan menjadi leading untuk terjaminnya ketersediaan materi baku, sumber daya insan yang berkualitas, dan infrastrutur ekonomi yang meluas. Hanya dengan cara itu Indonesia bisa mengeskalasi pertumbuhan ekonominya yang setiap tahun berpacu dengan pertumbuhan angka kelahiran 3,5 juta, 1 juta angkatan kerja baru, harus membayar kesalahan rezim sebelumnya dengan angsuran hutang dan bunga sebesar Rp 154 trilun! setiap tahunnya. Ini bukan kerja gampang menyerupai mimpi sosialis dimana negara menguasai semua namun jadinya negara ( elite ) mengambil semua dengan membagi secuil kepada rakyat.
Ya, betul kata sahabat itu bahwa kita butuh pemimpin yang mengerti kapitalisme namun mempunyai hati sosialis. Bukan soal pilihan apa yang sempurna sebagai idiologi tapi siapa pemimpin dibalik idiologi itu. Baik buruknya peradaban tergantung dari watak pemimpin yang kita pilih. Semoga Jokowi ialah pilihan yang tepat. Kepada Allah kita berserah diri...